Oleh: Roby Irzal Maulana
Feodalisme dan oligarki politik telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi di Indonesia. Sejak era Soekarno hingga pemerintahan Jokowi, dua kutukan ini terus berkembang, menghambat kemajuan negara dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam.
Jejak Feodalisme Politik Sejak Kemerdekaan
Pada masa Soekarno, feodalisme masih sangat kental dalam sistem pemerintahan. Struktur politik yang berlandaskan pada kekuasaan karismatik membuat segala keputusan berada di tangan elite yang memiliki pengaruh besar. Meski Soekarno menggembar-gemborkan demokrasi terpimpin sebagai solusi atas instabilitas politik, kenyataannya sistem ini justru melahirkan sentralisasi kekuasaan yang memperkuat posisi kelompok elite tertentu.
Ketika Orde Baru berkuasa di bawah Soeharto, feodalisme politik semakin berakar dengan berkembangnya oligarki militer dan kroni-kroninya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bagian dari mekanisme kekuasaan, di mana jaringan kekuasaan dikuasai oleh keluarga, rekan bisnis, serta militer. Masyarakat hanya menjadi objek politik tanpa memiliki akses untuk berpartisipasi secara signifikan.
Reformasi dan Kegagalan Menghapus Oligarki
Reformasi 1998 menjadi titik harapan bagi masyarakat Indonesia untuk membongkar sistem feodal dan oligarkis yang telah mengakar selama lebih dari tiga dekade. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Transisi demokrasi yang diharapkan membawa kebebasan politik malah menjadi lahan subur bagi para oligark untuk merebut kendali negara. Pemilu yang seharusnya menjadi mekanisme demokrasi hanya menjadi ajang transaksi politik di mana kekuatan modal lebih dominan daripada gagasan.
Pemerintahan setelah Soeharto, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Jokowi, menunjukkan pola yang serupa. Oligarki politik tetap menguasai sistem pemerintahan dengan cara yang lebih halus. Partai politik dikuasai oleh elite-elite lama yang berasal dari keluarga politisi atau pengusaha besar. Demokrasi elektoral berubah menjadi sistem yang lebih menyerupai plutokrasi, di mana hanya mereka yang memiliki sumber daya ekonomi yang bisa bersaing dalam kontestasi politik.
Jokowi dan Feodalisme Baru dalam Politik
Era Jokowi yang diharapkan menjadi representasi rakyat biasa ternyata tetap tak lepas dari cengkeraman oligarki. Janji akan reformasi dan perlawanan terhadap elite politik lama justru berakhir dengan akomodasi terhadap kelompok-kelompok tersebut. Bahkan, dinasti politik semakin menguat dengan munculnya anggota keluarga pejabat yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan dan legislatif.
Kasus-kasus seperti revisi UU KPK, pelemahan demokrasi melalui regulasi kontroversial, serta semakin dominannya peran pengusaha dalam pembuatan kebijakan menunjukkan bahwa oligarki politik telah bertransformasi ke dalam bentuk yang lebih kompleks. Kini, Indonesia bukan hanya menghadapi masalah feodalisme politik dalam bentuk tradisional, tetapi juga dalam wujud korporatokrasi, di mana kepentingan pemodal lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan: Mungkinkah Rakyat Menang?
Feodalisme dan oligarki politik adalah dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan dalam realitas politik Indonesia. Sejak era Soekarno hingga Jokowi, reformasi yang diharapkan membawa perubahan ternyata justru memperkokoh dominasi elite. Tanpa kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat dan upaya nyata untuk membongkar sistem yang korup, demokrasi Indonesia akan terus dikooptasi oleh kelompok-kelompok yang berkuasa. Perlawanan terhadap feodalisme politik bukan hanya tugas segelintir individu, tetapi menjadi kewajiban kolektif bagi seluruh rakyat yang menginginkan perubahan nyata bagi bangsa ini.
Komentar
Tulis komentar baru