Skip to Content

PROSES KREATIF: BERBICARA ‘PERSPEKTIF’

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Teguh Puja

 

Untuk kesempatan kali ini, kita akan berbicara mengenai perspektif yang lebih banyak kita kenal dengan ‘sudut pandang’ (point of view).  Sudut pandang atau point of view ini menarik, karena apabila kita memposisikan diri sebagai pembaca, kita bisa mengambil dan melihat bagaimana sesungguhnya penulis ‘bersikap’ terhadap isu atau tema yang ia angkat dalam ceritanya. Galibnya, dari sudut pandang yang digunakan, kita bisa melihat keberpihakan yang penulis coba tunjukkan melalui sudut pandang yang ia gunakan di tulisannya.

Sudut pandang atau point of view, bisa kita bagi dengan garis besar, sebagai berikut.

a) Sudut pandang pertama (POV 1)

Dalam sudut pandang pertama, narator (pencerita) biasanya juga berperan sebagai karakter yang ia tuliskan dalam ceritanya. Dengan menggunakan sudut pandang pertama, kita bercerita dengan menggunakan persona ‘aku’ atau ‘saya’ sebagai pemandu pembaca di cerita yang kita buat. Penggunaan sudut pandang pertama membawa pembaca mengikuti bagaimana pergolakan hati dan konflik bathin yang dirasakan karakternya sepanjang cerita bergulir.

Aku tak ingin berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti keberanian memuncak memenuhi dadaku. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti ketakutan ini hilang. Dalam diam, di tengah gejolak perasaan yang menderu-deru dan mencoba keluar dari dalam dada. Aku mulai segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Aku dapat mencium aroma kehidupan yang sebentar lagi akan segera memudar. Aku akan segera memudar, hilang, menyatu bersama angin malam.

Nyeri di sendi-sendi tubuh tak lagi aku pikirkan, sebentar lagi nyeri dan kepahitan yang ada di dalamnya akan segera lenyap. Meski aku tak tahu di bibir pintu mana nanti aku akan diantarkan oleh sang malaikat penjaga, entah surga atau neraka yang akan menjadi terminal pemberhentian terakhirku, aku tak tahu dan juga tak ingin menerka-nerka. Tak ingin menjadi orang fasik yang menghitung-hitung pahala tanpa berpikir mengenai dosa yang telah dilakukan, tak mau juga mengakui sebagai orang kafir yang jelas baginya neraka hanya karena aku tak ingat lagi apakah sudah pernah berbuat baik atau tidak selama di dunia. Tak berhasrat juga untuk memproklamirkan kepada dunia sebagai orang alim nan mulia yang tak pernah mencatatkan dosa di dalam buku suratannya. Aku tak ingin menjadi apa pun. Karena tak ada juga hal yang bisa kulakukan, penghakiman nantinya biarlah Tuhan saja yang berikan, aku tak perlu memikirkan panggilan apa yang pantas melekat dalam diriku setelah semua ini selesai. (Agonia)

Letupan-letupan emosi dan pikiran karakter biasanya memang akan terasa lebih kuat bila menggunakan sudut pandang pertama, karena pembaca seakan dilibatkan menjadi seperti karakter ‘aku’ yang ada di dalam cerita.

Meski begitu, bila kita terbilang baru saja memulai belajar menulis, alangkah baiknya tidak membiasakan diri menulis dengan sudut pandang pertama, karena ‘sikap’, ‘kepercayaan’ dan ‘nilai-nilai pribadi’ yang kita miliki seringkali akan tercampur dengan cerita yang kita buat. Bila kita di awal berusaha menulis cerita itu dengan objektif, penggunaan sudut pandang pertama, rentan sekali membuat kita memandang sesuatu dengan lebih subjektif. Dan akhirnya itu akan membuat cerita yang awalnya kita buat objektif, menjadi subjektif dan memang terasa lebih personal.

Namun apabila sedari awal memang menyengaja untuk seperti itu, menulis dengan sudut pandang pertama bisa menjadi salah satu pilihan yang baik untuk pemaparan cerita yang lebih personal dan lebih meninggalkan kesan lebih kuat di pembaca.

b) Sudut pandang kedua (POV2)

Banyak orang yang masih mengira bahwa orientasi sudut pandang dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua yaitu: sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Padahal sebenarnya, sudut pandang orang kedua juga ada. Namun, banyak penulis yang lebih memilih sudut pandang orang pertama dan ketiga dibandingkan orang kedua.

Keunggulan sudut pandang orang kedua dibandingkan sudut pandang yang lainnya. Sudut pandang ini membuat pembaca merasa dilibatkan ke dalam tulisan – seperti diajak bicara. Contoh yang populernya mungkin bisa kamu temukan di serial novel Goosebumps. Ada pun yang pernah saya buat, saya sempat gunakan ini di ‘Huruf-huruf yang Menjelma Air Mata‘.

Pagi masih muda ketika itu, embun belum mengering dari dedaunan. Secangkir kopi yang kau buat pun masih mengepulkan asapnya perlahan. Kau saat itu sedang duduk memandang jalanan yang lengang dari beranda rumahmu. Semilir angin pagi begitu memanjakan. Hangat dan juga membawa damai dalam hatimu.

Di tengah-tengah masa diammu menikmati pagi. Terlihat begitu jelas di matamu seorang gadis dari jauh, sepertinya hendak menemuimu. Gadis itu membawa satu buket mawar manis di tangannya, tak kau tahu mengapa ia membawa itu dan kau pun juga tak mampu menerka maksud kedatangannya menghampirimu.

Langkahnya teguh, gadis itu tersenyum begitu manis ketika keberadaannya tak lagi jauh dari pandanganmu. Kau kini sudah berhadap-hadapan dengannya. Bergerak dengan lembut tanganmu mengajaknya untuk masuk dan duduk di beranda rumahmu. Gadis itu terlihat begitu senang melihatmu menyambutnya dengan baik.

“Selamat pagi, Penyair.” Begitu tamu gadismu menyapamu di pagi yang hangat itu. Sapaannya tak membuatmu tinggi hati, kau hanya tersenyum membalas sapaannya. Ucapan gadis itu tidak mengganggumu, tidak juga membuatmu merasa perlu untuk menyombongkan diri.

Keunggulan lainnya dari penggunaan sudut pandang kedua ada di intense sense of intimacy di antara narator dan pembaca. Karena apabila digunakan dengan tepat dan proporsional, sudut pandang kedua mendekatkan dan menjadikan pembaca seperti ada dalam cerita. Persona ‘kamu’ dalam cerita ditujukan dengan sengaja, langsung, kepada ‘pembaca’. ‘Pembaca’ seolah-olah sedari awal diminta untuk berperan sebagai ‘kamu’ yang ada di sepanjang cerita bergulir.

c) Sudut pandang ketiga (POV3)

Sudut pandang ketiga sendiri terbagi lagi menjadi beberapa. Namun yang biasa dikenal di antaranya adalah POV 3 omniscient (sudut pandang ketiga serba tahu) dan POV 3 limited (sudut pandang ketiga terbatas).

Pada prakteknya sudut pandang ketiga dapat sangat bervariasi, penulis bisa berperan sebagai Tuhan (omniscient) yang menunjukkan isi hati semua karakternya, dan bisa juga tetap fokus pada karakter-karakter tertentu (limited).

Lalu dimana posisi kita sebagai narator atau pencerita? Bila dalam tulisan kita menceritakan sampai pada apa yang ada dalam perasaan dan pikiran tokoh, maka disebut Sudut Pandang Orang Ketiga yang Serba Tahu. Namun apabila kita hanya menceritakan tokoh dan seluruh rangkaian cerita sebatas perilaku yang dapat dilihat dan didengar maka dikatakan Sudut Pandang Orang Ketiga yang Terbatas.

Agar lebih mudah saya hadirkan juga contohnya.

Rina pergi meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Meski hujan sedang cukup deras, Rina tetap saja tak memedulikannya. Ia berlari sembari menahan tangis yang sedari tadi ia tahan karena tak ingin lelaki yang ada di dalam rumah tempat Rina baru saja tinggalkan itu tahu dan kemudian mencemooh kerapuhan Rina yang tak kuasa menanggung rasa sakit karena disia-siakan.

Bandingkan dengan yang ini.

Rina pergi meninggalkan rumah itu dengan terburu-buru. Meski hujan di luar cukup deras, Rina tetap saja berlari.

Perbedaannya cukup jelas terlihat dari sejauh mana narator mengambil bagian dan sejauh mana narator tahu dengan perasaan dan pikiran tokoh dalam cerita. Di contoh yang pertama, narator tahu apa yang membuat Rina pulang terburu-buru dan juga dengan jelas dan mudahnya bisa bercerita mengenai apa yang Rina rasakan setelah Rina pergi meninggalkan rumah itu. Sementara di contoh yang kedua, narator sebatas bercerita mengenai apa yang ia lihat dari Rina, tanpa menjelaskan apa yang menjadi alasan Rina berlari dan meninggalkan rumah itu terburu-buru.

Dalam menulis, keberpihakan kita mengenai tema dan isu tertentu yang kita angkat itu akan menjadi penting, jadi pastinya akan sangat baik apabila kita memilih sudut pandang tertentu karena kita tahu dengan apa yang kita coba hadirkan ke pembaca.

Pemilihan sudut pandang yang tepat untuk cerita yang kita tuliskan akan menentukan sejauh mana pembaca menerima dan memahami ‘ruh’ dari tulisan yang kita buat. Saya teringat dengan dua kata sederhana yang Aristotle pernah tuliskan dalam bukunya, Poetica, yang tidak lain adalah ‘pity‘ and ‘fear‘ agar cerita yang kita buat menjadi ‘catharsis‘ bagi pembacanya. Hal itu berkaitan dengan pemaparan emosi yang kita tuangkan dalam tulisan. Bila kita mampu menghadirkan emosi dengan baik kepada pembaca kita melalui pemilahan kata atau diksi yang tepat, maka pelepasan emosi itu akan sangat terasa dampaknya.

Mari terus belajar dan berlatih agar kita juga menjadi ‘berkembang’ dan tidak stagnan dengan pengetahuan dan kemampuan yang sama setiap waktunya! Mari berkarya! Dan mari kita mencoba berlatih lagi untuk menghasilkan karya yang bisa menjadi ‘catharsis‘ bagi pembaca dan bagi kita juga.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler