Skip to Content

PUISI-PUISI RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI

Foto SIHALOHOLISTICK

PUJA-PUJI UNTUK PETRUK

 

Terpujilah namamu, Truk! Sekarang zaman keemasanmu

Kawula Republikku memuliakan kau, di tahta agungmu

Rezim Puntadewa-Bima-Arjuna-ku sudah lama bangkrut

Bharatayudha paripurna. Para seniormu gulung tikar

Gatotkaca-ku tewas. Padahal Parikesit-ku kurang siap

Langgenglah di tahta agungmu. Memerintah Republik!

Rakyatku sengsara butuh humormu. Pelipur frustrasi

 

Kaum wanitaku memujamu, Truk! Kau jangkung, anggun

Publikmu suka kau periang. Dukacita rakyatku hilang

Dalam nestapa seberat apa pun, Republikku tersenyum

Hidup pun jadi ringan. Tidak lagi serius dan ilmiah

Apalagi stafmu dari atas ke bawah seluruhnya pelawak

Hidup rakyatku bagai ringan-damai-nyaman karena tawa

Dungu-rakusmu bukanlah cacat-noda bagi politik humor

 

Dimuliakanlah dirimu, Truk! Ideologimu pun bersahaja

Dua tanganmu mengomando ke atas, dua telunjukmu searah

Jikalau tangan kirimu lepas, terkulai mengurus bawah

Telunjuk kirimu menuding belakang. Jari kanan ke depan

“Rujak sentul!” keluhan orang. Itulah politik lawakan

“Ke selatan!” perintah atasan. Kawulaku pun ke selatan

“Ke utara!” tafsir bawahan. Rakyatku pun wajiblah paham

 

Salam, Truk! Di zamanmu, Republikku bagaikan makmur

Seluruh lelaki hamil, perut gendut, meniru sosokmu

Sirnalah duka-nestapaku, Indonesiamu berpesta humor-mu

Lapar dan miskinku terlipur. Tawa jadi obat mustajab

Republikku turun-temurun milikmu. Inilah dinasti lawak

Jakarta, 1986; Yogyakarta, 1988

 

GURUN PASIR PEMANCINGAN

Sang Penyair terkejut. “Aneh! Ini tanah Jawa

Di sini kok ada gurun pasir, bagaikan di Sahara

Betapa cocok untuk latihan, sebelum naik haji

Menjelang ke Saudi Arabia mampirlah Parangkusuma

Sayang, tanpa unta. Juga tidak punya kurma-kurma.”

Sang Yogawan tersenyum. “Wahai, penyair tersayang

Engkau kurang pergaulan. Anda kurang pengalaman

Gurun pasir di Pemancingan sudah sejak dahulu ada

Selama abad demi abad. Berapakah usiamu sekarang?

Oho, tigapuluh tahun. Padahal seharusnya sudah kenal

Dan berulang mengunjunginya belasan tahun silam.”

Sang Yogawan tertawa. Sang Penyair hanya nyengir

Andaikata seniman itu tidak diajaknya Lelana Brata

Mustahil pernah kenal: Gurun Sahara di Tanah Jawa

“Penyair! Betapa banyak orang serupa dengan dikau

Jutaan orang modern pada lingkungan pun emoh tahu

Sibuk dengan diri sendiri. Buta tuli sekeliling

Maka ketika melihat alam ajaib, dikau kaget. Aneh!

Tapi ngotot, enggan mengaku jadi kodok bawah batok.”

 

Sang Yogawan berdiri tegak. “Lihat ayat-ayat Allah!

Di sini, segalanya nampak elok. Ajaib lagi dahsyat

Tuhan adalah Maha Seniman, Sang Pelukis Yang Akbar

Inilah gurun! Bentangan karya-Nya agung bikin kagum

Inilah gurun! Hamparan ilmu-Nya luhur seluruh penjuru.”

Sang Penyair hanya menunduk. Muncul keinsyafan merasuk

“Aku terlambat tahu,” bisiknya. “Di luar ada gurun elok

Terlalu dini aku terpukau, dalam diriku ada gurun luas

Lebih kering dan tandus, bagaikan Kalahari yang ganas

Kini aku tahu, bentangan alam luar, Sang Makro Kosmos

Selalu punya pasangannya di dalam, Sang Mikro Kosmos.”

Penyair pun berjalan bersama Yogawan, gandengan tangan

Menyesal, demikian lamanya Sastra dan Yoga dulu pisah

Kecewa, seni-sastra-budaya membuatnya terpencil dahulu

Terlambat tahu, Yoga adalah induk semua seni atau ilmu

Glinggang, 1986; Grogol, 1988

 

PANEMBRAMA FORUM

Alhamdulillah! Akhirnya, kita jumpa juga, di forum

Allah berkenan mengatur. Padahal, kendala berjibun

Kesempitan waktu. Kesibukan mengepung seluruh sudut

Terasa, forum kita ini mahal, langka, sekaligus lux

Maka untukmu selamat datangku adalah segunung syukur

 

Alhamdulillah! Kita tidak malu, minder atau kasip usia

Buat selalu belajar. Kita emoh macet atau berpuas-puas

Dengan kualitas rendah manusia, minder, ataupun congkak

Forum ini siap mendidik kita, dengan belajar dan kerja

Menyelami manusia. Membaca alam-semesta, kita terbuka

 

Alhamdulillah! Datang kita membawa ragam niat dan hajat

Atau ilusi dan fantasi. Tetapi forum ini 100% realistik

Ada 1.001 faedah dan hikmah asalkan kita cerdik memetik

Tetapi ada 1.001 kesia-siaan dan kecewa jika manja diri

Letih dan kantuk, lapar dan dahaga, bakal jadi batu-uji

 

Alhamdulillah! Kita adalah anak-cucu manusia purbakala

Tiap berjumpa tergoda banyak bicara, pamer ego dahsyat

Padahal hikmah-faedah forum ini adalah kerja, perbuatan

Ngomong sebatas perlu, siang-malam menggarap pelajaran

Maksimalkan manfaat waktu, melupa lelah atau kesantaian

 

Alhamdulillah! Kita tahu, ilmu sejati bukan omong besar

Bukan teori muluk, maqalah ngayawara. Melainkan praktek

Menguji segala kebenaran melalui bukti, kerja, proses

Tuhanlah sang Guru Sejati. Alam-semestalah Kitab-Nya

Manusia lain, guru dan murid, hanya partner belajar

Klaten, 1988; Perwathin, 1989

 

LAUT KIDUL

Oommm! Sang Yogawan berkelana di pesisir laut kidul

Melintasi pasir dan dusun, karang dan bukit tandus

“Kemiskinan masih bersimaharajalela, di mana-mana

Bagai tiada tertaklukkan manusia,” katanya berduka

Dia tersenyum kepada rakyat yang bekerja amat keras

Menegurkan salam dan percakapan dengan hati terhangat

“Di mana-mana, orang bekerja dengan tabah, amat setia

Tetapi hasilnya, tiada sebanding cucuran keringatnya.”

Tetapi anak-anak muda santai-santai pun tambah banyak

Tetapi gerombolan orang di gardu dan kedai pun melimpah

Tetapi orang keisengan di simpang-jalan pun merajalela

Mereka menanti. Cewek. Kerja. Rezeki. Info. Nomor buntut

“Republik ini inflasi penduduk. Harga manusia kian turun

Duh, Gusti! Negara tidak punya lapangan kerja yang cukup

Potensi manusia berceceran mubadzir sepanjang laut kidul.”

Pada tiap lokawisata meledaklah hura-hura manusia kaya

Kebinalan anak muda. Cinta. Pesta. Sex. Harta. Uang

Orang haus hiburan. Belanja kesenangan mabuk kepuasan

Cowok-cewek lapar-dahaga kasih-sayang dan gila-gilaan

“Di Indonesiaku, cinta-asmara sudah lama jadi obralan

Sexualita berceceran, murah dan mudah di lokasi mewah

Nilai wanita naik-turun, dalam siklus zaman komputer

Sekolah mengkampanyekan emansipasi, karier dan mandiri

Tetapi lokawisata mendidik wanita jadilah sang parasit

Pemuas sesaat. Insah lemah suka dirayu. Mabuk dikibuli

Seminar-diskusi-simposium mengobral omong serba canggih

Tapi tenggelam di laut kidul, dalam gemuruh nafsu mesum

Wanita atas-bawah obral harga, demi asmara dan fasilitas

Duh, Gusti! Negeri ini penuh dilema, panen Simalakama

Fakta buruk disulap opini pembesar jadi pidato kemilau

Hidup gombal dibius khotbah agama dan seminar ilmiah

Laut kidul bicara banyak, parade kontroversia lengkap.”

Sang Yogawan terus berkelana. Melibat. Mencatat setia

Gemuruh dadanya oleh duka, sesal, kecewa penemuannya

Negerinya tidak seindah maqalah dan fiksi ilmiah kata

Di kota orang terus bicara di TVRI, RRI dan media-pers

Di desa nasib buruk tidak berubah, kian modern kian parah

Goa Langse, 1988

 

BUKIT-BUKIT PASIR

Sang Yogawan pun mengembara, pagi-sore dan siang-malam

Di gurun pasir, dia asyik menyimak misteri kehidupan

“Tandus lagi kering. Panas dan lestari langka air

Di sini, Tuhan telah membangun Kerajaan Sunyi purbawi

Manusia harus bertahan, sekadar menjadi si minimalis

Akhirnya tahu, lapar-dahaga-lelah merutin sehari-hari

Tidak perlu minder dan malu, jadi miskin seperti darwis

Sukacita dan rasa-syukur kepada Allah menegas pada bumi

Kata dan kerja, laku dan gerak: Alhamdulillah! Kodrati

Setiap lekuk hidup: memuji Allah!” katanya amat takjub

Dia mencari ujung-pangkal hidup, pada seluruh penjuru

Kehidupan bukanlah monopoli oase yang menghijau subur

Dataran pasir pun hidup, bukan hamparan Kraton Maut

“Inilah bentangan Ilmu Tuhan, ayat yang nyata dahsyat

Diriku alangkah lemah. Aku ini kalah!” katanya sendat

 

“Uang dan harta-kekayaan, apakah artinya di tempat ini?

Gurun pasir ini pun kekayaan Tuhan, tiada ternilai duwit

Manusia betapa ringkih dan kerdil!” bisiknya dalam pedih

Dia berteriak sewaktu berdiri, mengguncang semesta sunyi

Menyapa angin. Menegur langit. Menyalami jagad misteri

“Di sini, kulihat jenis benda lain sama sekali. Pasir!

Selama ini, murid sekolah mengenal tiga benda fisika

Padat. Cair. Gas. Tapi pasir ini? Benda marginal, aneh

Bentuknya memang padat tulen, tapi sifatnya selabil air

Mudah bergerak. Gampang goyah. Destruktif oleh garamnya

Betapa benar Allah, melarang manusia membangun atas pasir

Bahaya oleh sifat labil,” katanya heran dalam kontemplasi

Sang Yogawan pun berjalan terus. Mengembarai semua penjuru

Dalam konsentrasi, ada penghayatan observasi dan syukur

Dalam kontemplasi, terbaca semesta ilmu-pengetahuan luhur

Dalam meditasi, ada mikro-kosmos dan makro-kosmos melebur

Dalam extasi, ada keajaiban transendental kebahagiaan agung

Parangkusuma, 1980-1989

 

SOLIDARITAS “BRIGADE PENGEMIS”

Selamat datang di kota, ini kraton abadi bagimu. Kota tiada menanyaimu, “Anda dari mana? Hendak ke mana?” Klise hanya ada di desa-dusun jagad asal-usul tradisimu tempat setiap pribadi menyatu, mau kenal lagi mau serba tahu. Semboyanmu di kota haruslah, “Gua, gua! Lu, lu!” Buanglah mantra-japu-japa dan pusaka ampuh dusunmu, sebab kota cuma mengenal satu azimat dan pusaka tunggal paling sakti: duwit! Pakailah uang, kau pun sakti-mandraguna, jadi pendekar modern.

 

Selamat datang dalam brigade. Silakan masuk jadi Prajurit Tuna. Kau bebas pilih peleton. Tuna sosial. Tuna karya. Tuna wisma. Tuna susila. Dan beragam tuna lainnya. Dalam brigade ini, gelar mulia bagimu adalah Ge-Peng. Dinasti gelandangan, hidup meminta-minta mau enak-mudah-murah-gembira. Laskar Gepeng selalu memberi kesibukan dan lapangan kerja pada orang seragam itu. Hansip-Tibum-Satpam, untuk memburu-burumu, membakar rumah kardusmu. Pekerja-sosial, untuk menyantunimu ala kadar, atau membisniskanmu dalam seminar-lokakarya-simposium. Polisi, untuk mencidukmu jika muncul kriminalitas dan kasus kamtibnas. Ulama, untuk mengancamkan neraka dan mengiklankan surga dalam fatwa atau khotbah, biarpun surga-neraka belum pernah dihuninya.

 

Selamat datang di lahan kumuh. Inilah afkiran kota, sampah ketidakpedulian manusia. Siap-siaplah buat diserbu lapar-derita-dahaga. Mantra buat para pemula? Hafalkan saja, “Paring-paring, Den. Nyuwun kawelasan!” Praktekkan siang-malam, tiap ada kesempatan. Gantilah kalimatnya, sesuaikan dengan sikon maupun kebutuhan.

 

Jangan minder atau gentar. Jangan resah atau menyesal. Gelandangan dan pengemis ialah profesi halal. Di Indonesia ini, dinasti Gepeng anggotanya jutaan orang. Kraton kita bertebaran di mana-mana, di 27 provinsi. Tepi kali-kali. Rel-rel kereta api. Makam sepi. Trotoar. Lorong kumuh. Sikap mentalmu: tiap saat bergerak, lari atau pindah. Prinsipmu: emoh kerja-keras, suka hidup serba enak-bebas-murah-gembira-mudah saja.

 

Selamat datang di kota. Hayati filsafatmu, yaitu metamorfose. Ou, apa itu? Tidak apa-apa kau belum tahu. Itu bahasa asing. Arti metamorfose, berubah sosok bentuk secara bertahap dan bertingkat. Pralambang sucimu ulat-kepompong-kupu. Gepeng kelas ulat ialah kau yang kumuh dan menjijikkan. Kratonnya: makam, trotoar, kolong jembatan, taman kota, istana-kardus. Masyarakat menamakannya penyakit-sosial, benalu-masyarakat, sampah-kota. Gepeng kelas kepompong ialah priyayi-priyayi, bajunya beda, martabatnya lain, nafkahnya spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, spesial tapi mentalitasnya sama seperti kau jua: minta-minta, emoh kerja-keras, suka hidup mudah-enak-bebas-santai. Bisa saja priyayi itu Hansip, Tibum, Satpam, Makelar, Sopir, Kondektur. Wiraswasta atau Korpri. Juragan kecil dan juragan besar. Atau penganggur tersamar. Tiap ada transaksi selalu ngemis komisi. Tiap membeli-beli, selalu ngemis korting. Tiap ada rundingan khusus, selalu ngemis bonus, ngemis rezeki extra: uang tutup mulut, uang-dengar, uang-tunggu, uang-solidaritas dan lain-lain. Makan gaji tanpa kerja. Pokoknya mau serba enak-mudah.

 

Selamat datang di kota. Silakan pilih, kau ulat, atau kepompong. Bebas masuk kasta. Tapi mentalitasnya sama. Bau dan martabatnya lain, tapi kualitas orangnya sami-mawon. Gepeng tulen: sekali ngemis tetap ngemis!

 

Di puncak metamorfose, kau boleh jadi kupu. Apa fasilitas kebesaranmu? Jas lux. Sepatu import. Mobil mewah. Dasi mahal. Tas bergengsi. Kursi tinggi. Kantor megah. Telepon. Gaji besar. Rumah semewah istana. Sirkulasi duwit: nol lima-tujuh-sepuluh-duabelas. Operasi kerja? Sekali ngemis tetap ngemis! Itu mentalitas dan prinsip abadi. Ngemis proyek. Ngemis gengsi. Ngemis fasilitas. Ngemis subsidi. Ngemis monopoli. Ngemis dispensasi. Ngemis pidato. Ngemis seminar-penataran-simposium-lokakarya-pesta. Pokoknya ngemis!

 

Jangan kaget! Suatu kali sang kupu bisa sajalah makan ulat, atau membisniskan kepompong. Ada metode dan peluang. Proyek. Izin-usaha. Proposal. Penelitian. Yayasan. Sirkuler. Dispensasi. Seminar. Seluruhnya absah dan legal. Ada lembaga. Ada personalia. Ada stempel. Ada kantor. Ada telepon. Ada logo, kop-surat. Ada daftar nama penuh wibawa. Kelihatan mulia!

 

Kupu dan kepompong. Kepompong dari ulat. Namun ulat-kepompong-kupu sering tidak kenal, emoh mau tau. Lain hidup. Lain orde. Lain nasib. Tetapi mentalitas sama. Prinsipnya sama. Pokoknya ya ngemisss.

 

Selamat datang Ge-Peng! Kau manusia utuh punya hak-hak azasi. Republik ini menjamin solidaritas bagi Ge-Peng, nasibmu diatur UUD-1945. Demi hak azasi, kau bebas memilih. Ulat? Kepompong? Kupu? “Pengemis” itu profesi setua sejarah. “Pengemis” itu mentalitas purba, setua peradaban manusia. Pengemis itu fitrah, tiap manusia punya kadar ke-gepeng-annya tersendiri dalam ragam gaya dan citra, halus dan kasar sama saja. Pengemis itu ada kastanya, mustahil dibasmi. Hanya ge-peng kasta rendah diuber-uber, tapi pengemis tinggi nyaman di kursi. Jadi pengemis itu enak! Apalagi punya dalil demi agama-bangsa-negara. Selamat!

Jakarta, 1986

Surabaya, 1987

Semarang, 1988

 

PANORAMA SATU ASYURA PARANGKUSUMA

Laut menghempaskan gelombang raksasa. Pantai menghamparkan samudera manusia. “Orang begitu banyak! Siapakah mereka?” tanyamu lugas, orang kota besar terpingit alam modern. Kau pangling melihat bangsamu, di balik blangkon-surjan-dupa-kemenyan.

 

Pria gendut itu, kau lihat? Dia usahawan besar kotamu, hartanya tiada habis tujuh keturunan, meskipun anak-cucunya menolak Keluarga Berencana. Ayo tengok! Di laut kidul pria tambun itu menyembah Nyai Rara Kidul, mengupetikan segunung syirik dan selangit tahayul. Padahal dia sarjana lho.

 

 “Dan itu siapa?” tanyamu terbelalak. Ah, kau lupa jua? Dia sering muncul di radio, suratkabar, televisi. Pidatonya dipuji khalayak-ramai. Betul, maqalahnya lahir dalam seminar-simposium-diskusi. Wawancaranya jadi rebutan reporter. Lihatlah dia! Dia mencium bumi, menabur bunga, membakar setanggi, menyembah Watu Gilang, memohon rizki pada Ruh Panembahan Senapati. Dia minder dan lemah pribadi. Maka menambal diri pakai klenik, dukun dan keris.

 

Laut gemuruh. Lautan manusia dibisingkan mobil dan sepeda-motor, bergolak dalam nafsu. Pesisir jadi pasar-malam. Orang-orang berjualan. Jual makanan-minuman. Jual asmara atau syahwat eceran. Lalu di manakah Tuhan? Sssttt, Allah digusur Nyai Ratu Kidul, di balik asap kemenyan. Engkau heran?

 

Panorama ini abadi tiap Jumat Kaliwon dan satu Asyura. Kau begitu modern, namun lupa Kejawen. Begitu mudah kau apriori atau antipati. Kan rugi? Padahal segalanya ini adalah akar-budayamu sendiri.

 

 “Dalam duapuluh-dua usiaku, baru sekali ini kulihat lautan klenik!” keluhmu menyesali. Ah, di kampus kau terhanyut buku atau ilmu muluk. Di rumah kau terpenjara kemewahan membius. Di rumah Allah kau terpingit khotbah dan Kitab-Sucimu. Padahal di sini, buktikan sendiri, Kitab-Suci tidak laku, bahkan Tuhanmu pun tergusur oleh syirik purbakala: laut-kidul, watu-gilang, makam-kramat, benda- gaib, mantera, dupa, dukun dan mistik. Ayo, panggillah khotib, datangkan mubaligh, ujilah apa mereka berdaya di tengah ribuan manusia di pesona klenik? Malahan setiap bulan Maulud, khotbah Masjid Agung Kraton Yogya tenggelam, diterkam “Pasar Malam Sekaten” saat agama ditelan raungan bisnis.

 

 “Apakah yang mereka ingini, di sini? tanyamu bloon. Mestinya, kau ajak Biro Pusat Statistik agar meneliti dan menghasilkan data akurat. BPS boleh membuat klasifikasi dari motif mereka datang dari puluhan kota seluruh Jawa. Minta harta. Minta jodoh. Minta pangkat. Mohon pekerjaan. Minta kebahagiaan. Mohon nomor-buntutan. Minta anak-keturunan. Dan masih 1.001 keinginan. Sebaiknya kau jadi wartawan, mewawancarai mereka itu per seorang, jika perlu dipotret, dan direkam.

 

 “Mereka tidak beragama? Tidak ber-Tuhan?” gumammu bengong. Sudah tentu, di KTP mereka itu Islam, Kristen, Katholik, atau Kebatinan, atau yang lain. Mulut mereka fasih menyeru-nyeru: Gusti Allah, Tuhan, Pangeran, dalam 1.001 nama Maha Elok. Tapi mereka juga doyan syirik. Panembahan Senapati, Rara Kidul. Maulana Maghribi. Siluman. Dhukun. Mereka taat pada Pancasila dan UUD 1945. Mau apa?

 

 “Duh, apakah yang layak kuperbuat?” gerutumu di puncak gelisah. Ah, kau tidak usah berbuat apa pun, selain mengurus dirimu sendiri akurat. Coba, bersabar melihat. Saksama mendengar. Arif menyimak. Bijaksana merenung. Kau lihat kau muda sebayamu berduyun-duyun, berduaan atau berkelompok itu? Mereka bercinta, mungkin berzinah, iseng atau mencari pelipur. Kau lihat ibu-ibu duduk, antri buat menyembah batu? Dari ibu-ibu pemuja kemenyan takhayul, jangan harap lahir generasi baru yang amat ilmiah-religius-nasional bermutu. Kau lihat bapak dan lelaki tua menyembah laut? Dari ayah pembudak syirik, jangan mimpi lahir generasi penerus, yang tangguh dan serius. Kemelut kera (kenakalan remaja) itu lahir dari kentut (kenakalan orang-tuaan) maka jadilah dekadensi turun-temurun. Guru sekolah mengeluh: mutu anak-muda menurun! Jangan murka atau kikuk. Karena ibu produser dan bapak sponsor, kelahiran anak-muda itu, mutunya pun rapuh betul!

 

 “Jadi aku cuma pasif? Apatis? Skeptik?” protesmu. Jangan gitu! Pasif itu salah. Apatis keliru. Skeptik pun ngawur. Kau perlu paham realitas, asal-usul, dan tradisi bangsamu. Parangkusuma ini tidaklah sendirian. Pusat takhayul-klenik-syirik, di tanah Jawa pada satu Asyura ada ratusan, ribuan. Itulah Jawa. Itulah Kejawen. Itulah Indonesia. Pada tiap loncatan paling modern ke depan niscaya muncul ekor: takhayul-klenik-mistik. Pada teknologi canggih, begitu di-Jawa-kan, selalu jadilah mistik. Indonesia punya 1.000 doktor, tetap butuh 1.000.000 dukun. Insyafi bangsamu. Sadari akarmu! Agama Tauhidmu bagaimana? Pelajari lagi Wali Sanga!

Parangtritis, 1988  

 

 

BUKIT-BUKIT TEH PUNCAK

Spontan engkau teringat kawan wartawan di koran

Reportase bersambung, foto-foto, dan gosip pers

Atau bumi di sini telah dibangun opini zaman

Menjadi arca dan berhala, semesum aroma sex

Engkau tiada singgah. Waktumu kelewat sempit

Hanya mata menjelajah. Menaklukkan bukit-bukit

Tiada terbebas engkau dari gunjingan orang-orang

Artikel emosional, fiksi romantik, selalu tegang

Namun ingatanmu menguber-uber jejak Bung Karno

Melacak Pak Marhaen, fosil perjuangan 1927-1930

Terkenang sang perwira veteran dari kota Bogor

Miskin dan minder, perjuangannya panjang-lebar

Di sini, banyak erosi dan bukit longsor-longsor

Di manakah fosil Indonesia Menggugat tersohor?

Masa-silam, masa-kini, masa-depan, campur-baur

 

Kosong! Pepohonan amat jarang, tanpa ada dusun

Gugus-gugusan teh tidak lagi berpelindung rimbun

Tanpa suara nyanyi. Tiada mojang cantiknya lagi

Bumi Priangan berbeda dengan foto, liputan koran

Di manakah penyair yang jadi sang sinder perkebunan

Yang mengganti puisi denga lagu merdu pohonan teh

Yang kaya-raya bukan oleh sastra, melainkan cengkih

Kabut dan dingin enggan menjawab. Hanyalah senyap

Harapan dan mimpi melayang jauh. Lindap dan luruh

Kenyataan dan hidup kini menegas. Keras dan ganas

 

Paling berkuasa memang uang. Tangan orang hartawan

Cinta sexualita jadi bisnis panjang. Benar, kan?

Engkau membaca. Mendengar. Melihat foto-foto gempar

Namun di sini kau dungu, hanya jadi saksi melongo

Keinginan tahumu diganyang realitas dan tubuh loyo

Pasundan, 1982; Jabotabek, 1986

 

GEREJA PETERONGAN

Hening! Suasana Eropawi dipersuci koleksi antik

Kau bukan jemaah Katholik. Hanya musafir asing

Melihat dan menghayati. Iman butuh pembanding

Kini pada taraf seni tinggilah nilai lestari

Saat membersihkan lumpur-debu di rongga hati

Kau membisu, menyimpan 1.001 tandatanya dada

Membayar uang kolekte tanpa nyanyi dan komuni

Menyimak kumandang khotbah, bacaan ayat-ayat

Aneh! Iman Islam tambah hidup, mutu dan kuat

Allah di mana? Ada di masjid, juga di gereja

 

Kepada siapa Allah memihak? Bukan pada jemaah

Tuhan hanya Sang Tunggal tanpa sekutu saingan

Dia tidak butuh menang-kalah. Emoh blok-blokan

Hanya manusia sendiri asyik membangun golongan

Lalu menangkap Allah dalam kerangkeng monopoli

Yakin di luar jamaah hanya ada neraka kesesatan

Engkau tersenyum menyaksikan ayat Allah dikunyah

Mengenyangkan hati. Tapi memperlapar akal-pikir

Allah disekap di surga berterali. Mewah. Indah

Misa pun berakhir. Keluar. Berbuat dosa lagi

 

Di pintu luar kau menunduk, memelihara jiwa sadar

Yakin para Nabi tidak pernah kelahi dan bertengkar

Beribu kitab-suci berasal dan Maha Sumber Tunggal

Allah memihak diri-Nya sendiri, bukan aku dan kami

Engkaulah yang harus memihak Dia. Yakin lagi setia

Tidak perlu berperang, berebutan kebenaran tunggal

Tidak butuh bertikai, berkubu agama rumah ibadah

Perang bukan doktrin agama, bukan firman Cinta

Di pintu kau menggigil. Monopoli Allah mustahil

Di luar, orang terus bertikai memakai Kitab Suci

Semarang, Oktober 1981

 

CEWEK PARANGTRITIS

“Mari, Mazzz! Silakan singgah. Mangga, lho, Mazzz!”

Cewek cantik berdiri kemayu di muka pintu kamarnya

Matanya nakal menawarkan cinta spontan kelas gombal

Busananya seronok, menjajakan sexualita pincuk-an

Badannya menggairahkan pesona, nikmat bergula dusta

Sang Yogawan tersenyum. Berdiri kaku sejurus tertegun

“Ini ada cewek lapar-haus butuhkan sesuatu!” pikirnya

Padahal dia memiliki segala-galanya lebih dari cukup

Tapi dia menolak mesum. Maka singgah sajalah sejurus

Traktir makan-minum. Memberi honor. Menolak ngamar

 

Rindu apa? Sang cewek rindukan nikmat serba sesaat

Butuh apa? Cewek itu perlu uang untuk hidup pantas

Nikmat sexualita? Bukan tujuan, sudah lama hambar

Sex dan obrolan hanyalah alat memperoleh nafkah

Sang Yogawan ketawa. “Kini kau telah kuberi uang

Minta apalagi, coba?” Sang cewek pun tunduk risau

Merah pipinya menyemburatkan malu, fitrahnya dahulu

Sex atau kemesuman bukanlah nalurinya yang terkudus

Sex bukanlah terpenting. Cewek itu butuh sesuatu lain

Dia punya malu. Punya sesal. Rindu alamiah tanpa nakal

Sang Yogawan mengerti, tiap pribadi punya bakat baik

Manusia terlahir dengan fitrah dan nurani yang suci

Hanya hidup, proses dan lingkungan memberinya kotor

Hidup memberat. Nasib menonjok-nonjok. Nafkah nihil

Kebutuhan melangit. Zaman penuh beban, nafsu seronok

Namun sesekali muncul saat terbaik, enak, serba cocok

Naluri kebaikan muncul. Datang fitrah dan budi luhur

Ada kesadaran manusiawi memancarkan cinta-kasih tulus

Cewek itu pun merindu pengertian dan belaian sayang

Memeluk satu lelaki dengan sexualita suci bukan dagang

 

Sang Yogawan berlalu, tiada terhanyut kasus mesum

Sang cewek merenung. Tertunduk malu. Dielus rindu

Dia tercebur di jagad mesum, demi nafkah hidup

Dia kumuh dituntut butuh. Betapa dia ingin lelaki itu

Kemunculan Sang Yogawan mustahil dilupakan seumur hidup

Paranggendhog, 1980-1988 

 

 

MANTAN MUSIKUS JALANAN

Seorang wartawan beli rokok di tokonya, baca koran eceran, mewawancarainya di bawah Bungur berbunga ungu. “Mau dikorankan lagi? Lho, belum bosan-bosannya wartawan menulis?” katanya nyengir. “Ya, 10 anakku kini sudah jadi sarjana. Biaya studi mereka? Hasil toko klontong ini, 55 %. Sisa 45 % dari hasil kerja ngamen!”

 

Dia berumur 77. Jadi musikus jalanan pada umur 40 sejak 1950-an. Ia mahir memainkan semua instrumen dan pintar menyanyi. Dulu, dia tokoh orkes dan sering siaran di RRI. Dia berhenti ngamen ketika bungsunya sudah lulus dokter. “Aku menggugat pengamen masa kini!” protesnya sengit. “Cuma modal gitar, vokal jelek, bakat nihil, kok berani jadi pengamen. Walhasil, jumlah pengamen dilanda inflasi. Rumah orang sedang sibuk, 07.00-08.30, sudah dingameni. Tempo orang ngaso pada 18.00-22.00 masih diganggu pengamen. Siang, malam, melulu ngejar duwit. Ia merusak citra pengamen deh!”

 

Selama 1950-1977, dia profesional jadi musikus jalanan. Instrumennya beragam. Gitar. Suling. Harmonika. Biola. Ketipung. Semua jenis lagu, bisa. Semua alat musik dia mahir memainkannya. Ia hanya mengameni rumah para langganan. Jika tuan-rumahnya paceklik duwit, ia ikhlas main gratis. Mau dibayar beras, gula, palawija atau snack. Dia cinta musik, ngamen tidaklah sekadar memburu duwit. Demi hobi, dia suka main gratis.

 

Kini 10 anaknya jadi orang. Tokonya tetap dibuka, sekadar melayani langganan. Pecinta musiknya masih dikunjunginya gantian, tapi dia menolak bayaran. Ngamennya sekadar silaturahmi. Dia balas budi, tahu merekalah yang turut membiayai 10 anaknya studi sampai selesai.

Jakarta, 1986

 

YOGAWAN RONTOKAN

Sang Yogawan, berapa kali kau datang ke Parangkusuma?

“Tiada terbilang! Puluhan kali. Mungkin ratusan kali

Semua tercatat dalam dokumentasi rapi berjilid-jilid

Tapi tidak seutuhnya kuingat baik-baik sampai kini.”

Puluhan kali tamasya Yoga. Ratusan kali bina-membina

Merangkul kawula muda dengan kerja Sastra-Pers-Yoga

Berkegiatan positif, biarpun banyak orang mencelanya

Maju terus juga, sungguhpun banyak sahabat bercuriga

Berlanjut lagi, meskipun banyak siswa pemula rontok

Dia sabar melayani kader Yogawan yang macet, mogok

 

Barapa banyak kaum rontokan? Apakah faktor musababnya?

“Ratusan! Datang dengan antusias, akhirnya berguguran

Semangat besar pada awal proses, tahu-tahu berjatuhan

Gagal! Karena kualitas manusianya pun sekadar gombal

Rontok! Karena miskin disiplin, takluk oleh rasa malas

Gugur! Karena sistematika ditawar, Yoga disunat-sunat

Mundur! Karena mau mudahnya, enggan proses lambat berat

Gombal! Karena rapuh pendidikan, keluarga dan zamannya.”

Sang Yogawan kenal betul prototipe kaum rontokannya itu

Duh, celaka! Makin modern, kaum rontokan kian mayoritas

 

Sang Yogawan, para rontokan itu sebaiknyalah diapakan?

“Oommm! Ditobatkan, jika sadar dan sedia berubah total

Oommm! Dibiarkan, kalau memang ngeyel, bodoh, ingkar

Oommm! Didekati, bagi yang ikhlas, positif sadar diri

Oommm! Dikucilkan, jikalau jahat dan kambuhan kriminal

Oommm! Dibimbing, bagi yang rajin, terpanggil jalan baik

Oommm! Dibasmi, bagi kriminal besar dan over distruktif

Oommm! Dipasrahkan Allah, jika kita memanglah kewalahan.”

Sang Yogawan tersenyum. Rontok tujuh, di antara sepuluh

Dia tahu, mencari Yogawan tangguh memang langka betul

Pemancingan, 1985-1989

 

 

PANEMBRAMA YOGYAKARTA

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, impian dan legenda

Wajahku 1.000 dimensi. Tubuhku tradisi jiwaku Kejawen

Kucampur 1.000 unsur, jadi 1.000.000 sinkresi harmoni

Kuhimpun 1.000.000 soal jadi kohesi atau kontroversi

Watakku tulen: sopan tapi kikir, ramah tapi mencekik

 

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kota sejuk purbakala

Kumanja-manja bisnis industri, nafkahku bergengsi modern

Tradisi dan seni kugeser, agama dan ilmu kuatur minggir

Maliabara? Dulu kraton seniman, kini kraton kelontong

Kraton? Dulu sakti anggun, kini pasar kaum pelancong

 

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, barometer konsepsi

Seniman-ilmuwan-agamawan bertahan, hidup sabar prihatin

Kuuji 1.00 teori, ada 1.000 seminar kujual jadi proyek

Barometer seni-budaya, ilmu dan kampusku kharisma elok

Kubu kompetisi, pasar 1.000 nilai hidup, sepi tapi mahal

 

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, kubu 1.000 kreator

Kau tumbuh di jagad seni-budaya-ilmu-agama dan tersohor

Jangan minta nafkah padaku, kau mustahil kaya atau cukup

Kaplingku kumuh, kompetisiku gemuruh, populasiku berjibun

Padahal sudah watakku: tidak memberi, tapi banyak menuntut

 

Selamat datang, Saudara! Aku Yogya, koloni Indonesia mini

Orang segala suku-agama-tradisi datang, tiap tahun antri

Uang dan gengsi bertarung, aku memberi suaka atau senyum

Baru bermukim semusim, kau frustrasi, cepat angkat kaki

Baru bercerai semusim, kau kangen, aku pun jadi legendaris

Minggiran, 1988-1989

 

SALAM PENYAIR

Salam padamu, Saudaraku. Di luar, hidup makin kemrungsung, zaman begini gemuruh, siang-malam-mu repot, namun kau sudi ayun langkah buang tempo, menikmati sajak dibaca dan penyair ditanggap. Hidup begini canggih berpacu, zaman super-modern melaju, jadual tugas bagai penjara mengungkung, waktu pun terus memburu. Kau juga mengeluh kekurangan waktu siang-malam-mu, padahal mustahil ada waktu extra dijual orang di pasar dan toko. Di sini, lho kok ada suaka istirah dalam santai, buka hati menikmati puisi mengalir ke samudera batin. Ya, siapa tahu kau beroleh hikmah dan nilai faedah, agar kalbumu bagai aki yang disetrumkan lagi, atau mobil turun mesin, bagai kendaraan sehabis servis. Kan tidak rugi?

 

Salam padamu, Saudaraku. Datangmu ke sini melalui jalan-raya padat problem lalu-lintas, tiap tikungan atau persimpangan penuh debar jantung boros energi, sekadar melibati komunikasi, mengaktualisasikan diri dan memuliakan silaturahmi, terseling baca puisi. Padahal, di luar, hidupmu makin canggih dalam ongkos tinggi dengan tuntutan aeng-aeng. Rumah penuh problem. Kampusmu memikul beban bagai deret uku tanpa akhir. Kantor pun penuh borjuasi dan birokrasi. Organisasi dan lembagamu penuh beban keterbatasan diri. Ruang pergaulan menyempit. Tegur-sapa komunikasi makin mahal dan rumit. Lho, kok masih sempat-sempatnya baca puisi dinikmati publik.

 

Salam padamu, Saudaraku. Ini forum elok, momentum ajaib, suasana bikin kangen. Maafkanlah jika puisi tidak selalu enak-efisien-baik. Ampunilah, jika sang penyair tidak selalu menarik publik ditanggap macam ini.

 

Salam padamu, Saudaraku. Adakah angka statistika: setahun berapa banyak puisi dibaca, bagaimana frekuensinya? Setahun berapa kali puisi jadi simposium-diskusi-seminar, berapa kali jadi lomba tulis dan baca, apa ada diagram biayanya, daftar penikmat dan sponsor? Ah, komputer belum memberi angka, dokumentasi tiada memberi fakta. Tapi kesan umum, puisi itu penting di forum. Mustahil disetop seminar-diskusi-simposium. Puisi terkuliahkan tiap semester. Jadi ujian akhir, skripsi dan disertasi. Ajaib, tiap periode selalu saja ada penyair lahir, dari rahim situasi-kondisi. Sebenarnya, berapakah nilai puisi, apa relevensinya bagi hidup kesehari?

 

Salam padamu, Saudaraku. Periksalah KTP atau SIM, adakah orang mengisi kolom pekerjaan sebagai: penyair? Cinta-asmara boleh kau ungkap dengan puisi, tapi jangan salahkan gadis enggan kawin dengan penyair atau calon mertua melecehkan lamaran si penyair, dengan mahar puisi. Jika ada orang berani hidup dengan nafkah puisi sungguh dia makhluk langka. Honorarium puisi amat rendah. Media puisi pun terbatas. Lumrahlah jika penyair: bukanlah profesi ideal cowok-cewek masa kini. Puisi atau jagad penyair itu seperti gunung api: ada kepundan frustrasi, ada magma minder, ada lahar konflik, ada pula gempa pahit-getir. Menjadi penyair seolah kompensasi manusia gagal, orang drop-out, penganggur tersisih.

 

Salam padamu, Saudaraku. Hidup kian canggih, demi gengsimu perlulah fasilitas dan duwit, padahal puisimu bukan konsumsi primer sehari-hari. Honor puisi sedikit, cukup dahsyat untuk mengabadikan rasa minder dan frustrasi penyair. Puisi mustahil jadi komoditi, bukan pula export non-migas. Orang jadi penyair mustahil kaya, malahan kekal melara. Penyair itu karikatur zamannya!

 

Salam padamu, Saudaraku. Lho kok tiap zaman selalu ada orang nyentrik mau jadi penyair? O, bacalah langit, renungkanlah bumi, maka kau boleh tahu bahwa Allah sendiri Sang Maha Penyair, setiap firman-Nya ialah puisi. Al-Quran adalah puisi canggih. Tripitaka dan Dharmapada-Nya adalah puisi abadi. Wedha dan Upanisad adah puisi dahsyat. Injil-Nya dan Taurat-Nya ialah puisi balada penuh pesona. Zabur, Amsal, Syirul Asyar ialah puisi akbar. Kitab-suci apa pun yang memuat firman Tuhan selalu berformat puisi, itulah sunnatullah abadi.

 

Salam padamu, Saudaraku. Muhammad Al-Amien terima firman Allah pertama kali berupa wahyu-puitika Al-Alaq berisi dua azimat Tuhan: Iqra dan Qalam. Al-Quran amat memuliakan kreativitas baca-tulis, bahkan Tuhan mengistimewakan Sang Penyair-Sastrawan dengan surah Asy-Syu’ara 227 ayat. Rasulullah Muhammad juga memuliakan kaum penyair kreator dengan Haditsnya, “Pada akhir zaman atau masa kebangkitan kelak tinta penyair-sastrawan-ilmuwan akan ditimbang setaraf dengan darah Syuhada.” Ada wahyu-puitika yang berisi amanah Iqra dan Qalam, ada puisi-sastra-kreativitas disetarafkan darah pahlawan, medan sastra-puitika disamakan dengan arena juang akbar, penyair-sastrawan dipermuliakan sekelas Syuhada.

 

Salam padamu, Saudaraku. Jangan pernah jemu dengan puisi. Sunnatullah jagad raya serba langgeng: tiap agama memuliakan wahyu Tuhan dengan keagungan puisi. Hidupmu kian berat- kemrungsung-lelah-frustratif, tetapi di sela-selanya berilah variasinya: puisi merasuki hati-nurani, membasuh akal-pikir-rohani, dalam hening meditasi. Puisi akan lestari jadi konsumsi untuk lapar-dahaga-rindu, batin. Tanpa puisi, hidupmu alangkah sunyi dan kering!

Purwokerto, 1987

Purworejo, 1988

Perwathin, 1989

 

TENTANG RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI

Ragil Suwarna Pragolapati, bungsu dari enam bersaudara, lahir di tepian Telaga Selarama, kaki Gunung Muria, Desa Selareja, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, pada Rabu Wage, 22 Januari 1948. Ayahnya Ki Wangsa Wijaya Karsan dan ibunya Nyi Bisah Kartadiranawelas. Tulis penyair ini mengenang: “Di tengah kecamuk perang gerilya, Petinggi Wangsa Sarja masih sempat membuatkan surat kelahiran. “Anakmu kauberi nama siapa?” tanya Petinggi. Ki Karsan sejurus merenung, cari-cari nama. “Tulis saja Warna!” ujarnya. Nama itu pun ditulis pakai huruf Jawa. Wa nglegena dilayar, jadi War. Dan Na nglegena, tanpa taling tarung, maka lengkapnya Warna bukan Warno. “Kamu aneh, Karsan! Nama itu kan tidak usah beli. Mengapa kau beri nama anakmu serba pendek dan jelek? Rata-rata hanya dua suku kata!” sergah Pak Petinggi. “Enam anakmu, kau namai pendek jelek. Parijan. Sayem. Warni. Sukri. Sinah. Warna.” Hanya ketawalah Karsan membawa pulang surat kelahiran yang tidak bisa dibaca huruf latinnya. Maklum, dia buta aksara latin. Hanya bisa baca huruf Jawa Hanacaraka.”

Warna mendapat tambahan kata Su, dikasih oleh Kepala Sekolah Rakyat I Cepu, Ibu Siti Umayah, pada Juni 1960. Tambahan nama Ragil dari kepala sekolah SMP-nya, Yitno Sudarso pada Juni 1963. Dan tambahan Pragolapati, oleh yang bersangkutan pada 2 Januari 1972, diangkat dari nama bumi kelahirannya.

Hobi mengarang rintisan 1963-1966 di Pati, meledak maksimal di Yogya, 1967-1971. Kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, tapi drop out. Sering ikut aksi protes. Studi kacau. Sempat pula dibui. Pulang dari sel penjara, dia dipecat dari fakultas ekonomi UGM. Dalam aksi protes sering ditugasi baca puisi protes. Berikut aksi-aksi yang pernah diikuti: Menggugat Mashuri, S.H., Menteri PK, 1968. Memprotes Pemda Yogya, kasus Judi, 1968. Memprotes Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 1971-1972. Menggugat manipulasi dan korupsi, 1970-1971. Aksi menolak komoditas Jepang, 1971-1974. Aksi menggugat SPP, 1971-1972. Aksi memprotes Golkarisasi, 1970-1972. Aksi menolak televisi warna, 1971-1973. Protes breidel pers 1977-1978. 

Kiprah kepenyairan RSP dimulai dengan Antologi Alit (Yogya, 9 penyair PSK, 1969) dan Tiga Bayangan (3 penyair PSK, 1970). Banyak mengeditori antologi puisi bersama. Salam Penyair adalah satu-satunya antologi puisi tunggal Ragil Suwarna Pragolapati.        

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler