Kehadiran Abang Yun setelah puluhan tahun tidak pulang begitu cepat tersiar. Bahkan sampai kampung tetangga berita kedatangan Abang Yun menjadi perbincangan. Seakan bisa mengalahkan berita kunjungan pejabat dari kota saja. Kabar yang begitu cepat menyebar itu boleh jadi karena Abang Yun sudah dianggap meninggal hanya tak ada kuburannya.
Sangkaan itu wajar saja. Di kampung kami sangat meyakini bahwa orang yang pergi meninggalkan aib dianggap mati. Orang itu tak akan berani pulang, ia akan lenyap selama-lamanya. Jika ia berjumpa dengan orang kampung di perantauan, kalau tidak dia yang mengingatkan maka sebaliknya yang menemuinya tidak akan bercerita tentang perjumpaannya. Jangan coba-coba melanggar keyakinan ini, kalau tak hendak terkena cemooh orang sekampung.
Sudah sering terjadi yang meninggalkan kampung karena membawa aib tidak kembali-kembali lagi. Padahal di antara mereka justru sukses di perantauan, seperti pengusaha atau pejabat. Kalaupun menjadi penjahat, ah ini hanya pengecualian yang justru paling banyak, maka bukan sembarang penjahat melainkan sebagai pemimpinnya. Kebanyakan penjahat di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, atau di Filipina.
Ketika Abang Yun pulang ke kampung saat Idul Fitri kemarin, sekali lagi, wajar kalau berita itu cepat menyebar. Cuma tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan bahwa kepulangan orang yang meninggalkan kampung karena aib pasti dibunuh di tangan warga lalu jenazahnya saat itu juga dimakamkan. Ini tidak terjadi. Sungguh suatu keajaiban bagi Abang Yun. Sebagai adik satu-satunya, tentunya aku sangat gembira. Kini rumahku dipenuhi tetangga, membuat ibu sangat sibuk menyiapkan makanan dan minuman.
Abang Yun datang bersama perempuan cantik, yang kuketahui kemudian adalah istrinya. Juga seorang anak perempuan berusia 10 tahun, pun tak kalah cantiknya dengan ibunya. Sementara mobil merek Escudo yang dibawa sendiri oleh Abang Yun kini diparkir di halaman rumah kami. Kucuri pandang dari jendela rumah panggung kami, anak-anak kampung mengerubungi mobil berwarna putih metalik itu. Ada yang naik di depan, di dekat pintu, ada yang sekadar mengelus-elus dinding mobil.
Abang Yun juga tidak menampakkan wajah ketakutan tatkala menerima kunjungan tetangga yang bertanya ini dan itu. Lazimnya pemudik lainnya, ia banyak bercerita tentang suksesnya di perantauan sejak ia meninggalkan kampung 15 tahun lalu. Istrinya yang sangat cantik tak beranjak dari sisinya, setia menemani Abang Yun. Mbak Mita, istri Abang Yun, ramah pada keluarga kami. Ia juga ikut terlibat mengobrol dengan para tetangga. Kulihat banyak dari kami di kampung ini, terutama para perempuan, merasa iri dengan kecantikan Mbak Mita.
Masa muda Abang Yun penuh oleh noda hitam. Berulang kali ia masuk penjara karena merampok dan mabuk. Terakhir, sampai ia harus lari dari kampung kami membawa aib, Abang Yun diburu-buru pihak keamanan karena bandar narkoba. Kesalahan yang membuat aib besar Abang Yun di mata orang kampung, beberapa jam sebelum minggat ia membawa lari istri Pak Lurah yang memang tergila-gila dengan Abang Yun. Namun beberapa hari dibawa ke kota, ia tinggalkan perempuan itu di kamar hotel. Abang Yun lari ke Medan, sedangkan istri Pak Lurah kembali ke kampung.
Peristiwa itu membuat berang Pak Lurah. Rumah kami nyaris dibakar oleh orang-orang suruhan Pak Lurah. Untunglah tetangga kami mencegah, dan berjanji akan mendapatkan segera Abang Yun untuk diadili di depan masyarakat. Memang Abang Yun tidak bisa ditemui lagi, namun kemarahan Pak Lurah akhirnya reda. Apalagi, pada pemilihan Lurah enam bulan kemudian, ia tidak terpilih kembali.
“Jadi, bagaimana caranya kau bisa kaya seperti ini? Dapat istri cantik lagi? Wah, wah, kau pasti memiliki ilmu ya? Belajar di mana? Kiai dari Banten ya?” tanya Wak Herman, orang tua yang sangat disegani di kampung kami. Kalau dia saja suka dengan kehadiran Abang Yun, otomatis yang lain akan ikut. Diam-diam aku mengagumi Abang Yun yang mampu menarik hati Wak Herman.
“Gampang Wak, yang penting mau kerja keras,” jawab Abang Yun yakin. “Soal istri cantik, saya tak bisa jelaskan. Nanti Wak mau lagi he-he-he…. Ah, enggak Wak, saya enggak punya ilmu kok, apalagi ilmu pelet ataupun ilmu kebal. Kalau Wak enggak percaya sentuh saja kulit saya dengan pisau, pasti berdarah.”
Aku tahu Abang Yun bergurau. Aku tak percaya kalau ia tidak memiliki ilmu penangkal, kulihat cincin yang melingkar di beberapa jari tangannya batunya besar-besar. Sore tadi juga, tak sengaja, aku mendapatkan kain hitam kecil di kamar. Aku yakin itu jimat milik Abang Yun.
“Kalau kau kembali ke kota, bisa sekalian bawa anak Wak. Si Iful itu nganggur di sini, lama-lama bisa nyusahin,” kata Wak Herman lagi sambil senyum-senyum. “Bagaimanapun dia kan termasuk adikmu juga, apa kau tega melihatnya susah di kampung? Iya, kan, Mar?” ujar Wak Herman lagi. Ia meminta dukunganku.
Aku hanya tersenyum. Dalam hati aku berkata, daripada membantu anak Wak Herman akan lebih baik suamiku yang dibawa Abang Yun untuk bekerja di kota. Tetapi, itu tak mungkin terucapkan. Kulihat Abang Yun hanya mengangguk-angguk, tiada terucap “ya” atau “tidak”.
“Bagaimana, Yun?” Wak Herman kembali bertanya. “Kalau kau setuju, bolehlah Wak panggil si Iful sekarang.”
“Kan masih ada hari lain, Wak. Sekarang kita ngobrol yang lain saja, soal kampung kita ini yang saya lihat mulai menampakkan kemajuan. Listrik sudah masuk sampai ke pelosok, orang kampung hampir semuanya sudah punya televisi. Bahkan waktu saya masuk pagi tadi, warga di bagian depan kampung sudah ada yang mempunyai parabola. Berarti sudah makmur,” ujar Abang Yun untuk mengalihkan percakapan. “Benar ya, panen di sini bagus-bagus? Syukurlah kalau demikian.”
“Yang makmur, ya makmur. Tetapi, banyak warga di sini masih melarat. Kau lihat sendiri, masjid kita itu tidak selesai-selesai. Kadang kami malu, shalat di masjid seperti itu. Untunglah kau mau membantu pembangunan masjid itu sampai selesai. Jangan lupa kalau kembali ke kota, uang bantuanmu itu titipkan ke ibumu atau ke Mar.”
“Ya, Wak, saya tak akan lupa. Jangan khawatir.”
“Bukan khawatir, Yun, cuma mengingatkan. Wak percaya, kau memang dermawan. Kau telah mencatat sejarah di kampung kita ini, kalau masjid itu bagus. Iya, kan, Fat?” kata Wak Herman kepada ibuku. Ibu tersenyum.
Sampai pukul 21.00, tak ada tanda kalau tamu di rumah kami bakal beranjak, sebaliknya justru bertambah. Kasihan Abang Yun dan keluarganya sampai harus telat makan. Ibu mulai gelisah. Ia panggil Mbak Mita ke dalam, maksudnya menyuruhnya makan. Istri Abang Yun tahu kode ibu, ia segera ke belakang.
“Mestinya mereka tahu kalau Abang Yun belum makan,” ucap Mbak Mita kepadaku di dapur.
“Begitulah orang kampung, Mbak, berbeda dengan di kota,” jawabku pelan. “Kehadiran perantau seperti aneh bagi mereka, apalagi kalau sukses.”
“Tapi, yang mudik, kan, bukan hanya Abang Yun?”
Aku mengangguk. “Iya sih. Tapi… entahlah,” kataku singkat. Aku khawatir kebanyakan cakap akan membeberkan peristiwa masa lalu Abang Yun, peristiwa yang dianggap aib oleh warga sekampung.
“Mungkin karena Abang sudah bertahun-tahun tidak pulang? Mungkin itu ya, Mar?” Mbak Mita kembali berujar seakan menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku segera mengangguk. “Ya… ya, mungkin itu sebabnya.”
Sehabis makan, Mbak Mita kembali ke ruang tengah. Kali ini ia beranikan diri mengajak Abang Yun untuk makan. “Sekalian ajak yang lain, kalau ada yang belum makan,” kata Mbak Mita.
“Wah kebetulan, kalau sudah disiapkan,” kata Wak Herman segera mengikuti langkah Abang Yun. “Wak belum makan,” imbuhnya. Diikuti tiga tamu lainnya.
“Kau beruntung punya abang kaya di perantauan seperti Abang Yun,” bisik Nurhajijah, teman sepermainan kecilku, yang kini menjanda beranak satu ditinggal suaminya menjadi TKI di Arab Saudi.
“Ah, kau seperti tahu banyak abangku saja,” kataku dengan maksud tak suka dengan pujian seperti itu. Aku sebagai adiknya saja belum banyak tahu kekayaan Abang Yun. Lagi pula, benarkah abangku di kota sudah kaya, Mbak Mita adalah istri sahnya, dan Maya adalah benar anak mereka? Siapa bisa memastikan kalau Abang Yun sukses di perantauan, sedangkan belasan tahun kami tidak tahu rimbanya? Setiap orang bisa saja bersandiwara, bukankah begitu? Batinku.
“Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal,” kata Nur berkomentar lagi.
“Syukurlah kalau itu benar…”
“Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya? Ada apa dengan kau, Mar?” sela Nur.
“Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali,” jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu.
Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. “Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan,” ujarku menawarkan.
Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. “Sisanya kau simpan,” kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: “Asyik, dapat untung….”
Abang Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku.
“Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi,” kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi.
“Tentu… tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan…” jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, “Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun.”
Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid.
“Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka,” kata Wak meminta pengertianku.
Mendengar itu, hatiku bergolak. “Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung,” kataku kemudian.
Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. “Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!”
“Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi,” jawabku tak mau kalah.
Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, “Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas.” Meski pelan, aku masih bisa mendengar.
Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun.
“Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam,” bisik ibu.
Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu.
“Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?” tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang.
“Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim,” kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat.
“Ya… ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya,” jelas yang satu lagi. “Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?”
“Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?” tanyaku ingin secepatnya tahu.
“Kami dari kepolisian.”
Detak jantungku seperti hendak berhenti.
“Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen… ”
“Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?” kata temannya.
Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: “Dia pen…”
Mungkinkah Abang Yun penjahat? Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan? Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, “Ini uang panas.” Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*)
Lampung, 2 Syawal 1424 H/26-11-2003
Tulis komentar baru