Skip to Content

SASTRA SEBAGAI SARANA REFLEKSI DIRI

Foto SIHALOHOLISTICK

Arifin M.Z.

PENDAHULUAN

Sebagai insan Tuhan yang terlahir fitrah dengan dibekali daya cipta, rasa, dan karsa, tentu tidak akan pernah lepas dari kehidupan bersastra. Sastra merupakan hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang dapat dikatakan sebagai cerminan kehidupan. Sastra tidak pernah lepas dari pengalaman hidup dan imajinasinya (Suryaman, 2004: 285).

Kehidupan manusia dengan berbagai macam persoalannya menyuguhkan realitas yang menarik untuk kemudian diangkat dalam sastra. Sastra tidak pernah berangkat dari fiktif belaka, apa lagi berangkat dari kepalsuan, akan tetapi sastra selalu berangkat dari realitas, sehingga sastra terkadang dikatakan sebagai bias dan bayang-bayang kehidupan (Suryaman, 2004: 287).

Sastra sebagai bagian kehidupan, memiliki perannya tersendiri. Berbagai peran sastra sebenarnya sangatlah menarik untuk diperbincangkan, bahwa melalui sastra seorang pembaca atau bahkan pengarang akan mendapatkan kesannya tersendiri. Artinya, melalui sastra ada banyak manfaat yang dapat diambil, baik bagi para penikmat sastra atau bagi pengarangnya, sehingga sastra dapat menjadi sarana refleksi diri. Oleh karena itu, pada dasarnya sastra dapat pula dijadikan sebagai suatu pembelajaran tersendiri.

HAKIKAT SASTRA

Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Dalam pengertian tersebut, maka dapat dimengerti bahwa sastra tidak terbatas pada tulisan yang memiliki nilai estetis tinggi, akan tetapi dapat dipahami secara luas. Merujuk pada pernyataan tersebut, maka segala ssesuatu yang tertulis, entah itu buku kedokteran, ilmu sosial, atau apa saja yang tertulis adalah sastra (Wiyatmi, 2006: 14).

Sastra dibatasi pada “mahakarya”, yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresinya (Wellek dan Warren, 1990: 13). Merujuk pada definisi yang dikemukakan Wellek dan Warren tersebut, maka dapat dipahami bahwa sastra adalah karya-karya fenomenal yang punya keunggulan tersendiri. Sementara itu, sastra juga dapat didefinisikan sebagai karya yang imajinatif (Wellek dan Warren, 1990: 20). Definisi tersebut tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imaji (citra). Artinya, deifinisi tersebut tidak dapat menjadi hokum yang mutlak dalam memahami sastra.

Berbagai pendapat mengenai definisi sastra tersebut, seutuhnya tidak pernah memiliki nilai mutlak. Hal ini menunjukan bahwa sastra terus mengalami perubahannya. Dengan demikian, sesungguhnya sastra tidak dapat sekedar diwakili dengan beberapa definisi seperti tersebut. Sastra diibaratkan seperti angin, berada dimana saja dan kapan saja (Wiyatmi, 2006: 14), sehingga ketika didefinisikan tidak akan pernah menemui kesempurnaan, akan tetapi justru sebaliknya, selalu terasa kurang sempurna.

Berbeda dengan Wellek dan Warren, kaum romantik, sebagaimana dikutip oleh Luxemburg dkk (dalam Wiyatmi, 2006: 15), mengemukakan beberapa ciri sastra. Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya.

Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra, terungkapkan napsu-napsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam. Ketiga, sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sastrawan hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Keempat, otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi ini pertama-tama mengacu pada keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal balik antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya.

Kelima, sastra menghadirkan sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Artinya ada pertentangan-pertentangan yang beragam didalamnya. Ada pertentangan yang disadari dan tidak disadari, antara pria dan wanita, dan seterusnya. Keenam, sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Artinya, melalui sastra dapat ditemui hal-hal yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, mengungkapkan apa yang tidak diungkapkan secara sadar sebagai asosiasi dan konotasi yang jarang pula ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah menguraikan pandangan kaum romantik tersebut, Luxemburg dkk (dalam Wiyatmi, 2006: 16) berpendapat bahwa, “Tidaklah mungkin memberikan sebuah definisi tentang sastra secara universal. Baginya, sastra bukanlah sebuah benda yang di  mana tempat sama saja. Sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam lingkungan kebudayaan.”

Sementara itu, menurut Hoggart (dalam Suryaman, 2004: 288) karya sastra memang merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keempat ke kebenaran: melalui sastra pembaca seringkali jauh lebih baik dari pada melalui tulisan sosiologi serta dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Pernyataan tersebut secara jelas mengartikan bahwasanya karya sastra tidak bisa dipandang sebelah mata, karya sastra dapat menjadi media pembelajaran hidup dan tentunya punya manfaatnya tersendiri.

Merujuk pada pernyataan sebelumnya, bahwasanya karya sastra adalah dokumen sosial, maka jelas sudah suatu karya sastra pun selalu punya korelasi dengan persoalan sosial yang menjadi bagian tak terkecuali dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Pada akhirnya suatu karya sastra mampu pula untuk menjadi media atau wadah yang menyimpan persoalan sosial yang terjadi dalam masyarakat, demikianlah sehingga suatu karya sastra mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan yang lainnya, bahwa suatu karya sastra yang baik tidak akan pernah melewatkan dua hal, yaitu memberikan hiburan dan yang terpenting adalah memberikan manfaatnya tersendiri tanpa harus mengurangi nilai estetis dari segi sastranya (Suryaman, 2004: 288).

MANFAAT KARYA SASTRA SEBAGAI REFLEKSI

Pembaca suatu karya sastra adalah masyarakat yang tentu saja mempunyai latar belakang sosial dan budaya tersendiri dan beraneka ragam, dengan demikian setiap pembaca akan menginterpretasikan suatu karya sastra dengan cara dan sudut pandang yang berbeda pula. Artinya, setiap pembaca yang satu dengan yang lain akan mendapatkan kesan yang berbeda pada karya sastra yang sama, bahkan sekalipun pada pembaca yang sama, ketika membacakan suatu karya sastra yang sama akan tetapi pada waktu dan tempat yang berbeda pun akan memberikan kesan yang berbeda pula.

Namun demikian, yang tidak dapat dipungkiri adalah suatu karya sastra selalu punya hubungan dengan realitas yang ada, dengan masalah-masalah manusia dengan kemanusiaan, baik manusia sebagai pribadi atau pun manusia sebagai masyarakat yang hidup bersama-sama dan saling bersinggungan satu sama lain. Paling tidak dalam suatu karya sastra, pengarang akan selalu menyelipkan sesuatu sebagai apa yang hendak disampaikan kepada para pembacanya.

Sebuah karya sastra pada hakikatnya mungkin merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan (Hoerip, 1982: 195). Persoalannya adalah bagaimana reaksi itu dinyatakan, apakah hanya sekedar reaksi spontan atau justru sebuah reaksi yang kemudian telah dipikirkan secara mendalam. Hal demikian tentu dapat dimengerti bahwa karya sastra lahir dan dipengaruhi pada keadaan tertentu. Oleh karena itu, karya sastra sebagai dokumen peristiwa pada masanya, dapat menjadi suatu pembelajaran tersendiri bagi para pembacanya, dapat dijadikan sebagai sarana refleksi diri agar mencapai perbaikan.

Sementara itu, Edgar Allan Poe sebagai seorang penyair dan cerpenis (dalam Wellek dan Warren, 1990: 25) menyatakan bahwa sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Pernyataan tersebut secara jelas menjelaskan bahwa sastra mempunyai manfaat yang simultan. Artinya, di samping memiliki fungsi menghibur dengan nilai-nilai estetisnya, sastra juga dapat berguna dalam mengajarkan sesuatu kepada para pembaca.

Puisi sebagai salah satu genre sastra, secara jelas didefinisikan sebagai refleksi realitas (Sayuti, 2010: 29). Artinya, puisi berhubungan dengan kenyataan. Puisi merupakan imitasi, refleksi, atau representasi dunia dan kehidupan nyata (Sayuti, 2010: 29). Pernyataan lain yang berkaitan erat dengan pernyataan sebelumnya, bahwa puisi itu indah dan berguna (Wellek dan Warren, 1990: 25). Bermacam pendapat tersebut dapat ditarik garis besarnya, bahwa sastra selain memiliki keindahan juga memiliki manfaat tersendiri bagi para pembacanya, sehingga dapat menjadi suatu sara renungan.

Membicarakan sastra dan kemanfaatannya tentu ada hubungannya dengan pendekatan pragmatik. Menurut Pradopo (dalam Wiyatmi, 2006: 85) pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya, pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya.

Penjelasan mengenai pendekatan pragmatik tersebut paling tidak dapat menggambarkan pula bahwa sastra sebagai sarana menyampaikan tujuan tertentu kepada para pembaca. Berbagai macam aspek yang terdapat dalam sastra tentu diharapkan dapat memberikan suatu pengalaman dan pemahaman tersendiri bagi para pembaca. Dari berbagai uraian tersebut, tentu secara jelas dapat dipahami bahwa sastra dapat dijadikan sebagai media renungan atau sebagai sarana refleksi diri.

KESIMPULAN

Sastra sebagai karya seni seutuhnya tidak akan mampu melepaskan diri dari berbagai gejala yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat memberikan berbagai macam permasalahan yang kemudian dapat diolah dan disuguhkan dengan kreatif oleh pengarang sebagai suatu hasil karya sastra yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai suatu dokumen sosial. Artinya, berbagai macam realitas yang terdapat dalam kebidupan bermasyarakat dapat pula direkam dalam bentuk tulisan yang imajinatif dan mampu memberikan faedahnya tersendiri. Mengandung sisi kemanfaatan tanpa harus mengurangi aspek kesusastraannya yang menuntut adanya nilai estetis dalam sastra.

Sastra adalah sarana pembelajaran yang baik dan menyenangkan. Melalui sastra, para pembaca dapat mengambil berbagai manfaat yang ada di dalamnya, baik dari segi hiburan atau pun dari segi yang lain sebagai pembelajaran. Dengan menghayati sastra secara utuh, maka pembaca akan mendapatkan pengalaman hidup yang mungkin saja tidak pernah ditemui. Pembaca juga dapat menjumpai berbagai hal yang berkaitan dengan nilai baik dan buruk, sehingga secara keseluruhan sastra dapat menjadi sarana refleksi diri yang baik.


DAFTAR PUSTAKA

Hoerip, Satyagraha. 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rohman, Arif. 2010. Pendidikan Komparatif. Yogyakarta: Laksbang Grafika.

Sayuti, S. A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

Suryaman, M. 2004. “Nilai Sastra Dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari”. Litera, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol. III, No. 2, Juli2004.

Wellek, R & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Theory of Litterature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler