Skip to Content

PUISI-PUISI ZAIM ROFIQI

Foto SIHALOHOLISTICK

KOTA

Bersandar pada senja gerah

cuaca tak bertuah

 

Di kota ini

udara menyusutkan diri

seperti racun

membuat mata rabun

 

barangkali tak perlu sepenuhnya terjaga

seperti ganja

hanya menunduk

dan pelan, pelan

masuk ke dalam ingatan

 

tapi di kota ini ingatan sebatas papan iklan

buram, berderet tak beraturan

kusam, dihantam bara siang

beku malam

 

dan yang ia lihat cuma cakrawala kosong

seperti mulut raksasa

perlahan mengisap

apa saja

 

dan di sudut itu

puing-puing

reruntuhan bangunan

seperti taring

kala

 

esok tak katakan apa-apa

tak menjanjikan apa-apa

dan barangkali, kini ia sudah tak percaya:

 

suatu hari ia akan jadi malaikat

yang terbang hikmat

yang melihat dan hanya melihat

dari pucuk-pucuk menara

tanpa bangga

Jakarta 2005

 

SIDHARTA

Dan kau rasakan

tubuhmu merapuh

terurai menjadi

 

sindat

cacing

 

rohmu melayang-layang

terurai udara menjadi

oksigen bagi paru-paru mayaku

Juni 2001

 

MALAM TERAKHIR

Malam segera henyak

menjauh

dari 00.00 dan pergi

dan kini, mungkin yang tersisa hanya jejak

mimpi

 

di sekitar

jalanan hingar

hening hilang

keangkuhan

di jalanan

ratusan kembang-api berpijar

mencoba membangun perayaan

di sekitar

lelampu jalan kaku

berjajar

sorot matanya seolah-olah

berujar:

"Semua telah aku saksikan.

Ya, semua telah kusaksikan!"

 

Di luar, dalam jejal, kau-aku mencoba

      merayakan

apa yang menjelang

apa yang akan menghampar

meski di dalam, luka lama mungkin akan

       bertambah

lebar:

apa yang telah kita tinggalkan?

apa yang sesungguhnya

kita kejar?

2003-2004

 

IKARUS

I.

Mari, inilah saatnya

membentuk kembali semua

juga wajah kita.

 

Inilah saatnya

kepakkan sayap pelan

terbang

meninggi, meninggi

 

di sini, di ketinggian awang-awang

aku tahu

labirin hanya cerita lama

sehamparan sengkarut

tak lagi

membuat kita ciut

 

kini

aku tahu

dengan sayap ini

langit terkuakkan

 

dengan sayap ini

taufan tak membuat kita gentar

dengan sayap ini

bahkan angkasa akan bungkam

 

II.

Tidak, tidak, tidak perlu tanya

ke mana?

 

Di ketinggian

dengan sayap kembar

sayap-sayap mimpi dan harapan

aku tahu

aku bukan layang-layang

tak akan ada lagi benang

menyeret kita

ke kiri, ke kanan

 

dengan sayap kembar

cakrawala tak lagi mengerikan

 

dengan sayap kembar

bahkan Olympia tertaklukkan

 

III.

Tidak, Ayah, tak perlu kembali

merangkak, melata

dalam labirin lama

di sini, di ketinggian ini

akan ada istana

di sini

akan kita bangun istana

lebih megah

dari bubungan Olympia

 

kini, biarkan aku melesat

meninggi, semakin tinggi

meski aku tahu

sayap-sayap ini

tak sekuat matahari

 

kini, biarkan aku tinggi

meninggi

meski aku tahu

mimpi ini

akan hangus

terbakar

matahari

Jakarta, 2005

 

LAGU CINTA

Day after day

Loue turns grey

Like the skin of a dying man

- P F.

 

Barangkali memang ada harapan

yang muncul

saat senjakala terhampar

dan gelap mengancam

dan bulan sudah lama tak kelihatan

dan seperti pungguk kau cuma bisa

       menerawang

terus-menerus membayangkan

Kebun Kampung Halaman

tentang masa sebelum semuanya jadi kelam

tentang masa sebelum kau jadi jalang

saat tubuhmu masih berpendar

memancar, seperti kunang-kunang:

 

”Aku pernah merasa,

cinta akan merangkum segala warna

anugerah dewa-dewi Hesperida

yang menjadikan tubuh memendar

bercahaya

seperti purnama”

 

barangkali...

tapi kita tak bisa:

sebab sesuatu telah pecah

dan Kampung Halaman pun berubah (atau

       musnah?)

dan setelah itu, sebuah kutuk

meracuni darah:

kita terbelah, dan terpaksa

jadi penjelajah

menggoreskan tapak

jejak-jejak

insomnia, amnesia, paranoia

tambah hari semakin akut saja

 

barangkali

tapi kini cinta cuma jaring laba-laba

halus

merentang di setiap sudut

masa

lembut terjalin mengilat cahaya

menjerat setiap serangga

lalu memusnahkannya

 

barangkali...

tapi mungkin kini cinta cuma halte jalan raya

lusuh

berjajar di sisi-sisi taman kota

gaduh

bising oleh bus-bus kota

dengan penumpang-penumpang

atau calon penumpang

dengan tatapan hitam

wajah kusam

cemas

dan juga culas

-- di situ, kau tahu tak ada pohon hitam.

Ia telah lama tumbang.

Hanya cerobong-cerobong asap kusam. Tak

       berakar.

Hanya papan-papan iklan. Bertebaran,

kacaukan nama jalan.

Hanya kali-kali. Hitam.

Hanya trotoar-trotoar. Saling-silang,

tak beraturan –

 

barangkali...

tapi barangkali cinta cuma aroma bir

tersisa di udara

di dinding-dinding pesta

menikam hampa

mencipta lena

dan kemudian pudar

dan kau jadi sadar

lalu bertanya ”Jam berapa?”

di luar, malam

masih juga

 

barangkali

tapi kini cinta telah jadi impian balita

orang kota menyebutnya

boneka

atau harmonika

dimainkan siapa saja

meniupnya

memaksanya menarikan nada-nada

-- dapatkah kau membaca nada-nada itu

nada-nada yang menggerakkan kakinya,

tubuhnya, memaksanya menari,

selamanya –

 

barangkali

dan barangkali juga cinta cuma abjad-abjad

       bahasa

satu kata

kosakata

cuma ada dalam cerita-cerita

buku-buku purba

 

dan kau terpaksa harus melupakannya.

Januari 2003

 

BIDAK

Menjelang pertempuran itu selesai, di salah

satu sudut gelanggang, bidak itu tersentak:

Gelegar suara "Skak!!" yang mendentum

membahana di angkasa menyadarkannya

bahwa ternyata ia bukan siapa-siapa. Maka ia

pun menurut saja ketika sesosok tangan

mengangkatnya dan memasukkannya ke dalam

sebuah kotak kayu yang ada di sudut ruangan

itu.

 

Di dalam kotak itu, setelah lewat tengah

malam, dengan sekuat tenaga ia berusaha

melupakan semua yang baru saja dialaminya: ia

lupakan pertempuran itu, ia lupakan musuh-

musuhnya, ia lupakan teman-teman

seperjuangannya.

 

Keesokan harinya, ketika ia terbangun di

dalam kotak kayu itu, ia telah sepenuhnya lupa

siapa dirinya.

2009

 

DI KAMPUNG PETANI

Di kampung itu orang menvukai fajar

menghirup remang

udara sesejuk embun

 

yang mula adalah subuh

assolatu khoirumminannaum

menghirup kopi, mengisap kretek

 

lalu sinar matahari pertama

musik pembuka

dan mereka menari

berjingkat mengarak pagi

pada sawah setengah basah: mimpi setengah pasti

1999

 

TENTANG ZAIM ROFIQI          

Zaim Rofiqi, lahir di Jepara, Jawa Tengah, 25 Juli 1979. pernah mencicipi pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, lebih kurang 1 tahun, untuk kemudian melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Menulis puisi, cerpen dan esai. Buku terjemahannya antara lain: Terry Eagleton, Marxisme dan Kritik Sastra; Isaiah Berlin, Empat Esai tentang Kebebasan; dan Francis Fukuyuma, Memperkuat Negara. Kini bekerja di Jakarta sambil menyelesaikan studi.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler