Skip to Content

PUISI-PUISI M. FADJROEL RACHMAN

Foto SIHALOHOLISTICK

MENARI DI TEPI WAKTU

andai aku bertemu lagi denganmu. aku pasti tersipu menyebut namamu

karena tanpa ragu, engkau menyebut namaku. dengan keramahan, dan ejaan sempurna

engkau bertanya, “ke mana saja kamu selama ini?”

“aku menunggumu sejak perpisahan terakhir,” ujarmu memelukku lembut, matamu basah merindu airmata

 

ya, aku pernah mengenalmu, pada suatu waktu. engkau tiba-tiba hadir, kita bertukar kartu nama tanpa alamat

aku meninggalkanmu di simpang jalan, karena harus menempuh nasibku sendiri, tanpa peta, tanpa penunjuk arah

aku ingat engkau menitikkan airmata, lalu berucap, “temui aku di tepi waktu, bila cemas dan rindu memuncak.”

ya, aku ingat hari itu, magrib bergegas turun. aku elang muda kelaparan, melayang menembus waktu

 

andai aku bertemu lagi denganmu. inilah yang yang akan kukatakan,

 

“tuhan, terimakasih, engkau masih menyimpan kartu namaku.”

2003

 

KALENDER MENULIS DIRINYA SENDIRI

3 juta obor menari telanjang di tepi mekong, 3 juta ajal berenang telanjang ke muara mekong

 

airmata mengiris malam mendanau darahnya. ombak beringsut menyergap tangis

kunang-kunang mengoyak nadi kabut, beterbangan di rumah ajal yang murung

 

di saku baju peta kamboja menetes darah, udara tiba-tiba asin, kristal garam berhamburan

sungguh, kegelapan tak lagi menakutkan. kecemasan menari disiram hutan tak berwajah

 

3 juta jemari biru terjulur dari kubur mengiris-iris purnama

jam meleleh, dan kalender menulis dirinya sendiri

2002

 

DANAU HAIKU

terlalu banyak anggur putih malam ini, gelombang menyeret jejak waktu dan harum tubuhmu ke langit jauh

bulan keperakan menggantung di tepian malam, begitu rapuh. gagak liar menjaring kristal luka, menyayat senja tua

 

“aku mencincangnya di lelap pantai, dalam kegelapan samudera, hotchu-san,” teriak serak garam selat kyushu

“di dasar luka engkau temukankah belulang musim gugur?” tanyamu sambil menari mengurai perak cahaya bulan

seribu perahu berarak, tenggelam menyeret matsuo basho ke danau haiku

 

the old pond –

a frog jumps in:

the sound of water

 

“engkau terlalu ramah untuk dunia ini,” desis garam selat kyushu. “tidakkah segelas anggur putih, sekecup duka,

menyalakan menara kehidupan di kuil jiwamu,” ringkik garam sambil menyelam, menjemput kupu-kupu mati di

lautan

hotchu san, kita memeluk malam, dengan tubuh remuk, sambil menari letih di hotel-hotel kematian. sendirian

 

esok pagi serpihan perak cahaya bulan berserakan di jalanan, ada jejak waktu dan harum tubuhmu

di langit sepi berkelap-kelip kristal luka dan kepedihan kita disisakan garam selat kyushu,

 

juga, setetes tangis kupu-kupu mati

1995

 

 

KETIKA WAKTU BUKAN MILIK KITA LAGI

30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan

kabut memeluk malam, bintang jatuh menoreh siang di dada langit. memeluk kenangan, impian lumpuh

 

“darah segar masih harum tercium di aspal jalanan,” bisik embun pagi

 

“ya di hitam lengan kupeluk tubuh muda itu terhempas,” kenang aspal jalanan mengusap airmata

malam begitu dingin bunda, begitu dingin dan begitu rakus lidah matahari mengupas merah kenangan

 

30 kunang-kunang menari di langit jakarta, menembus magrib tergesa. darahnya manis disihir rembulan

menarilah, hingga airmata kering diisap rembulan, darah biarlah memerah mawar di hati bunda

 

“siapakah engkau?” rintih ibu tua memeluk senja, tangisnya menetes darah, menggenang cemas di kubur anak

sepasang kunang-kunang hinggap di pangkuan, mendekap bayi merindu. sayapnya manis, darahnya manis

 

“aku pulang, sepasang mata biru buah hatimu.”

2003

 

TIGA PELURU MERACUNI MALAM

aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon

 

ayahku, bagai anjing terjungkal bersimbah darah dengan 3 peluru pecah di kepala

kekerasan adalah iblis dari neraka terpanas, melambai rindu, membakar langit merah chiang mai

3 peluru di saku baju meracuni malam, 3 peluru di kepala pembunuh ayahku

 

hujan daun pinus merebahkan diri, lelap berselimut embun di ladang cemara

berjuta bunga mekar di chiang mai, melayang di senja tua menjelma diriku

 

chiang mai dipeluk sepi, dendam mengembun bunga liar, menetes diam-diam di abu persembahan

malam ini yangoon melesak dalam mimpiku, 3 peluru melesak di kepala ayahku

aku ingin menari, aku ingin menyanyi tentang kehilangan dan rindu gerimis di yangoon

 

rintik hujan jatuh melukai daun pinus. Malam likat mewangi mawar, gemuruh di sunyi belulang

3 peluru menghitam di abu persembahan, 3 peluru di saku baju meracuni malam

 

aku rindu tanah-airku, aku rindu gerimis jatuh di yangoon

aku rindu menangis dalam hujan cemara di yangoon

 

hingga sempurna airmata malam menenun kebahagiaan

2002

 

 

BILA TUBUH HADIR BERGEGAS

ransel lelah bertanya pada lobby hotel, “ada kamar kosong? yang paling murah saja.” sebelum kata melepas kantuk

sambil menendang tempias hujan, lobby hotel terkantuk-kantuk mengangguk, “tulislah alamat tuan di buku tamu.”

“apakah setiap orang harus punya alamat?” tanya sepatu tua

“alamatku di sini, malam ini,” bisik ransel pada buku tamu

“harus tuan,” ejek kunci kamar, “tiap tubuh punya akar walau berpindah dari hotel ke hotel,” ujar bunga di jambangan

 

walau sementara

walau sementara

 

“selamat datang, wahai tuan tanpa alamat, wahai tuan tanpa tujuan,” ejek lobby hotel, buku tamu, dan kunci kamar

 

“apakah yang kau cari bersama sepatu tua dan ransel lelah?” tanya kabut sambil meludah ke jambangan bunga

 

: bila tubuh hadir bergegas, sebelum waktu menikam tuntas

2003

 

SENJA JATUH DI ORCHARD ROAD

“uap alkohol dan harum babi panggang tak akan mengantarmu ke neraka,” ujar denting piano melompat menyambar

meja putih bersih, meledakkan piring saus merah darah. “kemiskinan dan doa juga tak akan mengantarmu ke surga,”

desak irama jazz yang melengking kusut, menyeret tuan raffles melompat ke sungai keruh singapura, riuh dan letih

 

“revolusi tak dijual di orchad road,” desis mimpi tersedak pengemis cina tua, menidurkan dendam di jembatan

penyeberangan. “sungguh mudah bukan membeli marx, lenin, mc donald dan nina ricci di orchad road,” tergeletak

tiger beer menyembur gitar sember klub jazz tua. “nasib tak pasti mesti ditata rapi di etalase orchad road,” tangis

melayu dan india tua. “tapi, di manakah tanah air tanpa airmata?” cekik irama jazz mematahkan leher singapura

 

senja jatuh di orchad road, gucci dan nike bergegas bergandengan tangan, menyetop bus kota melenggang genit

 

“tak perlu gelisah, besok kita kembali shopping, membeli airmata,” hibur gucci menghempaskan tubuh berlemak

2003

 

MAYAT ITU TERAPUNG DI SUNGAI KATA

yohanis tajoja (60) dan buce (30)

 

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang

“kedua mayat ditemukan tewas terapung si sungai puna, poso pesisir,” desis lirih detik pukul 14:00

 

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang

“kedua mayat ditemukan tewas tergantung di sungai kata, kompas halaman 11,” desis lirih detik pukul 7:00

 

“kepada siapakah tuhan berpihak tadi malam?” bisik cemas mencekik kunang-kunang

“kedua mayat ditemukan tewas terapung di sungai mimpi, dilelap bundanya,” desis lirih detik pukul 24:00

 

sungai puna

sungai kata

sungai mimpi

 

:deras dan dingin arusnya ke muaramu

2003

 

NYANYIAN ORANG BIASA

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?

tanpa uang dan kekuasaan, siapa menyapamu. bahkan teman seperjalanan paling akrab, tanpa pamit meninggalkanmu

 

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?

tanpa uang dan kekuasaan, siapa mencintaimu. bahkan kekasih paling dicintai, tanpa pamit meninggalkanmu

 

siapa tahu gelombang hati manusia. siapa yang tahu?

tanpa uang dan kekuasaan, siapa akan setia padamu. bahkan sahabat paling setia, tanpa pamit meninggalkanmu

 

bila semua pergi, tanpa pamit meninggalkanmu,

: siapa paling tahu gelombang hati manusia

2003

 

TARIAN PENYALIBAN MANUSIA

apa kabar ikan asin, sayur kangkung, dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?

apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?

kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?

 

“udara berdebu dan oksigen penuh racun!” teriak lelaki mabuk

mengapa harus mabuk? bayangkan upacara suci ini di suatu pagi musim panas

engkau bersiul dan hatimu bagai kapas

ada seekor ikan asin dan semangkuk sayur kangkung di piring berkarat

serta segelas teh pahir di cangkir berkarat

semua kenangan pahit telah kau larutkan dalam uap teh kemarin malam

lalat mendengung, jendela berderit disentuh angin

“bukankah cinta dan hati yang lapang menerobos dinding pemisah aku dan alam semesta?”

 

baiknya ada seorang perempuan, tetapi kurasa tak usah saja

perempuan selalu mengatur tetek bengek hidup kita

(tetapi lelaki sama menggelikannya, juga diriku)

“rambutmu kacau dan warna bajumu tak cocok di badan,” katanya

“duduklah dengan sopan dan pikirkanlah kebahagiaan kita di masa depan,” katanya

tetapi hatiku selalu bertanya, “adakah keteraturan di alam semesta dan sejarah manusia?”

 

sebaiknya juta tak ada bentakan dan hentakan sepatu lars (pada lantai dan tubuh kita)

juga tak ada tangis kehilangan, putus asa dan kesakitan

doa juga tak penting,

karena mengingatkan ketakberdayaan dan keputusasaan

 

bukankah seekor ikan asin, semangkuk sayur kangkung, dan secangkir teh pahit di cangkir berkarat

diuapi cinta dan hati yang lapang, mengingatkan keberadaan dan keterlemparan kita di bumi ini?

 

bukankah ini juga upacara suci seorang lelaki mabuk dan kesepian

derit pintu sel selalu menghantam gendang telinganya dan menggetarkan seluruh urat sarafnya

jeruji, sebesar ibu jari kaki, mencekik urat lehernya, menusuk kedua kornea matanya

teriakan kesakitan, tangis kehilangan, dan jerit keputusasaan menerobos dinding selnya

darah menyiram jalan raya, hutan, kebun petani miskin, bahu kaum pekerja,

jagat raya, dan wajah kita

 

orang-orang berlari dari kota ke kota

orang-orang berlari dari penjara ke penjara

orang-orang berlari dari mimpi ke mimpi

orang-orang berlari dari kata ke kata

 

di dungu kecil dilahirkan penuh rasa syukur

setia patuh menarikan upacara suci di ruang-waktu berdarah

di altar penyaliban manusia

 

lalu, apa kabar ikan asin, sayur kangkung dan segelas teh pahit di cangkir berkarat?

apakah sebenarnya yang mengikat engkau dan aku?

kesetiaan, cita-cita, atau sekadar lapar dan kebahagiaan kecil?

1989 (LP Kebon Waru-Sukamiskin)

* ditulis ulang dari Catatan Bawah Tanah

 

MALAM LEBARAN

Sendirian

Di dunia mayat-mayat

 

Aku hidup!

 

Di kehampaan-segala

 

Tersalib

Sukamiskin, 15 April 1991

 

DOA MANIS BUAT TUHAN

Tuhan, turunkanlah hujan untuk bayam, tomat

dan sawi kurus yang kami tanam

Aneh, hanya dingin bebatuan yang setia

menyegarkan batang-batangnya

Setiap malam dari balik terali besi kuhisap

udara kering dan embun tipis, berebutan

dengan bayam, tomat dan sawi kurus

Kenapakah hujan tak turun jua? Ada apakah

sebenarnya di balik cuaca?

Mungkinkah uap air telah dihisap pepohonan

besar, jalan-jalan besar, rumah-rumah besar

dan paru-paru orang besar di kota-kota

Dan kamu?

 

Aku tak tahu, aku tak tahu

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

                mengusap lembut terali besi dan wajahku

Sebab si pencinta bayam, tomat dan sawi hanya

                mampu bertanya ke arah langit

Bukankah langit telah menganugerahi orang-

                orang bijak dan berkuasa, martabat untuk

                menuangkan jutaan kata-kata di benak kita

                yang lelah. Walaupun kulit perutmu lengket

                tulang perutmu

Inilah hidup, inilah kepastian, kata mereka

 

Aku tak tahu, aku tak tahu. Bukankah Tuhan

                membuat miskin dan membuat kaya, Ia

                meninggikan dan merendahkan juga

Cahaya bulan pucat menerangi bumi sekarat,

                mengusap lembut terali besi dan wajahku

Dari ujung sel kudengar lagu dangdut merintih-

                rintih tentang penderitaan hidup, lalu

                kudengar desah genit si penyiar wanita,

                “Salam kompak selalu dan selamat

                menempuh hidup baru buat X di jalan Y dari

                gadis Z di gubuk derita”

Hai, hai siapakah yang berbahagia dan

                siapakah yang menderita?

 

 

Lalu kedengar ramalan bintang

“Buat pendengar yang bernaung di bawah

                bintang Caprocornus, rejeki dan kebahagiaan

                minggu ini bersama anda dan asmara si dia

                makin mesra saja, kesehatan anda pun makin

                sempurna, hindari makanan berkalori tinggi”

Kemudian aku menatap sisa ikan asin yang

                dikerubungi semut-semut hitam, lalu perlahan

                meneguk air teh pahit di cangkir berkarat

Kuhisap udara kering sambil menyanyikan

                Indonesia Raya; tetapi kenapa hatiku semakin

                sepi dan asing saja (Inikah bangsaku, inikah

                manusia yang berakal-budi?)

Cahaya bulan pucat menerangi bumi

                sekarat, mengusap lembut terali besi dan

                wajahku

Aku menekan wajah ke sisi terali besi dan berdoa

“Selamat malam, Tuhan, salam kompak selalu,

                siapakah yang berbahagia dan siapakah yang

                menderita?”

Kebon Waru, November 1989

 

SOEKARNO, NARAPIDANA BLOK TIMUR ATAS NOMOR 01

Pandangilah, namun jangan menitikkan airmata

Di luar jendela-jeruji selmu, di luar jendela-jeruji

                selku

Serdadu-serdadu berbaris dalam

                mimpi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu

Serdadu-serdadu berbaris mencincang akal-

                budi bayi-bayi dan anak-anak bangsamu;

Langit, bebatuan, rerumputan dan udara yang

                kita hisap mengucurkan darah

                menenggelamkan segala impian manusia

 

Di ruang-waktu

Di ruang-waktu

 

Hanya gelisah dan sepi

Lalu mati

Sukamiskin, Oktober 1990

 

 

MALAM-MALAM DI JENDELA

Ada cemara lurus menusuk langit

Ada angin berlendir, mayat membusuk

Ada rintih hujan, doa-doa rubuh

Dan wangi kemboja mengiris malam

 

Lalu kata-kata menggelepar sekarat

:Engkaukah berpayung hitam di tepian cakrawala?

Cahaya terkulai beku. Segalanya pucat-pasi

Diri lampus sudah dalam sihir malam. Dan sia-sia

Engkaukah yang bertanya, “Ada apa?”

Bayang langit menarikan perih. Kekosongan

: Antara Ada dan Tiada

: Antara Engkau dan Aku

Engkau mencari siapa?

 

Dalam sepi kuburan sejarah-manusia

Dalam sepi kuburan alam semesta

: Aku ingin berbicara kepadamu

Sukamiskin, Oktober 1990

 

KENAPA RACHMAN MASIH MENULIS PUISI?

Kenapa Rachman masih menulis puisi?

Walau darah dan teror masih membasahi wajah

                dan tubuh keringnya

Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

 

Kenapa Rachman masih menulis puisi?

Walau urat-syaraf dan kasih-sayangnya dicabut

                satu persatu

Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

 

Kenapa Rachman masih menulis puisi?

Walau jiwa dan hati-nuraninya disalib jeruji besi

Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

 

Kenapa Rachman masih menulis puisi?

Walau kematian dan mimpi buruk

                menyergapnya berkali-kali

Karena ia percaya pada manusia dan kehidupan

 

Kenapa Rachman masih menulis puisi?

Karena dalam samudera ketidaktahuan,

                manusia bersaudara

Karena dalam samudera kemanusiaan, manusia

                bersaudara

 

Kau dengarkah suaraku, lagu jiwaku,

                saudaraku?

“Aku ingin ziarah dan berbaring dalam

                samudera cahaya jiwamu”

Kebun Waru, 17 Januari 1990

 

AKU TERINGAT GODOT, KUCING KESAYANGANKU

Halo … halo apa kabar Godot?

Ratusan hari kita berpisah, tahukan engkau aku

                berada di mana?

Engkau masih tidur di pembaringanku?

Awas, kakimu harus dibersihkan sebelum naik

                ke pembaringanku

Siapakah yang memberimu makanan sekarang?

Apakah engkau masih enggan memakan ikan asin?

Untuk sementara terimalah apa-adanya, ya Godot

 

Aku tersenyum pahit, makananmu lebih baik

                daripada makananku di terali besi ini, apalagi

                dengan makanan anjing tetangga kita

Kalau engkau berada si sini, kurasa sudah mati

                kelaparan karena seleramu yang terlampau tinggi

 

Aku terkurung di terali besi, Godot

dan engkau masih bisa berpacaran di atas

                genteng rumah

Bermesraan di pojok-pojok dapur, tetapi engkau

                selalu saja membatalkan niatmu bila juru

                masak lengah dengan semur dagingnya

 

Nah, sekarang bagaimana dengan pacar barumu

                kucing tetangga kita, masih setia?

Ayolah, Godot, beraksilah, bukankah saat ini

                musim hujan, tapi hati-hati dengan jantan-

                jantan lain, tanpa kau sangka-sangka bisa

                saja mereka melarikan calon ibu anak-anakmu

Pikatlah hatinya, beri si dia janji-janji surgawi

                (Kalau terpaksa janji-janji pembangunan

                boleh juga)

Insya Allah si dia akan setia denganmu

(Hai, kenapa kita selalu bersumpah atas nama

                Tuhan ketika berpacaran. Lalu kalau kita

                berpisah atas nama siapakah?)

Apakah jadinya kita ya Godot bila tak mampu

                membuat janji, engkau dan aku akan senasib

                menjadi gelandangan dari negeri ke negeri

                tanpa peta, tanpa penunjuk arah

Lalu mabuk dan kesepian dalam pori-pori darah

                sejarah

Ya, seperti Hamlet kehilangan Ophelia

 

Ayolah Godot, yang penting jangan berantem

                dan putus asa

Sampai jumpa lagi dalam pembaringan yang

                sama 13 tahun yang akan datang

Hiduplah dengan menentang bahaya,

Sehingga di hari kematian kita, sahabat-sahabat

                akan berkata

“Dia hidup; benar-benar hidup dan ada”

 

Kebun Waru, Desember 1989

 

KITA HARUS MENULISKAN SEMUA HAK ASASI KITA

Kita harus menuliskan semua hak asasi kita

Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat

Di tembok-tembok gedung pemerintahan

Di tembok-tembok gedung pengadilan

Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata

Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di

                pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita

Di setiap lantai rumah-rumah kita

 

Kita harus menyanyikan semua lagu dan

                membacakan semua puisi

Sepanjang hari dan sepanjang malam

Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita

Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan

                menjadi berhala haus-darah dan pencabut

                nyawa kita

Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan

                menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi

                kehidupan

Bahwa tanpa hak-hak asasi kekuasaan akan

                merampas tanah-tanah pekarangan kita,

                pekerjaan kita bahkan yang tak cukup untuk

                makan hari ini, menggusur dan membakar

                rumah-rumah kita, menghisap semua

                persediaan air minum kita, merampas

                pendidikan, masa-depan anak-anak kita dan

                merampas semua suara kita, akal-budi serta

                hati-nurani kita

 

Apakah lagi yang tak mungkin dirampas oleh

                Tirani Kekuasaan?

Bahkan keberanian kita, dimasukkan dalam

                selokan

Dan negeri kita dijadikan kandang kerbau

Lalu seorang sipir maha-tahu dan maha-kuasa

                akan menggebuk siapa saja yang tak

                disukainya

 

Lalu bagaimana mungkin ada perbincangan

                akal-budi dan hati-nurani di kandang kerbau?

Cendekiawan dan penyair dijadikan benalu

                dan hama bagi rakyat jelata

Senapan dan jampi-jampi peraturan

                dimasukkan paksa ke mulut dan saku

                mahasiswa, ulama serta pendeta

Lalu di manakah rumah-luas bagi cinta-kasih

                alam semesta?

 

Lalu untuk apa bernegara, bila hanya sebagai

                alat memonopoli kekayaan dan kekuasaan,

                memonopoli akal-budi dan hati-nurani

Lalu untuk apa lembaga perwakilan, bila hanya

                menjadi lembaga main-sulap cukong-cukong

                dan penguasa dengan kapitalis Jepang,

                Eropa, Amerika; menjadi lembaga membagi-

                bagi uang-saku dan proyek-proyek pembangunan

Astaga, lembaga apakah ini, demikian lihai

                memperjudikan perut dan masa-depan

                bangsa sendiri

Lalu apa gunanya wakil-rakyat, bila tak mau

                membela kebutuhan dan kepentingan rakyat

                jelata; bila menutup mata dan telinga dari

                segala penderitaan rakyat jelata

 

Bukankah merak tak lain daripada benalu dan

                hama bagi penghidupan rakyat jelata

Bukankah mereka tak lain daripada

                pengkhianat bagi cita-cita dan penghidupan

                rakyat jelata

 

Lalu apa gunanya pengadilan bila tidak berani

                menyuarakan keadilan; bila hanya menjadi

                alas kaki dan buldoser kekuasaan; menggilas

                ratusan juta rakyat yang memperjuangkan

                hak-hak asasi; bila hanya menjadi kondom

                bagi cukong dan penguasa rakus haus darah

 

Lalu saudara-saudaraku ratusan juta rakyat

                yang terampas hak-hak asasinya

Untuk apa berdiam diri menonton sikap-politik

                cukong-cukong dan penguasa di pengadilan

                berlumut ini

Lebih baik kita mengangkat poster-poster dan

                menuliskan semua hak asasi kita

Di tembok-tembok gedung perwakilan rakyat

Di tembok-tembok gedung pemerintahan

Di tembok-tembok gedung pengadilan

Di tembok-tembok gedung angkatan bersenjata

Di sepanjang jalan, di kebun-kebun petani, di

                pabrik-pabrik kaum pekerja di negeri kita

Di setiap lantai rumah-rumah kita

 

Dan kita harus menyanyikan semua lagu dan

                membacakan semua puisi

Sepanjang hari dan sepanjang malam

Yang mengobarkan akal-budi dan hati-nurani kita

Bahwa tanpa hak-hak asasi, kekuasaan akan

                menjadi berhala haus-darah dan pencabut

                nyawa kita

Bahwa tanpa hak-hak asasi maka kekuasaan

                menjadi TIRANI, menjadi DURNO bagi kehidupan

Kebon Waru, Desember 1989

 

BERSIMPUHLAH DI HADAPAN BUNDA

Kita harus bersimpuh di hadapan Bunda

                terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian

                memohon doa-restunya

 

Sebab sipir-sipir maha-tahu dan maha kuasa

                serta tukang-tukang sihir haus darah dan

                kekuasaan mengintai kita dari segala

                penjuru

Mereka bagai karbon monoksida yang

                berkeliaran di ruang-waktu meracuni darah

                merahmu dan menghisap sel-sel syarafmu

Tak ada lagi keamanan di negeri ini, engkau

                bisa saja raib tanpa seorangpun sahabat atau

                kerabatmu mengetahuinya

Dan hanya ikan di kali-kali yang menangisi

                kepergianmu

Lalu siapa yang akan mengabarkan kepedihan

                ini kepada Bunda terkasih?

Ah, bila penguasa tak suka padamu, lebih baik

                sebelum pergi dari rumahmu, ucapkan

                selamat tinggal pada kerabat-kerabat dan

                sahabat-sahabatmu

Beri makan binatang-binatang kesayanganmu

                dan katakan, “Hari-hari semakin

                mengerikan, penuh darah dan kekejaman di

                negeri ini, mudah-mudahan kita bisa

                berjumpa lagi di saat makan siang nanti,

                atau dalam ribuan hari lagi, atau malah tidak

                kembali sama sekali”

(Ah, kenangkanlah segala impian, mimpi buruk

                dan kebahagiaan kecil yang kita alami

                hingga hari terakhir kehidupan kita)

 

Engkau boleh saja berteriak itu barbar, tak

                beradab, memperkosa keadilan, akal budi

                dan hati-nurani

Tapi apalah artinya teriakan-teriakanmu bila

                sipir-sipir maha-tahu dan maha-kuasa serta

                tukang-tukang sihir haus darah dan

                kekuasaan menjerat tali gantungan ke

                lehermu dan menutup pernapasanmu,

                kemudian membakar kornea matamu, dan

                memisahkanmu tiba-tiba dari Bunda terkasih,

                sahabat-sahabatmu serta kerabat-kerabatmu

 

Ya, kita harus bersimpuh di hadapan Bunda

                terkasih, mencium kedua pipinya, kemudian

                memohon doa restunya

Karena kita tak tahu, apakah akan berjumpa

                lagi dengan Bunda terkasih, segalanya serba

                tak pasti. Manusia serta kehidupan tak

                berharga sama sekali di negeri ini

Kita juga tak tahu siapakah yang bakal

                mengabari Bunda terkasih dan menghiburnya

                di hari-hari dukanya

Sebaiknya, tinggalkanlah secarik kertas di

                pembaringan yang bakal kita tinggalkan,

                semoga Bunda masih mencium kehadiran dan

                mendengar getar kesakitan suara kita dari

                balik terali besi penyiksaan atau dari balik

                debu-debu beku pengubur tubuh kering kita.

                Dan tuliskanlah, (Mungkin ini tulisan

                terakhir di batu nisan nanti? Akan

                bernisankah kuburan kita nanti?) “If the man

                who wants to build up a better life for the

                People (the oppressed and exploited people)

                and fight for it and build up democracy, social

                justice, human rights, sovereignty of the

                people in the realm of politics, economic and

                culture; because he believes in brotherhood,

                individual uniqueness, man’s curiousity (the

                strength of man’s reason) and he is the heresy

                for himself must be called a rebel; so then call

                me a rebel”

 

Setidaknya Bunda kita terkasih bisa mengerti

                bila tak ada seorang pun di muka bumi

                memahami manusia mabuk dan kesepian

                semacam kita

 

Percayalah Bunda terkasih pasti memahami

Bunda terkasih pasti memahami

Kebon Waru, Desember 1989

 

DI MESJID, NUSAKAMBANGAN

Ini padang-perburuan-abadi

“Kenapa nanah menggelegak di alam-raya?”

 

Seperti bayang-bayang: Sendirian

Aku beku-mematung di ruang-waktu

 

Aku-duka-abadi

Aku-duka-abadi

 

“Baiklah, kita berpisah saja”

Nusakambangan, September 1990

Sukamiskin, Oktober 1990

 

AKU TAK LAGI BERMIMPI, ESTRAGON!*

Sekarang aku di sini, saudaraku, menghirup

Nanah luka-lukaku. Sendirian

Terlontar ke alam raya rintisanku dan melukis-

lukis Kejalanganku di dinding langit beku

Aku tak lagi bermimpi, Estragon!

Aku tak lagi bermimpi, Estragon!

Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini

tak ada yang kumengerti selain Perubahan Abadi

Dalam Neraka Jahanam dan Daging Busuk ini

tak ada yang kumengerti selain Pertanyaan Abadi

Aku kini ruang-waktu-abadi bagi diriku sendiri!

Telah kutinggalkan segalanya. Aku muak pada segalanya

Juga dirimu!

Di manakah Manusia? Di manakah janji para

pengecut dan pelacur itu?

Lihatlah, hanya Kuburan Tandus dan Pesta

Kematian yang bermakna di Bumi Luka Parah ini

Lihatlah bebatuan dan langit-terbakar

mengucurkan darah

Ah, berdustakah aku?

Ciumlah amis darah di belantara kata-kata,

dalam kerongkonganmu, dalam

kerongkongan waktu, dalam Kitab-Sucimu

Ciumlah amis darah dalam mimpi-mimpi dan

doa-doa ketakutanmu

Atau dalam Cinta!

Bayi dungu dilahirkan entah untuk apa dan

dengan riangnya menari-nari memuja

Ketololan si Penjaja Kebenaran dan Jalan Keabadian

Di alun-alun kota, kabarnya tempat nabi-nabi

ditasbihkan, yang terdengar hanya jeritan

dan tangisan tak berkesudahan

- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan

agar kesepian dan kematian tak lagi

menghancurkan kegembiraan hidup dan

jalinan kasih sayang?

- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan

untuk melupakan kenangan dan mimpi-

buruk dalam cekikan ruang waktu berdarah ini?

- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan

agar dapat kumengerti siapakah

sebenarnya kita, darimana berasal dan

akan ke mana pergi?

- Dokter berapa butir aspirinkah harus ditelan

agar orang mati bisa berbincang di Pasar

Malam dan tak lagi menjadi dongeng untuk

menakuti anak-anak, para pengecut dan

pelacur Kehidupan?

- Ah, haruskah kucekik engkau untuk dusta

yang bersemayam di alam raya, tuan dokter?

- Engkau butuh aspirin dalam dosis yang paling

mematikan, bukan?

- Dokter, kegelisahan pikiran adalah hantu

barbar yang melayang-layang tanpa basa-

basi di urat syaraf dan begitu bebal

terhadap doa maupun mantera dari nabi

paling sempurna sekalipun. Kenapa Neraka

Jahanam dan Daging Busuk ini harus

didustakan, tuan dokter?

- Bukankah kesederhanaan pikiran adalah doa

tersakti kaum pengecut dan pelacur yang

menjadikan bumi sebagai Rumah Ibadat

dan Pabrik Anggur bagi Pesta Pembunuhan?

- Hopla, mari pergi! kata Estragon

- Tidak! Tidak! Aku tak mau pergi, inilah

Kerajaan Deritaku!

- Ah, lihatlah langit terbakar, tak kau ciumkah

bau usus hangus dari perutmu sendiri?

- Estragon, bukankah Penantian Tanpa Akhir ini

menjadikan kita Tuan atas nasib sendiri?

- Kita tak menantikan apa-apa di sini.

Pengadilan Agung itu hanya dusta kaum

pengecut dan pelacur. Neraka Jahanam dan

Daging Busuk inilah Hidup kita. Di luar

dinding ini hanya Sepi dan Ketiadaan

bertahta. Dan dirimu adalah Keputusanmu.

Titik.

- Tapi Estragon, aku ingin melupakan hujan-

beku di dalam hatiku, membakar semua

pakaian kegelisahanku, melupakan semua

Tarian Tolol Kehidupan kita dan segala

Upacara Berdarah dalam Drama Sia-Sia ini.

Ini bukan kegilaan dan aku tak ingin

mendustakan Neraka Jahanam dan Daging

Busuk yang mencincang urat syaraf dan

nurani kita. Bagaimana itu mungkin,

Estragon? Akankah kupilih segala

kejahatan yang merayu-rayu ini?

- Aku telah membunuh si Pendusta yang

mengaku Hakim Agung itu dan telah

kubakar segala makna tindakan di

Kerongkongan Waktu Gulita ini

- Aku bermimpi bahwa aku tak lagi bermimpi,

bukankah begitu pikiranmu, Estragon? Tapi

engkau dalam pakaian badut dan tingkah

laku memuakkan itu dapat menari-nari

riang dalam kubangan darah leluhur dan

sanak-saudaramu, juga Bundamu. Tak

adakah yang memberatkan hatimu? Engkau

ingin melupakan kesia-siaan Hidup dan

Ketidaktahuanmu? Tidakkah semua ini

menyentakkan urat syaraf, lalu kita

melawan sehabis-habisnya?

- Baiklah Estragon, walaupun          rayuan untuk

menyederhanakan Hidup mengguncang

impian dan kesadaranku. Aku tak mau

pergi. Inilah Kerajaan Deritaku. Engkau

pergilah, ajak Vladimir. Aku tak

menantikan apa-apa di sini dan lupakanlah

Pengadilan Agung itu. Bukankah semuanya

hanya mimpi tolol masa kanak-kanak kita

 

Lalu tentang Dosa dan Hari Pembalasan

sebaiknya diabadikan sebagai dongeng

satu babak di Pasar Malam untuk

menghibur hati kita yang lelah setelah

bertempur di front terdepan mengurangi

Darah, Penderitaan dan Keputusasaan.

Namun engkaupun mengerti Estragon

bahwa aku tak memaknakan apa-apa dan

tak memahami apa-apa. Aku hanya ingin

menyayangi sanak saudaraku, manusia

yang Letih dan Menderita ini dan melawan

sehabis-habisnya Ketololan para penjaja

Kebenaran dan Jalan Keabadian

Inilah aku. Aku kini ruang waktu abadi bagi

diriku sendiri!

Akulah duka anak-dara yang bunuh diri

Akulah duka anak-dara yang bunuh diri

surat putih dan genangan airmatanya

membakar urat syarafku, membakar

kedustaan hidupku dan mengabari bahwa

aku hidup dalam Neraka Jahanam dan

Daging Busuk

Inilah bumiku. Inilah Kerajaan Deritaku!

Aku mengerti betapa menyakitkan semua ini.

Aku memilih tindakan yang kupandang sia-

sia untuk mengguncang ruang-waktu yang

sia-sia dan memuakkan ini

Wahai, beri daku satu ciuman di bibir kering ini

kejahatan merayu-rayu di belantara kata-kata

Di manakah manusia? Di manakah janji para

pengecut dan pelacur itu?

Hopla...

Mari pergi

Mari pergi

Tidak!...tidak! Aku tak mau pergi, inilah

Kerajaan Deritaku

Kebonwaru, agustus 1990

Nusakambangan, September 1990

* Nama Estragon dan Vladimir diambil dari nama tokoh badut dalam Waiting for Godot, karya Samuel Beckett (English Edition, London: Faber dan Faber, 1955)

 

 

TENTANG M. FADJROEL RACHMAN

M. Fadjroel Rachman kelahiran Banjarmasin, 17 Januari 1964. pernah kuliah di Jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung hingga mengerjakan tugas akhir, tapi tidak selesai karena terlibat Peristiwa 5 Agustus 1989 dan dipenjarakan 3 tahun (dijalani di Penjara Bakorstanasda Jawa Barat, Penjara Kebun Waru, Penjara Polwiltabes Bandung, Penjara Nusakambangan dan Penjara Sukamiskin Bandung). Pernah menjadi presiden grup apresiasi sastra (GAS) ITB tahun 1985-1986. Antologi puisinya: Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia (penerbit pikiran rakyat/granesia bekerjasama dengan kelompok sepuluh  Bandung, 1985). Kumpulan puisi tunggal pertamanya: Catatan Bawah Tanah (1993)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler