Jiwa Pardidu
/I/
sebagai orang baru yang datang di kota lama. Aku kagum
mungkin akan terasa sama kau rasa, bilamana kau percaya
sebelum pendulum di hukum mitos benda jatuh,
aku tiba di ujung dunia sebagai orang asing
yang melihat gravitasi melawan hukum alam
belum percaya, mungkin kau rasa
tapi konon di sinilah cahaya matahari bermula
terlindungi roh-roh halus
asal usul nama, bentuk, dan rupa
semacam bangga
aku tiba saat lampu-lampu jalanan kota redup
lalu bulan putih tembaga menyala
melingkari hitam bola mata
lalu hantu-hantu tua renta
berduyun-duyun datang melalui gemuruh lautan
suara-suara itu terdengar merdu dan purba
dari puncak gunung api berkilauan daun muda Cengkih
mekar dalam senyap—
kau dengar kulit-kulit pohon pala bercerita
mengunggah perenungan
kerinduan anak manusia pada penciptanya
sebelum tuhan bersemayam di telunjuk mereka
berabad-abad yang menyudah
kesaksian-kesaksian akan sebab
belum mampu memastikan apa-apa
kisah-kisah peperangan berdarah
separuh tercatat melalui tinta seorang penyair bermata satu
Lusiadi memanjangkan penjelajahan bangsanya
pencarian-pencarian; keyakinan, mahkota, penaklukan
sihir-sihir dan nujum; obat kuat penyembuh keputusasaan
kau dan aku dan jiwa-jiwa para pengembara, bersatu di dalamnya
tersebutlah aku—ruh Pardidu dalam harum dupa,
/II/
sebagai orang baru di kota lama
nama itu kita kenal sebagai Gamalama
nama lama; Bai Guna
di sanalah berjejer bukit dan gunung-gunung api
dalam hening samudera yang melindunginya
keabadian akan berlangsung lama
aksara-aksara akan terus terus tercipta
dalam sunyi ribuan lankah lipan yang menerima
teranglah dalam persembunyian
teranglah
Air Mata yang Kita Pilih
Cukupi takutmu!
pada waktunya—
mata meringis
pada gilirannya—
hatimu tertikam duri
kita tersenyum dan tertawa
tanpa tahu dari mana mereka berasal,
kita bahagia dan tidak bahagia
tanpa bertanya, apa sebabnya
kita hanyalah alpa dan lupa
bahwa kita manusia
yang selalu pantas
mengalami itu semua
Dengan Senang Hati
dengan senang hati
kusalin air matamu di sini
di separuh lelahku menimang pena
saat daun-daun kertas berguguran
terayun-ayun gusarku
terhantam apa pun yang rapuh
dengan senang hati
berani kukatakan padamu
bahwa cinta—
akan terus berembus
menembus tembok jiwamu
meski musim membeku
mengeras dalam waktu
kekasihku!
Kontras
di atas kertas bilangan
badut melintas
di mana dua per tiga
birama terkelupas
di sini tiga per empat
nafas terkuras
dikala sembilan beralas
delapan utas
di situ malam bersajak
menghapus batas
tersesat dalam rimba
absurditas
bebas dari jerat karat
ambiguitas
Komentar
Tulis komentar baru