Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2005 “SAYAP KABUT SULTAN NGAMID” CERPEN TRIYANTO TRIWIKROMO

Foto SIHALOHOLISTICK

Ya, kau juga tahu, hari itu, Minggu 28 Maret 1830, Ramadhan telah berlalu. Karena itu, dalam lukisanku, aku yakin kabut lembut dan matahari susut saja yang mengepung Rumah Karesidenan itu. Tak ada gerimis riwis yang menghardik tiang-tiang tua. Tak ada pula petir mendera Merapi yang samar mengonggok di bumi fana. Jadi, sangat tak keliru jika kutorehkan warna terang di sekujur kanvas. Tak salah jika kukesankan Allah menebarkan cahaya cokelat keemasan di wajah siapa pun yang menyaksikan de Kock menghardik sang Pangeran.

Bau wangi tanah masih mengepul saat terjadi keributan. Jejak suara unggas juga belum terhapus dari ingatan. Dan orang-orang, terutama aku, percaya tak akan ada pertempuran selama dan sehabis Ramadhan. Karena itu, sekalipun de Kock membentangkan tangan memerintah Pangeran menuju kereta yang akan membawa ke pengasingan, aku tetap tak ingin mengubah kegentingan itu menjadi Lebaran sedih berwarna muram.

Memang keheningan dan kebeningan menguar dari pagi yang baru mekar, tetapi aku tak mungkin menorehkan kabut dan dingin Magelang terlalu dalam di kanvas. Jadi, sekalipun dikepung wajah-wajah tegang staf de Kock dan disaksikan rakyat dalam sedu-sedan, Pangeran harus kulukis tegak menantang. Hanya aku saja yang boleh sedih. Hanya aku—yang kausangka telah belajar teknik melukis dari Horace Varnet dan Eugene Delacroix—boleh menyusupkan diriku pada wajah prajurit yang takzim membungkuk di hadapan Pangeran dan pasukan cemas yang mewaswaskan nasib sang Junjungan. 1

Andaikata Raden Saleh hadir di Rumah Karesidenan bersama Pangeran Dipanegara Muda, Raden Mas Joned, dan Raden Mas Raib2 pada 28 Maret 1830 yang ajaib itu, mungkin dia tak akan melukiskan Sultan Ngamid sebagai pangeran bersorban saja. Ya, jika dia berdiri di dekat Haji Ngisa dan Haji Badarudin—penasihat-penasihat agama terkasih Pangeran—pasti lukisannya tak akan sekadar menggambarkan Sultan Ngamid sebagai manusia biasa.

Sebab dalam pandangan Haji Ngisa yang masih sangat awas, ketika ketegangan terjadi dan Jenderal de Kock mengharap Pangeran agar segera naik kereta, di kedua bahu Sultan tumbuh sayap Rajawali ungu yang menyilaukan mata. Sayap-sayap itu seakan tak sabar menerbangkan sang Junjungan ke langit suci, ke langit sarat sriti. Namun di luar dugaan, Sultan Ngamid menanggalkan bulu-bulu indah yang barangkali diberikan oleh Malaikat Jibril itu. Bahkan dia memberi isyarat pada Haji Ngisa agar tak terpesona pada setiap keajaiban yang mengucur setelah seseorang khusyuk berpuasa. Lewat bisikan batin, Sultan juga meminta agar Haji Ngisa tak perlu takjub pada segala peristiwa tak masuk akal yang menyelimuti Rumah Karesidenan yang telah dikepung para serdadu itu.

Haji Ngisa yang telah mengerti betapa kegaiban bisa menghunjam kepada siapa pun yang dipilih Allah hanya mengangguk. Sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir, dia juga memberi isyarat kepada panakawan Banthengwareng dan Jayasutra agar tak memekik. Haji Ngisa tak ingin pekikan ketakjuban itu akan mengganggu takdir Allah yang telah ginaris. Dia tak ingin de Kock atau Valck, Residen Kedu berwajah batu itu, terkejut dan kemudian lari tunggang langgang. ”Segalanya sudah diatur,” desis Haji Ngisa, ”bahkan mungkin Jibril pun dititahkan tidur dan tak mencampuri segala yang terjadi dalam silaturahmi indah ini.”

Haji Ngisa tahu benar jika Sultan Ngamid tak menanggalkan sayap atau menyemburkan kelabang beracun kepada lawan, Roest, de Stuers, atau Perie akan menganggap Sultan menciptakan sihir dan menghina para perwira yang mengajak berunding menghentikan Perang Jawa itu. ”Kalau mau Sultan Ngamid bisa menghilang. Kalau mau segala yang ada di Rumah Karesidenan ini bisa dikutuk menjadi batu. Nah, apakah Sampean mau dikutuk jadi tengu?”

Karena itu, Haji Ngisa lebih memilih memandang kilau senapan dan pakaian para serdadu yang dipimpin du Peron di anjungan dalam ketimbang menatap wajah Sultan Ngamid yang karena terlalu benderang tak lagi bisa dipandang.

”Sampean juga jangan menatap wajah Sultan, Jenderal. Kalau berani menatap, hati Sampean bisa terbakar,” desis pria yang senantiasa berzikir itu teramat pelan.

Tentu de Kock tak mendengarkan isyarat halus itu. Tentu dia tak terlatih menangkap pertanda yang hanya berupa gelengan kepala Haji Ngisa itu. Ya, memang tak semua tanda bisa diraba dan membuncahkan makna. Tetapi, mengapa sejak pemandangan menakjubkan itu terjadi, de Kock tidak peka? Mengapa dia tak membiarkan Sultan Ngamid pulang setelah selesai bersilaturahmi?

”Mengapa saya tidak diperkenankan pulang, Jenderal? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya datang dengan bersahabat semata-mata untuk kunjungan singkat sebagaimana yang diadatkan oleh orang Jawa setelah mereka selesai berpuasa selama sebulan.3 Saya datang tidak dengan keris terhunus dan pedang meradang.”

”Saya ingin menyelesaikan persoalan kita hari ini juga,” kata de Kock.

”Jadi, Anda ingin mengadili saya? Anda ingin mengajak berkelahi? Jika itu yang Jenderal inginkan, saya tak membutuhkan keadilan dari tangan Sampean. Jika ingin berkelahi, saya pun tak mau berkelahi dengan Sampean.”

Ya, saat mendengarkan semburan kata-kata semacam itu Haji Ngisa berharap de Kock segera mengurungkan niat menangkap dan mengasingkan Pangeran. Namun, de Kock tak punya alasan untuk tak segera melakukan perintah Johannes van den Bosch. Telinganya bahkan lebih berisi instruksi-instruksi sang Gubernur Jenderal ketimbang luapan amarah Sultan Ngamid. Bahkan jika tak mungkin menangkap atau membunuh Sultan Ngamid, de Kock pun sudah punya cara untuk menaklukkan Pangeran. ”Saya akan mempreteli kekuasaan Sampean dengan cara apa pun, Pangeran. Kalau perlu saya akan menggorok leher perempuan-perempuan terkasih Anda pada Lebaran hari ketiga. Setelah itu, saya tembak putra-putra Sampean. Dan, jangan lupa Haji Ngisa dan para panakawan juga kami jebloskan ke sumur tua.”

Sultan Ngamid bisa membaca pikiran de Kock. Karena itu, sambil mendongakkan kepala, dia menyemburkan amarah terakhir kepada Jenderal yang kini telah dia anggap sebagai penjahat paling hina itu. ”Hei, Jenderal, ketahuilah, saya yang sejak dulu Sampean panggil sebagai Pangeran Dipanegara4 tidak takut mati. Saya siap dibunuh kapan pun. Kematian toh hanya kabut halus. Kematian toh hanya tirai yang memungkinkan saya menyatu dengan istri saya di Imogiri. Sekarang, silakan bunuh saya. Saya yakin inilah puncak kemenangan yang saya peroleh setelah sebulan berpuasa.”

Haji Ngisa kian tak tahan mendengarkan semburan kata Sultan Ngamid yang menguarkan bau berbagai wangi-wangian itu. Karena itu, dia berjingkat mendekati Ali Basah Gandakusuma dan membisikkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga.

”Apakah Sultan tak mengerti akan terjadi peristiwa seperti ini, Kisanak?”

Gandakusma mengangguk. Saat itu dia justru melihat Sultan Ngamid mulai memungut sayap Rajawali ungu yang semula ditanggalkan. Dengan hati-hati dia mengenakan sayap itu. Dengan hati-hati pula, dia berseru, ”Allahu! Allahu! Allahu! Segalanya telah rampung, Gusti. Segalanya telah kukembalikan pada-Mu!”

Setelah itu, kau tahu, seperti Isa yang tersalib, dia membentangkan tangan dan mengibas-ibaskan sayap, moksa ke langit, membumbung menembus kabut, menghilang dari pandangan Haji Ngisa yang tak lagi takjub.

Mengapa tak Sampean lagi takjub, wahai Kiai waskita? Karena memang tak semua hal harus ditakjubi. Takjublah pada mengapa Sultan Ngamid berani mati pada saat ruang dan waktu memberi kesempatan untuk hidup. Takjublah mengapa dia tak menunjukkan sayap-sayap ungu itu kepada de Kock dan serdadu-serdadu yang juga dibutakan. Ketahuilah, Tuan, andaikata de Kock dan para serdadu tahu, seluruh Rumah Karesidenan akan terbakar. De Kock akan tinggal arang. Serdadu akan jadi abu tanpa jejak kehidupan. Apakah Sampean tak cemas? Aku tak bisa cemas lagi sejak de Kock kehilangan kepekaan. Jadi, Sampean tahu segalanya berakhir mengenaskan? Mengenaskan? Apa yang mengenaskan? Keajaiban sayap-sayap Jibril di tubuh Pangeran, Sampean anggap peristiwa mengenaskan? O, jadi Sultan Ngamid memang benar-benar punya sayap? Punya sayap atau tidak, bukan urusan Sampean. Urusan siapa? Urusan saya, urusan Haji Ngisa. Apakah Allah telah mengirimkan jutaan malaikat untuk mengarak Sultan Ngamid ke surga? Mengapa bertanya seperti itu? Mengapa tak boleh bertanya seperti itu? Saya kira bukan hanya saya yang melihat jutaan malaikat mengarak Sultan Ngamid ke surga. Ada orang lain yang tahu peristiwa sulapan itu? Bertanyalah pada Gandakusuma. Bertanyalah kepada pria yang setiap subuh shalat berjamaah dengan Sultan Ngamid itu. Apakah saya boleh bertanya pada de Kock? Kenapa tidak? Apakah dia akan menganggap Sultan Ngamid sebagai dajjal tak aturan? Apakah dia menangkap Sultan Ngamid karena membayangkan diri sebagai mesias yang mampu menghentikan perang?

Haji Ngisa tak mau menjawab pertanyaan itu. Sambil menggamit tangan Ali Basah Gandakusuma, dia menyingkir dari Rumah Karesidenan yang kian tampak sebagai hantu rakus itu. ”Jangan katakan kepada siapa pun apa yang Sampean lihat. Saya percaya Sampean tak akan menyebarkan sesuatu yang mungkin bisa menyesatkan umat. Ketakjuban, Sampean tahu, kadang-kadang bisa menjauhkan kita dari Sang Penabur Keajaiban!”

Ya, > 0<Ali Basah Gandakusumalah yang sebenarnya sejak subuh pada 28 Maret 1830 itu sudah memergoki di kedua bahu Sultan Ngamid tumbuh sayap. ”Sayap kematian,” pikir dia, ”sayap yang akan menghentikan perang.”

Meski demikian, Gandakusuma tak berani mempertanyakan segala sesuatu yang berkait dengan perang dan kematian. Tak baik pada Lebaran yang baru mekar mempersoalkan amis darah, wangi bunga kubur, dan Matesih menjelang Sultan Ngamid berunding di Rumah Karesidenan.

”Saya kira semua prajurit harus menyertai Panjenengan, Sultan.”

”Allah tak menghendaki seperti itu, Gandakusuma.”

”Maaf, Sultan, saya khawatir Jenderal de Kock akan…”

”Ya, ya, Sampean boleh khawatir. Namun, saya lebih khawatir jika prajurit kita akan mengejutkan mereka.”

”Jadi, kita hanya akan bersilaturahmi, berlebaran pada Jenderal de Kock, Sultan?”

”Ya. Jangan kaukenakan tanda pangkat atau jabatan. Kenakan saja pakaian santai sebagaimana kita hendak pelesir atau berjalan-jalan.”

Sampai pada percakapan yang kian tak terpahami itu, Gandakusma melihat sayap Rajawali ungu di bahu Sultan Ngamid kian melebar. Sayap itu kian menelan tiang-tiang dan segala yang bisa teraba dan terjamah tangan. Karena itu, sekali lagi, Gandakusuma menyangkal.

”Kita memang akan bersilaturahmi, Sultan, tetapi de Kock telah menjelma iblis. Dan sebagai iblis, dia akan membunuh siapa pun yang tak takluk pada dirinya.”

”Iblis? Kitalah yang iblis kalau tak bisa memaafkan orang-orang yang hendak membunuh dan memperdaya kita.”

Kali ini Gandakusuma tak berani menatap wajah sang Sultan. Dia tahu sebentar lagi, setelah pada pukul 08.00 Sultan berangkat ke Rumah Karesidenan, de Kock akan mengerahkan ratusan iblis untuk membekuk Junjungan yang kian tak peduli pada pekik kemenangan di medan perang itu. Dia yakin benar sayap-sayap Sultan akan rontok pada saat de Kock menghardik dan memerintahkan Pangeran beranjak menuju kereta pengasingan.

”Segalanya sudah diatur oleh sang Jenderal sialan, tetapi mengapa Sultan percaya bahwa apa pun yang terjadi telah diatur oleh Tuhan dan tak lagi bisa dihindarkan?” desis Gandakusuma dalam kecamuk pikiran tak keruan.

”Sudahlah, Gandakusuma,” kata Sultan seperti mengerti segala yang dipikirkan oleh panglima utamanya itu, ”pada saat berperang pikirkanlah peperangan. Namun pada saat Lebaran pikirkanlah Lebaran. Ayolah, bersenang-senanglah bersama Jenderal de Kock dan para perwira. Nanti kuberi kuda baru. Nanti kuberi sajadah dan sorban baru. Nanti….”

Gandakusma tahu nanti dia hanya akan mendapatkan sayap yang rontok, mata yang kehilangan keperkasaan, dan jiwa yang tak lagi terpesona pada kabut Merapi. O, mengapa kekalahan begitu wangi? Mengapa ia muncul ketika puncak kemenangan hadir telanjang serupa bidadari?

Kini kau tahu bukan mengapa aku tak mau melukiskan Sultan Ngamid mengenakan sayap Rajawali ungu. Digambarkan bersayap atau tak bersayap, Sultan Ngamid adalah Sultan Ngamid. Ia akan menanggalkan apa pun yang bukan miliknya. Juga sayap dan kemegahan dunia. Juga sayap dan segala yang dicinta.

Ya, namaku Saleh, kau telah melihat Sultan Ngamid dalam lukisanku5 pada senja yang hampir kehilangan doa-doamu. Aku bahagia karena tak menganggap dia sebagai malaikat atau dewa bermata ungu.

 

Semarang, 19 Oktober 2005

Catatan:

  1. Bagian ini bertolak dari reproduksi lukisan Raden Saleh yang terdapat dalam gambar sampul buku Dr Peter Carey, ”Asal Usul Perang Jawa; Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh” yang diterbitkan oleh LKiS, Juli 2004. Saya perlu berterima kasih kepada Sutanto Mendut yang mengingatkan saya betapa Dipanegara diperdaya Jenderal de Kock pada Lebaran hari kedua. Reproduksi lukisan itu pula yang digunakan koreografer Sardono sebagai pancatan lakon ”Opera Diponegoro”.
  2. Anak-anak Sultan Ngamid.
  3. Kata-kata Sultan Ngamid dalam ”Babad Dipanegara”.
  4. Sultan Ngamid adalah nama tua Pangeran Dipanegara. Begitu memosisikan diri sebagai Ratu Pangageng Panatagama ing Tanah Jawi, nama Dipanegara dia berikan kepada putranya.
  5. ”Historische Tableau, die Gefangennahmen des Javasnischen Hauptling Diepo Negoro”

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler