Hari ini Yanus memilih untuk tidak perduli pada apapun. Sejak Subuh, ia memilih mlungker di kamar. Menikmati celoteh Cak Kartolo di radio, ngopi, dan menghabiskan puluhan rokok kretek.
Jam delapan pagi, istrinya masuk dengan baju baru. “Gimana bajuku? Baru lho. Habis beli di fesbuk. Harganya murah,” katanya. Yanus melirik sebentar. Tapi balik menenggelamkan kepalanya di bantal. Bumi kesabaran, bumi kebenaran. Tempat malam menghampar dalam diam tanpa kecerobohan.
Sejak kecil Yanus percaya, bahwa bantal menyimpan banyak jawaban. Lihat saja abg-abg itu. Habis berantem sama pacar, menangis tersedu di bantal. Lalu oom-oom yang suka iseng, juga melampiaskan hasratnya di bantal. Tepatnya, perempuan di atas bantal. Hmm…
Jam dua belas siang, istri Yanus masuk kamar lagi. Kali ini mengenakan baju pramuka. Yanus langsung sebal. “Sempel,” tukasnya gusar. Istri Yanus tertawa lepas, lalu berlari kelar sambil teriak-teriak, “Wonge jek urip, wonge jek urip!” Yanus tersenyum simpul. Tapi ia sembunyikan di atas bantal. Takut wibawanya terganggu. Takut marahnya pada keadaan jadi hambar, dan tak bergerak maksimal.
Kemarin malam, ia bertemu perempuan. Umurnya mungkin 30-an. Cukup cantik, meski berpakaian sangat sederhana. Yanus tanpa sengaja nyenggol perempuan itu. Sampai-sampai, si perempuan jatuh terjungkal. Yanus bergegas menolong. Tak ada orang lain, hanya mereka di jalan yang lengang. Tapi Yanus tahu, Tuhan maha melihat. Ia akan tahu, apa yang terjadi meski kita menyimpan rapat-rapat. Karenanya, Yanus tak pernah mau mencuri. Tak pernah mau main perempuan. Ngintip tetangga yang sedang mandi sih pernah. Tapi sebentar.
“Maaf Mbak. Sumpah gak sengaja,” kata Yanus. “Gak papa, gak papa. Maaf, saya jalannya rada ndlereng,” kata perempuan ini. “Mari saya antar ke rumah sakit. Saya tanggung jawab,” kata Yanus. Kelihatan benar kalau bingung. Sampai salah bikin istilah. Bertanggung jawab? Emang habis ngapain, Cak?
Yanus mengambil tas perempuan itu, yang terpental beberapa meter. Isinya berserakan. Dan Yanus tanpa sengaja melihat berlembar-lembar amplop berisi lamaran kerja. Lalu botol aqua, dan dompet kempes.
“Saya baik-baik aja, cak. Sudah, kita saling memaafkan saja. Monggo kalau mau dilanjut perjalanannya. Saya baik-baik saja. Sumpah,” kata perempuan ini. Sekarang sambil tersenyum.
“Kalau begitu saya antar aja, Mbak. Bahaya malam-malam jalan sendiri,” kata Yanus. Perempuan ini memandang Yanus. Mungkin sedang menebak-nebak. Mungkin hanya mencari tahu. Ada ciri bajingan, atau pemerkosa. Ternyata ia gagal menemukan ciri itu. Karena setelah dipaksa lagi, ia nurut. Mau diantar Yanus pulang.
Motor Yanus melaju perlahan. Lalu dialog itu terjadi. Setelah berbasa-basi, ia mengaku, “Saya lagi cari kerja, Cak. Suami saya pergi gak tau kemana”. Lalu ia terus bercerita, seperti orang yang sudah lama tak memiliki tempat bercerita.
“Beberapa tahun lalu saya disuruh berhenti kerja. Gara-gara ada teman yang usil cerita ke HRD, bapak saya eks tapol. Saya yakin, bukan gara-gara itu saya disuruh berhenti. Pasti gara-gara HRD itu yang tidak tau malu. Ia pernah minta tidur dengan saya, tapi tak tolak mentah-mentah. Malah tak kaplok, cak,” katanya.
Malam selalu memberi warna tersendiri untuk setiap cerita. Dengan caranya, malam membuat setiap kisah bergulir pilu dan beku. Kadang jika tidak hati-hati, kita bisa keliru memahami.
Sampai di rumahnya, perempuan itu meminta Yanus masuk. Sambil menunggu perempuan itu keluar dari kamar, ada pria bertubuh tambun dengan kulit hitam menghampiri. “Cak, bayar dulu. Jangan seperti tamu kemarin. Habis main macak lali. Lupa gak bayar,” katanya tegas. Ada aroma alkohol. “Bayar?” tanya Yanus.
“Jiangkrik, jangan pura-pura tidak tau. Bayar dulu. Kalau enggak mau, pergi sana,” katanya. Yanus spontan berdiri dari kursi teras. Tanpa basa-basi ia berdiri dan pergi. Lelaki itu masih ngomel tidak karuan, “Nek gak duwe duit gak usah mbalon. Lha rumangsamu iki barang milik negara ta?”.
Yanus pergi. Motornya dipaksa melaju cepat. Membiarkan sumpah serapahnya tenggelam dalam malam tak berujung.
Barangkali secantik Yemima, ketua gengku, atau sepintar Anastasia, atau punya tubuh yang bagus melebihi aku mungkin? Entahlah.. Tapi demi nama itu, aku bertekad ikut kakak-ku ibadah sore ini. Demi sebuah pembuktian atas rasa penasaran.
Kebosanan pertama. Tak ada kawan bercanda. Aku bahkan jarang kenal dengan mereka. Hanya beberapa, itupun tak akrab. Huft, penyesalan pertama datang dihatiku. Kayak kerbau dungu memperhatikan lalu lalang orang yang tak kukenal. Gak akan kuulang lagi, tekadk
Lagian juga mana si ratu Dariasih itu? Tak nampak batang hidungnya. Menyebalkan!
“Mbak Asih, kita mulai aja ibadahnya, udah sore nih.” seseorang berkata pada sesosok perempuan yang duduk di bangku agak depan. Roknya panjang semata kaki.
“Ayo dik, suruh ngumpul ke dalam aja. Jadikan satu ya, remaja dan pemuda. Biar gak buang waktu. Soalnya aku mau melatih koor juga habis ini…” jawabnya.
“Oke mbak, sip!”
Owh, ini si ratu itu. Huft, segitu doank. Jauuuhh…batinku kesal.
Komentar
Tulis komentar baru