IIN
Senja mendung muram di teras tampak seraut wajah
Datang mengetukkan tongkat keras sengaja singgah
Tongkat pendek bahu miring nafas terengah-engah
Kulit coklat hitam terbakar dalam sisa langkah
Kadang siang kadang sore ia datang bertandang
Kadang berbisik kadang lantang suaranya garang
Telapak tangan gemetar menggenggam menitipkan uang
Orang lain jangan tahu ini rahasia katanya
Ini hanya untuk kita bertiga
Bapak ibu dan saya
Iin pengemis hujan panas mengukur jalan
Setiap hari pagi ke sore tak pernah bosan
Ada mulut-mulut menggantungkan harapan
Mengisi hidup dengan kehidupan
201909100849_Kotabaru_Karawang
Hampir setahun ini adalah kali ketiga ia menitipkan uang hasilnya mengemis kepada kami. Kali pertama beberapa tahun yang lalu ia membawa celengan ayam jago plastik. Bisik-bisik ia menyampaikan maksudnya untuk menyimpan celengan itu di rumah kami dan katanya ia akan mengisinya tiap hari. Tentu saja kami tidak keberatan.
Seiring waktu yang berjalan, celengan itu bukan hanya penuh tapi padat. Suatu hari ketika aku memberi saran untuk membuka dan menghitung uang dalam celengannya ia setuju. Sejuta lebih uangnya. Ia membawanya pulang.
Kali yang kedua ia tidak membawa celengan tapi menitipkan uang sekaligus minta agar aku menyediakan dompet untuk menyimpannya. Istriku menyediakan sebuah dompet tak terpakai dan ia sangat senang dengan pemberian itu. Hampir setengah bulan kami kehilangan dia. Biasanya ia mampir tapi sudah lama tidak kelihatan. Kami suami istri bertanya-tanya. Khawatir dia sakit atau ada hal lainnya maka kami setuju untuk menghitung uang simpanannya dan mengembalikannya.
Tidak begitu banyak. Tak sampai duaratus ribu. Suatu sore kami sengaja mencari di mana dia tinggal, Kami akan menyerahkan uang itu. Setelah keliling bertanya kesana kemari akhirnya kami menemukan alamatnya dan segera kami temui.
Hari sudah sore. Ia ada di rumah. Keluarganya terkejut atas kedatangan kami. Setelah dijelaskan kami diizinkan untuk bertemu untuk langsung menyerahkan uang ke tangannya.
Kami diizinkan masuk. Di sebuah sudut ia tampak duduk letih. Namun ia senyum. Dan ketika kami menyerahkan uang ia menerimanya dengan senyum. Selesa, kami pulang.
Apa yang terjadi esok paginya sungguh di luar dugaan kami. Ia mampir dan marah besar. Ia sangat menyesal karena kami mengantarkan uang itu.
Lalu aku memberi penjelasan bahwa kami berdua sangat mengkhawatirkan keadaannya. Khawatir ia sakit. Khawatir kalau-kalauia perluuang, Jadi kami kembalikan. Ia mengerti saat itu namun rasa menyesalnya tidak sembuh sekaligus.
Kira-kira dua bulan setelah itu ia mulai lagi dengan menyimpan. Kecilnya duaribu rupiah. Besarnya seratusribu. Uang seratus ribu atau seratus ribu yang dititipkannya itu selalu masih dalam amplop.
Sampai hari ini uang simpanannya sudah sejuta seratus enampuluh delapan ribu.
Tadi pagi ia mampir. Tampak lelah. Ia minta minum. Kemudian menitipkan uang selembar limaribuan. Katanya kemarinia akan singgah tapi kami tidak ada di rumah.
Untuk simpanannya kali ini aku sudah berkali-kali menyuruhnya bawa semua pulang. Tapi ia tidak mau. Jangan, biarkan saja. Simpan saja untuk membeli mobil. Bis jadi ia tidak kenal nilai uang.
Awalnya, bahwa ia menyimpan uang pada kami tidak banyak yang tahu. Dari awal hanya kami bertiga sekarang semua tetangga dekat tahu. Ternyata tetangga sudha lebih banyak tahu. Apa yang kami rahasiakan terbuka oleh cerita tetangga.
Bahwa ia sangat diandalkan oleh seisi rumah. Ada beberapa perut yang harus diisi oleh hasil kelilingnya setiap hari. Aku pura-pura kaget mendengar cerita tetangga.
Aku sudah tahu hal itu.
Tragis.
202006141500 Kotabaru Karawang
Tulis komentar baru