Skip to Content

PUISI-PUISI IDRUS TINTIN

Foto SIHALOHOLISTICK

KRAKATAU

di sana pulau di sini pulau

tengah-tengahnya laut memisah

di sana laut di sini laut

tengah-tengahnya gunung yang marah

di sana gunung di sini gunung

tengah-tengahnya rumpun sembilu

di sana Krakatau di sini Krakatau

tengah-tengahnya berdiri aku

 

PEMAIN GAMBUS

Siapakah kamu

Siapakah kamu itu

Yang memetik tali-tali gambus

Seperti rangkaian manik-manik warna-warni

Selama umurku ini?

 

Aku yang mengaku tak pernah menangis

Aku yang mengaku tak pandai menangis

Akulah lubuk air mata

Bila jari-jarimu memainkan lagu hidup

dengan gambusmu yang abadi

 

Jangan biarkan aku mengaku

orang dari besi

hati dari besi

Suruhlah aku mengaku kepadamu

bahwa lagumu telah menyentuhku

Tapi

apakah kamu

siapakah kamu itu?

 

ELEGI NELAYAN TUA

Lelaki tua itu tersengguk-sengguk di emper gubuk

Bulan layu rendah di langit

Air mulai surut

dan terlena digerogoti mimpi

Sebentar lagi subuh tiba

 

Inikah impian penghabisan seorang nelayan

Kaki dan tangan kaku dibelasah encok

Dada seperti terbakar batuk batuk batuk

Berteman dengan bulan dan air surut air pasang

Kokok ayam dan cicit murai

Menyambut pagi

Yang bukan lagi miliknya?

 

Panorama masa lalu tergambar di layar langit

dengan kail memancing ikan ikan ikan

sembilang tenggiri selar dingkis tamban jahan

ikan ikan ikan

pancing bubu belat kelong jala jaring

Selamat tinggal?

 

Encok yang datang marilah kamu

Batuk yang masuk teruskan jalanmu

ikan-ikan masa lalu

ikan-ikanku besok

Dan pertarungan akan berlanjut

terus!

 

BURUNG WAKTU

Burung waktu

Terbang dari tempat gelap

Awal penciptaan dunia

Muncullah pagi pertama

Tenun bersilang lintang dua belas warna pelangi

Dan bunga-bunga, batu, hutan,

Pulau dan air

Siul kicaumu

Nyanyian yang kau bawa

Terbang menyeberangi lautan

Melintasi abad demi abad

Laju menuju

Masa depan

Yang masih tebal diselimuti kabut

Harapan dan ketakutan

Burung waktu

Setiap kali kau mencicit

Sembil memandang ke bawah

Terbang tanpa henti

Memasuki malam

Keluar siang

Terus menerus

Tak terhitung oleh alat dan ilmu hitung

Bawalah aku

Terbang bersamamu

Menyeberangi lautan

Melintasi abad demi abad

Laju menuju

Masa depan

Harapan tanpa ketakutan

 

AKHIR KATA

Pada mulanya ialah bunyi

lalu tercipta kata pertama

untuk menyatakan terima kasih

dari hati yang putih tak tercela

 

Setelah itu

seperti benih tumbuhkan tunas

bunga-bunga dan buahnya lebat sarat

itulah kosa kata bahasa manusia

dan dengan itu semua

kulahirkan puisi

kisah pengkhianatanku kepadamu

dendang tentang cinta kita

mabuk seribu malam

dan doa-doa yang membumbung

terbang ke langit

seperti burung-burung putih kecil-kecil

coba menggapai singgasanamu

 

Pada mulanya ialah bunyi

dan akhirnya tak lain sunyi

 

PESAN SEORANG AYAH KEPADA ANAKNYA

: Anakku!

                Diam dan tenang adalah pemberian

                Ribut dan badai tanda kehadiran sesuatu

                yang baru sesudahnya adalah kedamaian.

 

: Anakku!

                Mengembaralah jauh-jauh

                ke hutan hatimu

                ke laut-laut hatimu

                ke langit-langit hatimu

                Di kedalaman yang pepat rerahasia

                kebahagiaan itu menggumpal

                di ujung kakimu

 

: Anakku!

                kebahagiaan itu rerahasia

                yang menggumpal di ujung kakimu.

 

SEKIRANYA BUKAN KALAU

Kalau seluruh laut bersatu

alangkah besarnya laut

 

Kalau seluruh pepohonan bersatu

alangkah besarnya pohon

 

Kalau pohon yang bersatu

tumbang ke dalam laut

yang bersatu

alangkah besarnya gelombang

 

Kalau aku ada di dalamnya

Hore !

 

DOA

Di batas kaki langit keriput

cakrawala terdedah

 

Ada sesuatu seperti terlupakan

menuliskan nikmat yang pernah diterima

baiklah akan kusiapkan nyanyian panjang

bagi puisi kehidupan yang pandak

 

TANAH KELAHIRAN

di sini kapal oleng gemoleng

angin tak ramah

nakhoda asyik di kemudi

kelasi tertimbun talitemali

penumpang mendengar degup jantung

jantung sendiri

 

lelaki keras berpacu jalan

perempuan memetik dawai hatinya

waktu malam tiba

perahu menyusuri puncak ombak

hidup di padang perburuan

tak pernah usai

tak pernah usai

 

SINGAPURA

Kepada Suratman Markasan

 

Ini bukan lagi Tumasik

bukan Selat

yang disebut-sebut Cikgu Mamud

orang Daik Lingga yang dengan bangga bercerita tentang

Singapura lama

 

Sia-sia kucari jejak Abdullah Munsyi

di antara rumah-rumah panggung yang tersisa

Teluk Air, Kampung Gelam, Lorong Engku Aman, dan

tempat-tempat yang aku sudah lupa entah apa namanya,

gedung lama dan kuburan keramat mulia

 

Sia-sia kutelusuri lorong berliku

untuk mendengar merdu suara aksen Melayu;

Di gang-gang sempit

tempat orang lalu lalang

sepertinya semua orang di sini

cuma tahu bahasa Hokian

Joran kolor dan kutang

menjulur dari puluhan jendela apartemen

bendera nir-adab

yang membuat senak dada

 

Tiga dekade yang lalu

selalu kujumpa banyak anak Melayu

berjalan bungkuk menunduk

bahunya berat seperti

gambar dewa Atlas memikul beban dunia

dalam buku-buku sejarah Yunani

 

Tapi kini tidak lagi

karena bukan kamu saja

yang memikul beban peradaban ini

orang-orang berdatuk-nenek dari

Wonosobo, Ponorogo, Gresik, Kendal, Bawean

semuanya Melayu

Berapa kuat lagi kalian

menahan rempuhan

zaman?

Namun rontaan penghabisan

anak-anak Melayu itu

alangkah gagah

mengumbar senyum

sebelum akhirnya

mungkin saja juri meneriakkan

kalah!

 

ASRAMA DAI-TO-A

Inilah gedungnya

tiga puluh langkah dari tembok penghadang gelombang

tepat menghadap barat

berliku melingkar mengikuti garis pantai

sekarang jadi kantor kehutanan kabupaten kepulauan riau

 

Di sinilah dulu

pagi-pagi aku menyanyikan Mi-oto-o-kai-no

dan mengiris tais: ichi-ni-san-si

-go-roku-sici-hatsu

berbaris menghadap arah matahari terbit

 

Cemara memagar pantai

desahnya merisau-risau

masih seperti dulu

 

tapi di manakah kau

kini

mat ali

nomeng

syarifah dara, dan semua teman-teman seasrama

di mana

engku haji muhammad yunus (samurai meleret di pinggang)

encik khatijah, sensei hayakawa (muka garang hati baik)

mak minah (selalu diam-diam sembunyikan lauk tambahan

di timbunan nasiku)

tanya

dijawab

oleh

deru risau cemara

yang dulu juga

masih yang dulu juga

 

bisik sepoi laut

hanyut-alunkan

Umi yuka-ba

seperti yang dulu kami nyanyikan bersama

sambil menghadap laut dan matahari terbenam

kalau ke laut aku pergi

mayatku akan ditimbus air

kalau ke gunung aku pergi

mayatku akan diselimut rumput ...

 

rupanya

apa saja yang sudah hanyut

tercecer

di masa lalu

sepahit sepedih apa

pun

yang tinggal

hanyalah indahnya

saja

 

tolehan terakhir

ke bekas gedung asrama Dai-To-A

aku pun melangkah

menjauh

dari masa lalu

 

dekat dermaga

dari tape-recorder penjual rokok

di bawah flamboyan lebat semarak

mengalun lagu

Kokoro no Tomo ...

 

 

PERAHU
Setelah Hamzah Fansuri*)

Perahuku kecil dan rapuh
layarnya koyak dayungnya pendek
alat perabotnya tak kuat-kokoh
bekal airnya tanggung-tanggung
kayu dibawa terang tak cukup
perahunya
dayungnya
kemudinya
pawangnya
semuanya tak handalan.

Ingin seperti punya Hamzah
gagah mengarung medan lautan
alatnya kuat bekalnya cukup
laju menepis buih gelombang
perahunya
dayungnya
kemudinya
semuanya memakai nama Allah.

Sejak dulu sudah ibuku
pesankan:
belajarlah rajin-rajin
mengaji jangan malas.
Tapi dasar bebal dasar nakal
muqadam pun aku tak katam
Bagaimana hendak mengarungi
Lautan Sailan
tempat laut terlalu dalam
ribut besar badai dan topan
banyak perahu rusak tenggelam
bagaimana hendak pergi
menyelam
untuk mengambil permata nilam
baru sampai ke laut Bintan
perahu sudah mau karam.

 

 

DI KELENTENG SENGGARANG

Mak-nyah tua tersenyum menyapa

hendak ke mane?

ucapannya mengalun

seperti dalam pantun

 

Di gerbang depan

singa batu

sudah ratusan tahun membisu

tak hiraukan bangunan yang ia jaga

dililit benalu ara dan angsana

tumbuhan nestapa dan putus-asa;

singa bisu

tak-acuhkan asap hio yang telah selekehkan

jelaga pada surai dan jambulnya;

sekawan kelelawar

mainkan musik tentang

sepasang kekasih yang bertengkar

dalam wayang cina

 

Di depan altar

seorang apek berkuda-kunda kuntauw

mata terpejam merenung di balik tembok nasib

menggenggam harapan erat-ketat

anggukkan hio, mulut komat-kamit,

Jangan-jangan yang ia baca

sepotong sajak Li-Tai-Pe

 

 

PUAKA I

Jerung

puaka tua

datuk segala hiu

kau dikenal di Kiabu

kau dikenal di laut Singkep

kau dikenal di selat Bangka

Laut Cina Selatan tamannmu

Selat Melaka lintas arungmu

telah tumbuh karang di siripmu

telah bertelur tamban di badanmu

telah seratus jantung nelayan kau telan

namamu menggerunkan hati pelintas lautan

jerung puaka, kau panikkan para pelaut

tapi aku

tak takut

tak gerun

tak apa-apa

pada namamu

pada rahangmu

pada sirip

pada hempasan ekormu

aku tak taku tak gerun pada dirimu

sebab aku tahu

kau akan mati

tepat

di tempat

serampangku

pertama kali

melukaimu

 

ULAR ITU ...

Tuan-tuan sekalian

saya datang

dan berdiri

di sini

untuk mengantarkan

suatu kisah

sebuah kesaksian

tolong dengarkan

dengan penuh perhatian

 

dimulai dari cerita purba

yang banyak orang

sudah lupa

tentu saja termasuk saya

tapi untunglah ada seorang fakir

tak berharta

rumah tidak zuriat tidak

matinya cuma

meninggalkan nyanyi dan kisah

untuk dilaungkan

ke seluruh pelosok negeri

ini

 

tiga hari tiga malam

ia berdendang

ia bercerita

di emper rumah saya

lidahnya seperti dioles dengan

madu guna-guna

bikin orang menjadi

tak sadarkan dunia

di depan orang seperti ini

saya cuma seorang murid

guru india lama

bersimpuh tertib

takzim mendengarkan

sabdanya

 

wa bihi nasta’ina billahi

katanya

aku ucapkan kata ini

karena kalaulah ada terselip

seiris sepotong

bohong

di dalamnya

jangan mulutku

jadi kudis jadi pekung

dan minta ampun kepada Tuhan

dan tuan berilah maaf

kepadaku

 

bermula di suatu masa

di suatu tempat

bukan antah berantah namanya

bukan dahulu, dahulu sekali

jauh di masa lalu entah bilamana

tapi jelas peta dan titiwangsa

di sungai melayu bukit siguntang

datanglah seseorang

bersemenda dengan orang di situ

mengikat janji menjalin sumpah

setia yang berkepanjangan

selama-lamanya

dan menjadi raja

“Kalau salah kami

hukumlah

digantung tinggi

dibuang jauh

direndam basah dibakar hangus

kalau besar salahnya

baik dibunuh, bunuhlah

diberi malu jangan sekali-kali.”

 

menurun bukit

menyusur sungai

ke muara

ke laut

bekalnya janji setia

akal bijaksana

dan benih-benih bahasa

yang kemudian jadi

seperti yang kita pakai ini

 

membangun kampung

membina desa

menegak negeri

dari satu tempat ke tempat lain

dan pada suatu hari

bertolak dari pulau bintan

raja bernama sang sapurba

meentas selat meintas teluk dan tanjung

memasuki kuala mura

menantang arus sungai

sampai ke hulunya

“Apa nama tempat ini?”

dan orang di seitu hendak merajakan dia

 

“Tapi tunggu,” kata yang tua-tua,

“Orang ini harus diuji dulu!”

dengan kehebatan ular besar

ular sakti, buas sekali

ular ganas tak terkalahkan

oleh sembarang orang

tapi ular besar itu tewas

di tangannya

dan jadilah dia

raja yang berkuasa

dari kuantan ke siantan

berpusat di pulau bintan

sepanjang sungai

seluas lautan

sepenuh pulau

orang pun bertempik berteriak

“Engkaulah gunung

dan kami pohon-pohon

Kalau engkau runtuh

punahlah kami.

Engkaulah angin

dan kami layar

Kalau engkau diam

tak bergeraklah kami

Engkaulah air

dan kami perahu

Kalau engkau kering timpas

kandas tersadilah kami

Engkau matahari dan bulan

kami bintang-bintang

Kalau engkau tak bercahaya

padamlah sinar kami

Engkau nafas

dan kami badan-raga ini

Kalau engkau berhenti

matilah kami

Kalau engkau runtuh

kalau engakau diam

kalau engkau kering

kalau engkau padam

kalau engkau berhenti

apa gunanya kamu bagi kami.”

 

Itulah sumpah yang ditempikkan juga oleh

orang-orang pesuku di kiabu

orang-orang talang di indragiri

orang mantang orang barok orang akit orang sokop orang

sakai

sambil menabuh gendang memukul gong

dalam mabuk tandak dan arak

dalam syukur menyembah sujud

dan kalimah-kalimah yang baik

“Jaga-jagalah engkau

karena

yang akan kauhadapi esok

anak ular yang dulu

lebih besar dari ular itu

lebih panjang dari ular itu

lebih bisa dari ular itu

lebih ganas dari ular itu

lebih buas dari ular itu

lebih dahsyat dari ular itu

Tahan?”

 

kini

ular yang lebih besar itu

yang lebih panjang

yang lebih bisa

yang lebih ganas

yang lebih buas

yang lebih dahsyat

telah datang

bukankah kita sudah bersumpah

bukankah kita sudah berjanji

bukankah kita sudah berikrar

sumpah jangan salah

janji jangan putus

ikrar jangan dilanggar

karena engkau gunung kami pohon-pohon

engkau angin kami layar

engkau air kami perahu

engkau matahari dan bulan kami bintang-bintang

engkau nafas kami badan

tolong kami

bantu kami

tunjukkan siapa dirimu

dari mana asal usulmu

datang dari jauh

muncul dari dekat

tugasmu cuma satu

seperti yang telah

engkau sumpahkan

seperti yang telah

engkau janjikan

seperti yang telah

engkau ikrarkan

belalah kami

itu ditempikkan juga oleh

orang pesuku orang talang orang mantang orang barok orang

sokop

orang sakai

dan hampir sebagian besar orang-orang riau

tuan-tuan sekalian

ini hanya sebuah rekaman

karena saya

tak kuasa

menyalin persis

paparan fakir pencerita

tapi saya seorang saksi

atas apa-apa yang dikisahkannya

tadi

 

 

TENTANG IDRUS TINTIN

(Saya nukilkan riwayat Idus Tintin dari laman http://melayuonline.com/ind/personage/dig/251, selain karena di buku itu tak ada halaman khusus yang menulis biodatanya, juga karena saya sudah diharubiru puisinya Idrus Tintin sampai seperti orang mabok laut. Saya menyukai puisi-puisi dalam Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan yang kemudian saya tulis lagi, Singapura, Asrama Dai-To-A, sampai Ular itu ... Karena itulah tak berkesanggupan lagi menulis biodatanya. Hehe). Idrus Tintin dilahirkan di Rengat, Riau, 10 November 1932, dari seorang emak bernama Tiamah dan bapak bernama Tintin. Ibunya Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri (sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau). Sementara bapaknya Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau). Idrus Tintin merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu Mohammad Boya (sulung), Mustika, Idrus Tintin, dan Norma (bungsu). Sejak kecil, oleh sanak keluarga dan kawan-kawannya, ia dipanggil Derus. Ayahanda Idrus Tintin bekerja pada Jawatan Pelayaran Indonesia kemudian dipindahtugaskan sebagai Nahkoda Kapal Patroli Pemerintah ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau. Dengan berbagai pertimbangan, ayahnya akhirnya memutuskan pindah ke Tarempa dan menetap di sana bersama keluarganya.

Idrus Tintin memulai riwayat pendidikannya di Sekolah Rakyat Tarempa, kemudian pindah ke Sekolah Rakyat di Rengat. Kepindahannya ini disebabkan kondisi Tarempa pada waktu itu dibombardir oleh pasukan Jepang pada tanggal 14 Desember 1941. Dalam peristiwa tersebut tidak kurang dari 300 orang masyarakat sipil, termasuk ayahandanya, menjadi korban dan meninggal dunia pada tahun 1942. Sepeninggal ayahandanya, ia bersama keluarga akhirnya kembali ke Tanjung Pinang dan meneruskan sekolah hingga selesai. Usai menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, Idrus Tintin melanjutkan pendidikan di Chugakko (sekolah tingkat pertama) milik Jepang, namun tidak selesai. Pada akhir tahun 1944 ia ke Tembilahan untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Muhammadiyah, itupun tidak diselesaikannya. Tahun 1947 Idrus Tintin kembali ke Rengat dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertamanya. Ia juga pernah mengikuti kursus Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Setelah itu, ia melanjutkan sekolah ke Tingkat Menengah Atas Sore Tanjung Pinang.

Selama hidupnya, Idrus Tintin telah melakoni berbagai pekerjaan. Sekitar tahun 1943, ia dititipkan oleh emaknya di asrama Dai Toa Kodomo Ryo, yaitu asrama penampungan yatim piatu milik Pemerintah Pendudukan Jepang. Karena pandai berbahasa Jepang, ia diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Tidak lama setelah itu ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okhabuthai di Tanjung Pinang. Ia bekerja di biro tersebut selama 5 bulan. Saat berumur 16 tahun, pada bulan Februari 1949, ia kembali lagi ke Tembilahan dan bergabung menjadi TNI. Ia juga pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di beberapa tempat antara lain; sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat TNI, Juru Tulis Kantor Camat Tarempa, Jawatan Penghubung Sosial Kewedanaan Pulau Tujuh, Tarempa dan guru honorer selama 17 tahun di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Pekanbaru, Riau.

Dalam dunia seni peran/teater, berbagai pengalaman telah ia peroleh dan berbagai sumbangsih telah ia berikan. Itu dimulainya sejak tahun 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijah. Tahun 1944 di Tanjung Pinang, ia menggelar sandiwara dengan ide cerita Nosesang, dimana cerita ini bertutur tentang kehidupan petani dan nelayan. Tahun 1945 di Rengat, beberapa kali ia bermain sandiwara bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah. Pada tahun 1952, ia kembali ke Tarempa dan mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama “Gurinda”.

Untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan seni peran yang telah ia geluti, pada tahun 1959, ia memutuskan mengembara ke Pulau Jawa. Di sinilah,  Idrus berkenalan dengan seniman-seniman Jawa antara lain; Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan seniman lain. Pertemuan inilah yang menjadi titik tolak perkenalan Idrus dengan seni peran/teater modern/kontemporer. Selama berada di Jawa, ia sempat menjadi peserta dalam berbagai forum diskusi para seniman, baik formal maupun non-formal, terutama yang membicarakan tentang pemeranan dan penyutradaraan.

Pada tahun 1961, Idrus Tintin kembali menetap di Rengat dan membentuk sebuah kelompok teater. Sejak menetap di Riau, setiap ada perayaan hari-hari besar, Idrus selalu tampil bermain teater. Tahun 1964, Idrus mengikuti Festival Drama di Pekanbaru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Riau. Naskah yang dipentaskan adalah naskah Pasien. Tahun 1968, Idrus menyutradarai pertunjukan teater modern di Gedung Trikora Pekanbaru berjudul Tanda Silang. Tahun 1974, bersempena Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Idrus menyutradarai pertunjukan teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru dengan judul Harimau Tingkis. Pada tahun yang sama, ia bersama Armawai KH. menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama “Teater Bahana.”

Idrus Tintin meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2003 di usia 71 tahun, akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani. Ia dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler