Skip to Content

MENONTON PENYAIR BERAKSI

Foto SIHALOHOLISTICK

Tanggal 10 dan 11 Minggu November 1985 terjadi peristiwa penting dalam pembacaan puisi di Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta menampilkan beberapa penyair kita yang lagi meroket dalam belantika perpuisian. Pembacaan puisi – Cakrawala Puisi ’85 untuk memperingati HUT TIM yang ke 17, menampilkan penyair dan pembaca puisi, seperti Soraya Perucha dan Renny Jayusman, eks istri Putu Wijaya.

Pembacaan Cakrawala puisi ’85 ini dibagi dua bagian. Pertama oleh beberapa penyair yang sudah dipilah-pilah. Tetapi pembacaan puisi hari pertama banyak yang kecewa, karena tidak tampilnya si burung merak WS Rendra. Sampai-sampai seorang wartawan asing mengembalikan karcis karena tidak tampilnya Rendra. Tapi, menurut Eka Budianta  yang bertindak sebagai MC, acara Cakrawala Budaya ini sebenarnya dicap oleh DKJ sebagai tindakan “inkonstitusional”. Akibatnya empat penyair telah mengundurkan diri yaitu Seno Gumira Ajidarma, Noorca M. Massardi, Kurniawan Junaedhei dan Yudhistira Massardi.

Tapi undurnya empat penyair tersebut tidak mengurangi minat masyarakat unuk menyaksikan pembacaan Cakrawala Puisi itu. Karena tidak bisa tidak, pembacaan puisi di Graha Bhakti Budaya itu telah mendapatkan sukses yang luar biasa.

Group  Lazuardi Adi Sage yang membawakan puisi dengan empat cewek, tampaknya tidak menguasai dengan matang. Sorak-sorak penonton nyaris membuat mereka semakin gugup, dan beberapa kalimat malah salah diucapkannya.

Penampilan Sides Sudyarto juga tidak menolong suasana buruk bagi penonton, tapi puisi-puisi yang agak bagus membuat penonton mulai mendengarkan. Sides malam itu telah membacakan 9 karya puisinya. “Tiang Gantungan”, “Sekuntum Melati Mati Di Tiang Gantungan”, “Sebuah Kapak Digantungan”, “Seekor Angsa Mati Di Tiang Gantungan”, “Mereka Mati Di Gantungan Massal”, “Seorang Wanita Mati Di Tiang Gantungan”, “Hari Kiamat Di Tiang Gantungan”. Yang dibawakan dengan biasa-biasa saja.

Suasana kebosanan penonton tertolong dengan tampilnya Leon Agusta dengan dua cewek yang berpakaian merah putih yang mampu mencekam penonton. Leon bersama Lili dan Fufi membacaka puisi “Waktu” dengan gaya koor yang menawan. Irama yang bagus dan penampilan dua cewek yang menggemaskan, telah membuat para penonton bertepuk tangan tak henti-hentinya. Siapa Sang Waktu itu?

“Waktu adalah Tuhan. Ia tidak bisa dilawan dengan cara apapun,” kata Leon Agusta.

Misalnya, puisi “Kembalikan Indonesia” Karya Taufik Ismail yang memasalahkan kemerdekaan bangsa kita hanya untuk olahraga pingpong dan bulu tangkis, tanpa membicarakan prospek rakyat sendiri. Leon malam itu telah menjadi pioner mendobrak kelesuan penonton.

Slamet Sukirnanto yang membawakan karya puisinya “Gunung Kidul”, “Reog Ponorogo”, “Pipa Pipa”, “Inang Dari Tanah Bata”, “Bengkalis”, “Kita”, juga kurang mampu menjabarkan karya-karyanya, walaupun puisi-puisinya sangat yahud. Ia lebih banyak membacakan puisinya malam itu, hanya untuk ditanya.

Apalagi Adri Darmaji Woko yang sama sekali tidak siap betul untuk membacakan puisi-puisinya malam itu. Ia hanya membacakan karya puisinya “Yatim Piatu” seperti hanya Tuti Aditama menyiarkan berita TVRI. Maka dengan sadar iapun langsung mengundurkan diri dari pentas, untuk tidak membacakan puisi-puisinya kembali.

Dengan kegagalan Adri itu – maka F Rahardi penyair yunior yang melahirkan karya “Sumpah WTS” dan pernah dilarang membaca di TIM karena memboyong beberapa pelacur untuk membaca puisinya, malam itu telah menjadi bintang penyair. Puisi-puisinya yang komunikatif dan lugas, membuat penonton tercengang dan tertawa. Karya yang dibacanya antara lain : “Pagi”, “Pantat”, “Tentang Rakyat”, “Kamus”, “Catatan X di Akhirat”, “Kwitansi”, “Tentang Peristiwa Priok”, “Mosi Tak Terpercaya”.  Kita kutip puisi “Pagi” nya.

subuh di puncak hotel Mandarin
mula-mula Tuhan menyemprot langit
dengan cat merahnya
lalu
cakrawala diangkat dari pantat bukit
matahari jatuh diselangkangan Jakarta
menyorot Kramat Tunggak
menyusup Istiqlal
menembus Katedral
dan menyelonong di persada Bina Graha
sepasang kere tenang-tenang saja melingkar dikolong kali
seorang jenderal melompat dari depan dan bersenam pagi Indonesia
pastur dan pendeta berjumpa untuk memuliakan Tuhan
Tuhan lalu berfirman : hari ini masih kubuka kesempatan buat kalian yang korupsi, silakan!

Penyair yang berusia 34 tahun dan dilahirkan di Ambarawa ini karya-karyanya sangat tajam. Ia dalam karya puisinya sudah berani mengatakan, Tuhan lainnya supaya mengundurkan diri, dan diganti dengan Tuhan lainnya. Siapa Tuhan lainnya itu? F. Rahardi hanya menempatkan simbol sebagai Tuhan. Karena sekarang banyak penguasa sudah mengidentikan diri seperti Tuhan.

Renny Jayusman tampil setelah F. Rahardi menunjukkan dirinya sebagai pembaca puisi yang baik. Renny membawakan karya empu penyair kita Chairil Anwar dengan baik sekali. Seperti “Catatan 1946″, “Lagu Orang Usiran”, “Pemberitahuan”. Dan Ikranegara membacakan puisi-puisi perjalanan dari Amerika Serikat, misalnya “Chicago”, “New York”, “Perempuan”, “Mimpi Ke Duabelas”.

Dan sebagai puncaknya pembacaan Cakrawala Puisi ’85 adalah tampilnya penyair kenamaan WS Rendra. Rendra! Rendra! Rendra! Rendra! Teriak penonton. Penyair yang sudah berumur lima puluhan masih seperti anak muda dengan celana jean, mengepalkan tinjunya pada penggemarnya. Khalayakpun bungkam ketika Rendra membacakan puisinya antara guru dan murid. Ia menuding penggeseran nilai fungsi guru sekarang. Dan selebihnya Rendra membacakan puisi-puisi lamanya seperti “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, “Sajak Buat Suto”. Rendra malam itu seperti tokoh politik yang lagi pidato tentang konsep tatanilai. “Penyair adalah saksi hidup”, katanya. Penontonpun berkeplok. (Elan Sudibyo/BJ/422h)

Sumber : Merdeka, Minggu 17 November ’85 hal. I/IX

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler