Skip to Content

MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA (BAGIAN 09)

Foto SIHALOHOLISTICK

(kupasan kedua dari paragraf kedua, lewat esainya Dr. Ignas Kleden)

Oleh: NUREL JAVISSYARQI

 

Alibi bukan sosok gagasan / bayangannya, pula bukan anak kembaran, tapi duplikat, palsu, plagiat. Bukan cahaya atau ditempainya, tidak. Namun arsip bodong sengaja mencipta penggandaan semu, mengada sedari perkiraan, direka-reka keberadaanya, demi memperkuat nafsu yang tak terlaksana.

Tubuh alibi menempati ruang asing tak berpijak detikan debu, namun tetap mengusahakan dirinya demi dihayati kedudukannya sebagai materi, dengan membikin hukum kausalitan akalan. Mereka terus memposisikan ada, bukan di seberang jalan, tetapi pekabutan kosong di sebaliknya. Kala berkeras melacaknya sampai dasar tragedi, tiada alam puitik kecuali hampa tidak berlandaskan kenyataan. Di sana tipuan mudah diungkap kecerdikannya yang dangkal.

Alibi semacam mata rantai -kebohongan pohon dari bahan plastik yang cecabangnya tidak berkembang alami, mandek sepanjang prodak kepalsuan meninggikan ranting. Terjatuh pada ungkapannya yang otomatis tak mungkin rimbun pada sebuah taman pemikiran.

Di sini tiada harum sedap daun kecuali aroma-aromahan. Barangsiapa menanamkan alibi, enggan bertanggugjawab kala sudah diketahui khalayak. Seperti seorang tak merasa bersalah menghiasi ruangan dengan bunga-bungaan plastik.

Alibi mengusung menitan data untuk dipertaruhkan di meja hijau demi dihadapkan pada bukti lain berlawan. Dan nyata alibinya- ditempa hukum situasional yang dikandungnya. Tak sekadar alasan, juga menancapi bukti meyakinkan / sugesti, agar patungnya hadir -seolah-olah pernah ada, walau pun menjalar di sebrang ingatan. Di mana bahan plastik tersebut? Ialah hasil para kritikus mengusahakan sederajad kekisah tokoh sebelumnya, mendempul dengan kurang peduli bahan garapannya.

Alibi bukan proses kloning, radak mendekati daya pencar rapalan kanuragan pancasona tetapi tidak. Lebih tepatnya membikin jejak palsu dari seorang buruan dikejar tentara, kaki gemetar simbah darah oleh keterbatasan capaiannya. Tetapak kakinya berpencar sedari titik persinggahan yang diketahui pemburu, ke utara, selatan, timur, barat, bolak-balik sebelum menjatuhkan pilihan ke arah persembunyian. Agar para pencari terperdaya serupa drama televisi perbesar glamor mengejar reting, meski berpaling dari balada paling nyata di hadapan pemirsa.

***

Saya cari padanan sesuai untuk ketahui seluk-beluk maksud SCB dilontarkan Dr. Ignas Kleden lewat menyusuri jejakan lama. Setelah menampilkan kata ‘imitasi’ melalui rerongga lain membuka kemungkinan penghampiran kata; duplikat, palsu, plastik. Dengan menengok buku “Aristotle Poetics” translated with an Introduction and Note by Gerald F. Else, terjemahan Sugiyanto, Penerbit Putra Langit, 2003 Yogya:

“Bagi Plato, “imitasi” merupakan aktifitas yang mengalahkan diri sendiri dan tanpa muatan, maka bagi Aristoteles hal itu merupakan aktifitas yang positif dan subur -dalam batas-batas yang diperbolehkan” (pengantar, hal 13). Dan pada Catatan di halaman 104: “Mimesis, ‘imitasi atau peniruan’, juga berlaku aktif (memiliki sufiks yang sama -sis, = pe-, sebagaimana poiesis). Arti dari imitasi dalam pemikiran Aristoteles akan muncul secara bertahap. Memang ini bukan berarti sekedar penyalinan dari detail yang bermacam-macam. Namun “penyajian” atau “representasi” cenderung menyajikan suatu gagasan yang teramat abstrak. Akar mimesis adalah naluri mimikri manusia.”

Terlihat SCB membeletat kabur dari kearifan Plato serta Aristoteles dengan istilah Alibi (puisi adalah alibi kata-kata), sikapnya senyawa pandangan yang bertumpu kata ‘bebas.’ Sehingga Sutardji Calzoum Bachri mematenkan perihalnya “tidak bertanggungjawab atas karyanya.” Ini menyimpang jauh sedari pemikiran kedua filsuf itu yang masih memiliki bayang realitas, apalagi mimesis ialah naluri mimikri insan. Sebab proses mimikri pun tidak lepas setubuh dilakoninya, seperubahan warna bunglon melindungi diri dari predator.

Sementara SCB berupaya menduplikat untuk meloloskan diri, seuraian IK di paragraf keduanya:“Dalam sebuah esainya Sutardji menulis “puisi adalah alibi kata-kata”. Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Kalau baca gelagat IK tersebut tak mau beresiko terlalu tinggi menuruti hasrat SCB, yang mana sebelumnya IK merombak kata ‘bebas’ ke ‘terobos.’ Namun atas alam kesadarannya, IK melepas jejak kaki duplikat penyair, sebelum ke arah persembunyian (Alibi).

IK paham jika terlampau jauh membentuk ulang garapan SCB, kurang menghargai capaian penyair oleh keimananya yang terlalu. Karenanya dengan ketentuan digenggam kuat pada esainya berusaha menampilkan kadar berbeda, antara menghargai juga menentang secara sembunyi atau teguran samar.

Umpama bercermin pada terbunuhnya Socrates menenggak racun abadi, serta dihadapkan paham Plato dalam kitabnya Republic, yang teringas di buku saya sebut di atas: “(1) penyair adalah peniru (imitator) benda, kemudian menghilang dari kenyataan, dan (2) penyair melayani emosi kita, yakni bagian tidak rasional dan anti rasional dari sifat dasar kita, khususnya kecenderungannya pada rasa kasihan dan ketakutan” (halaman 10-11). Lalu berbalik ke suguhan tahapan mimesis Aristoteles, maka terlihat SCB ingin lepas daripada kebenaran Socrates. Atau tidak menenggak racun kebajikan lewat membuat alibi sebagai dasar kepenyairan, melarikan diri dalam berpuisi.

***

Kalau pahami alibi ungkapannya SCB, serupa menancapi tiang bendera yang dengan itu tidak mau dimaknai, tapi mengartikan sendiri meski gagap. Ia tinggal jejak palsu, demi menarik simpati para ‘pemikir’ terhanyut. Padahal tipuan lampu tengah malam, setarian telanjang tiada kompromi, sebab sudah birahi di dalam ketegangan.

Dan sangat kumprung, jika konsep membebaskan kata dari makna lalu kemudian hari ada memaknai. Sejenis guyonan tak masuk akal, permainan yang jatuh-bangun tergantung pemain / kritikus dalam mengamati keliarannya berkreasi.

Pun tidak berdaging segar, ditengok esai-esainya belum membongkar pemikirannya mengenai kata ‘bebas’ atas khasana bahasa, alias belum punya bangunan nan bisa sebagai pegangan pembacanya. Maka yang terjadi para pembaca dan kritikus mencari-cari gapaiannya, menduga adanya ranting samar, jika tak sopan dikatakan tidak ada.

Tentu jadi guyonan terang, sekiranya penyangkalan saya dianggap menumbangkan patung raksasa. Ini timbal-balik koreksi-mengisari, demi pengadaan diungkap, didudukkan pada porsiya. Tidak me-makhluk asing sedari jemari tangan kesusastraan yang entah sudah terlanjur dimitoskan sebagai mata lain sastra, di sebelah penyair penyadur Chairil Anwar.

Tidakkah hal menjauhkan realitas makna mewujud dalil hayalan, kembali ke jaman kebodohan, karena jauh dari hukum kritis semata cemerlang elang. Yang ditinggikan tanpa membangun realitas nalar, pasti terbuai angan tak menurunkan benih hujan kemungkinan rahmat kehidupan.

Alibi bukan bayangan, meskipun liar cahaya menempa tubuh tetap melekati hukum kepastian yakni setiap gerak bentukan realitas. Alibi berkemiripan sesosok perompak bajing loncat, membuang barang muatan truk di tengah malam, dari truk satu ke truknya. Kelihaiannya mampu mengambil dokumen surat jalan, yang sampai gardu pemeriksaan aman telah mencuri, sedang pemilik barang truk aslinya kehilangan.

Alibi berada di kelas ketiga, lulus keberanian juga lepas kejujuran. Yang terjadi memindahkan realitas ugal-ugalan, hanya mengandalkan surat jalan atau bakat. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh jua.

Demikian pemaknaan pengelana yang bukan kritikus, tidak pembaca sastra yang terbaik, melainkan amatir –mengenai ‘alibi.’ Menurut anda bagaimana?

 

6 Agustus 2011, Sabtu Saniscara  Masehi,

6 Poso 1944, Setu Legi Jawa,

06 Ramadhan 1432 Hijriah.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler