Sastrawan berdarah Dayak Benuaq, Korrie Layun Rampan menghadiri Kongres Cerpen Indonesia di Pinamorongan, Kecamatan Tareran, Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, 18-22 November lalu.
Acara ini diikuti sejumlah cerpenis dari seluruh Indonesia, termasuk para pengurus Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) – wadah para cerpenis nasional dan telah mengadakan enam kali kongres cerpen yang dimulai dari Jogjakarta, Denpasar, Lampung, Jambi, Banjarmasin, dan Manado.
Korrie menuturkan, kongres di Pinamorongan diadakan pada satu SMK yang usianya baru lima tahun. Pembukaan dilakukan di atas tanah di bukit di antara bangunan sekolah. Tiga bangunan SMK digunakan untuk penyampaian materi dan diskusi yang diikuti dengan hangat oleh para peserta. Di samping para cerpenis, yang terbanyak hadir adalah para guru dari puluhan kabupaten/kota di seluruh Sulawesi Utara.
Tajuk yang diangkat adalah “Peran Penting Cerpen Indonesia dalam Industri Kreatif”. Korrie mengatakan, para peserta mengikuti dengan antusias paparan yang disampaikan pemakalah. Para guru yang hadir berjanji mengaplikasikan nilai-nilai edukatif yang terdapat di dalam cerpen-cerpen yang akan mereka ajarkan kepada para murid.
“Cerpen-cerpen yang berkembang hingga dewasa ini, sejak kelahiran cerpen Indonesia 1936 yang ditulis M Kasim dan Suman HS, sampai para cerpenis angkatan 2000 dalam sastra Indonesia, dipilih, diterbitkan, dan disebarkan ke seluruh sekolah di seluruh Indonesia,” ujar Korrie.
Pemenang dua kali Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998 ini menambahkan, hal itu hanya mungkin dilakukan sebagaimana dulu yang dikembangkan dalam proyek Inpres (Instruksi Presiden) pada orde baru.
Dia mengatakan, para cerpenis, para guru, mahasiswa, dan pelajar yang hadir dalam kongres bersetuju dengan para pemakalah bahwa cerpen sebagai karya sastra dapat memperhalus budi pekerti. Sehingga, mampu menjadi alat bantu meredakan tawuran, konflik antaretnis, menjauhkan anak bangsa dari narkoba, korupsi, anarkisme, dan berbagai hal yang bertentangan dengan Pancasila.
Pada kongres itu, kata Korrie, tersiar kiat-kiat mengembangkan cerpen di Indonesia. Cerpen, diharap mampu didayagunakan dalam industri kreatif, misal perfilman, mulai sinetron hingga layar lebar. “Jadi bagaimana cerpen bisa dijual dan bisa menghasilkan uang,” terang Korrie.
Ia mengeluhkan minat produsen film yang minim mengangkat karya sastra pada sebuah film. Meski ada beberapa di antaranya yang diadopsi ke layar lebar dan laku keras, seperti Laskar Pelangi. Dari kongres itu, hal serupa diharap berlaku pada karya-karya lain yang sukses dikonversi menjadi film. “Upaya-upaya itu sudah dimulai. Tapi banyak kendala, karena industri film dengan karya sastra itu berbeda,” tuturnya.
Hanya, upaya barusan tentu tidak mudah. Banyak produsen film yang memandang sebelah mata karya sastra untuk diadopsi menjadi film. Tengok sinetron dan film yang ramai di Tanah Air dekade terakhir yang condong pada percintaan remaja dan horor yang minim makna bagi masyarakat. “Yang dipikirkan hanya keuntungan,” keluhnya.
Padahal, lanjut dia, pada masa dahulu, banyak sastra yang diangkat ke layar kaca dan sukses besar. Salah satunya tayangan Siti Nurbaya. “Melihat sinetron kini, muak saya, makna bagi masyarakat tak ada,” kata dia.
TUAN RUMAH
Korrie menuturkan, kongres tahun ini sangat meriah. Solidaritas sosial masyarakat di sekitar tempat pelaksanaan sangat tinggi. Para utusan dari seluruh Indonesia ditempatkan di rumah warga setempat. Bahkan ada yang menyediakan sarapan maupun makan malam.
Untuk konsumsi para peserta kongres, masyarakat berswadaya menyediakan sendiri dengan koordinasi pihak panitia di lokasi acara. Dengan kegotongroyongan ini panitia dan peserta menjadi sangat akrab karena bersatu dalam kerja sama yang mencirikan bahwa cerita pendek yang dikongreskan itu menjadi materi yang penting dan perlu diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kongres itu pula, diputuskan Kaltim menjadi penyelenggara Kongres Cerpen Indonesia XII. Keputusan ini diambil setelah DKI Jakarta, Lampung, dan Jambi yang awalnya mencalonkan diri menjadi tuan rumah, melepaskan haknya dan menunjuk Kaltim. Selain itu, kongres itu secara aklamasi menunjuk dan menetapkan Korrie Layun Rampan sebagai Ketua Komunitas Cerpen Indonesia periode 2012-2015.
Menurut Korrie, para peserta dan panitia Kongres Cerpen Indonesia berharap dapat diundang pada Kongres Cerpen Indonesia di Kaltim tahun depan. Mereka ingin melihat Bumi Etam dari dekat dan kemajuan sastra Indonesia khususnya perkembangan cerita pendek di Kaltim. “Mereka ingin berkenalan langsung dengan sastrawan seperti Syafril Teha Noer, Herman A Salam, Hamdani, Sari Aziz, Zulhamdani AS, Hermiyana, Elizaputra Lawa, HabolHasan Asyari, Rama Dira, Waliyunu Heriman, Maya Wulan, Novieta Kristina, Ahim, Inni Indarpuri, Muth’i Masfu’ah, Shantined, Erni Morgan, Thresia Hossana Sumual, Hanafi Kutai, dan lain-lain,” sebutnya. “Apakah Kaltim baru hanya berjalan di tempat atau para sastrawannya sudah berjalan seiring dan sejajar dengan para sastrawan Indonesia?” sambung Korrie.
Menyongsong penyelenggaraan itu, dia coba bentuk panitia kongres di Kaltim, sekaligus menyusun acara jelang kongres. Beberapa wacana sudah terlintas pada benaknya. Di antaranya, penulisan cerpen di Kaltim, hingga sayembara menjaring cerpen terbaik yang nantinya didorong untuk dijadikan film.
Selain film, cerpen-cerpen tersebut juga bakal termodifikasi jadi pementasan bak drama musikal yang sebelumnya sempat ia lakukan ketika berdomisili di Jakarta. “Penghargaan yang didapat saat itu bagus sekali,” kenangnya. Sebelum rancangan-rancangan tersebut terlaksana, Korrie sudah ambil ancang-ancang dengan membangun Rumah Sastra Korrie Layun Rampan yang diperuntukkan bagi pelaku sastra di Kaltim.
Rumah sastra itu, telah berdiri Juli 2011. Kegiatan di sana biasanya berupa seminar hingga workshop. Bahkan, ia telah meneken MoU dengan Pemprov Kaltim, mengakomodasi aktivitas sastrawan di Kaltim. Harapannya, pelaku sastra di Kaltim bisa bangun dari tidur. Soal karya, Korrie tak meragukan kemampuan sastrawan Kaltim. Hanya, banyak karya-karya bagus yang tak diketahui publik lantaran tak diterbitkan. “Tanpa terbit, orang-orang tak akan tahu,” imbuhnya.
Komentar
Tulis komentar baru