Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “HANYA UNTUK SATU NAMA” KARYA ISBEDY STIAWAN ZS

Foto SIHALOHOLISTICK

Hanya untuk satu nama: Demi.

Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Tentunya foto itu diabadikan saat musim bunga sedang berlangsung di Belanda. Aku menerima kiriman itu dari Mas Zen tiga tahun lalu. Saat Zen kuliah di negeri Kincir Angin itu.

Di bawah kalimat itu tertulis dengan tipografi puisi: “Rademi Pratiwi,/bila musim salju tiba seperti sekarang ini,/aku makin rindu padamu./Ingin mendekapmu/sepanjang tidurku/di balik selimut tebal.//Atau dalam mantel tebal menembus salju/sepanjang jalan di Amsterdam ini/kita saling melingkarkan tangan/di pinggang.//Kau tahu,/aku selalu bayangkan/kau ada di dekatku,/dalam dekapanku…”

Dan hingga kini kenang-kenangan dari Zen masih dipajang di tembok rumahku. Kalimat indah itu, “Hanya untuk satu nama: Demi”, seperti ingin mengekalkan waktu. Tetap tidak luntur karena usia. Dan, saban hari aku selalu menatap kenangan itu. Membaca kalimat-kalimat puitik yang diukir rapi itu.

Aku menerimanya dengan bahagia sekali saat itu. Rasanya aku ingin segera terbang. Segera mendekapnya. Berlari-lari menembus salju. Dan jika gigil menyergap akan kupeluk Mas Zen. Maklum waktu itu kami baru enam bulan menikah. Kata orang, perkawinan kami masih masa bulan madu. Karena itu, masih dipenuhi oleh fantasia dan imajinasi yang indah-indah.

Sesungguhnya aku berat membiarkan Zen meninggalkanku sendiri. Kalau saja bukan karena tugas dari tempatnya bekerja dan kesempatan disekolahkan oleh perusahaan amatlah langka-tidak akan terulang oleh orang yang sama, akan kukatakan padanya: “Jangan tinggalkan aku, Mas Zen. Aku tak berani didera rindu…”

Waktu itu Zen membujukku, “Tiga tahun tidak lama, sayang. Hanya sekedip mata jika hati kita sama-sama terpaut. Kau bisa meneleponku setiap malam jika rindu. Aku pasti akan menghubungimu bila aku kangen. Kesempatan baik seperti ini tidak akan datang dua kali…”

Lalu kujawab, dengan perasaan cemburu, “Gadis-gadis Nederland pasti cantik-cantik ya, Mas? Aku khawatir kau akan jatuh cinta di sana.”

“Kau lebih cantik dari mereka, kau adalah segala-galanya bagiku. Lagi pula aku ke sana ingin sekolah, tak ada soal lain,” tegas Zen. “Marilah kita menjaga cinta kita dengan saling percaya dan jujur.”

Itulah percakapan saat-saat jelang keberangkatan Zen ke Belanda. Sehari sebelum Zen meninggalkan Indonesia, kami habiskan waktu berdua di sebuah kafe termewah di Kota BL ini. Aku memandangi wajah Zen. Ia pun seakan menembus ke dalam kedua mataku. Kupegang erat kedua tangannya. Ia meremas jari-jemariku. Menyusuri telapak tanganku, hingga mendekati siku tangan kananku. Kubiarkan jemarinya menari-nari di tanganku. Seperti kunikmati gerakan penari di panggung.

Tiga tahun bagi orang lain memang hanya sekejap. Tetapi tidak untukku yang kala itu tengah menikmati indahnya awal berumah tangga. Aku ingin menemani Zen, cuma perusahaan tempatnya bekerja tidak membolehkan. Alasannya, karyawan yang disekolahkan tidak boleh diganggu sehingga ia bisa kembali dengan sukses. Selain itu, perusahaan tidak menanggung di luar yang mendapat beasiswa. Artinya, jika aku menyertai Zen aku harus menanggung seluruh biaya transportasi dan segala keperluan selama di Belanda. Bagaimana mungkin bisa? Biaya hidup di sana sangat tinggi dibanding di Indonesia. Selain itu, kalau Zen gagal maka kami harus mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan. Ini jelas sangatlah berat.

Maka aku menanti Zen dengan rindu yang mendalam. Deru kangen karena kesepian bagai ribuan lebah yang mendengung. Meski Zen tak pernah alpa meneleponku setiap malam, jelang aku ke peraduan. Hanya telepon dan suara penuh kerinduan dari Zen itu, seakan dapat menenteramkan hatiku. Aku pun bisa terlelap hingga esok pagi terbangun. Tiga bulan di Belanda, kiriman foto Zen dengan latar belakang bunga tulip yang lagi mekar kuterima. Di foto yang terbingkai rapi itu terukir tulisan Zen: “Hanya untuk satu nama: Demi”.

Ya. Aku tahu dan sekaligus aku percaya. Hanya satu nama-namaku, yang terukir di hatinya. Nama perempuan yang sejak lama mencintainya. Perempuan-dan aku tentunya-yang setia menanti, dan kini telah resmi menjadi istrinya dengan setia pula akan menanti ia kembali.

Bila rindu memendam, kupandangi foto kiriman Zen itu. Kubayangkan seindah apakah bunga-bunga tulip sesungguhnya? Kuangankan Zen menyusuri taman bunga itu. Atau melintas di bawah kincir angin. Sendiri. Gigil. Sebab salju turun tak kenal waktu. Seandainya, ya seandainya, aku ada di sisinya tak kubiarkan salju menyentuh kulitnya. Aku akan segera menepis agar dia tak merasa kedinginan.

“Ah, kau terlalu obsesif. Dingin memang jika salju sedang turun, namun tidak seperti kita bayangkan. Buktinya tak ada orang yang mati di sini tertimbun salju kan? Aku sudah siapkan mantel tebal, dan selalu kubawa jika musim salju…” kata Zen ketika meneleponku suatu malam.

“Bener Mas, enggak kedinginan. Demi mengkhawatirkan Mas Zen,” kataku manja.

“Benar, sayang. Kalau aku kedinginan, akan kubayangkan kau ada di dalam mantelku. Atau mendekapmu di balik selimut tebalku. Agar gigil hilang, kehangatan datang.”

“Aih Mas, bercanda terus!” aku merajuk. “Jangan-jangan sudah ada yang menggantikan aku ya di situ?”

“Tu kan cemburu?”

Aku malu. Lalu, kujawab, “Tidak kok. Aku tidak cemburu…”

“Lalu, apa?”

“Kangen…”

“Sama.”

Kemudian kami tertawa. Aku membayangkan Zen memelukku. Erat sekali. Lalu menggiringku ke kamar. Ah, sedang apa Zen di sana malam ini? Tiba-tiba aku disadarkan oleh dering telepon lagi. Mungkinkah Zen yang meneleponku? Ia memang baru saja lupa mengucapkan selamat tidur, seperti malam-malam sebelumnya. Segera kuraih gagang telepon.

“Belum tidur, Tiwi?”

Ah! Ternyata Mama yang meneleponku. Keluargaku memang biasa memanggilku Tiwi. Sedangkan teman-temanku acap menyapaku dengan Demi, bahkan kadang ditambah dengan Moore di belakang namaku. Mengingatkan aku pada selebriti dunia.

“Belum, Ma. Ada perlu penting Ma?” jawabku segera. Tidak seperti biasa Mama menelepon pada malam hari seperti sekarang: pukul 23.57.

“Enggak. Hanya ingin tahu keadaanmu.”

“Tiwi sehat-sehat saja, baik-baik saja kok. Mama juga baik-baik saja kan? Papa juga? Rio sudah pulang, Ma?”

“Syukurlah,” ujar Mama kemudian. “Zen sudah meneleponmu? Beberapa menit lalu dia menelepon Mama, menanyakan kabar keluarga kita. Katanya, dia sehat-sehat saja di Belanda. Hanya sebentar menelepon Mama, katanya mau meneleponmu….”

“Kok, Mas Zen tak bilang kalau habis menelepon Mama? Ya Ma, dia baru meneleponku. Hampir dua jam dia ngobrol dengan Tiwi. Cerita macam-macam deh….”

“Mungkin, menurut dia, tak begitu penting,” jawab Mama pendek. Lalu lanjutnya, “Mama sehat, Papa juga baik-baik. Tapi sudah empat hari ini belum pulang. Kau tahu sendirilah kelakuan Papamu. Rio menginap di rumah kawannya….”

“Jadi, Mama sendirian sekarang?”

“Kan ada Bik Sumi?”

“Ya. Tapi, Mama tetap sendirian!” kataku menegaskan. Dalam hati aku membenci Papa yang selalu meninggalkan Mama sendirian di rumah. Menelantarkan Mama di rumah. Sementara dia asyik berjudi sambil ditemani perempuan-perempuan anjing. Jangan-jangan papaku yang sesungguhnya anjing?

“Jangan mengkhawatirkan Mama, Tiwi. Mama baik-baik saja kok.…” Mama membuyarkan lamunanku.

“Kalau begitu, besok pagi Tiwi pulang. Tiwi mau tidur dengan Mama, menemani Mama.…”

“Tak usah Tiwi. Jangan tinggalkan rumah selagi suamimu tidak ada. Apalagi kau belum izin dengan Zen, tidak baik.”

“Aku akan menelepon Zen, minta izinnya. Sekarang. Besok pagi aku ke rumah.…”

Setelah kumatikan hubungan telepon ke Mama, segera kutelepon Zen. Berkali-kali kuhubungi nomor tempat Zen menginap tak diangkat-angkat. Aku berpikir, mungkinkah Zen tidur lagi setelah meneleponku karena hari libur? Atau, pikiran lainku menyergap, jangan-jangan ia sedang keluar bersama perempuan bule? Aku cemas. Membuatku sulit sekali memejamkan mataku.

Pada pukul 02.01 kembali kutelepon. Seorang lelaki, tentulah teman Zen di tempat kosnya itu, yang menyambut. Ia katakan kalau Zen sedang keluar. “Katanya mau cari buku,” jelasnya. Lalu aku menitip pesan: jika Zen pulang segera telepon aku.

Sudah lama aku tidak mengunjungi Mama. Kini kurasakan tubuh Mama makin menyusut. Pandangannya tidak seperti dulu lagi, bercahaya. Tersadar bahwa aku sudah lama meninggalkan Mama. Tepatnya sejak aku menikah, Zen memboyongku ke lain kota. Sejak aku jarang menjenguk Mama, selain meneleponnya untuk tahu kabar keluargaku.

Aku akan menetap di rumah Mama untuk beberapa hari. Mungkin juga sepekan atau lebih. Zen sudah mengizinkan. “Itu bagus, Demi. Daripada kau kesepian di rumah, lebih baik temani Mama. Kasihan Mama juga sendirian…,” kata Zen.

Dan, memang Mama selalu sendirian. Papa tak pernah pulang. Kalaupun pulang hanya mengganti pakaian atau seperti menumpang tidur, lalu pergi lagi untuk beberapa hari kemudian. Tanpa percakapan. Tiada lagi sapa dan menyapa antara Mama dan Papa. Keduanya pun tampak tak bersitatap. Bila Papa mau makan segera ia ke meja makan, dan Bik Sumi sudah menyiapkan hidangan.

Aku tahu Mama amat kecewa pada Papa. Mama telah dikhianati. Diam-diam Papa main perempuan saat di luar rumah. Bahkan, ini menurut Mama, Papa sudah menikah. Selain itu, Papa penjudi berat. Hampir ludes harta di rumahku dibawa Papa ke meja judi. Padahal, kekayaan itu ditabung Mama bertahun-tahun dari hasil kerja Papa. Untunglah perusahaan Papa tidak ambruk. Untung pula Mama segera mengambil alih kemudi perusahaan tersebut, kemudian dijalani oleh Om Firman-adik bungsu Mama hingga kini. Om Firman S2 ekonomi lulusan Amerika. Kalau tidak, entah apa jadinya dengan nasib perusahaan Papa. Kini Papa tak lagi diperkenankan menjalani roda perusahaan. Hanya mendapat bagi keuntungan setiap tahunnya.

Papa juga tak punya hak atas saham perusahaan tersebut. Kata Mama, sejak ketahuan Papa beristri lagi, Mama langsung menggugat. Tidak tanggung-tanggung, Mama menggugat cerai dan sekaligus menyoal gono-gini. Papa keberatan digugat cerai. Lalu Mama kasih solusi. “Baik kalau kau tak mau menceraikan aku. Cuma aku minta syarat, serahkan saham dan perusahaan itu padaku.”

“Untuk apa? Apakah kau sudah tak percaya lagi dengan kemampuanku menjalani perusahaan?”

“Dulu aku percaya,” jawab Mama ketus. “Kalau kau masih pegang perusahaan, bisa-bisa kekayaan kita kauhabisi di meja judi dan untuk perempuanmu itu. Aku akan menggaji Firman untuk memajukan kembali perusahaan itu. Sementara soal saham, itu ganti dari pengkhianatanmu padaku.”

Papa tak berkutik. Akhirnya Papa keluar dari perusahaan miliknya itu. Meski begitu, Mama tetap menaruh kasihan pada Papa. Mama selalu membuka pintu bagi Papa untuk pulang. Menyilakan Bik Sumi menghidangkan makanan buat Papa. Membelikan pakaian beberapa bulan sekali untuk Papa. Mama juga menyediakan satu kamar tidur buat Papa jika pulang. Dan seterusnya dan seterusnya. Kecuali satu: Mama tak lagi memberikan cintanya. Mama juga tak hendak dicumbui….

Mama senang sekali ditemani aku. Waktu-waktu senggang, kami isi dengan berdialog. Bahkan jelang tidur (kebetulan aku meminta tidur bersama Mama di kamarnya), kami masih mengobrol. Sampai mata kami mengatup sendiri. Begitu pula di meja makan saat sarapan pagi, kami pun mengobrol. Intensitas percakapan kami melebihi ketika aku belum berkeluarga. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan keakraban yang berlebihan justru ketika kami sudah sering tak berjumpa. Mungkin benar, kata orang, sebuah pertemuan akan menjadi indah dan bermakna apabila intensitas pertemuan sebelumnya amat kurang. Kini kurasakan itu. Baik aku atau Mama seperti tak ingin melewatkan waktu tanpa berdua-dua dan berdialog. Suasana itu juga dibarengi dengan tertawa atau tersenyum.

Akhirnya aku lupa pada Mas Zen. Lupa kalau sesungguhnya aku sedang kehilangan suasana bulan maduku. Bila di rumah aku selalu menunggu Zen menelepon, namun bersama Mama aku tak begitu lagi berharap-harap. Mungkinkah aku sudah kehilangan rindu? Adakah Zen juga sudah kehabisan kangen, disebabkan kesibukannya? Ah! Aku tak yakin lantaran kesibukan, ia bisa abai meneleponku. Jangan-jangan sudah ada perempuan lain yang merebut kerinduannya padaku? Jangan-jangan karena aku mendapatkan kebahagiaan dan keriangan bersama Mama, membuatku tak berharap lagi perhatian Zen?

Teringat ucapan Zen bahwa saling percaya dan jujur akan menjaga cinta, belakangan ini sudah tidak begitu kuyakini. Mama adalah contoh paling dekat bagiku. Betapa tingginya kepercayaan Mama, betapa jujur dan setianya Mama pada Papa. Tetapi, sekali lagi tetapi, Mama terlempar ke tepi paling sepi oleh ketidakjujuran Papa. Terbukti akhirnya Papa mencampakkan kepercayaan Mama dengan bermain perempuan lagi. “Papamu buktinya tidak jujur, diam-diam dia mengkhianati kesetiaan Mama…,” kata Mama yang tampak benci sekali.

Kata Mama lagi, “Semua lelaki sama. Bajingan! Pengkhianat. Tidak jujur. Merobek-robek kepercayaan yang diberikan perempuan!” Entah mengapa, Mama berulang mengutuk Papa di depanku. Mungkinkah di balik itu semua, ia ingin mengingatkan aku bahwa jangan terlalu percaya pada bahasa dan janji lelaki. Berkali-kali kubela Zen bahwa suamiku bukan tipe lelaki seperti Papa, tetapi berkali pula Mama membongkar kebejatan Papa. Supaya tak terjadi perdebatan yang berakibat retaknya kebahagiaan kami, aku tak lagi mengimbangi dialog Mama. Aku diam. Mendengarkan keluh kesah Mama.

Zen menelepon pada malam kedelapan aku menginap di rumah Mama. Aku santai saja mengambil gagang telepon ketika Mama memanggilku bahwa Zen ingin bicara padaku. Tidak seperti ketika aku di rumahku: mendengar dering telepon sekali saja aku segera menyambar dengan hati berbunga-bunga.

“Halo…”

“Kau sehat Demi?”

“Ya. Mas Zen sendiri, juga sehat kan? Bagaimana dengan pelajaranmu, tak ada masalah kan?”

“Aku sehat. Tentang studiku juga sampai hari ini aman- aman saja. Tak ada masalah,” jawab Zen. Entah mengapa aku mendengar suaranya tidak berapi-api seperti dulu, tidak hangat karena penuh oleh kerinduan. Kini dingin. Datar. Bahkan terdengar sumbang dan sember.

“Syukurlah. Kalau kau bahagia di sana, aku di sini tentu bahagia juga.”

“Ya.”

“Kau sudah makan?”

“Baru saja. Kebetulan ada teman yang mengajakku makan di luar. Aku ditraktirnya, karena dia berulang tahun,” ujar Zen kemudian. Ketika Zen menyebut “dia”, tiba-tiba kedengarannya terasa asing. Aku ingin sekali tahu siapa “dia” yang disebut Zen.

“Siapa temanmu, Mas? Lelakikah?”

“Oh, maaf Demi. Aku belum mengenalkan temanku yang mentraktir makan. Dia perempuan, asli dari Leiden. Namanya Juliana Derks. Satu kampus denganku di sini.”

“O ya? Aku yakin dia pasti cantik….”

“Ya sejujurnya, Juliana memang cantik,” jawab Zen pendek.

“Dia menyenangkan, bukan?”

“Ya. Orangnya ramah. Mungkin karena ia pernah tinggal beberapa lama di Indonesia. Aku akan kenalkan Juliana padamu, nanti kalau dia ke Indonesia.”

“Tak usah Mas. Terima kasih…,” jawabku. Aku seperti enggan melanjutkan dialog soal perempuan Leiden itu. Entah mengapa.

“Orangnya familiar, Demi. Kau pasti suka kalau sudah mengobrol dengannya.”

“Mudah-mudahan.…”

Setelah itu, Zen mengutarakan rencananya ingin berlibur ke beberapa kota: Berlin, Napoli, dan entah kota apa lagi di Eropa. Aku sudah malas mendengarnya. Zen juga mengatakan semua transportasi ditanggung Juliana.

“Ini kesempatan yang tak akan datang dua kali. Sayang kan Demi, kalau tak kuambil? Tanpa mengeluarkan uang berapa pun, kita bisa mengelilingi kota-kota besar di Eropa. Daripada di rumah saja waktu liburan bisa-bisa aku bosan, kan lebih baik kuisi dengan jalan-jalan?”

Aku sudah kehabisan kalimat lagi, karena selalu kata-kata “langka dan kesempatan yang tak akan datang dua kali” akan meluncur dari mulut Zen. Akhirnya aku hanya berpesan, “Hati-hati di jalan. Ingat orang Eropa berbeda dengan bangsa Timur.”

Zen tersenyum. Ia juga mengakui sejujurnya kalau sebenarnya Juliana Derks menyukainya. Tetapi, ia tak mungkin terjebak untuk jatuh cinta. “Cintaku hanya untuk satu nama: kau, Demi….”

Cuma aku tak lagi merasa tersanjung dengan pujian seperti itu. Aku bahkan ingin segera menyudahi percakapan ini. Dengan alasan mau tidur karena sudah larut dan aku juga sudah mengantuk, aku meminta Zen menutup gagang telepon.

Aku sangat kaget, nyaris tak sadarkan diri ketika teman kos Zen mengabarkan kalau suamiku mengalami kecelakaan di Jerman. Pesawat mereka tak bisa landas dengan baik karena pacuan bandara licin. Akhirnya pesawat itu menabrak pagar pembatas bandara dan terganjal di pemakaman. Sekitar 50 penumpang, termasuk Zen dan Juliana Derks, tewas di tempat kecelakaan.

Dibiayai oleh perusahaan tempat Zen bekerja, aku menjemput mayat Zen di Jerman. Lalu membawanya ke Amsterdam terlebih dulu untuk sekalian membawa barang-barang Zen, kemudian terbang ke Tanah Air. Di sepanjang jalan, baik sewaktu di rumah sakit di Jerman, ataupun saat di tempat kos Zen di Amsterdam, tak henti-hentinya aku menangis. Rasanya sudah habis persediaan air mataku.

Aku sungguh-sungguh sedih. Entah karena kematian Zen, nasibku yang kini harus menjadi janda tak beranak, atau karena kejujuran dan kepercayaanku pada Zen yang dikhianati. Sebab, seperti kata Ronald Rijkad, perempuan Leiden itu sering mengajak jalan Zen. Bahkan beberapa hari tidak pulang ke kos. “Juliana amat menyukai Zen,” kata Ronald, orang Belanda itu. Dan aku yakin, Zen pasti menyambut. Kalau tidak, bagaimana mungkin terjadi suara jika bertepuk sebelah tangan?

Aku kasihan pada Zen, sekaligus membencinya!

Hanya untuk satu nama: Demi.

Kalimat itu terukir rapi di atas foto Mas Zen berlatar belakang bunga tulip yang tengah mekar. Foto itu masih tetap terpajang di dinding rumahku. Di ruang tamu. Aku akan memandangnya, setiap aku merasa benar-benar rindu pada Zen. Aku belum ingin menurunkannya dari tembok itu untuk kusimpan di lemari atau gudang.

“Phuihh!”

Aku seperti hendak muntah setiap membaca baris-baris kalimat yang ditulis rapi dengan tangan Zen itu. Cuma sampai kini belum menghasutku untuk menurunkan atau membakarnya….*

 

Lampung, Februari 2005

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler