Skip to Content

Cybersastra, Budaya Baru dalam Dunia Sastra

Foto indra
files/user/762/cybersastra-budaya-baru-dalam-dunia-sastra.jpg

Kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi informasi berbasis online dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai kepentingan. Pun dalam kepentingan produktivitas karya sastra.

Jika dahulu seseorang harus menunggu berbulan-bulan apakah karya cipta yang dibuatnya dimuat dalam sebuah media, majalah, koran dsb. Kini, hanya dengan satu “klik”, karya yang dibuat bisa langsung muncul dalam layar, dimuat di milis, website, blog, media sosial, dan situs-situs berita online.

Maka muncullah istilah cybersastra yang gencar mulai tahun 2000-an. Menandai adanya gejala baru dalam dunia karya dan kepenulisan Indonesia. Sebuah istilah yang merujuk pada pemanfaatan media online untuk mencipta-menyebarkan karya sastra seseorang.

“Cybersastra itu merupakan gejala alami. Sebaiknya dimanfaatkan demi kemajuan sastra itu sendiri. Karya-karya saya saja sudah banyak yang di-convert dalam bentuk e-book dan audio-book,” tutur Ahmad Tohari, sastrawan yang masyhur melalui trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya, Senin (3/12) pagi.

“Namun harus berhati-hati, karena bisa membawa simplifikasi dan pragmatisisasi sastra,” terangnya mewanti-wanti.

Kondisi yang memudahkan siapapun bisa mempublikasikan karyanya, lanjutnya, bisa menjadikan orang menggampangkan dunia sastra, dan beranggapan bahwa menciptakan sastra adalah pekerjaan yang mudah dan praktis.

Padahal, menciptakan karya sastra bukanlah pekerjaan asal-asalan. Seseorang yang menciptakan karya sastra haruslah memiliki tanggung jawab sosial di hadapan penikmat karya sastra. Jelas Kang Tohari, sapaan akrabnya.

Sastrawan yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra ASEAN pada tahun 1995 itu juga menjelaskan bahwa gelar “sastrawan” merupakan gelar sosial yang diberikan oleh masyarakat. “Seseorang disebut sastrawan itu berkaitan dengan mutu karyanya, di manapun karya itu dimunculkan,” ujarnya yang dihubungi via telepon.

Dengan begitu, seseorang yang mempublikasikan karya-karyanya melalui internet (cybersastra) bisa disebut sastrawan dengan catatan karya-karyanya merupakan karya yang qualified dan memuat nilai-nilai kehidupan serta kemanusiaan yang baik dan luhur bagi khalayak.

Merebaknya cybersastra ini tak hanya dimanfaatkan oleh penulis pemula, namun juga  oleh sastrawan dan budayawan bangsa ini, tengok saja Sudjiwo Tedjo, Goenawan Mohammad serta Prie GS yang aktif ngetwit di jejaring sosial twitter, twit mereka pun tak jarang merupakan bentuk kritik sosial dengan kalimat yang terstruktur dan menarik, serupa dengan gaya mereka menulis dalam bentuk tulisan panjang.

Tak kalah menarik jika kita menyimak akun twitter sastrawan seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor, dan bahkan sastrawan sekelas Gus Mus, tak terhitung jumlahnya twit-twit mereka yang diketik dalam bentuk puisi-puisi singkat yang disimak oleh ribuan follower mereka.

Cybersastra pun menjadi tali penghubung antara pencipta dan penikmat karya sastra, sekaligus menjadi media menyebarnya pesan-pesan moral yang termaktub dalam karya-karya mereka.


suaramerdeka.com, 03 Desember 2012 13:41 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler