Skip to Content

PROSES KREATIF: MENAKAR EMOSI DALAM CERITA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Teguh Puja

 

Berbicara mengenai bahasa dan ciptakarya yang bisa lahir daripadanya, bahasa punya kekuatan yang dahsyat, dalam upayanya membuat seseorang menjadi tegar, kuat atau bahkan merasa simpatik dan sedih dalam waktu bersamaan. Bahasa punya kekuatan, karena dari sana kita bisa kemudian menghayati dan merasakan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan emosi yang lahir daripadanya. Senang, sedih, bahagia, sengsara, dan emosi lainnya, semua bisa tersampaikan melalui perantara bahasa.

Berkaitan dengan itu, apakah kemudian penulis cerita bisa bermain dengan emosi yang nanti akan dirasakan oleh pembacanya? Kemungkinan itu sangatlah besar, ya, itu akan terjadi, mewujud menjadi nyata, bila penulis itu tahu dengan baik bagaimana sebaiknya ia memanfaatkan emosi yang ada, dalam detail-detail di ceritanya, agar pada akhirnya, itu bisa berefek luas dan mendalam bagi pembacanya. Bagaimana caranya?

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar plot yang kita bangun tidak saja menjadi menarik, tetapi juga sesuai dengan logika cerita, dan tidak melebar ke mana-mana sehingga kehilangan fokus atau maksud cerita; semua ini dilakukan agar tujuan kita untuk membangkitkan emosi dari pembaca itu bisa terasa. Kali ini, kita akan sama-sama belajar dan mengambil catatan penting dari buku William Kenney, How to Analyze Fiction. Kenney mengemukakan beberapa hal yang berkaitan erat dengan plot, di antaranya mengenai plausabilitas (plausability), adanya unsur rasa ingin tahu (suspense), kejutan (surprise), dan kesatupaduan (unity).

a) Plausabilitas

Plausabilitas bisa kita artikan atau kita pahami dengan pemaknaan: suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plot sebuah cerita pada galibnya harus memiliki sifat plausibel atau dapat dipercaya oleh pembaca. Pengembangan cerita yang tidak plausibel dapat membingungkan dan meragukan pembaca.

Sebuah cerita bisa kita katakan memunyai sifat plausibel jika tokoh-tokokh cerita dan dunianya dapat kita imajinasikan dan jika para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan di sepanjang tulisan dapat terjadi. Kita bisa mempertanyakan ini ketika sudah selesai menulis: Apakah jika seseorang berada dalam persoalan dan situasi seperti yang dialami tokoh cerita akan bertindak seperti yang dilakukan tokoh itu? 

Misalnya saja, mungkinkah seorang tokoh cerita yang mengalami keterbelakangan mental mampu menjawab soal-soal pertanyaan dalam olimpiade fisika? Atau mungkinkah seorang tokoh cerita bisa bertahan melalui banyak hal yang menderanya tanpa kita haturkan di dalam cerita kita detail-detail yang menunjukkan apa-dan-siapa saja yang mampu membuat tokoh cerita itu kuat bertahan?

Dalam sebuah cerita fiksi, mungkin saja kondisi pertama yang dipaparkan itu bisa saja terjadi, namun tentunya hal ini sangat tidak bisa dipercaya, oleh sebab itulah cerita yang dibuat akhirnya tak memiliki sifat plausibel.

b) Suspense

Suspense bisa kita artikan atau kita pahami dengan pemaknaan: adanya satu perasaan semacam kurang pasti mengenai peristiwa-peristiwa yang akan terjadi; khususnya yang menimpa tokoh protagonis atau yang diberi simpati oleh pembaca.

Sebuah cerita yang baik tentunya diharapkan mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. Seperti yang sudah pernah dituturkan di beberapa tulisan sebelumnya, kita juga bisa ikut menghadirkan ‘pity’ dan ‘fear‘ yang kita tujukan untuk mengangkat emosi yang kita tuliskan agar bisa juga dirasakan oleh pembaca.

Lebih jauh mengenai suspense, suspense tidak semata-mata hanya berurusan dengan ketidaktahuan pembaca, tetapi lebih dari itu, mampu mengikat dan mengajak pembaca seolah-olah terlibat dalam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan dialami oleh tokoh cerita. Suspense ini yang nantinya akan mendorong, menggelitik dan memotivasi pembaca untuk ikut serta dan menjadi ‘setia’, mencari jawaban dari rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita.

c) Surprise

Plot sebuah cerita yang menarik tidak saja harus mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, tetapi juga mampu memberikan kejutan atau ketakterdugaan. Itu bisa kita aplikasikan dengan menuliskan akhir atau pelengkap cerita yang bisa kita belokkan atau kita ubah sesuai dengan yang kita kehendaki.

Beberapa terkadang menyebut unsur surprise ini dengan kata ‘twist‘ atau pembelokkan cerita. Unsur yang satu ini akan menjadikan cerita yang kita buat berkembang dan berubah signifikan di mata pembaca jika kita bisa menempatkannya dengan proporsional dan pas.

d) Unity (kesatupaduan)

Plot yang kita buat akan menjadi satu dan padu ketika akhirnya kita bisa dengan kuat dan juga bermain cantik menghadirkan detail-detail dalam cerita yang bisa mengajak pembaca mengikuti garis benang merah yang kita siapkan dalam tulisan kita. Benang merang ini menjadi penting agar semua aspek cerita yang kita buat dapat terasa sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu; dan tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri.

Ketika kita bisa menghadirkan unsur yang ada dalam plot ini dengan tepat; kita bisa dengan pintar menakar emosi yang kita lahirkan dalam cerita. Apakah mudah? Tentunya ada kesulitan dan kesukaran sendiri juga dalam mengaplikasikan semua unsur itu dalam tulisan. Namun, pembiasaan dan eksplorasi yang berkelanjutan pasti akan menjadikan kita menjadi handal dalam hal ini. Saya percaya itu.

.

Emosi yang Samar

Pernah satu kali salah seorang sahabat, bertanya mengenai perihal ‘emosi’ dan ‘samar’ ini. Apakah maksud dari tulisan atau letupan emosi yang kita rasakan harus benar-benar kita ungkapkan dengan jelas tanpa menyamarkan apa yang kita coba tawarkan kepada pembaca? Apakah semuanya harus sepenuhnya dituliskan apa-adanya?

Bagaimana seharusnya? Pada hakikatnya, tidak ada ketentuan pasti mengenai itu. Dalam artian, apakah perlu kita menuliskan sesuatu apa-adanya tanpa berusaha menyamarkannya? Itu semua bergantung kepada kehendak penulisnya. Bila kemudian penulisnya merasa akan lebih baik untuk menampilkan apa-adanya maksud yang ia ingin sampaikan, maka itu bisa dipilih. Begitu pun juga sebaliknya.

Namun, saya termasuk yang lebih senang menuliskan maksud yang ingin saya sampaikan dalam tulisan yang ‘samar’. Mengapa seperti itu? Karena emosi yang mengalir dari ‘kesamaran’ cerita itu justru terasa lebih kuat untuk saya pribadi. Samar di sini jangan kemudian disalah-artikan menjadi tulisan yang kabur atau malah menjadikan cerita yang dibuat ambigu/tak jelas. Tapi lebih ke ‘tersembunyi’ dan memerlukan pembacaan yang lebih dalam. Saya lebih senang mengajak siapa pun pembaca saya, untuk tidak sekedar membaca sekilas apa yang tertulis. Saya justru berkeinginan agar pembaca menafsir lebih jauh mengenai apa yang saya tuliskan. Itu sangat menyenangkan dan juga ‘risky‘ pada waktu bersamaan.

Satu waktu saya pernah menuliskan mengenai fenomena ‘keperawanan’ yang kemudian saya tuliskan dengan menggunakan penyimbolan tertentu dari yang ingin saya tuliskan. Bila pembaca teliti melihat dan menafsir maksud yang saya sampaikan, tentu cerita yang saya buat tidak akan sekadar dimaknai dan dibaca ‘apa-adanya’.

Sepertinya ini sudah menjadi tahun kedua semenjak aku berdiam diri dan menunggu disini.

Hiasan yang sudah kupersiapkan selama ini masih saja belum sepenuhnya menarik siapa pun untuk menghampirinya. Aku juga sudah sangat bosan menunggu. Adakah yang salah dengan ruangan yang kuhias sekarang? Apakah mereka tidak menyukainya? Ranjangnya kuat; aku bisa jamin itu, kasurnya pun masih sangat nyaman untuk digunakan, seprai yang kupakai pun masih sangat bersih, putih, tanpa ada noda sedikit pun. Lalu mengapa masih saja tidak ada seorang pun menghampirinya?

Jika ada seseorang bertandang ke depan rumahku, aku akan berjalan perlahan mendekati pintu dan melihat melalui celah kecil yang kubuat di tengahnya. Aku bertanya-tanya, akankah ia masuk ke dalam dan akhirnya menemaniku? Dan setelah lama menunggu, ia kembali pergi meninggalkan rumahku, seperti tak tertarik dengan rumah yang berada di depannya. Aku jelas kembali kecewa.

Lain waktu datang lagi seseorang; dari penampilannya, aku tahu ia seorang yang menjaga dirinya sebegitu rupa. Berulang-ulang kali kulihat ia membersihkan debu-debu di tempat yang ia kira telah mengganggu penampilannya. Berulang-ulang juga aku harus menggosokkan tanganku di mata. Aku mulai merasa risih sendiri melihatnya. Penampilannya memang sangat bagus, tapi entah mengapa aku malah mulai tak tertarik melihatnya. Kutinggalkan celah kecil di pintuku dan kembali menunggu. Biarlah rumahku hanya diisi oleh mereka yang sempurna.

Beberapa. Pernah berucap kepadaku.

Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa berbeda kala itu dinikmati bersama ia yang pertama. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa sensasinya kala itu dilakukan bersama ia yang sudah terbiasa. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa seperti hadiah dari surga kala itu didapatkan bersama ia yang selalu siap memberikannya.

Beberapa. (Noda)

Di lain kesempatan lain, ketika berkolaborasi dengan adik saya, saya juga berusaha untuk tidak menampilkan secara apa-adanya tulisan yang kami buat. Itu semua, kembali, kami tujukan agar ini tidak dimaknai ‘oh, begitu‘ saja.

Di Rumah Terakhir, kami menulis.

lepaskan ceritaku
lepaskan rajutan asa yang pernah aku beri
pupus semua dengan air matamu
hapus dengan ketenangan hati

sudah aku jaga
tapi tak jua kita temukan rasa
sudah aku gali
tapi tak pernah jua terjadi

ijinkan jika ini menenangkanmu
akan aku kemas kembali nanti
dan ijinkan aku mati
agar aku takkan melihat air itu lagi

segala sesuatu yang aku lakukan tertuju padamu
meski aku takkan lagi ada di sampingmu
akan tetap aku lihat hidupmu
dan kan kusimpan cinta di relungku

Di depanku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat nanti aku akan kembali. Terhampar petak-petak rumah kecil berukuran sedang, kokoh, menjulang gagah, bersama rerumputan kecil yang ada di sekitarnya. Warna rumah mereka terlihat seragam, tak begitu berbeda dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Warna awalnya putih, namun mungkin karena sudah begitu lama tersirami air hujan, warnanya berubah sedikit berbeda, terlihat kasar, dengan beberapa noda yang mulai mengubah warna dasarnya menjadi terlihat aneh.

Di hadapanku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat aku mendamba temu terakhirku. Terlukiskan jelas wajah orang-orang yang berada di sekitar rumah-rumah itu, penuh dengan kepedihan. Seperti tercerabut akar-akar kegembiraan dari hatinya. Hanya hitam yang mendominasi rangkaian rindu yang mereka bawa. Hanya hitam yang menelan kerinduan mereka, menjadikannya isak tangis yang tak terhenti lagi, berubah menganak sungai, menjeritkan ketiadaan.

Di sekitarku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat aku membenamkan rindu di atas tanahmu. Ya, tanah yang kembali menjadi bagian dari dirimu. Tanah yang kembali mengingatkanku lagi bahwa kamu tak lagi ada.

Menjadi pembaca juga tentunya tugas ‘tak tertulis’nya bukanlah hanya sekadar membaca. Karena tentunya ada harapan tertentu juga yang ingin dipenuhi. Pembaca ingin mendapatkan ‘chatarsis‘ atau pelepasan emosi yang berbeda dari sebelum dan setelah ia membaca. Bila kemudian kita telah memposisikan diri menjadi pembaca yang ‘mengerti’, tentunya apresiasi kita terhadap tulisan apa pun akan menjadi berbeda.

Di akhir, kita bisa mengambil simpulan sederhana bahwa emosi, disadari atau tidak, adalah satu dari sekian unsur yang punya peranan penting dan sentral dari setiap cerita, maka apabila kita bisa menggunakan potensi itu dengan sebaik-baiknya, tentu hasilnya akan menjadi luar biasa.

Dan sebagai penutup, seperti yang sering disampaikan di beberapa kesempatan sebelumnya, menulis itu menyenangkan, dan tentu akan lebih menyenangkan lagi apabila kita punya pengetahuan mengenai apa yang kita tuliskan. Mari tetap berkarya dan menikmati proses kreatif setiap ciptakarya itu semaksimal dan seoptimal yang kita bisa.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler