Skip to Content

PUISI-PUISI SAPARDI DJOKO DAMONO

Foto SIHALOHOLISTICK

SONET: Y

Walau kita sering bertemu
Di antara orang-orang melawat ke kubur itu
Di sela-sela suara biru
Bencah-bencah kelabu dan ungu
Walau kau sering kukenang
Di antara kata-kata yang lama t’lah hilang
Terkunci dalam bayang-bayang
Dendam remang
Walau aku sering kau sapa
Di setiap simpang cuaca
Hijau menjelma merah cuaca
Di pusing jantra
Ku tak tahu kenapa merindu
Tergagap gugup di ruang tunggu

 

SONNET: X

Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut biru
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernafas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah kata-kataku
Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
: Siapa aku

 

SONET: HEI! JANGAN KAU PATAHKAN

Hei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu
Ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
Yang telah mengenal baik, kau tahu,
Segala perubahan cuaca.
Bayangkan: Akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
Hujanpun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
Dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan
Dengan gaib, dari rahim Alam.
Jangan; saksikan saja dengan teliti
Bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
Membunuhnya dengan hati-hati sekali
Dalam Kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;
Lihat: Iapun terkulai pelahan-lahan
Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan

 

AKU TENGAH MENANTIMU

Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
Kudengar berulang suara gelombang udara memecah
Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak
Sepi
Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun
Menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama

 

SONET: ENTAH SEJAK KAPAN

Entah sejak kapan kita suka gugup
Di antara frasa-frasa pongah
Di kain rentang yang berlubang-lubang
Sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan
Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
Di kain rentang yang ditiup angin,
Yang diikat di antara batang pohon
Dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela
Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
Rupanya kita suka membayangkan diri kita
Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya
Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin

 

SONET: KAU BERTANYA APA

Untuk Wing Kardjo

Kau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih,
Di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya
Suara orang berkhotbah, berceramah, dan berselisih.
Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah
Menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan
Rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus,
Pohon-pohon tumbang - di dalam kata masih saja
Setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis
Diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu,
Di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil,
Cericit anak-anak burung, suit daun jatuh,
Dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita
Saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan.
Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.

 

BUNGA, 1

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketikanampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-selageraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ....
Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

 

BUNGA, 2

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam

 

BUNGA, 3

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah membawa pergi jasadku?"

 

CERMIN, 1

cermin tak pernah berteriak;
ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terhisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?

 

CERMIN, 2

mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin;
tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana;
dan cermin menangkapmu sia-sia

 

ANGIN, 1

angin yang diciptakan untuk senantiasa bergerak dari sudut ke sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, "hei siapa ini yang mendadak di depanku?"
angin itu tersentak kembali ketika kemudian terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi
-- sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di tengah bising-bising ini tanpa Hawa

 

ANGIN, 2

Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.

 

ANGIN, 3

"Seandainya aku bukan ......
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
"Seandainya aku . . . ., ."
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
"Seandainya ......
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.

 

MATA PISAU

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

 

DI ATAS BATU

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana ke mari
ia pandang sekeliling : matahari yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor capung
-- ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

 

DI SEBUAH HALTE BIS

Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih.
Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.

 

CARA MEMBUNUH BURUNG

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian
soalnya ia baka

 

DI TANGAN ANAK-ANAK

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung . yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."

 

ATAS KEMERDEKAAN

kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut
di atasnya : langit dan badai tak henti-henti
di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita
sementara seekor ular melilit pohon itu :
inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah

 

AIR SELOKAN

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

 

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.

 

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.

 

TENTANG MATAHARI

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata :
"Ini matahari! Ini matahari!"
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.

 

TELINGA

"Masuklah ke telingaku," bujuknya.
Gila
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci -- setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
"Masuklah," bujuknya.
Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.

 

TEKUKUR

Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. "Kena!" serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. "Tapi ke mana terbang burung luka itu?" gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
"Merdu benar suara tekukur itu," kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

 

TAJAM HUJANMU

tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu:
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu,
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya,
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan
deras dinginmu
sembilu hujanmu

 

 

SUDAH KUTEBAK

Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
Kutebak si pengail masih terkantuk-kantukdi tepi sungai itu.
Sendirian.

 

SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

 

SETANGAN KENANGAN

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ....

 

SELAMAT PAGI INDONESIA

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu

 

SERULING

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya ....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.

 

SAJAK TELUR

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur

 

PESAN

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya.
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....

 

SAJAK SUBUH

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, "Jangan bermimpi!" dan ia terkejut tak mengerti.
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya.
"Jangan bermimpi!" gertak mereka.
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....

 

SAJAK NOPEMBER

Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik
tapi katakanlah kepada anak cucu kami;
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu
bertimbun dalam satu lobang
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami
terompet yang paling lantang ditiup
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu
kami pun bangkit dari kubur
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu
tanpa tahu siapa kami ini
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah
di ladang dan di laut, meskipun kalian
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan
dan kami tak lain baja yang membara hancur
oleh pukulan
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami
tapi besok mesti tiba giliranmu
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak
ingat untuk apa kamu pergi
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan
apa saja untuknya
jawablah : ya
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan
bahasa dan kehendak kami
sudah kau dengarkah suara napas kami
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak
tapi toh tak ada bedanya:
kami telah memulainya
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya :
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan
bagimu adalah awal pertaruhan
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi
meski kami pernah kau kenal atau tidak
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung
lantaran satu harapan yang pasti
walau tak pernah kembali

kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan
mengeluarkan ampun
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati
kami telah mati
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami
kami telah berkelahi; dan mati
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami
dan mengatakannya kepada siapa pun
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami
yang telah mati pagi sekali
dan berjalan tanpa nama dan tanda
dalam satu lobang kubur
kami telah lahir dan selalu lahir
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah
selalu dan selalu berkelahi
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak
yang menyanyikan lagu puja hari ini
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta

 

PERISTIWA PAGI TADI

kepada GM

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

 

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! "
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan berisik, mengganggu .
hujan!"
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam,
hardiknya, 'lepaskan daun itu!"

 

PESTA

pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

 

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit."

 

KUTERKA GERIMIS

Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu

 

LIRIK UNTUK LAGU POP

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis
-- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!)
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut
-- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!)
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek
-- ketika hutan mendadak gaib
jangan pejamkan matamu:

 

KUKIRIMKAN PADAMU

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.

 

KISAH

Kau pergi, sehabis menutup pintu pagar sambil sekilas menoleh namamu sendiri yang tercetak di plat alumunium itu. Hari itu musim hujan yang panjang dan sejak itu mereka tak pernah melihatmu lagi.
Sehabis penghujan reda, plat nama itu ditumbuhi lumut sehingga tak bisa terbaca lagi.
Hari ini seorang yang mirip denganmu nampak berhenti di depan pintu pagar rumahmu, seperti mencari sesuatu. la bersihkan lumut dari plat itu, Ialu dibacanya namamu nyaring-nyaring.
Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.

 

KEPOMPONG ITU

kepompong yang tergantung di daun jambu itu mendengar kutukmu yang kacau terhadap hawa lembab ketika kau menutup jendela waktu hari hujan
kepompong itu juga mendengar rohmu yang bermimpi dan meninggalkan tubuhmu: melepaskan diri lewat celah pintu, melayang di udara dingin sambil bernyanyi dengan suara bening dan bermuatan bau bunga
dan kepompong itu hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan-kiri, belum saatnya ia menjelma kupu-kupu; dan, kau tahu , ia tak berhak bermimpi

 

KETIKA MENUNGGU BIS KOTA, MALAM-MALAM

"Hus, itu bukan anjing; itu capung!" katanya. Tapi capung tak pernah terbang malam, bukan? Capung tak suka ke tempat sampah
-- biasanya ia hinggap di ujung daun rumput waktu pagi hari,
dan kalau ada gadis kecil akan menangkapnya ia pun terbang ke balik pagar sambil mendengarkan suara "aahh!" Tubuhnya mungil, bukan?
Sedangkan yang kulihat tadi jelas anjing kampung yang ekornya buntung, menjilatjilat tempat sampah yang di seberang halte itu, mengelilinginya,
lalu kencing di sudutnya.
Hanya saja, aku memang tak melihat ke mana gaibnya.
"Itu capung!" katanya. Sayang sekali bahwa kau merasa tak melihat apa pun di seberang sana tadi.

 

HATIKU SELEMBAR DAUN

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

 

GONGGONG ANJING

untuk Rizki

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur
lalu merayapi pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah
menyusup lewat celah-celah genting
bergema dalam kamar demi kamar
tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?" tanya sunyi

 

PERTAPA

Jangan mengganggu:
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata -- ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna -- masih beranikah kau menyapaku, Saudara?

 

DUA PERISTIWA DALAM SATU SAJAK DUA BAGIAN

1
sehabis langkah-langkah kaki: hening
siapa?
barangkali si pesuruh yang tersesat dan gagal menemukan tempat- tinggalmu padahal sejak semula sudah diikutinya jejakmu
padahal harus lekas-lekas disampaikannya pesan itu padamu

2
seolah-olah kau harus segera mengucapkan sederet kata
yang pernah kaukenal artinya,
yang membuatmu terkenang akan batang randu alas tua
yang suka menjeritjerit kalau sarat berbunga

 

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

 

AKULAH SI TELAGA

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
-- perahumu biar aku yang menjaganya

 

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

 

PERTAPA

Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah

     gua, atau sebutir telur, atau sepatah kata — ah, apa pula

     bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar,

     sudah merupakan benih, sudah mencapai makna — masih

     beranikah kau menyapaku, Saudara?

 

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.

     “Tapi,

yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

 

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.

 

TELINGA

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
                                     Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci — setiap kata, setiap huruf,

bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
                         “Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-

baiknya apa pun yang dibisikkannya

kepada diri sendiri.

 

TAJAM HUJANMU

      tajam hujanmu
      ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-

goyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari ping

gir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-

ganjal di tenggorokan

      deras dinginmu

:sembilu hujanmu

 

DI TANGAN ANAK-ANAK

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad

yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung

yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;

di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.


“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”

 

AKULAH SI TELAGA

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan

      bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu

      biar aku yang menjaganya

 

SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon, jalan,

dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu

dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.

 

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh

di pohon, jalan, dan selokan –

menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh

waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

 

SERULING

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, me-

     nutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan

     putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdu-

     nya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-

     nganga.

 

CARA MEMBUNUH BURUNG

bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk

      bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita

      belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau

      setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting

      pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering

      ingin sendirian
soalnya ia baka

 

GONGGONG ANJING

untuk Rizki

 

gonggong anjing itu mula-mula lengket di lumpur lalu merayapi

      pohon cemara dan tergelincir terbanting di atas rumah me-

      nyusup lewat celah-celah genting bergema dalam kamar demi

      kamar tersuling lewat mimpi seorang anak lelaki
“siapa itu yang bernyanyi bagai bidadari?” tanya sunyi

 

PERISTIWA PAGI TADI

kepada GM

 

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor

      tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang

      sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-

      bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang

      terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu

      diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah

      jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai

      di rumah sakit.

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa

      itu.

 

DI ATAS BATU

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah

      kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana

      ke mari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang - timbul di sela

      goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali,

      beberapa ekor capung –

ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

 

PROLOGUE

masih terdengar sampai di sini

dukaMu abadi. Malam pun sesaat terhenti

sewaktu dingin pun terdiam, di luar

langit yang membayang samar

 

kueja setia, semua pun yang sempat tiba

sehabis menempuh ladang Qain dan bukit Golgota

sehabis menyekap beribu kata, di sini

di rongga-rongga yang mengecil ini

 

kusapa dukaMu jua, yang dahulu

yang meniupkan zarah ruang dan waktu

yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca:

sepi manusia, jelaga

 

KEPADA ISTRIKU

pandanglah yang masih sempat ada

pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana

sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara

terpantul di dinding-dinding gua

 

pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya

waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia

langit mengekalkan warna birunya

bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata

 

DI STASION

pilar-pilar besi kekal menanti

di sebelahnya: kita yang mempercayai hati

seakan putih semata, senantiasa

seakan detik lupa meloncat tiba-tiba

 

sepi pun lengkap ketika kereta tiba

sebelum siap kita menerima

hari di mana

hari tak ada ketika kita menyusun kata-kata

 

HARI PUN TIBA

hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa

kita berkemas sementara jarum melewati angka-angka

kau pun menyapa: ke mana kita

tiba-tiba terasa musim mulai menanggalkan daun-daunnya

 

tiba-tiba terasa kita tak sanggup menyelesaikan kata

tiba-tiba terasa bahwa hanya tersisa gema

sewaktu hari pun merapat

jarum jam hibuk membilang saat-saat terlambat

 

JARAK

dan Adam turun ke hutan-hutan

mengabur dalam dongengan

dan kita tiba-tiba di sini

tengadah ke langit: kosong-sepi ...

 

 

KITA SAKSIKAN

kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu itu cuaca pun senyap seketika

sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

 

di antara hari buruk dan dunia maya

kita pun kembali mengenalnya

kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata

saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

 

SAJAK PUTIH

beribu saat dalam kenangan

surut perlahan

kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh

sewaktu detik pun jatuh

 

kita dengar bumi yang tua dalam setia

Kasih tanpa suara

sewaktu bayang-bayang kita memanjang

mengabur batas ruang

 

kita pun bisu tersekat dalam pesona

sewaktu ia pun memanggil-manggil

sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil

di luar cuaca

 

DUA SAJAK DI BAWAH SATU NAMA

I

darah tercecer di ladang itu. Siapa pula

binatang korban kali ini, saudara?

Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita

semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana

 

awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya:

telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa

(aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka

masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia)

 

II

kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah

tengah hari kita bertemu kembali; sehabis

kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri

bertahan menghadapi Matahari

 

dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku

berlumur darah saudaraku sendiri

pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti

dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi

 

benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa

tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan

awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa

menggugurkan daunan; segala atas namamu: Kesunyian

 

 

KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita

siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba

(malam berkabut seketika) Barangkali menjemputku

barangkali berkabar penghujan itu

 

kita terdiam saja di pintu. Menunggu

atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu

kenalkah ia padamu, desakmu (Kemudian sepi

terbata-bata menghardik berulang kali)

 

bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan

ucapkan selamat malam; undurlah perlahan

(pastilah sudah gugur hujan

di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

 

kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku:

bunuhlah ia, suamiku (Kutatap kelam itu

bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku

lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

 

GERIMIS JATUH

kepada: arifin c. noer

 

gerimis jatuh kaudengar suara di pintu

bayang-bayang angin berdiri di depanmu

tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata

menjelma malam, tak ada yang di sana

 

tak usah; kata membeku, detik

meruncing di ujung Sepi itu

menggelincir jatuh

waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu

 

LANSKAP

sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua

waktu hari hampir lengkap, menunggu senja

putih, kita pun putih memandangnya setia

sampai habis semua senja

 

TELOR

Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih,

        Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan

        melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang

        kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore

        tadi.

Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau

        isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya.

 

TAMAN JEPANG, HONOLULU

inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:

jalan setapak yang berbelit, matahari

yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air

yang membuat setiap jawaban tertunda

 

PERCAKAPAN MALAM HUJAN

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung

        berdiri di samping tiang listrik.

Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar

        kujaga malam.”

 

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara

        desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan

        menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”

 

NARSISUS

seperti juga aku: namamu siapa, bukan?

pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam

tetapi jangan saja kita bercinta

jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma

 

atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun

dan jatuh di telaga: pandangmu berpendar, bukan?

cemaskan aku kalau nanti air hening kembali

cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi

 

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku

       di belakang

aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang

       di depan

aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami

       yang telah menciptakan bayang-bayang

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara

       kami yang harus berjalan di depan

 

DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO

“Siapakah namamu?” barangkali aku setengah tertidur waktu

       kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong,     

       beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela:

       siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu,

       bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku,

       sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga.

 

Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa

      sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang

      pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar

      anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras

      denyutnya, jantung manusia atau arloji (yang biasa

      menghitung nafas kita), ketika seorang membayangkan

      sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita

      namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang per-

      tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter-  

      jaga.

 

Seandainya -

 

MATA PISAU

mata pisau itu tak berkejap menatapmu:

kau yang baru saja mengasahnya

berfikir: ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

 

PADA SUATU PAGI HARI

     Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

     Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-tintik di lorong sepi pada suatu pagi. 

 

KETIKA BERHENTI DI SINI

ketika berhenti di sini ia mengerti

ada yang telah musnah. Beberapa patah kata

yang segera dijemput angin

begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun

 

HUJAN DALAM KOMPOSISI 1

       “Apakah yang kautangkap dari swara hujan,

dari daun-daun bugenvil basah yang teratur

mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap

dari bau tanah, dari ricik air

yang turun di selokan?”

 

       Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah

dan hujan, membayangkan rahasia daun basah

serta ketukan yang berulang.

 

       “Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri

yang di balik pintu memimpikan ketukan itu,

memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan

bisik yang membersit dari titik air

menggelincir dari daun dekat jendela itu.

Atau memimpikan semacam suku kata

yang akan mengantarmu tidur.”

 

       Barangkali sudah terlalu sering ia

mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.

 

HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula

ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu

mengkristal dalam dingin; kemudian melayang

jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa

pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,

melenting di atas genting, tumpah di pekarangan

rumah, dan kembali ke bumi.

 

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di

jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge-

lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya,

menyusur selokan, terus mericik sejak sore,

mericik juga di malam gelap ini, bercakap

tentang lautan.

 

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di

        lautan. Selamat malam.

 

HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya:

terpisah dari hujan

 

POHON BELIMBING

Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh

yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang

lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan

kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya.

            Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya

di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena

konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan

menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau

jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem?

            Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa

belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami

adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika

ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin

bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon

belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?

            Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi

tua juga akhirnya?

 

 

 

TENTANG TUHAN

            Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan

bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat

segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa

memperhitungkan hari.

            Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita

sama sekali.

            Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak

kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.

 

SONET 4

“Hidup terasa benar-benar tak mau redup

ketika sudah kaudengar pesan:

suatu hari semua bunyi rapat tertutup”.

Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan.

 

Tapi bukankah masih ada langit

yang tak pernah tertutup pelupuknya,

yang menerima segala yang terbersit

bahkan dari mulut si tuli dan si buta?

 

Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar;

kita pun diam-diam mendengarkannya,

“Cinta terasa baru benar-benar membakar

ketika pesa kaudengar: padamkan nyalanya!”

 

Kita pun menyanyi selepas-lepasnya,

sepasang kekasih yang tuli dan buta.

 

SONET 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi

mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas.

Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?

Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

 

memohon diselamatkan dari haru biru

yang meragi dalam sumsumku; tak pantas lagi

menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu

agar tak menjadi  bagian dari aroma waktu kini.

 

Sampai yang pernah bergerit di kasur

tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?

Sampai kedua bola matamu kabur,

sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

 

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang

dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.

 

SONET 14

Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin

kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi.

Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin

ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi.

 

Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu

kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua,

didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru,

disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara

 

malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan

lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu?

Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan

mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu

 

bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi,

apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi?

 

SUDAH LAMA AKU BELAJAR

/1/

sudah lama aku belajar memahami

apa pun yang terdengar di sekitarku,

sudah lama belajar menghayati

apa pun yang terlihat di sekelilingku,

sudah lama belajar menerima

apa pun yang kauberikan

tanpa pernah bertanya apa ini apa itu,

sudah sangat lama belajar mengagumi matahai

ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku,

sudah sangat lama belajar bertanya

kepada diri sendiri

mengapa kau selalu memandangku begitu.

 

/2/

Ia menyaksikanmu memutar

kunci pintu rumahmu,

masuk, dan menutupnya kembali.

 

/3/

Kalau pada suatu hari nanti

kau mengetuk pintu

tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya.

 

KENANGAN

/1/

ia meletakkan kenangannya

dengan sangat hati-hati

di laci meja dan menguncinya

memasukkan anak kunci ke saku celana

sebelum berangkat ke sebuah kota

yang sudah sangat lama hapus

dari peta yang pernah digambarnya

pada suatu musim layang-layang

 

/2/

tak didengarnya lagi

suara air mulai mendidih

di laci yang rapat terkunci

 

/3/

ia telah meletakkan hidupnya

di antara tanda petik

 

TUKANG KEBUN

Setelah beberapa kali ketukan,

pintu kubuka; rupanya ada tamu

yang, katanya, menjemputku sore hari ini

Apakah aku sudah pernah mengenalnya?

 

Waktu kutanyakan pergi ke mana,

jawabnya ringkas, “Ke sana, ke samudra raya!”

Ditunjukkannya pula rajah di lengannya:

gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca.

 

Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan

di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar

menghayati rumput, pohon, dan tanah basah,

mengurus pagar dan membersihkan rumah.

 

Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi.

Pandanganku tinggal sejengkal,

dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal.

Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk.

 

Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya

siapa gerangan yang telah mengutusnya.

 

PADA SUATU MAGRIB

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini;

hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib.

Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini,

Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip

 

TENTU. KAU BOLEH

Tentu. Kau boleh saja masuk

masih ada ruang

di sela-sela butir darahku.

Tak hanya ketika rumahku sepi,

angin hanya menyentuh gorden,

laba-laba menganyam jaring,

terdengar tetes air keran

yang tak ditutup rapat;

dan di jalan

sama sekali tak ada orang

atau kendaraan lewat.

Tapi juga ketika turun hujan,

angin tempias lewat lubang angin,

selokan ribut dan meluap ke pekarangan,

genting bocor dan aku capek

menggulung kasur dan mengepel lantai.

Tentu. Kau boleh mengalir

di sela-sela butir darahku,

keluar masuk dinding-dinding jantungku,

menyapa setiap sel tubuhku.

Tetapi jangan sekali-kali

pura-pura bertanya kapan boleh pergi

atau seenaknya melupakan

percintaan ini.

              Sampai huruf terakhir

sajak ini, Kau-lah yang harus

bertanggung jawab

atas air mataku.

 

PERTANYAAN KERIKIL YANG GOBLOK

“Kenapa aku berada di sini?”

tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja

dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki,

merontokkan beberapa lembar daun mangga,

menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat,

dan sejenak membuat lengkungan yang indah

di udara, lalu jatuh di jalan raya

tepat ketika ada truk lewat di sana.

Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban

dan malah bertanya kenapa;

ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana,

ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata,

“Mengganggu saja!”

 

AYAT-AYAT TOKYO

/1/

angin memahatkan tiga patah kata

di kelopak sakura –

ada yang diam-diam membacanya

 

/2/

ada kuntum melayang jatuh

air tergelincir dari payung itu;

“kita bergegas,” katanya

 

/3/

kita pandang daun bermunculan

kita pandang bunga berguguran

kita diam: berpandangan

 

/4/

kemarin tak berpangkal, besok tak berujung –

tak tahu mesti ke mana

angin menyambar bunga gugur itu

 

/5/

lengking sakura –

tapi angin tuli

dan langit buta

 

/6/

menjelma burung gereja

menghirup langit dalam-dalam –

angin musim semi

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler