Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “LUKISAN BERGETAR” KARYA S PRASETYO UTOMO

Foto SIHALOHOLISTICK

Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga perempuan bawel itu, dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli rumah tua yang kini kutempati.

Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan di ruang tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya lekat-lekat lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain, duduk menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang tamu, barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan dalam lukisan itu.

Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan dalam lukisan itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang melahirkanku, ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia dimakamkan, tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan Ibu sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas.

Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah lukisan? Lukisan itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu kubeli. Sama sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang perempuan muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu yang dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan, yang lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian. Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan.

Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat pintu ruang tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan pintu, dan setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu seperti bergerak dari bingkainya.

Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan mata yang berkejap. Sepasang mata yang penuh harap.

Antarkan aku ke rumah Ibu!

Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah aku mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering. Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku  menelepon dan mencaci-maki. Aku tak peduli.

Maaf, aku tak bisa menemanimu.

Kalau begitu, beri aku alamat Ibu.

Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan cemas. Hari sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu. Tapi aku tak mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan ibunya—wanita yang telah melahirkannya.

Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini. Sekalipun Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu dengannya.

Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani mencari ibunya. Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang harus memperlihatkan pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya yang cengeng.

Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia. Sama sekali tak mau menolongku.

Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah melihat wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam. Mungkin lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali lelaki-lelaki terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak memberi tahu siapa ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan namanya pun tak disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal.

Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang diberikan orangtua angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu pemuda itu terpasang wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang terpendam. Kurasa aku sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan lukisannya. Sama sekali tak kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua dengannya.

Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia memilih tak mau tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka hatinya. Ia tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana mungkin seorang lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan anak, malah berhasrat memenjarakan diri?

Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak rumah Ibu. Kota kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir di tepi jalan raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung kain yang mudah koyak.

Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk pintunya, aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging merubung tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan sepotong kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat dengan suasana jorok macam ini.

Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup udara malam kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin kutebus kehinaanku sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua angkat. Getir rasa hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana layaknya seorang gadis yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu kandung. Bahkan mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua angkat yang bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki.

Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian mencari Ibu. Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku tak memiliki ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku tak berhak mencegahnya.

Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku di alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan memusuhiku.

Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku.

Larut malam begini?

Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan.

Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan kebenciannya padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut dalam mata itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak lagi menyembunyikan muka dariku.

Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur sapa. Dia melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di jalan. Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas. Kami melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh dari jantung kota, dan memasuki perkampungan.

Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah yang diduga pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki pelataran rumah tua dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh pintunya. Berderit terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya. Kelelawar terbang menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan jaring-jaringnya.

Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan. Rumah tua ini memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab udara, menyesakkan dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar. Barangkali di sinilah Ibu tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek. Sendiri. Tatapannya menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu aku akan menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain?

Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan meruntuhkan beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua angkatku tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku?

Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan.

Pulang?

Ya. Menginaplah di rumahku.

Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan yang bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam itu ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya. Aku tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya bergeletar. Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat, menyatu ke dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora, mengempas-empaskanku.

Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia sudah menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu kandungnya. Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan dalam lukisan itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali ini dadaku pun bergetar. Tak bisa kuredakan.

Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak kuasa menahan diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah kuputuskan untuk melacak perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku merasa keropos. Tak ingin kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan seluruh persendianku. Ingin kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini sungguh mendebarkan, serupa memasuki permainan masa kanak-kanak bersama teman-temanku—sebelum aku direnggut dari dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari perempuan titisan lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan kutemani mencari ibu kandungnya ke mana pun, sampai ketemu.

 

Pandana Merdeka, Agustus 2005

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler