Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "KERETA SENJA" KARYA PUTU FAJAR ARCANA

Foto SIHALOHOLISTICK

Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota tampak gamang disepuh cahaya. Orang-orang panik, berlarian, seperti baru saja terjadi ledakan. Di tengah serpihan asap dan bau daging terbakar, sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung memecah kepanikan. Gedung- gedung menghitam karena hangus, seluruh kacanya rontok sehingga jendela-jendela tampak seperti mulut-mulut yang menganga.

Tepat ketika kereta bergerak di tepi kepanikan itu, aku terbangun. Ini mimpi paling buruk yang pernah kualami di saat- saat pergantian hari.

Saat itu juga kuputuskan pergi ke stasiun. Senja yang baru saja tumbuh terus bergerak melewati gedung-gedung yang menjulang. Aku mulai mencemaskan Rhea dan anak-anak. Beberapa waktu lalu mereka kulepas di stasiun. Sampai kereta menghilang di sebuah tikungan yang mengantarkan mereka menuju sebuah kota aku belum juga beranjak.

Senja terasa aneh. Angin seperti menampar-nampar pucuk cemara yang tumbuh di taman sebuah tugu dekat stasiun. Dalam waktu yang tak lama, daun-daun dan kertas-kertas bekas beterbangan sebelum akhirnya terhempas membentur- bentur pilar stasiun. Beberapa pedagang kaki lima yang tadinya terkantuk-kantuk menjerit karena dagangannya berhamburan. Ada yang tak biasa terjadi malam ini. Aku putuskan menunggu beberapa jam. Tetapi sampai jam kota berdentang sembilan kali tidak terjadi apa-apa, kecuali orang-orang yang bergegas pergi atau kembali dari suatu tempat yang jauh.

Esok paginya lewat SMS Rhea berkabar, kakek dan nenek sudah menunggu di stasiun. Lama tak kubalas SMS itu. Tak biasa ayah dan ibu ikut-ikutan menjemput cucu-cucunya sepagi itu. Kukatakan kepada Rhea, mestinya ayah dan ibu jangan diperkenankan ikut menjemput. Tapi menurut Phuja, adik iparku, ayah dan ibu memaksa pergi ke stasiun. Katanya mereka tidak sekadar ingin menjemput, tetapi kebetulan hari itu ulang tahun perkawinan mereka yang ke-40.

“Mengapa harus ke stasiun?” kataku kepada Rhea lewat telepon kemudian.

“Lho ayah dan ibu itu ingin mengenangkan pertemuan mereka terjadi justru di stasiun ini, pagi lagi. Waktu itu ayah masih kuliah di Jakarta, pas pulang kampung eh ibu yang masih sepupu itu ikut- ikutan menjemput. Jadi, menjemput buat mereka itu peristiwa istimewa lho… Sayang kamu tak turut serta ya. Pasti perayaan ini menjadi lebih meriah….”

“Kan sudah kubilang tak bisa meninggalkan pekerjaan.”

Aku agak tenang setelah mendengar penuturan Rhea. Setidaknya sampai aku diganggu mimpi di senja hari itu, tak pernah kucemaskan akan terjadi sesuatu pada mereka. Aku yakin pastilah setiap saat Rhea bisa berkabar, terutama tentang keadaan anak-anak kami. Apalagi ada ayah dan ibu, yang sudah pasti sangat gembira kedatangan cucu-cucu mereka dari kota yang jauh.

Aku tak pernah berpikiran ini perilaku aneh. Sejak diganggu mimpi di senja yang gamang, aku setiap hari pergi ke stasiun. Tak ada alasan yang bisa kujelaskan kepadamu karena aku sendiri pun tak bisa merumuskan dengan terang: mengapa aku tiba-tiba harus berada di stasiun setiap senja tiba.

Sepulang kerja aku turut larut dalam kerumunan orang-orang yang bergegas- gegas seakan ada sesuatu yang penting sedang menunggu. Ketika tubuh-tubuh mereka ditelan gerbong yang sesak, aku hanya duduk di sebuah kursi seolah sedang menunggu sesuatu yang istimewa. Seorang perempuan tua tampak tergencet di antara para lelaki yang berdiri sembari merokok. Orang-orang lain mengipas- ngipas koran untuk mengusir asap rokok yang mengepul.

Seorang perempuan bercelana jeans ketat dan t-shirt putih tampak sibuk dengan telepon genggamnya. Ah, ini pemandangan yang biasa di kota seperti Jakarta. Orang-orang terbiasa memencet-mencet tombol handphone di sembarang tempat sehingga mereka seperti asing berada di antara orang lain. Aku sering membahasakan ini di lingkungan kantorku dengan mengatakan, orang-orang yang berada di tempat tetapi tidak berada di tempat. Kedengarannya rada filosofis, bukan? Tetapi itulah kenyataan manusia modern sekarang. Mereka boleh hadir di antara kita, tetapi sedang berbicara dengan seseorang lain yang berada di suatu tempat. Lalu, apa makna kehadiran kalau begitu?

Aku sedang mempertanyakan diriku. Sebagaimana telah kau tahu, aku sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba kehadiranku di stasiun ini akhirnya menjadi keharusan. Dan kemudian bergegas pulang setelah hampir seluruh kereta berangkat.

Padahal, Rhea lewat SMS sudah bilang ia kira-kira akan pulang menjelang liburan anak-anak usai. Katanya, mungkin sekitar akhir bulan ini. Sekarang baru tanggal 15, artinya ia akan berada di kota itu sekitar dua minggu lagi. Karena itu tidak ada alasan kalau aku mencemaskan keberadaannya. Kalau misalnya sebuah kereta mengalami kecelakaan, sebagaimana cerita dalam mimpiku itu, pastilah Rhea dan anak-anak tidak ada di dalamnya.

Pada hari berikut ketika aku duduk di kursi yang sama lalu mengamati kereta- kereta yang datang dan pergi, senja menjadi semakin aneh. Pelan-pelan perangainya seperti berubah menjadi semacam gua waktu yang dengan rakus menelan hari. Aku tak pernah tahu, apakah kereta yang pergi akan tiba di suatu tempat dan orang-orang bergegas seperti mesin. Apakah juga kereta-kereta akan datang setelah mengunjungi kota-kota yang jauh dari jangkauan pikiranku dan orang- orang seperti dimuntahkan dari mulut gerbong, bergegas dan bergegas.

Kesibukan mereka seperti sebuah lingkaran yang samar-samar. Belum tentu mereka yang pergi dan datang adalah orang-orang yang sama. Barangkali sebagian di antaranya telah menyinggahi kota-kota yang asing dan memutuskan untuk menetap. Kepergian bisa berarti pula tak pernah kembali. Tetapi, sebaliknya kedatangan bisa dipastikan akan berakhir lagi dengan kepergian. Pergi ke suatu tempat yang entah, sebagaimana aku tak pernah tahu ke mana tujuan orang-orang yang bergegas itu.

Pada sebuah senja yang buram, seseorang yang sudah lama tidak pernah kujumpai tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Setelah berpelukan, sebagai basa-basi ia mengatakan akan pergi menengok keluarganya yang tinggal di kota lain. Ketika ia bertanya kepadaku apakah sedang menunggu seseorang, cepat-cepat kujawab, “Aku sedang menunggu istriku.”

“Ooh sedang liburan rupanya?”

“Ya, kebetulan menengok orangtuanya di kampung.”

“Aneh ya kita tinggal di kota yang sama, tapi hampir tidak pernah bertemu,” kata dia sembari mengerutkan alisnya. Saat-saat ia mengucapkan itu, tiba-tiba kulihat ada lubang hitam di keningnya. Dan dari lubang itu keluar suara dengung yang menusuk genderang telingaku.

“Kenapa tiba-tiba kau menutup telinga?” tanyanya.

“Ah, aku paling tidak tahan mendengar derit roda kereta…,” kataku mencari alasan. Untung saja ia cepat-cepat menyadari kalau kereta yang akan membawanya ke sebuah kota segera berangkat.

“Eehh, sampai ketemu lagi. Ini kartu namaku…,” katanya. Sebelum meloncat ke dalam gerbong, ia sempat melemparkan sebuah kartu nama berwarna kelabu. Aku tak begitu memerhatikannya, langsung saja kumasukkan ke dalam saku baju.

Sore berikut aku lihat begitu banyak polisi di stasiun. Mereka bahkan tampak sangat sibuk memeriksa orang-orang yang naik ke atas gerbong. Secara bisik- bisik kudengar kemarin malam terjadi perampokan bersenjata api di atas gerbong kereta. Cepat-cepat kupanggil penjual koran. Setelah yakin akan koran yang kupilih, sebuah koran kota yang dipenuhi berita-berita kriminal, aku duduk di kursi di mana biasa aku menunggu.

Ini sebuah kebetulan atau bukan, kawanku yang sampai kulihat gambarnya di koran itu belum kuingat namanya roboh bersimbah darah di dalam sebuah gerbong. Ialah kawan yang kemarin sore sepintas bercakap denganku lalu melemparkan kartu namanya.

Cepat-cepat kuperiksa saku baju. Dengan tangan gemetar kubaca Sam Kapoor, kawanku yang malang itu, memiliki toko bahan-bahan tekstil di satu kawasan di kota ini. Barangkali ketika perampokan itu terjadi ia berangkat menagih piutang ke sebuah kota lain kepada para pelanggannya. Ah, aku tiba-tiba merasa lelah. Kulorotkan tubuh untuk kemudian mengambil posisi terlentang di sebuah bangku panjang. Stasiun mulai tampak sepi.

Kereta itu lagi-lagi bergerak di tepi senja. Lanskap kota tampak rembang disiram cahaya. Orang-orang panik, berlari tak tentu arah, seperti baru saja terjadi sebuah ledakan dahsyat di sini. Tiba-tiba membayang wajah Rhea dan anak-anak tersekap dalam sebuah gerbong yang gosong….

“Aahhh, Tuhan, aku tidak sedang ingin pembuktian…!!” Seorang polisi tiba-tiba memegang pundakku.

“Saudara sedang apa di sini?” tanyanya.

Dengan gugup karena mimpi sialan tadi kujawab, “Saya sedang menunggu istri dan anak-anak, Pak? Ah maaf apakah tadi saya bermimpi?”

“Saya tidak tahu. Mimpi bukan urusan saya.”

“Apakah masih ada kereta yang akan tiba?”

“Kereta terakhir sudah tiba setengah jam yang lalu.”

“Apakah istri dan anak-anak saya sudah tiba?”

“Itu urusan Saudara. Mungkin mereka sudah pulang.”

“Kalau begitu alangkah bodohnya saya.”

“Sudah beberapa hari ini Saudara tidur di sini. Dan, kami mencurigai Saudara salah satu anggota komplotan perampok itu.”

“Bagaimana mungkin orang yang tertidur dituduh komplotan rampok.”

“Ah, Saudara jelaskan saja nanti di kantor. Ikut kami….”

Dua orang polisi lainnya tiba-tiba nongol dari balik pilar-pilar stasiun. Rupanya mereka sejak beberapa hari ini menguntitku. Berbagai kejadian perampokan di atas gerbong memang telah diberitakan koran kota. Di kantor polisi aku disodori gambar-gambar para korban perampokan yang selalu tergeletak dengan kening berlubang karena tembusan peluru.

“Apakah Saudara yang menembak perempuan ini?” tanya seorang polisi yang lain. Kuperhatikan seorang perempuan dengan celana jeans ketat dan t-shirt putih tergeletak di lantai gerbong.

“Apakah juga Saudara menembak yang ini?” Polisi itu melemparkan foto wajah seorang lelaki yang kuingat selalu mengepulkan asap rokoknya di dalam gerbong.

“Ayo jawab, sebelum kami bertindak kasar!” bentak polisi.

“Apakah tampang saya terlihat seperti perampok?” Aku memberanikan diri bertanya.

“Kami yang bertanya. Saudara hanya dibolehkan menjawab, tahu!”

“Pasti bukan saya Pak. Tetapi, kalau saya menjelaskan sesuatu pasti bapak-bapak tidak akan percaya,” kataku.

“Kami membutuhkan pengakuan, bukan penjelasan!”

“Kalau itu, bukan saya pelakunya Pak. Saya hanya datang ke stasiun untuk menjemput istri dan anak-anak. Itu saja.”

“Apakah Saudara menembak orang- orang ini?” desak seorang polisi yang lain.

“Bagaimana saya menembak, pistol pun tak punya.”

“Saudara minta orang lain.”

“Atas kepentingan apa?”

“Ini kasus perampokan, Saudara! Jangan berbelit-belit.” Seseorang yang bertampang kalem masuk ke ruangan. Setelah beberapa saat tak bicara, lalu ia meminta para polisi itu melepaskan aku. Justru di saat telah terbebas dari tangan para polisi itu, aku merasa berkewajiban menceritakan sesuatu.

“Sebelum dirampok kebetulan orang-orang itu saya lihat di dalam gerbong, dan di kening mereka terlihat lubang hitam tembus sampai ke kepala bagian belakang,” kataku meyakinkan. Aku belum sempat menceritakan mimpiku tentang kereta di batas senja dengan orang-orang yang panik, polisi itu memotong, “Ah itu tak menjelaskan apa pun. Pasti banyak yang melihat mereka sebelum dirampok. Sudah silakan Saudara pulang.”

Aku tidak datang ke stasiun selama beberapa hari. Sampai Rhea memberi tahu ia dan anak-anak akan pulang dalam beberapa hari ini, aku tidak bercerita tentang interogasi polisi. Kalau kuceritakan kebiasaanku mendatangi stasiun saban senja, pastilah tak masuk di akal Rhea. Ia perempuan yang sangat rasional. Tak bakalan menerima alasan-alasan seperti firasat atau semacam kecemasan, apalagi mimpi. Baginya semua harus masuk akal. Kalau aku pergi ke stasiun, haruslah untuk mengantar atau menjemput seseorang, bukan sekadar menyaksikan orang-orang yang datang dan pergi.

Padahal, sekarang justru mengantar dan menjemput itulah yang sedang menjadi persoalan bagiku. Aku merasa sedang berhadapan dengan ambang batas yang samar-samar. Seperti senja yang menganga menelan hari. Kita tak tahu apakah esok akan ada kehidupan lagi. Jangan-jangan senja telah memerangkap kita ke dalam labirin-labirin hari. Maka itu orang-orang terus bergegas, hanya karena mereka merasa dikejar waktu. Padahal, sebagian di antaranya akan tersesat dalam lingkaran yang mengembalikan mereka ke waktu, ruang, dan tempat yang sama. Sebagian lagi mungkin menghilang di ujung rel ditelan kabut. Aku tidak ingin menjadi bagian dari kehilangan itu.

Aku merasa mengantar dan menjemput menjadi sesuatu yang selalu berujung dengan keperihan. Apakah orang-orang yang kita antar dan jemput akan tiba di stasiun? Derit kereta menjadi semacam sembilu yang menyayat tubuh hari. Dan kita tak tahu untuk apa ada di sini dan untuk apa kita pergi.

Stasiun di mana sekarang aku menunggu terasa lengang dan dingin. Ini tak biasa. Ketibaan seperti gambar-gambar kabur dari masa lalu, menderit-derit ke tepi malam. Rhea berkabar ia bersama anak-anak akan tiba dengan kereta senja hari ini. Seorang petugas mengatakan kalau tidak ada hambatan kereta akan tiba sekitar pukul 18.15 petang hari. Ketika kutanyakan apa maksudnya dengan tak ada hambatan itu, sembari bergegas ia menjawab, “Sekarang banyak kendaraan nyelonong memotong rel.”

Aku ingat pekan lalu kecelakaan menimpa sebuah mobil pick-up yang mengangkut rombongan keluarga pengantin. Ketika mobil melintas rel yang tak berpalang pintu, tiba-tiba sebuah kereta menyeretnya sampai beberapa meter. Seluruh penumpangnya tewas. Barangkali bagi petugas tadi berita horor itu menjadi berita biasa. Sebuah peristiwa yang tak mampu lagi mengugah rasa ngeri-nya.

Karena waktu tiba masih cukup lama, kuputuskan menyelonjorkan tubuhku di bangku panjang. Persis seperti ketika aku digiring ke kantor polisi beberapa hari lalu.

Kereta itu bergerak di batas senja. Lanskap kota remang-remang oleh jatuhan cahaya. Orang-orang panik, berlarian di antara kaca-kaca gedung yang rontok. Dan lagi-lagi jendela-jendela yang hangus seperti mulut-mulut raksasa yang mengaum… Baru saja sebuah ledakan dahsyat meluluhlantakkan kota.

Suara loudspeaker yang mengabarkan penundaan kedatangan kereta mengagetkan aku. Katanya, karena ada kejadian yang tidak terduga di tepi sebuah kota kecil, kedatangan seluruh kereta dari arah selatan terpaksa tertunda.

Dengan tergesa-gesa aku mendatangi counter informasi. Rupanya sejak tadi orang-orang sudah berkerumun. Samar-samar di dekat pilar stasiun beberapa orang bercakap tentang sebuah kecelakaan yang menimpa kereta senja dari arah selatan. Sementara petugas informasi hanya memberi tahu seluruh kedatangan kereta dari jalur selatan ditunda.

“Jalur sedang dibersihkan, Pak. Harap sabar, tunggu saja kabar berikutnya,” kata petugas perempuan yang tampak ogah-ogahan bekerja.

“Apa yang sedang terjadi? Tolong beri tahu saya,” pintaku.

“Bukan kewenangan saya untuk memberi tahu,” kata perempuan itu ketus.

“Ini menyangkut kepastian orang- orang yang saya cintai. Anda masih saja bisa bermain-main!” bentakku.

Bentakan itu rupanya mengalihkan semua pandangan orang. Mereka semua mendekat lalu berteriak-teriak minta petugas segera memberi tahu apa sesungguhnya yang tengah terjadi. Seorang lelaki yang berkacamata hitam bahkan menggedor-gedor loket. Beberapa kaca terdengar mulai pecah. Aku diam-diam menyelinap ke belakang karena tidak ingin dicap sebagai pemimpin keributan ini.

Aku lihat petugas informasi mulai panik. Mereka tak tahu mesti menjelaskan apa kepada orang-orang yang mulai kalap ini. Tiba-tiba seseorang yang mengaku kepala polisi berbicara lewat pengeras suara.

“Saudara-saudara harap tenang. Tenang dulu, kami akan segera informasikan tentang kecelakaan yang menimpa kereta senja dari arah selatan beberapa waktu lalu….” Kakiku tiba-tiba terasa lemas. “Baru saja kami dapat kabar satu gerbong kereta Mahabaratha Ekspres yang berangkat tadi pagi mengalami kebakaran. Sementara belum diketahui jumlah korbannya…. Harap Saudara-saudara tenang menunggu pemberitahuan selanjutnya. Sekian dan terima kasih,” kata kepala polisi itu.

Secepat kilat kupencet tombol-tombol handphone untuk menghubungi Rhea. Tetapi, teleponnya tidak bisa dihubungi. Berkali-kali hanya terdengar suara Rhea dalam mailbox yang minta ditinggali pesan.

Sebentar lagi senja berlari meninggalkan jejak-jejak gelap. Bayangan mimpi yang akhir-akhir ini selalu datang ketika aku tidak dalam keadaan siap hilang-muncul di kaca-kaca buram stasiun. Setengah putus asa kulemparkan tubuhku di kursi tunggu. Inilah mungkin saatnya melihat mimpi perlahan merembes menjadi kenyataan. Kenyataan yang tentu saja jauh dari harapanku.

Aku cemas memikirkan nasib Rhea dan anak-anak. Merekalah yang selama ini membuat hidupku jadi penuh warna. Aku tak bisa memikirkan apa yang terjadi dengan hidupku esok hari jika benar-benar kehilangan mereka. Aku khawatir pengalamanku melihat orang-orang yang berlubang keningnya itu terulang pada mereka. Tuhan, kataku dalam hati, aku tidak sedang ingin pembuktian atas kebenaran yang Kau sodorkan kepadaku.

Di tengah rasa cemas dan temaran lampu-lampu stasiun, tiba-tiba sebuah SMS masuk. Katanya, “Ayah, kami tak jadi pulang hari ini. Kakek tiba-tiba sakit. Ayah baik-baik, kan? Dari Rheda.” Dengan sangat terburu-buru aku menelepon mereka. Anak sulungku bilang, kakeknya kini sedang dirawat di rumah sakit karena stroke.

 

Jakarta, September 2004

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler