Skip to Content

PUISI-PUISI SUBAGIO SASTROWARDOJO

Foto SIHALOHOLISTICK

MATINYA SEORANG PENYAIR

napas begitu tipis seperti kaca

jangan dipecahkan dengan berkata-kata

keheningan jadi pengiring paling setia

bagi kelana di kelam buta

hari kemarin sudah tiada

 

betapa lama sebelum rela

membunuh api kenang menyala

di luar keramahan kamar telah terkubur sisa mimpi

hilang nanar

tanpa sesal sosok setubuh dengan sepi

 

terbaring di dataran asing

juga langit kelihatan lain

rumah-rumah redup tanpa jendela

tapi dengan tidak menanya

dicium tanah lekat di tangannya

belahan benua ini sebagian dari nasibnya

dia tak kembali ke pantai tua

 

rindu lama tidak lagi bergejolak

demam yang diidap sudah reda

detik-detik kini lebih berarti

daripada terus mencari

di balik ufuk pasir melebar

telah habis basah air menghibur

sampai puas digosokkan tubuhnya

ke bumi bisu

 

penyair meraba permukaan hari

di sini geraknya berhenti

di ambang gurun tak bertepi

dalam perkawinan dengan sunyi

dia tidak sanggup lagi bernyanyi

ketika napas putus mengalir

di udara bergema pekik terakir

 

 

PEREMPUAN YANG BERUMAH DI TEPI PANTAI

bunga yang kusenangi kupasang di jendela

daun pintu terbuka

kursi lengang dekat meja

lagi kupanggil namanya di lorong rata

menjauh langkah tergesa

bergema hampa

 

lampu di kamar tetap menyala

tumpah di pangkuan surat lama

lonceng mati di angka tiga

masih yakin dia ada

tinggal aku diam terjaga

pagi rebah di pinggir desa

 

sinar hari membelah ruang

rumah kosong nampak tua

hiasan dinding tanpa guna

di pantai kembali surut air kelam

ke lubuk laut entah di mana

betapa dalam sunyi menikam

 

tikar pandan terhampar di lantai

sandal sepasang tak terpakai

kopi di cangkir belum tersentuh

berapa lama harus bersimpuh

menanti sapa di mulut pintu

ucapan salam kepadaku

 

semua sudah bersih di dalam

pakaian putih terlipat di tilam

badan siap menyambut dia yang diharap

ingin diri meniarap lata

berteriak seru mari

tapi setiap terbilang kata

bayangan hening lari

 

tubuhku rumah yang butuh dihuni

suasana hampa damba akan isi

air tenang menangis di rongga sunyi

apatah kehadiran tanpa dihadiri

kemanusiaan minta saksi

lonceng bergoyang sebelum mati

 

telah kusisir rambutku kusut

kaca bening tergantung di sudut

asal saja pecah hening ini

dibawa berbincang sepanjang pagi

atau diam pandang-memandang mengajuk hati

tamu, datanglah datang

 

seandainya datang, aduh

kubasuh kakinya sambil berdendang

kusupkan nasi dengan tangan sendiri

kesendirian begitu ngeri

setiap dia memalingkan wajahnya ke mari

aku akan memekik girang ya aku di sini

 

tak terlarai aku dan dia

darat dan laut saling memadai

hamba dan tuan berkait abadi

sudah terdengar ombak berdebur di karang

sayup-sayup memanggil suara tersayang

lekas ke pantai aku menjelang

 

 

UPACARA

ajarilah bagaimana menjadi tua

 

terkuak gapura kesadaran

sehingga tampil kerajaan dalam

 

tenunan kata mantra

yang kuhamparkan pada hari-hari besar

di bendul pura

adalah untuk menyambut tamu turun tangga

 

jika berkenan tiba

apakah sempat memberi tanda

dengan kelining lonceng genta

di kuil pedanda

 

di halaman yang tersapu bersih

dengan tubuh putih

aku menanti di bawah cemara

aku boneka yang butuh dihidupi

 

bukankah kesetiaan dan kesabaran sebagian

dari upacara

 

bulan yang berlayar di puncak batu candi

adalah pengawal gawat

yang memungkinkan lakon terjadi

di manakah teluk sunyi yang tidak disinggahi

 

air di mana pun suci

juga yang terpercik di korban bunga melati

setetes dari telaga purba yang sakti

 

sebelum ini kutanggalkan keinginan satu per satu

jiwa murni timbul dari siksaan sakit dan ngeri

 

pengabdian menuntut penderitaan yang dicari sendiri

 

aku telah membasuh di pemandian tirtasari

dan merasa tak bersalah seperti anak kembali

 

manusia selalu tinggal sebatang kara

tanggung jawab tertimpa pada seorang diri

nyawa yang yatim minta dipelihara

 

saudara kandung yang lahir sebelum dan sesudahku

bahkan bunda yang teringat mukanya dalam lamunan

tinggal terkurung dalam pengasingan masing-masing

 

nasib terkungkung dalam penjara sepi

 

ketakutan tidak datang dari maut yang tiba-tiba hadir

melainkan dari pedih yang tak kunjung berakir

 

jadikan aku anak emas

yang tak lepas dari hati

 

adakah angan-angan yang lebih manis

daripada mengatasi kecemasan

dan bisa berlaku sebagai jantan

 

terlimpah kasih kepada laki-laki gemilang

bagimu aku putra pahlawan

yang berani lebur dengan bayangan hilang

 

ketika api hari mati

aku menari sebagai wayang

mengikut getar langkah dewa

 

satu gerak tubuh kembar

tingkah gending tabuh kebyar

desah napas mengembus seirama

 

dari pembakaran jenasah menyala merah sekar padma

 

LEIDEN 30/10/78 (MALAM PK. 20.15)

pada ketinggian usia

mimpi mulai pucat

daerah tandus menapak ke pinggir kota

jejak di pasir tak nampak

kenangan habis tersadap dari dada

membeku darah kata

anak yang baru lahir

masih mengenalnya sebagai sajak

orang lain membiarkannya tergeletak

di antara buku-buku tak terbaca

barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak

tetapi dia pun kini sudah tak ada

 

PARIS 19/10/78 (MALAM PK. 3.15)

sudah beberapa hari ini

telah putus tali pusat

maka kabur gambar kenangan

 

kumakan bubur perpisahan

dan aku melayang tanpa pedoman

di belakang layar kayon

yang kaupasang

sebelum gamelan dibunyikan

 

dari jauh ini

aku tak tahu

lakon apa yang kaudirikan

buat malammu sendiri

 

tapi yang kaudengar pasti

menurut kabar cuaca di tv

di Paris ini turun hujan mawar

 

LEEUWARDEN 13/11/78 (MALAM PK. 3)

mengalir arus malam

sehingga tenggelam badan

tak tertinggal kesan

 

dari puncak hulu

mata air menunjukkan jari

ke mana muara berhenti

 

teluk buntu

sudah tentu

sebelum terbuka ketelanjangan pagi

 

laut tak terinjak

teduh sendiri

tergoncang sepenuh hari

 

menetes air kelam

tertahan di telapak

menampa tanpa gumam

 

PARADISE REGAINED

hari yang mempesona

betapa hampa cita

tembikar retak di bawah rabaan jari

 

jam terlalu deras

insin saja dilepaskan dari pergelangan

lantas lekas menembus ruang malam

yang cerah intinya

di mana bersinar cahaya di langit angan

dan tak hangus muka oleh usia

 

langkah mengalah

dan berita pertama terdengar dari sumbernya

yang asli

 

kuncup muda terpetik dari ranting

lalu membuka bunga sajak

 

kehadirannya merdu seperti lonceng

lembah meriah

 

sungguh firdusi

tak kelak

tak ketika

 

semerbak abadi

 

SAJAK SEJENAK

tamu

 

masih ada yang mau singgah

di pondok tua – kesan sesal

gamit rindu, gores duka

biar terbuka pintu muka

buat tamu tak terduga

siapa akan mengajak berbicara –

rumput, batu, matahari

arti kabur di pudar hari

di bawah jenjang berdiri bayang

di tangan pisau belati

tiba ia menoleh memperhati

 

PANJI LANANG KELANA

di ruang sunyi

di tengah dada

ada lengking

ada sakit

berhenti bunyi jeram di bukit

istana sudah kosong

di antara tiang batu rindu terbaring

 

darah mengental

masih nyaring tuntutan tanah

dari mana berasal

dan bila kembali

taruhan yang salah

telah membuat diri mengembara

bayangan rumah surut di cakrawala

 

pada wajah silih berganti

belum bertemu apa yang dicari

topeng-topeng bisu

mengubur sisa haru

di balik dinding

betapa larut sinar hari

raut muka makin kejam

sosok asing hanya mau ramah semalam

 

kelana terkutuk tergolek di pinggir kota

(yang bukan punya dia)

sudah lama dia tidak bersolek

menyayangi rupa di kaca

hidupnya tidak untuk siapa

hanya untuk dirinya dia berada

jadi kabur garis pinta

dia tidak lagi punya apa

warisan yang masih ada

tinggal coretan mesum di kamarnya

gambar semu yang kabur artinya

 

dia tidak menyesal

bahwa dia tinggal di bawah hujan bintang

dan berjalan sebagai pangeran

yang memburu dan diburu kasih sayang

dia masih membutuhkan bukti

bahwa dia pernah di sini

bayang diri terlempar di layar kenangan

dan disiksa di sana kekal

 

dari pola ramuan nada

ingin didengarnya kata-kata

lagu tidak bisa sempurna

tanpa terjalin suara manusia

bahasa merdu itu yang begitu dikenalnya

bicaralah kirana madu kusuma

di tengah kehampaan ditangkapnya gema

 

hati melekat pada gejala yang diraba

jari gemetar mengusut makna pada tubuh mempesona

nestapa tumbuh dari bercumbu dengan dunia

dewi, di matamu membujuk nikmat sorga

 

yang memberinya keberanian

menempuh kegelapan

adalah benih

yang mau membenam ke perut malam

kalau tiada napsu

apakah mungkin dia pahlawan

menapak benua tanpa kawan

pada batas pajar

bakal ditemuinya kepuasan

 

pengalaman perawan

yang menyimpan rahasia tak terjamah

mengapa tidak dihisapnya segera

sampai tetes getah penghabisan

terkam sebelum kesempatan luput dari tangan

serta hidup susut oleh usia

di mulut masih titik air selera

 

sudah sekian saat

dia menunggu dekat kayu membara

dan melihat pijar terbasmi

lalu menyala berulang kali

bulan tua terasing di gurun pasir

dan dia seperti anjing

menggonggong mengusir sunyi

tidurnya diganggu oleh mimpi yang sama

nyawa laki dikejar dendam berahi

 

sejak termakan buah terlarang

ladang lama tinggal gersang

di dada telanjang

tersurat nasib petualang

selepas rindu merundung kekosongan baru

tidak setia jiwa jalang

 

 

TEMBANG PANGKUR

ketika didendangkannya lagu yang dipelajarinya

dari orang tua

bidadari pada mendengar dari balik dinding

dan nenekmoyang yang pernah tinggal di bumi

diam tepekur

 

sudah lama dia tidak menyanyi tembang pangkur

 

laut lalu berhenti di titik nadir

dan kijang berdebar mulai minum dari pangkal telaga

angin kembali ke hutan purba

 

kota terbakar sudah hilang asapnya

mengapa harus terus mendendam

 

di teras alam merelung kedamaian

 

DI DALAM DADA

jika dibelah dadaku

akan nampak semua yang diangan

 

ada gunung ada lembah

ada pohon di pinggir sawah

jalan setapak menuju ke rumah

 

tapi ada juga kota lama

dengan gedung runtuh

dan langit terbakar merah

 

ada juga hutan rimba

tempat nyawa tersesat

terbayang di dalam

lengking rusa yang lari terluka

sudah berkumandang sebelum sempat bersuara

 

kalau alam tak terangkum dalam dada

bagaimana kata seakan terbit dari tiada

tangan akan hampa meraih ke udara

 

 

HARI DAN HARA

pada pertemuan begini mesra

tugas kita hanya mengalami

tanpa berkata-kata

dan membiarkan air liur mengaliri kulit ari

(ah, betapa sakit cinta menusuk hati)

kita tinggal mengalami

tapi tanpa bergumam

tanpa mencatat kejadian sehari

bahkan tanpa mengulum dendang sajak

hanya mengalami

 

berdua kita terbuang ke benua asing

kini apa lagi yang tersisa

daripada membuat diri terbiasa

kepada kehadiran saat ini

sudah terbasuh dendam dari dada

tak perlu kita berpaling

atau menanti kapan akan dipanggil kembali

ruang kamar melingkup

dan tangan terlalu sibuk membagi kartu di meja

permainan nasib antara kita

 

telah kulalui hutan belantara

sekedar sampai kepada penjelmaan ini

berupa ketelanjanganmu yang rela kujamah

jiwa yang sendiri

membutuhkan tubuh yang ramah

apakah kau sendiri tak ngeri

berbaring seorang diri di ranjang

biarkan aku jadi anjing setia

yang menjaga kemanusiaanmu

terbujur ke seberang malam

aku ingin jiwamu tenteram

 

tibamu di balik kelambu

tidak begitu kentara

apakah kau kukenal atau orang asing

selalu ada batas pemisah

antara nyawa dengan nyawa

yang membedakan laki dan betina

tetapi sebelum menyingkir malam dari jendela

telah kutembus tirai keramat

ayam jantan berkokok di kebon tetangga

betapa nyaring terdengar

 

selama kita masih sempat berbicara

perkawinan kita belum sempurna

dalam terkenang kita hanya mengambang

belum tenggelam ke pusat nikmat

luluh dalam paduan irama

jadi diam semua nada

yang tertampung hanya hening

hening lena tak berisarat

 

terdampar di tilam terakir

harus kita putuskan hubungan sejarah

seperti dulu pada awal musim

(di gugusan sorga yang pernah tenggelam)

kita tampil sebagai anak bugil

yang lupa akan kebengalan hari silam

di sini masih mutlak kebebasan

curahkan diri sepenuhnya dalam pelukan

amboi, gila kita mengigal

sampai terasa degup tunggal

 

air dalam

membangkitkan gairahku lama diam

apa saja kini tak kutempuh

mahluk kerdil yang biasa takut

rela lenyap ke laut tubuhmu

sekedar menikmati kelakian yang penuh

tak ada yang haram

buat nyawa disiksa asmara

maut, aku tidak lagi pengecut

 

malam sebagai bukit hitam

menghunjam ke dada

apa kau masih bisa tidur

di tengah kegelapan mengancam

tidakkah nampak akir menjelang

pada tapak kaki menghilang

peganglah erat tanganku menggapai

tinggal kau satu-satunya yang bisa kusentuh

sedang hasrat hidup masih penuh

 

di antara empat dinding

aku belajar berdiam diri

dan mematikan kata di kening

mimpi rahasia terbenam di sanubari

sehabis gerhana

bulan hamil dengan benih kenangan

yang menua

aku yakin

dalam tubuhmu tertawan segenap nasibku

hidup tersita

 

ketika kutengok dalam kaca

kulihat kau terbayang di muka

raut wajah yang sama

dan lekuk bibir itu diremas cinta

letih debar jantung yang seirama

telah bertukar dua nyawa

kita tidak berbeda

berpadu susu dan dada

 

di balik pesona

aku tidak mencari makna

di luar kamar pengenalan serba samar

tetapi sebelum tumbang semua lambang

ingin kurenggut kehadiranmu membekas di tikar

sudah tersirat sinar pagi di gapura

dekat gerbang diriku segera dinanti

* di dalam nitologi Hindu Hari-Hara adalah personifikasi dewata dalam bentuk setengah laki-laki setengah perempuan

 

 

SAJAK YANG TAK PEDULI

sajak yang dewasa

sudah tak peduli

apakah aku menangis atau ketawa

 

di muka cermin

aku tak mengenal lagi

ia bayangan siapa

 

setiap hendak kutangkap

ia lolos dari dekap

tak mau menampung rasa

 

di luar jamah

ia sebagian dari semesta

satu dengan suara manusia

 

setelah ia dewasa

aku tak punya kuasa

maka kubiarkan dia berjalan merdeka

 

MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR

Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dan siang
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, - itu anak-anak berandal yang kucinta -
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak berberita
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Tetapi
ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang.
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.


                                     Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.

 

JUGA WAKTU
Kita tak pernah memiliki

Rumah yang kita diami semusim
telah dituntut kembali
Dan tanah yang kita pijak
makin larut dalam pasang laut
Sedang kesetiaan yang dijanjikan kekasih
berhenti pada kianat
Dan nyawa ini sendiri
terancam setiap saat

Tak ada yang kita punya

Yang kita bisa hanya
membekaskan telapak kaki,
dalam, sangat dalam,
ke pasir,
Lalu cepat lari sebelum
semuanya berakhir

Semuanya luput

Juga waktu

 

DI POJOK JALAN
Bahwa kita hidup adalah perjanjian
dengan bumi: bahwa kita akan setia
kepada istri, dan kepada anak
merasa sayang. Kita bersatu dengan awan,
dengan bunga dan binatang. Kepada
tanah terikat dengan kebaktian dan tekat.
Perjanjian diikrarkan dengan darah
dinihari, di daerah perbatasan
antara lahir dan mati.

Amat sederhana: di pojok jalan
manusia kurus menangkup bunuh diri.

 

DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB
(Sebuah Nyanyian Kabung)

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
                          Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
              Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan

kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –

 

KATA
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

 

PIDATO DI KUBUR ORANG
Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
Dan memperkosa anak gadisnya
Ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika Gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini

NYANYIAN LADANG
Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas utang
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang
Pak tani, jangan menangis

 

 

NAWANG WULAN

(Yang Melindungi Bumi dan Padi)

 

Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia

Aku dari sorga

Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa

Aku dari sorga

 

Sambut aku dengan bunga

Itu darah dari duka dan cinta

Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibu

Bunga buat kekasih yang manis merindu

Bunga buat maut yang diam menunggu

 

Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu

Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru

Anak minta ditimang

Ladang minta digenang

Lalu panggil aku turun di teratakmu

 

Dengan bunga. Itu darah yang mengalir

dari duka dan cinta

 

LAHIR SAJAK
Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
yang menerbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.

 

SALJU
Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi sudah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju

pada setiap langkah menetes darah
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi

 

DI UJUNG RANJANG

waktu tidur
tak ada yang menjamin
kau bisa bangun lagi

tidur
adalah persiapan
buat tidur lebih lelap

di ujung ranjang
menjaga bidadari
menyanyi nina bobo

 

DAERAH PERBATASAN
I

Kita selalu berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan:
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
Tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.

II
Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai:
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan kepada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakir yang sedia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah:
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti: apa yang menanti
di hari esok: kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan: pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayaan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor serigala.

III
Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata berjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh kianat
Mulut dan bumi berdiam diri. Satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang: Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.
*

Rangda! dewa bermata galak dan napsu membusa

Datanglah sebagai pengertian atau sebagai nama

jangan sebagai ujud

karena semua ujud menakutkan

Biarlah aku membayangkan kau

                                     sebagai kekosongan

atau sebagai kata, asal segala mula

Barangkali boleh kutangkap sebagai sedih kenangan

                                                                    atau suara

yang belum mencapai makna

Tapi jangan sekali berujud

sebab segala ujud menakutkan
*

Zaman makin kelam

 

Kata-kata tak perlu lagi

 

Suara kehilangan keyakinan:

Apakah tangis yang menggerinjut muka

Atau jerit menggelepar di udara

 

Tinggal hanya berdiam diri

Dan mencium musuh di pipi

 

Selewat bayang

Harapkan dia tak membacok dari belakang

 

Tapi kata-kata tak perlu lagi

 

KEJATUHAN

Di daerah mimpi

nyawaku berdiri sebagai pohon hitam

dengan buah-buah getir bergantung di dahan

Hanya ular yang menjaga tahu akan rasanya

Perempuan yang telah kehilangan selera:

jangan masuk taman terlarang

atau akan bangun aku tersentak

menyaksikan diri telanjang

Atau cukup lebarkah tanganmu

untuk menutup lobang malu?

 

NUH

Kadang-kadang

di tengah keramaian pesta

atau waktu sendiri berjalan di gurun

terdengar debur laut

menghempas karang

 

Aku tahu pasti

sehabis mengembara

dan bercengkerama di kota

aku akan kembali ke pantai

memenuhi janji

 

Sekali ini tidak akan ada pelarian

atau perlawanan

 

Kapal terakhir terdampar di pasir

 

Aku akan menyerah diam

waktu air membenam

 

MENARA

Setiap pagi

membuka sorga

dan anak-anak mengulang lagi bahasa

yang terlupa malam hari

 

Itu sebelum tiba kutuk

yang memisah arti

dari kata

dan percakapan tak mungkin lagi

 

Sebelum musnah menara kesadaran

terbakar api senja

 

Menyusul kemudian penantian

semalaman

kepada pagi

 

SAYAP PATAH

sejak berdiam di kota

hati yang memberontak

telah menjadi jinak

kini pekerjaan tinggal

membaca di kamar

barang dua-tiga sajak

atau memperbaiki pagar di halaman

(yang sudah mulai rusak)

atau menyuapi anak

waktu menangis karena lapar

kadang-kadang juga memuji istri

memakai baju yang baru dibeli

--  meneropong bintang

bukan lagi menjadi hobi –

hanya sesekali di muka kaca

aku berkata menghibur diri:

bidadari! sayapmu patah

sekali waktu akan pulih kembali

 

JIKA HARI REMBANG PETANG

Jika hari rembang petang

tidak berarti permainan bakal selesai

dan boleh tinggalkan gelanggang

 

hanya peranan bertukar

dari pemain di dalam

menjadi penonton di luar

 

kita lantas memasuki ruang penuh cahaya

dan melihat bayang

terlempar di layar

 

kita bisa jaga dan menatap semalam suntuk

 

hari sudah tinggi

kau tak berbenah?

 

di bawah bayang senja

setiap barang nampak indah

 

muka-muka yang lelah

berbinar di redup sinar

 

di antara kita berdua, kekasih

siapa dulu akan terkapar?

 

KAYON

pohon purba

- di tengah hutan merah tua -

tahu akan makna dunia

maka diam

tak bicara

 

PERTIWI

ia rebah di lembah pagi:

paha putih menjulurkan ketela

lengan manis beruas tebu

dan jari tangan mengalirkan bulir padi

 

pemburu, apa yang kautunggu!

 

rambut rindang melindungi kelapa

gading – buah dadanya

 

tanpa ayal kutempuh semak belukar

menyambut daging ilahi

 

di belah gapura kuhirup madu abadi

 

PASRAH

Demi malam yang ramah

aku berjanji akan menyerah

kepada angin

yang menyisir tepi hari

 

Di pinggir lembah

aku akan diam terbaring

 

Yang membuat aku takut

hanya bulan di sela ranting

yang memperdalam hening

 

PAGI

tepat pukul lima

pagi

jagat mengental

malam yang menyeruak

menumpahkan noda di sutera langit

diriku yang terbakar dekat dinding

kehabisan arus berahi

dan kau juga

remabutmu yang terkait di sela jari

tidak lagi membersitkan selera

nasibmu terhela di ranjang tua

siapa sempat bicara tentang dosa:

telah terhenti suara lantang di taman firdausi

suara lelaki yang tak mungkin berulang lagi

 

 

WAWANCARA

I

Di balik cinta yang hilang, Tuhan

terus menusuk duri kenangan

sehingga terkelupas kulit nyawaku

dan darahku telanjang

menjerit

dari rongga rindu paling kelam

 

II

Apatah yang lebih hitam

dari bayanganmu

yang tercapak di sudut tembok

di mana tumbang jembangan bunga

 

Atau di papan pintu tua

yang kuketuk tapi tak ada yang membuka

 

Hatimu terlalu baik, Tuhan

dan membiarkan bayangan hitam

mengikut langkahku sendirian

lalu mencekikku di lorong lengang

 

III

Mataku rabun

(karena terlalu banyak membaca)

sulit lagi percaya

di mana kau berada

 

Di hari hampa

masihkah kau di situ, berjaga?

 

Telah kututup buku di meja

dan dadaku sudah penuh dengan napasmu

Tuhan, akan kembali kau bersabda?

 

IV

Sebelum mereka bangun

aku telah selesai mendirikan rumah

dari pasir di pantai

O, betapa indahnya berbaring

membayangkan kuda putih

dan kapal layar di mega

Parak siang menurut rencana

aku akan berlomba di lapang bola

dan main perang dengan kayu dan api

pura-pura tertembak dan menangkup mati

Terpelanting ke alam kanak

aku sering berpaling ke dini hari

saat sebelum mimpi siang ini terjadi

Sebab aku sebenarnya tidak berbeda

dengan kau, Tuhan:

Hadirku di sini lebih dulu dari bapa

dan nyawaku purba tidak pernah jadi tua

 

V

Hatiku putih kini

karena kalis dari dosa

Dapatkah kau kubujuk

dan minta kau bicara?

Telah kulecut tubuhku

dengan siksa penyesalan

sehingga remuk dagingku

dan tinggal hanya rindu kepada suaramu

Tetapi mukamu tetap diam

seperti kertas kosong

tak beraksara

Haruskan aku mabuk lagi oleh kata

dan berceloteh tanpa makna?

Tuhan, aku tak sabar menanti berita kalam

langsung terbit dari sumber ilham

 

VI

Di bagian musim ini

mendung di pantai

mendatangkan resah

di hati dan dinding rumah

Dan kau, Tuhan, berlaku sebagai tamu asing

gelisah keluar-masuk

melintasi lantai pintu

Mengapa tidak singgah di laut batinku

dan memancarkan rahmatmu dari sana

dari hening lubuk

yang tak pernah goncang oleh badai

di mana kau bisa betah

 

TENTANG SUBAGIO SASTROWARDOJO

Subagio Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni dimulai pada zaman revolusi dengan menyanyi dan melukis. Baru tahun limapuluhan mulai menulis cerpen, sajak dan esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya dalam bidang sastra dan teater di Yale University. Dan saat ini (maksudnya sekitar tahun terbit buku ini, 1975), ia tinggal di Adelaide, Australia, mengajar bahasa dan sastra Indonesia di sana. Kumpulan puisinya, Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Hari dan Hara (...). Kumpulan cerpennya Kejantanan di Sumbing (1965). Esainya Bakat Alam dan Intelektualisme (1972).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler