Skip to Content

Generasi Muda Makassar Tak Kenal Lagi Sastra Lirik Sinrilik

Foto indra
files/user/762/sinrilik.jpg
Sinrilik Kappalak Tallumbatua selain memuat informasi tentang kebesaran raja dan Kerajaan Gowa, juga berisi informasi tentang sikap kepahlawanan, ajaran moral, adat istiadat, serta kepercayaan yang menjadi cerminan masyarakatnya.

Sastra lisan sinrilik–berbentuk prosa lirik yang disampaikan dengan cara dilagukan baik dengan atau tanpa alat musik–yang berasal dari suku Makassar, Sulawesi Selatan, hingga kini masih digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan kepercayaan.

Sastra lisan tersebut biasa digunakan dalam berbagai upacara adat, pelantikan, maupun sebagai hiburan di waktu senggang. Namun, saat ini penyampaian sinrilik sudah sangat jarang dilakukan. Pasalnya, masyarakat pendukung tradisi ini yang dikenal dengan pasinrilik jumlahnya semakin berkurang. Bahkan, tidak sedikit generasi muda yang tidak mengenal tradisi lisan ini.

“Regenerasi pasinrilik bisa dikatakan tidak berlangsung lagi,” kata Dra Inriati Lewa, M Hum, saat ujian terbuka program doktor, Kamis (30/7), di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Inriati mengungkapkan, salah satu sinrilik yang memiliki kedudukan istimewa adalah Sinrilik Kappalak Tallumbatua (SKT). Hal ini mengingat SKT selain memuat informasi tentang kebesaran raja dan Kerajaan Gowa, juga berisi informasi tentang sikap kepahlawanan, ajaran moral, adat-istiadat, serta kepercayaan yang menjadi cerminan masyarakatnya.

Dengan kata lain, sinrilik digunakan sebagai media penerima dan pengakuan terhadap seseorang agar dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tepat untuk memegang kekuasaan. Teks SKT oleh pencerita digunakan sebagai alat untuk menyatukan suku Bugis dan Makassar dalam satu ikatan kekerabatan.

“Bagi masyarakat suku Makassar, SKT telah dipakai sebagai alat melegitimasi pranata sosial, agama, budaya, dan kekuasaan yang telah menempatkan tokoh Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka sebagai tokoh hebat dan karismatik dalam pikiran serta kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan,” ujar dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanudin ini.

Memasukkan Imajinasi

Dalam penelitiannya Inriati juga menemukan bahwa terdapat perbedaan cerita, tokoh dalam struktur puisi dan struktur cerita. Hal tersebut terjadi karena adanya penggunaan pola dalam membangun cerita yang bertujuan membangun sistem pemaknaan yang sangat dipengaruhi pasinrilik.

Dalam teks SKT, misalnya, terdapat fakta sejarah mengenai perang Makassar, perebutan kekuasaan antara Sultan Hasanuddin Arung Palakka dan Belanda. Meskipun memperlihatkan persamaan dalam unsur-unsur yang membangun teks seperti tokoh dan latarnya dengan peristiwa perang Makassar, tetapi SKT tidak bisa disamakan dengan peristiwa sejarah perang Makassar.

“Teks SKT memang terlihat memberikan informasi kesejarahan, namun tidak mengandung kebenaran historis karena pencerita sudah memasukkan imajinasi dalam cerita SKT sesuai dengan bekal pengetahuannya,” katanya.

Lebih lanjut Inriati mengungkapkan, SKT sebagai produk sastra lisan sarat dengan nilai-nilai dan fungsi yang berasal dari masyarakat pendukungnya yang masih relevan digunakan saat ini.

"Sinrilik ini digunakan sebagai alat melegitimasi dan menyatukan budaya, suku, raja, dan kerajaan serta kekuasaan yang menempatkan tokoh Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka sebagai tokoh dan pahlawan dalam benak masyarakat suku Makassar," ujar Inriati. 


sinarharapan.co, 03 Agustus 2015 16:33 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler