Skip to Content

SEBUAH JANJI

Bel terakhir telah berbunyi tepat pada pukul 14.00 siang. Sekolah sudah mulai ramai kembali. Dengan begitu semangat, siswa-siswi SMA Harapan Bangsa berbondong-bondong manuju gerbang sekolah yang dibukakan oleh sang penjaga sekolah, dan mereka saling berebutan menaiki angkutan kota yang siap melaju dalam segala cuaca. Kebetulan, pada hari itu hujan sangat deras.

Kini, sekolah mulai sepi tanpa siswa-siswi yang senantiasa meramaikan sekolah itu. Tapi, terlihat tiga orang anak yang sedang asyik bermain-main di koridor dengan air hujan yang menghujani seluruh tanaman di sekolah itu. Mereka adalah Liyana, Nayla, dan Hylman.

Banyak orang yang mengatakan bahwa mereka adalah sahabat yang paling kompak dan ideal. Karena, mereka berjiwa besar, suka saling menolong dalam menghadapi suatu masalah yang jika menimpa salah satu dari mereka. Jadi, persahabatan mereka patut diacungi jempol.

Tiba-tiba, ponsel Nayla berbunyi karena ada pesan baru yang masuk. Dia pun langsung membuka pesan baru itu dan membacanya. Lalu, dia berteriak memanggil kedua temannya, “Temen-temen, ada yang ingin aku sampaikan pada kalian!”

Kedua temannya itu langsung menoleh ke arah Nayla dan menghampirinya. Nayla pun berkata, “Temen-temen, maaf ya, aku harus segera pulang. Karena pacarku sudah menunggu di gerbang sekolah.” Nayla mengatakannya dengan wajah yang penuh dengan penyesalan. Maklumlah, dia adalah anak yang paling lembut dan manis diantara mereka bertiga. “Gak apa-apa kan?” Nayla melanjutkan perkataannya.

“Ya, gak apa-apa. Kita bisa pulang berdua kok.” kata Liyana.

“Ya, bener! Tenang aja lagi, kita kan sahabat yang harus saling pengertian dan saling menghargai setiap keputusan temennya.” kata Hylman dengan bijaknya. Meskipun dia adalah laki-laki yang ada di antara persahabatan itu, dialah yang memiliki rasa sayang dan rasa tenggang rasa yang lebih terhadap teman-temannya.

Nayla pun meninggalkan kedua temannya. Meskipun terlihat kesedihan di wajahnya yang lembut itu. Tapi, tak lupa dia juga selalu menjabat dan melanbaikan tangannya kepada sahabatnya ketika dia pergi.

Suasana sekolah menjadi semakin sepi ketika Nayla pergi, kecuali hujan yang bergemuruh dan semakin deras menghampiri mereka. Tak lama setelah itu, Liyana berencana untuk pulang. Dia berkata sambil menarik tas yang senantiasa berada di punggung Hylman ke dalam langkahnya, “Man, kita pulang yuk! Hujannya semakin deras nih. Aku takut kesorean, dan aku udah janji sama orang tuaku untuk tidak pulang sore.”

Hylman terdiam dan berhenti dari langkahnya. Dia melepaskan genggaman tangan Liyana dari tasnya. Tapi, dia malah terlihat murung ketika ditanya oleh Liyana. “Ada apa? Ayo, kita pulang.”

“Tidak.” jawab Hylman dengan pelan. “Aku ingin, kamu jangan pergi. Cuaca masih hujan. Jangan pergi dariku, Liyana.”

“Kamu kenapa, Hylman? Kenapa kamu manghalangiku untuk pulang? Hari sudah sore, kita harus segera pulang. Mungkin orang tua kita mengkhawatirkan kita. Dan aku tidak bisa memberikan alasan yang tidak jelas kepada orang tuaku kalau aku pulang sore. Ayo pulang!”

Hylman terlihat lebih murung dan tidak bergerak sedikitpun dari pendiriannya. Liyana pun kesal dengan sikap Hylman yang tidak biasanya itu. Dia pun melanjutkan langkahnya. Tapi, terdengar suara orang yang sedang berlari di belakangnya. Ketika dia menoleh, ternyata Hylmanlah yang berlari ke tengah hujan di lapangan. Liyana pun berhenti dengan seketika.

“Liyana, jangan pergi.” teriak Hylman. “Aku menyukaimu. Jangan pergi, Liyana!”

Liyana terheran-heran, kenapa temannya bisa bersikap seperti itu. Dia merasa pusing dan membalikkan badannya dari Hylman, dan berjalan kembali.

“Liyana…”

BRUK.

Liyana kembali terhenti, dengan seketika pula dan tanpa berfikir panjang dia berlari menuju Hylman yang tergeletak di tengah lapangan. “Hylman, kamu kenapa? Bangun!” kata Liyana sambil membangunkan Hylman. Dia takut jika terjadi sesuatu terhadap temannya itu. Dia terus membangunkannya, tapi Hylman tak kunjung bangun. Tanpa terasa Liyana mengeluarkan air mata dan berkata, “Hylman, ayo bangun! Aku takut terjadi apa-apa terhadapmu. Aku juga gak bisa pulang sendiri. Wake up, Please!” kata Liyana sambil berdiri dan membalik badan.

Tiba-tiba, Hylman bangun dan langsung berdiri tepat di depan Liyana. “Yeah, ternyata Liyana mengkhawatirkanku… Asyik-asyik.” katanya dengan senang. Tetapi, setelah melihat wajah Liyana yang murung dan sedih, di berkata, “Maaf, aku tidak bisa menutup-nutupi perasaan ini lagi. Aku sayang padamu. Jadi, apakah kamu bersedia menjadi pacarku?”

PLAK.

Tangan Liyana melayang di pipi Hylman. “Bodoh. Apa yang kamu lakukan, heh? Bikin orang shocked saja.” Kata Liyana setelah menampar Hylman. “Maaf, aku harus segera pulang. Oh ya, untuk kalimatmu yang terakhir, aku tidak bisa melakukannya. Karna, kamu juga tahu perjanjian yang udah aku buat dengan keluargaku. Dan mungkin kamu harus mengerti posisi aku sekarang, OK!” kata Liyana sambil berjalan meninggalkan Hylman.

Setelah Liyana menjauh, Hylman berteriak dan berkata, “Kenapa? Apa aku salah jika menyukaimu?”

“Tidak! Selain itu, aku tidak mau persahabatan yang selama ini kita bangun rusak begitu saja. Aku tidak mau itu terjadi. Udah ya, bye…” jawab Liyana yang terus menjauh dari Hylman sambil melambaikan tangannya.

Hylman terdiam membisu dan terpuruk dalam penyesalannya dengan dihiasi kelamnya hujan di hari itu. Kini, dia menyadari bahwa persahabatan adalah sebuah kekekalan yang tidak akan hilang, dan seorang sahabat adalah permata yang paling terindah yang pernah dimiliki oleh seseorang.

***

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler