Skip to Content

NADA PERENIAL DAN KETIMURAN DALAM SASTRA INDONESIA

Foto SIHALOHOLISTICK

 Abdul Hadi W. M.

            Setidak-tidaknya ada empat hal yang perlu saya kemukakan sebelum perbincangan yang sebenarnya dimulai. Pertama, berhubung suntuknya waktu maka contoh karya yang dibahas dalam makalah ini terbatas pada karya pengarang yang pernah saya bicarakan dalam karangan-karangan saya terdahulu yang kebetulan dapat saya temukan. Seandainya ini dianggap sebagai mengulang apa yang telah dikemukakan tidak apa, sebab tidak semua yang hadir di sini berpeluang membaca karangan-karangan saya sebelum ini.

            Kedua, istilah atau perkataan ‘ketimuran’ yang saya gunakan di sini merupakan padanan dari istilah mashriqiya (dari kata mashriq yang artinya ialah timur) yang diperkenalkan Ibn Sina dalam sebuah risalah filsafatnya, yaitu bentuk-bentuk kearifan yang menekankan pada keutamaan metode intuitif dan illuminatif (kashf) dalam menyingkap kebenaran dan realitas atau hakekat kehidupan. Dengan itu timur diberi arti simbolik, bukan menunjuk pada kenyataan geografis yaitu tempat lahirnya kearifan tersebut dalam peta bumi. Disebut demikian karena timur merupakan tempat terbitnya cahaya matahari, sedangkan dalam jiwa manusia cahaya muncul dari penglihatan batin disebabkan tercerahkannya pikiran serta tersingkapnya mata kalbu dari hijab yang menghalanginya dalam melihat hakekat kehidupan. Oleh karena itu karya-karya yang disebut ketimuran tidak hanya dijumpai dalam kesusastraan Timur, seperti misalnya dalam karya Chuang Tze, Li Po, Ibn Tufayl, `Attar, Rumi, Hafiz, Tulsidas, Tukaram, Mpu Kanwa, Hamzah Fansuri, Mira Bai, Ghalib, Iqbal, Tagore, Khalil Gibran, dan Amir Hamzah. Tetapi juga dalam kesusastraan Barat seperti tampak dalam karya Virgil, Dante, Meister Erkhard, William Blake, Goethe, Emerson, Herman Hesse, Martin Lings, dan lain-lain. Hanya disebabkan oleh faktor-faktor sejarah yang berbeda kearifan yang bercorak ketimuran bertahan hingga masa paling akhir di Timur (Orient), dan redup sebegitu lama di Barat (Occident). Di Barat ia menjadi redup sejak renassaince dan berkembangnya rasionalisme pada abad ke-17 dan 18 M, dan terlebih-lebih dengan datangnya zaman Pencerahan (Aufklaerung) dan bangkitnya positivisme/neo-positivisme yang menenggelamkan semangat pencarian nilai-nilai spiritual transendental.

             Ketiga, cara memandang dunia yang berbeda menyebabkan estetika yang melandasi penciptaan karya-karya yang disebut ketimuran juga berbeda. Konsekwensinya cara melihat hakekat dan fungsi sastra juga berbeda. Pada umumnya penulis ketimuran berpegang pada pendirian bahwa karya sastra merupakan kalau bukan presentasi (penyajian) adalah sebagai representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman spiritual pengarang. Mereka tidak bertolak dari teori imitasi atau mimesis yang berpendirian bahwa karya sastra adalah imitasi atau tiruan dari kenyataan. Juga tidak dari teori ekspresi yang memandang karya sastra sepenuhnya sebagai ekspresi individual pengarang.

Keempat, karya-karya bernada ketimuran dalam sastra Indonesia modern pada umumnya bercorak sintetik dalam arti mengandung perpaduan unsur-unsur dari mistisisme Hindu (tantrisme dan Vedanta), sufisme (tasawwuf), dan budaya lokal yang berteraskan kepercayaan-kepercayaan seperti syamanisme, totemisme dan animisme. Ke dalamnya tidak jarang juga terserap kearifan-kearifan yang berkembang di Barat, termasuk aliran-aliran kemanusiaan dan kemasyarakatan seperti humanisme, nasionalisme, indivividualisme, sosialisme, eksistensialisme, psikologisme, dan sosiologisme, serta unsur-unsur dari aliran seni serti romantisme, estetisme, ekspresionisme, realisme, surealisme, impresionisme, stream of consciousness, dan lain-lain yang dimodifikasi atau ditransformasikan sedemikian rupa. Untuk meminjam kata-kata dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, “semua itu dilontarkan dengan caranya sendiri” dan dalam konteks sejarah bangsanya yang tersendiri pula.

              Karena bentuk-bentuk kearifan Timur yang diusung oleh telah menjadi bagian dari tradisi kearifan lokal dan translokal bangsa Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa munculnya nada ketimuran dalam sastra Indonesia modern dapat dikatakan sebagai kesinambungan dari tradisi yang telah ada sebelumnya. Bahkan bagi sejumlah penulis Angkatan 70an dan generasi 1980an dipandang sebagai upaya menggali akar tradisi (Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Hamid Jabbar) atau sumber ilham dari tradisi (Danarto, Fudoli Zaini, Zawawi Imron dan lain-lain).

 KESINAMBUNGAN TRADISI

              Memang benar bahwa lahir dan berkembangnya sastra Indonesia modern merupakan hasil dari kontak dan interaksi pengarang atau penyair Indonesia yang berkelanjutan dengan kebudayaan dan sastra modern Barat. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua karya yang dihasilkan oleh mereka sepenuhnya dibayangi oleh aliran-aliran seni dan paham kemanusiaan serta kemasyarakatan yang berkembang subur di Barat. Pengaruh Barat itu secara umum memang memberi dimensi tertentu yang membuat karya-karya penulis Indonesia kelihatan modern dari segi pengucapan, serta gagasan dan tema yang ditonjolkan. Tetapi terdapat cukup banyak pula karya yang memperlihatkan dimensi ketimuran, dan dari segi pengucapan serta gagasan yang dikemukakan merupakan kesinambungan dari tradisi-tradisi yang wujud lama dalam sejarah kesusastraan Nusantara.

             Oleh karena itu adalah tidak adil apabila dalam melihat corak estetika dan cakrawala ide serta wawasan yang melatari penciptaan karya penulis Indonesia modern sepenuhnya bersandar pada pemikiran dan teori Barat, serta norma-norma dan konvensi sastra yang berlaku dalam kesusastraannya. Begitu pula tidaklah cukup memadai apabila dalam melihat perkembangan sastra Indonesia hanya merujuk pada aliran-aliran seni dan pemikiran falsafah serta ideologi kemanusiaan dan kemasyarakatan yang lahir di Barat. Perlu juga untuk memberikan gambaran yang cukup lengkap digunakan teori-teori yang muncul di Timur yang telah lama meresapkan pengaruhnya dalam tradisi penulisan di Indonesia, sebagaimana kearifan, pandangan hidup, wawasan estetika, konvensi dan norma sastra yang diperkenalkan bersama-sama teori tersebut.

             Karya pengarang Indonesia sekitar dasawarsa 1920an, prosa dan puisi, memang secara umum ditulis berdasar wawasan estetika dan pemikiran yang tumbuh dalam sejarah intelektual serta peradaban Barat. Termasuk roman-roman Balai Pustaka sarat dengan pesan ‘menentang adat’, novel bawah tanah Mas Marco yang bercorak marxis dan sajak-sajak Jong Soematra seperti Muhammad Yamin, kemudian Rustam Effendy, Sanusi Pane dan Asmara Hadi yang dijiwai semangat baru kebangsaan. Akan tetapi harus diakui pula bahwa puitika atau bentuk pengucapan mereka, serta bahan verbal bagi penulisan karya mereka, sepenuhnya diambil dari tradisi sastra dan realitas sosial budaya dan politik masyarakatnya yang sedang berada dalam masa peralihan. Maka tidaklah terelakkan tradisi tetap memainkan peranan penting dalam menjiwai dan memberi corak khusus terhadap kesusastraan Indonesia modern.

            Sebagai contoh secara puitik Syair Rempah-rempah Mas Marco misalnya, Bebasari Rustam Effendy, Puspa Mega Sanusi Pane, malahan juga sajak-sajak Muhammad Yamin yang ditulis seakan dalam bentuk soneta dan sajak-sajak Takdir Alisyahbana, tampak jelas masih begitu terikat dengan bentuk pengucapan Melayu klasik, khususnya syair. Dilihat dari segi individualitas ang hendak ditonjolkan, serta bobot dan kedalaman isinya, bahkan juga tidaklah melampaui karya klasik Melayu seperti Syair Perang Makassar Encik Amin (abad ke-17 M) apalagi syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri (abad ke-16 M).

           Keberlanjutan tradisi, baik dari segi estetika maupun kearifan atau pemikiran serta falsafah hidup yang dikemukakan, bahkan semakin tampak dalam fase lebih lanjut dari perkembangan sastra Indonesia. Terutama pada dasawarsa 1930an, terutama dalam karya penulis Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah untuk menyebut yang paling terkemuka, dan kemudian juga termasuk dalam karya Hamka. Sajak-sajak Sanusi Pane, begitu pula lakon-lakonnya seperti Kertajaya dan Sandyakala Ning Majapahit, adalah contoh karya awal sastra Indonesia modern yang bertolak dari wawasan estetika dan kearifan Timur.

           Sandyakala Ning Majapahit misalnya secara struktural pola penyusunan adegan-adegannya tidak jauh berbeda dengan kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa, pujangga Jawa Kuna abad ke-11 M yang hidup pada zaman raja Airlangga di Kediri. Drama ini dibuka dengan adegan Damarwulan yang berhasil dalam samadinya sehingga jiwanya moksha, tidak terbelenggu lagi oleh yang duniawi, dan karenanya memperoleh persatuan mistik dengan Yang Tunggal. Persatuan itu tidakah bersifat ragawi, sebab penyaksian atas kehadiran Yang Tunggal terjadi di lubuk hati terdalam Damarwulan, tokoh utama dalam lakon ini.

           Judul buku puisi Sanusi Pane Madah Kelana, sebagaimana judul buku puisi Amir Hamzah Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi, dan antologi terjemahan puisi-puisi Asia klasik Setanggi Timur, adalah erat kaitannya dengan semangat ketimuran yang merupakan pokok bahasa makalah ini. Kata-kata madah, dari kata Arab madih yang berarti lagu atau sajak pujian kepada seorang tokoh atau tanah air, diperkenalkan dalam sastra Melayu ketika agama Islam berkembang pada abad ke-13-17 M. Sedangkan kata-kata kelana adalah sebutan bagi penempuh jalan kerohanian yang dalam mistisisme Hindu (tantrayana) disebut tantrika dan dalam mistisisme Islam (tasawwuf) disebut salik , yang artinya penempuh jalan kerohanian (suluk). Seperti halnya seorang tantrika dan ahli suluk, seorang penyair yang melakukan pengembaraan spiritual disamakan dengan kelana atau musafir ( “Anak Langkat, musafir lata” Amir Hamzah). Hamzah Fansuri menyebutnya sebagai dagang atau anak dagang, yaitu orang yang merantau ke negeri asing dan di sana singgah sejenak seraya mengumpulkan bekal untuk dibawa pulang ke kampung halamannya yang abadi, yaitu akhirat.

Memang sesudah dua penyair Pujangga Baru perkembangan sastra spiritual ketimuran mengalami masa redup yang agak lama. Ia hanya tampak samar-samar dalam karya Aoh K. Hadimaja (Pecahan Ratna) dan Bachrum Rangkuti. Tetapi pasca 1966, terlebih pada dasawarsa 1970 dan 1980an ia mengalami kebangkitannya kembali. Khususnya seperti tampak dalam cerpen-cerpen Danarto, Kuntowijoyo, dan Fudoli Zaini, puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dan Kuntowijoyo. Sedikit banyak juga dalam beberapa puisi Sapardi Djoko Damono (lihat Duka-Mu Abadi) dan Taufiq Ismail. Namun dalam dasawarsa 1980an tumbuh pesat melalui sajak-sajak Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, dan Ibrahim Sattah, dan terus memperlihatkan jejaknya dalam sajak-sajak air akhir 1980an seperti Ahmadun Y. Herfanda, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Jamal D. Rahman, Ahmad Nurullah, dan lain-lain.

             Kebanyakan karya-karya penulis ini digolongkan sebagai sastra sufistik dengan batasan yang tidak terlalu ketat. Pemberian nama ‘sufistik’ bukannya tanpa alasan, walaupun sering dikaburkan dengan sastra religius. Padahal antara keduanya berbeda, walaupun keduanya dapat saja dimasukkan sebagai karya yang bercorak keislaman atau Islam. Sastra sufistik atau berkecenderungan sufistik ialah karya-karya yang estetik dan pesan moralnya dapat dinisbahkan dengan pandangan hidup ahli tasawuf atau sufi, begitu tema dan gagasan yang dikemukakan. Salah satu pandangan sufi yang sering dijadikan titik tolak penulisan karya sufistik bertalian dengan cara melihat hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan, serta keberadaan secara umum; metode apa yang niscaya dalam mencapai kebenaran dan kesadaran tertinggi yang membuat seseorang mencapai unio mystica (persatuan mistik), dan simbol-simbol estetik apa saja yang dapat digunakan dalam menggambarkan persatuan mistik dan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian di jalan tasawuf?

             Jika sastra religius memandang hubungan manusia dengan Tuhan berdasarkan kedudukan masing-masing yang berbeda selaku Pencipta (khaliq) dan ciptaan (makhluq), maka sastra sufistik menggambarkannya berdasar status ontologis (kewujudan) keduanya di mana keberadaan (eksistensi) yang satu, sebagai wujud nisbi sangat tergantung kepada yang lain sebagai Wujud Mutlak, yang keberadaan-Nya ada dengan sendirinya. Karena secara spiritual jiwa manusia dapat melakukan hubungan langsung dengan-Nya untuk mencapai semacam persatuan batin yang disebut unio mystica atau fana’ dan baqa, yaitu perasaan lenyap dalam keberadaan-Nya dan sekaligus merasakan hidup dalam keabadian-Nya.

            Karena mengenai Yang Abadi, falsafah yang lahir dari sistem pemikiran seperti itu disebut pula sebagai falsafah perennial. Dan karena pengalaman spritual yang diperoleh dan diekspresikan bersifat transenden maka karya-karya seperti digolongkan sebagai sastra transcendental. Karena penyatuan yang dimaksud bersifat mistikal dan terjadi dalam kalbu manusia, karena karya seperti itu kerap disebut sebagai sastra mistikal atau mistik.

            Dalam sastra religius dualitas Kau dan aku dipertahankan oleh karena hal itu memang penting dalam menjelaskan kedudukan dalam tatanan kejadian atau penciptaan alam semesta. Dalam sastra sufistik dualitas itu diusahakan luluh sebab hanya dengan cara demikian dapat diterangkan kertegantungan keberadaan manusia kepada keberadaan Yang Transenden dapat dijelaskan. Sajak Chairil Anwar “Doa” termasuk puisi religius karena memandang hubungan manusia dalam rangka dualitas peranan keduanya yang berbeda. Katannya, “Di pintu-Mu aku mengetuk/Aku tidak bisa berpaling…”. Jadi masih ada dinding yang memisahkan aku lirik dan Kau Tuhan. Sedangkan sajak Amir Hamzah “Hanya Satu” dapat disebut sajak sufistik, karena ada upaya menghapuskan dualitas itu. Kata sang penyair, “Hanya satu kutunggu hasrat/Merasa dikau dekat rapat/Seperti Musa di puncak Tursina.”

              Dalam pandangan sufi, Tuhan hadir dan campur tangan secara tersembunyi dalam sejarah atau setiap peristiwa kemanusiaan. Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an bahwa “Dia selalu dalam banyak pekerjaan setiap saat”, dan bahwa “Kemana pun kau memandang akan tampak wajah-Nya” (yaitu sifat-sifat-Nya yang maha pengasih lagi penyayang – al-rahman dan al-rahim). Lagi dalam ayat lain dikatakan bahwa, “Ayat-ayat-Nya terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia.” Kata ayat di sini dapat diartikan sebagai tanda-tanda kebesaran atau keagungan-Nya, alamat-alamat kehadiran rahasia-Nya yang mendatangkan ketakjuban dalam setiap kejadian dan ciptaan. Oleh karena itu Sayyidina Umar berkata, “Aku tidak pernah melihat sesuatu kejadian, tanpa melihat Tuhan bersamaan dengan itu.”

Arifien C. Noer menulis dalam lakonnya Dalam Bayangan Tuhan baris-baris sajak yang dinyanyikan oleh sekelompok orang tertindas (mustadh`afin) oleh karena dalam keyakinan Islam doa orang yang tertindas itu makbul.

 Biarkan Tuhan bicara

Dengarkan Tuhan bicara

Gunung bergerak perlahan

Hutan meranggas kerontang

Sungai mampat di hulu dan muara

Biarkan Tuhan bicara

Dengarkan Tuhan bicara

 

            Keyakinan bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap peristiwa sejarah dan kemanusiaan di kalangan orang beriman telah melahirkan sejenis teologi yang bisa disebut Teologi Harapan. Teologi seperti ini pernah diajarkan para sufi pada abad ke-13 M ketika tentara Mongol menghancurkan kekhalifatan Abbasiyah pada tahun 1256 M dan membuat orang Islam putus asa dan kehilangan harapan dalam menyongsong masa depan mereka. Tetapi para sufi mengajarkan bahwa pertolongan Tuhan bukan suatu yang mustahil selama manusia masih mencintai-Nya dan saling mencinta antar sesamanya. Juga mereka mengajarkan bahwa datangnya zaman baru yang dipenuhi kegembiraan adalah mungkin ketika suatu kaum berada dalam puncak keputusasaan dan penderitaan.

            Bandingkan potongan sajak Arifien C. Noer tersebut dengan petikan terjemahan sajak Khalil Gibran berikut ini:

 

Kusua rahasia mimpimu di ladang-ladang

Kujumpa keagungan-Mu di lembah-lembah

Kutemukankehendak-Nya pada batu-batuan

Dan diam kekal-Mu yang dalam serta rahasia-Mu di gua-gua

 

Kaulah keabadian dan bibirnya

Tali senar gitar abad-abad dan jemari yang memetiknya

Gagasan tentang hidup dan perlambang-perlambangnya

              Ini bukan pandangan pantheistik atau pendirian yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang ada ialah Tuhan. Ini adalah pandangan yang berkeyakinan bahwa setelah penciptaan alam semesta Tuhan tidak lepas tangan dan terus-menerus meliputi dunia dengan cinta kasih, kemahakuasaan, dan tindakan-tindakan kreatif-Nya yang lain. Karena itu para sufi yakin bahwa di sebalik dunia yang tampak nyata di hadapan kita ini masih banyak dunia lain yang tersembunyi dan menunggu penampakannya. Manusia harus berikhtiar dengan doa dan kerja, dengan cinta dan ikhtiar akal budinya untuk mempercepat penampakan dunia yang tersembunyi itu, sebelum sendi-sendi kehidupannya mengalami keruntuhan akibat busuknya hati dan tiadanya ikhtiar untuk memperbaiki kehidupannya yang bobrok.

              Bandingkan sajak Kahlil Gibran ini dengan sajak “Azimat” Goethe, seorang pelopor gerakan ketimuran di Jerman awal abad ke-19 M:

 Timur milik Tuhan

Barat dalam kuasa Tuhan

Tanah-tanah, utara dan selatan

Di tangan pengasih-Nya semayam

 Dialah yang adil hanya

Apakah yang benar bagi setiap orang?

Dari seratus nama-Nya

Satu sema yang kusanjung! Amien.

 Perjalananku bikin hatiku kusut

Hanya Kau dapat membuat jalanku lurus

Ketika aku menulis atau bekerja

Moga kau saja jadi penunjuk jalanku

                Goete adalah seorang penyair Eropa yang banyak mengambil ilham dari sajak-sajak sufi Persia, khususnya Hafiz. Istilah oriental (ketimuran) yang usungnya sebagainama gerakan sastra yang dipelopornya bukan dalam pengertian geografis atau geopolitik, melainkan nama yang dberikan untuk menunjuk secara simbolik pada sumber pengetahuan yang diperoleh manusa melalui perenungan terhadp Yang Transenden. Dalam hubungan ini Rumi juga menulis dalam sajaknya:

 

 

Tanda-tanda apa yang mengisyaratkan

Adanya bukti tentang dunia yang lain?

Perubahan-perubahan besar, lenyapnya masa lalu

Hari yang baru, malam yang baru

Taman yang baru dan bahaya-bahaya baru

Pada setiap masa ada pikiran baru

Kesenangan baru dan kekayaan baru.

  (Abdul Hadi W. M. 2004)

             Sufi juga percaya, dengan bersandar pada ayat-ayat dalam kitab suci, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bertasbih, bertahmid, berdoa dan sembahyang memuja Tuhan. Diilhami oleh keyakinan ini penyair 1980an yang cukup terkemuka Ahmadun Y. Herfanda menulis sajak protes sosialnya yang religius seperti berikut:

 Walau kaubungkam suara azan

Walau kaugusur rumah-rumah Tuhan

Aku rerumputan

Takkan berhenti sembahyang

Inna shalati wa nusuki

Wa mahyaaya wa mamati

Lillahi rabbil `alamin

 

Topan menyapi luas padang

Tubuhku bergoyang-goyang

Tapi tetap teguh dalam sembahyang

Akarku yang mengurat di bumi

Tak berhenti mengucapo shalawat nabi

 

Sembahyangku sembahyang rumputan

Sembahyang penyerahan jiwa dan badan

Yang rindu terbaring di pangkuan tuhan

Sembahyangku sembahyang rumputan

Sembahyang penyerahan habis-habisan

 (“Sembahyang Rumputan” 1996)

              Tak diragukan sajak ini diilhami oleh pandangan sufi tentang hubungan erat dunia ciptaan dengan Sang Khaliq. Rumputan sebagai citraan puitik dalam sajak tersebut mengalami transformasi menjadi kaum yang tertindas, yang pada umumnya disebut grass root (akar rumput). BERSAMBUNG

 Sanusi Pane (1905-1968)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler