Skip to Content

PUISI BUKAN LAGI SENI AGUNG

Foto SIHALOHOLISTICK

F. Rahardi

F. Rahardi, merupakan satu di antara penyair kontroversial Indonesia. Puisi-puisinya penuh dengan semangat mengejek. Ia kini wakil pemimpin redaksi Majalah Pertanian Trubus. Dilahirkan di Ambarawa 10 Juni 1950.

Rahardi pernah menjadi guru SD di Perkebunan Teh Medini di Lereng Gunung Ungaran, Jateng. Lantas menjadi Kepala Sekolah. Beberapa kali dimutasikan ke desa-desa di lingkungan kecamatan Limbangan Kabupaten Kendal. Beberapa kumpulan puisinya adalah Soempah WTS (1983), Catatan Harian Seorang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990) dan Tuyul (1991). Ia pernah dilarang baca sajak di TIM gara-gara mengikutsertakan para pelacur. Berikut ini cuplikan obrolan dengan penyair “mbeling” tersebut.

Puisi-puisi Anda banyak mengangkat tema-tema sosial dan nampaknya punya kecenderungan mengejek, bagaimana ini bisa terjadi?

Puisi-puisi saya selalu ditangkap orang dengan kesan main-main, padahal apa yang saya tulis didorong oleh obsesi yang panjang. Bagi saya menulis sajak bukanlah sebuah gagasan. Karena puisi bukanlah gagasan itu sendiri. Ia muncul setelah saya mengetahui permasalahan itu. Kalau saya menuliskan dengan gaya humor itu karena saya tak mau terjebak untuk memihak kepada sesuatu. Jadi proses pengendapan puisi saya kadang bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dari sebuah peristiwa yang pernah saya lalui, saya dengar, saya rasakan. Karena kalau saya menuliskan sesaat itu juga, yang muncul adalah emosi sebuah kemarahan yang tak murni. Nah kalau yang hadir ditangkap mengejek itu kan persepsi orang.

Kapan letupannya muncul?

Saya punya stok permasalahan. Jadi tinggal saya menciptakan sesuatu. Karena suasana itu penting.

Menurut Anda puisi itu makhluk macam apa?

Puisi itu soal yang bersifat keseharian, biasa kita kerjakan setiap hari, seperti kerja, makan, berak dll. Puisi itu bukan seni yang muluk-muluk, apalagi agung. Ia bisa saja main-main, ia bisa seperti apa saja.

Anda pernah dilarang baca puisi “Soempah WTS” lantaran membawa WTS beneran. Bagaimana ceritanya?

Ah, itu kebetulan saat itu Ketua DKJ-nya perempuan,. Toeti Herati. Coba kalau ketua DKJ TIM nya saat itu laki-laki kan tidak apa-apa. Lho, saya kan sedang membela WTS, jadi saya bawa sekalian WTS dari Kramat Tunggak, saya sewa untuk membawakan ikrar WTS “Soempah WTS”. Satu Kami bangsa tempe bersurga satu surga dunia. Dua Kami bangsa tahu bergincu batu berbantal pantat. Tiga Kami bangsa tokek bertarget satu menggaet Tuhan jadi langganan.

Nah, kan saya membela. Kan lucu kalau misalnya orang prihatin adanya becak digusur, tak mau naik becak malah naik mobil. Mbok coba naik becak lantas dikasih duit. Demikian juga Kalau membela WTS ya, coba datang ke sana sebulan sekali atau seminggu sekali, kasih duit (ia ucapkan ini dengan serius).

Puisi-puisi Anda nampak nakal. Apakah ini juga merupakan cerminan dari pribadi Anda?

Saya ini dilahirkan dari keluarga petani. Saya bukan priyayi. Jadi puisi saya adalah bahasa saya. Tradisi pemberontakan sebenarnya kan sudah ada seperti pada tembang-tembang Jawa, parikan. Dan puisi saya sebenarnya hanya mengikuti tradisi yang telah berlaku.

Bagaimana pandangan Anda tentang dunia perpuisian kita sekarang yang banyak diwarnai oleh puisi-puisi sufistik, dan puisi suasana?

Ini juga gejala aneh. Mereka kan dilahirkan dengan sebuah persoalan yang kompleks, persoalan pengangguran yang meningkat, depresi sosial akibat teknologi, lho kok tiba-tiba penyair-penyair baru itu muncul sebagai sufi. Saya tidak mengatakan bahwa sajak mereka jelek. Cuma yang saya gelisahkan justru gejala yang lahir tidak wajar. Saya bersimpati kepada Sutardji dan Abdul Hadi WM yang menjadi penjaga gawang majalah sastra terkemuka di Indonesia. Tapi proses mereka kan wajar. Lho, sekarang majalah Horison saja kan jelek jika dibandingkan dengan dulu, artinya artikel-artikel kebudayaan, kolom-kolom sastra pada media lain jauh lebih bagus. Tapi, sudahlah. Setiap orang kan punya fungsi.

Kalau dikaitkan dengan potensi remaja kita sekarang bagaimana?

Ya, itu jaman dulu dengan sekarang kan berbeda. Remaja sekarang belum pernah mengalami perang. Mereka dilahirkan di era jaman Demi Moore, musik rock, jadi kalau mereka bikin ulah kan sebenarnya sedang berkompensasi. Malah ada yang membela kawannya satu sekolah disebutnya sebagai bela negara. Nah, kita dekati dong dengan sudut pandang ini.

Kehidupan Anda begitu kaya warna. Pernah jadi guru lantas keluar. Jadi wartawan, lantas jadi penyair. Bagaimana ini?

Saya jadi guru karena tidak ada pekerjaan. Keluar ya, karena kepingin keluar. Ndak ada konflik yang runyam-runyam begitu. Saya mengalami apa pun dan menerima apa pun dengan batas kewajaran. Saya jadi wartawan karena tidak ada pekerjaan lain. Nah, jadi penyair yang seperti Anda sebut juga bukan hal-hal yang seram. Puisi saya boleh dipakai apa pun, disebut apa pun terserah. Saya tidak pernah mengalami konflik untuk menjadi apapun.

Ketika Anda menjadi guru adakah hal yang paling berkesan?

Saat pulang sekolah. Ketika itu karena saya mengajar di lereng gunung. Waktu anak-anak berhamburan keluar dari pintu tiba-tiba kabut tebal muncul secara mendadak. Kemudian saya menyuruh anak-anak masuk ke kelas. Karena di dalam kelas gelap, maka saya membuat api unggun di sana. Rasanya sungguh dahsyat api unggun di dalam kelas itu.

Pada sebagian sajak-sajak Anda ada kegelisahan spiritual yang muncul di sana. Dan bagaimana proses sajak Anda “In Memoriam Tuhan?

Saya orang yang selalu mempertanyakan sesuatu. (Nurhidayat)

Sumber : Suara Merdeka Jumat, 27 Desember 1991

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler