Skip to Content

PUISI-PUISI RAUDAL TANJUNG BANUA

Foto SIHALOHOLISTICK

AYAH DAN BURUNG-BURUNG

aku terbayang ayah yang melangkah di pematang

sawah kenangan. sesekali langkahnya tertegun

ngungun bersama embun. kadang ayah

bagai orang-orangan dari jerami

di tengah menguning padi. kusentakkan tali rindu

di antara kami. maka tersintaklah ayah

bersama riuh burung-burung yang berlepasan

tak kembali lagi.

yogyakarta, 2011

 

 

DI BOULEVARD, UGM

Berdiri di sini

di sisi pinus merkusi tua

kita menjelma nafas hidupnya;

pucuk menusuk langit tinggi

akar tetap tegak di bumi

datanglah angin, kita tak akan

            pernah terlelap

menyandarkan impian padanya

kita mencatat usia

yang diberikan waktu

kepada kita

Waktu, sang penentu yang bijak itu,

            tak pernah berkhianat

pada setiap tunas yang tumbuh

ia memberikan segalanya

tapi yang kita butuhkan hanya sedikit;

bagaimana pintu terbuka, dan di langit

kita saksikan ribuan bintang ...

Yogyakarta, 1998

 

KENANGAN, ARAH SEGALA SIMPANG

Setiap kita punya kata dan peta

Suratan telapak tangan. Pernahkah kau baca

Di luar restu tukang ramal?

 

Aku membacanya dengan caraku sendiri

Di sepanjang jalan kesunyian. Kusaksikan

Begitu banyak simpang yang kubawa berlari

Dalam diri, hingga tak satu pun tersimpan

Untuk kujadikan tanda dan lambang

Agar terbaca semua orang.

 

Maka dengan sedih dan nyeri kukepalkan telapak tanganku ini

Mengacungnya ke langit, ke bintang-bintang, kuingin ia

            berputar

Dan berpendar, bagai globe, bola dunia, di keheningan

            puncak malam.

 

Begitulah ia terus berputar dengan sumbu sebelah lengan

Yang bersitahan dari penat, pusat segala lenggang

Sampai aku tersadar, rute masih panjang

Sedang bintang-bintang tak kunjung jadi rambu

Di tajam tikung jalan. Kiri-kanan

 

Nganga ngarai atau ujung jurang, apapun

Tanganku telah terbuka membentang sekalian salam

Kepada sesama seperjalanan. Juga sungai dan batu-batu

Kusentuh tanpa genggaman, hingga kau dan aku berlalu

Dalam sesenggol sentuhan ngilu, dalam sepenggal

Kenangan pilu. Sedang kenangan,

 

Kau tahu, kenangan adalah batu yang menjadi

Jantung jurang, adalah sungai yang menjadi

Jiwa ngarai, meski tak ada lagi bintang penerang

Di bentangan peta nasib telapak tanganku ini.

 

Tapi, di remang ujung jalan sebelum sempurna kelam

Kusaksikan sekalian simpang, berkilatan, ternyata mengarah

Ke satu tujuan: Kenangan!

 

Maka, kulenggangkan tanganku, kau langgengkan kata

Perpisahan, agar kenangan menjadi tanda dan lambang

Kekal terbaca di setiap simpang.

Yogyakarta, 2002-2003

 

 

SURAT YANG TAK (PERNAH) SELESAI

            : gus tf

 

Sebuah surat

hakikat beribu

kalimat sakitku

 

Akan kutulis padamu

Begitu malam

            Dan jalan-jalan

mengibaskan nasib yang payah

maka tersedulah aku

            teringat rumah!

 

Kugali sungai di kertas surat

air mata sunyi alir airnya

agar hanyut sangsaiku

            ke alamat rindu

maka rebahlah aku

            menahan sedu yang entah!

 

Sebuah surat adalah sungai

berhulu jauh

karena itu ia tak akan pernah selesai

dan mungkin tak akan sampai

padamu.

Denpasar, 1997

 

ALIENASI

- kuta

 

Cahaya memanjang menikam pesisir yang basah

meneteskan kenanganku di sayap-sayap senja

kukumpulkan pasir kerinduan, ‘kan kubangun

wajahmu di sini, walau rapuh:

Ombak berlapis mengintai silih berganti

Sekali waktu harus kurela

mata, kaki, tangan dan rambutmu terseret pergi

hanya wajahmu setia kupertahankan hingga nanti

 

Menatap langit, ceruk yang tenggelam ke tepian laut

istana camar yang tak pernah sendiri

kutiadakan kesetiaan camar, dan kunikmati

            kecemburuan ini

sambil menangkap angin lewat

dalam igauan

 

Di dahan yang kurus, kau terbuai kenangan

dan tak pernah bisa kugapai walau sesaat.

Kuta, 1996

 

 

JALAN KE BUKIT PENUH DURI

-- untuk Afrizal Malna

 

Ya, jalan ke bukit sudah berubah

dalam langkahku kini;

semak-semak meninggi, penuh duri

rumput, ilalang pun jelatang

berebut tumbuh di celah batu

menggores pundakku, sia-sia

mencari bekas pondok, pohon-pohon, mata air

bahkan batas ladang yang lama ditinggalkan

 

Tak ada suara seruling atau denting kecapi

di ladang-ladang mati. Tak ada langkah penyabit rumput

untuk lenguh ternak yang memang tak kedengaran lagi

Tak ada gegas laki-laki turun ke teratak

menyandang sekarung gandum musim panen.

 

Tapi aku tetap saja berjalan, mendaki

di antara kabut dan duri. Menguak semak-semak dan onak,

penuh debar, bagai menguak cadar perawan

(gadis-gadis kecil sepermainan)

berharap bertemu runcing bukit dan lekuk lembah kenangan.

 

Terus saja aku berjalan mengikuti desau ilalang

dari jurang ke jurang. Barangkali itulah lembah biru

tempat paling riang dalam hidupku:

yang di dasarnya memancar mata air

tempat membasuh lelah ibu

tempat pernah kugoreskan namaku di batu licin

tempat benih dan bijian tumbuh di subur rahim

tempat ayah berkubur akhirnya di gembur rahim.

 

Sungguh, semak-semak terasa bergetar

oleh rindu! Bahkan duri-duri terasa akrab

memahkotai diri. Dan aku gemetar, terbayang

semangka curian yang terlepas dari pangkuan

menggelinding liar dan jatuh di batu;

o, merah isinya bagai gelegak darah mudaku

ingin segera pergi mengenal peta baru dari lautan!

(tapi mengapa tak kunjung kukenali kembali

peta lama ladang sendiri di bukit-bukit pesakitan ini?)

 

wajahku tergores ilalang, bersama kembang

      darah mengalir dari kuntum usia yang hilang

ke dalam jurang. Sadarlah aku, semak bergetar

bukan karena rindu-dendam, bukan karena kilau bayang

      masa silam

tapi gedesau liar babi hutan atau geliat lapar harimau

      kumbang...

 

aku tersintak, hari hampir malam, atau barangkali matahari

tak sampai ke mari (telah jatuh di laut jauh). Aku tertatih

menyandang ransel sarat beban. Apa yang kau bawa

      penyair letih?

Bertanya aku pada diri sendiri, pada sepi. Apa yang kubawa?

 

Peta-peta kusam-kelabu. Tak terbaca karena gagu. Sobekan

      layar hilang warna

Pudar disepuh laut jauh tak berberita. Patahan jangkar.

      Bungkulan garam.

Sirip hiu. Moncong todak. Kulit penyu. Bulu camar. Akar bahar.

Kertas-kertas penuh coretan.

 

Pernah aku berkata, di pelabuhan penghabisan:

“Akan kugenapkan koleksi benda-benda yang kusimpan

serbuk cengkeh dan pala penuh aroma. Minyak nilam.

      Mata cangkul

dari tanah hitam. Bulu enggang. Paruh kuau. Jimat cakar

      elang. Taring celeng

Ketapel. Batu-batu lumutan. Akan kususun jadi bahasa baru

      penuh gema,

meski mungkin hanya aku yang tahu maknanya, aku seorang!”

 

Karena itulah aku pulang, berziarah. Persetan segala lelah!

Aku toh bisa bersandar di pohon rindang

dekat batu besar (serasa pokok ketapang di pantai, di celah

      karang)

Kelepak elang pulang sarang berselisih kelepak kelelawar

      ke luar kandang,

mengingatkan malam benar-benar akan segera datang

Aku tiba-tiba merasa sendirian, di tengah hutan, di dalam kelam

terasing di tengah tanda dan lambang-lambang

yang belum terumuskan. Sampai-

 

tanganku yang capai meraba licin lumut, lalu seperti tersesat

di kasat huruf. Aku temukan apa yang pernah kugoreskan:

batu itu menyimpan nama masa kecilku!

 

Dan segera kukenali kini: bekas pondok lapuk terlantar,

pusara tua, pancuran lama. Lalu, lidahku yang kelu

menyeru-nyeru ibu, “Ibu! Ibu! Kutemukan lembah yang riang

dan kemilau mata airku!”

 

Bahkan kunang-kunang pun berkilau di tepi hutan

dan semak-semak penuh duri, bercahaya. Aku teringat

bintang-bintang di atas pulau karang, penuh ranjau

Namun tetap kucari kata-kata yang lama hilang

dan kini terdampar di belantara warisan nenek-moyang!

 

Kutulis lagi mata bajak dan genta sapi

sampai semak kembali bergetar oleh irama yang akrab

      dikenali

bergetar, dalam pusaran angin malam. Bergetar, karena cinta

dan rindu-dendam. Aku pun gemetar, dan diam-diam

      menyorotkan cahaya senter ke tepi hutan;

sepasang mata harimau kumbang

bagai teror di jalan pulang!

 

Aduh ibu, mengapa teror kembali berulang

di ladang-ladang mati dan jelan penuh duri? Aduh, betapa berat

jalan kembali!

 

Tiba-tiba sebumbung asap menari dari sebalik bukit

yang lain lagi. Tapi bukan pertanda ladang atau tempat berdiang

yang aman. Tak ada aroma pisang panggang

      dan kelepak enggang

melainkan kobaran api, teror demi teror

melumat kenangan

 

Dan aku tinggal sendiri, di atas puing ribuan lambang:

menulis dengan abu, puntung dan arang

beserta perih duri-duri

tetap dengan riang...

Rumahlebah, yogyakarta, 2002

 

CERITAKAN PADAKU TENTANG IKAN

            : Wahida

 

Ceritakan padaku tentang ikan

yang tiap hari melintas menyapamu

Dari balik kaca tempatnya merentang sirip

Barangkali dirindunya matamu

Sebuah telaga sejuk berdayung nasib

 

Apa yang terbayang

ketika ikan-ikan kecil dan lucu itu

            akan menuju negeri yang jauh?

 

Telah ditawarkan keindahannya

Kepada dunia yang tak dikenalnya

Dipaksa melupakan karang-ganggang

            dunia sederhana miliknya

 

Tapi mengapa tak kita tawarkan

indahnya persaudaraan

Ke negeri-negeri yang jauh

            bahkan ke dunia yang kita punya?

 

Ceritakan padaku tentang ikan

Saat akan berangkat

Sampaikah lambaianmu menyentuhnya.

 

Pernahkah kau bayangkan

Aku satu di antara mereka

yang merindukan matamu

jadi telaga paling setia

            menadah lukaku?

 

Ceritakan padaku tentang seekor ikan

dari negeri yang jauh

setia melintas menyapamu

dari balik dunia kecil yang ia punya.

 

Ceritakan hanya padaku

Biar kudapatkan jawabannya.

Denpasar, 1996

 

 

TENTANG RAUDAL TANJUNG BANUA

Raudal Tanjung Banua lahir di desa Lansano, Kenagarian Taratak, Kab. Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada 19 Januari 1975. Awal 1995, merantau ke Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Lalu pergi ke Yogya, masuk jurusan teater ISI, mendirikan komunitas rumahlebah dan bergiat di Akar Indonesia. Buku kumpulan cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003) dan Ziarah bagi yang Hidup (Matahari, 2004).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler