Skip to Content

PROSES KREATIF: MENGAKRABI ‘CHARACTER EXCHANGE’

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Teguh Puja

 

Dalam kesempatan kali ini, saya ingin berbagi mengenai ‘character exchange’ atau ‘character development‘. Salah satu yang akan menjadi cukup penting dalam kaitannya ketika kita menulis cerita. Mengapa ini menjadi penting untuk kita ketahui? Karena bila kita mendasarkan cerita yang kita buat ada dalam runutan atau kronologi cerita yang memerlukan waktu yang cukup panjang, dengan asumsi ceritanya juga disisipkan konflik atau masalah, maka ‘character exchange/development‘ ini harus kita perhatikan baik-baik.

Dalam menulis, terutama menulis novel, unsur instrinsik berupa ‘karakter’ dan ‘karakterisasi’ adalah satu hal yang tidak bisa kita nafikan begitu saja. Begitu juga dengan perubahan-perubahan yang bisa muncul dari persinggungan yang terjadi; antara karakter satu dengan karakter lainnya dalam cerita, atau dari persinggungan karakter dengan konflik yang karakter itu temukan sepanjang menjalani setiap keputusannya.

Untuk memahami konflik itu sendiri, kita bisa membaginya menjadi dua, dengan garis besar sebagai berikut.

a) Konflik dengan diri sendiri/batin

Dalam cerita, konflik yang muncul bisa datang dari apa yang sudah karakter itu lakukan atau pikirkan. Pergolakan itu seringkali terjadi dalam ‘pikiran’ karakternya, karakter yang kita buat dalam cerita bisa kita gambarkan dalam kondisi ragu, marah atau terluka, atau kondisi emosi lainnya; kondisi emosi itu bisa dipicu dengan apa yang sudah ia lakukan atau pikirkan sebelumnya. Kita sebagai penulis, bisa mempertimbangkan bentuk konflik apa yang sesuai dengan cerita yang ingin kita berikan kepada pembaca.

Kadang, ada hal yang tak harus kita ungkapkan. Ia bisa kita jadikan sebagai misteri, ia yang kadang kita simpan sebagai rahasia, ia kita biarkan menjadi bagian dari ruang hati kita, tidak terucap, tidak terungkap, ia kadang kita biarkan saja mengkristal dalam ruang yang seringkali tak bisa dijamah oleh orang lain, ia menjadi milik kita pribadi, tak terjangkau oleh siapa pun.

Seperti itulah aku menjaga apa yang kini ada dalam pikiranku. Tak mudah memang, berjibaku dengan rasa ingin tahu yang bukannya memudar, justru malah bertambah besar. Berulang-ulang aku coba hentikan rasa yang kuat ini dalam dada. Tak ingin kemudian menemuimu atau mencari tahu apa-apa lagi mengenaimu. Namun bayangan dari ribuan kenangan yang lahir dari pertemanan yang akhirnya berbuah menjadi kisah kasih yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, selalu saja, kembali tanpa pernah diundang kedatangannya. Tak bisa kemudian mengusirnya, karena semakin dipaksakan, justru semakin kuat gambaran-gambaran kecil itu dalam pikiran. Semudah itu hati berubah, tak tertahankan deburan rasa yang muncul dari setitik keingin-tahuan yang tak pernah hilang. (Kunang-kunang untuk Sebuah Nama)

b) Konflik dengan karakter lain/lahir

Konflik fisik atau lahir bisa kita gambarkan atau tunjukkan dalam bentuk persinggungan dari perbedaan yang mungkin dialami atau terjadi pada dua orang atau dua kelompok yang berbeda prinsip hidupnya.  Misalkan, di satu sisi, satu berpihak pada kebenaran agama secara imani dan sebagian lagi memegang agama sebagai formalitas.  Dari persinggungan itu pasti akan terjadi konflik.  Dan kita tinggal memilih berada di antara keduanya atau memilih salah satu sebagai keberpihakan atau sudut pandang penulis.

Dalam ‘Takut Memimpin‘, saya berusaha menggambarkan hasil persinggungan yang muncul dari obrolan ‘Abah’ dan anaknya mengenai wacana dipilihnya Abah sebagai calon pemimpin oleh beberapa orang di desanya.

Aku kaget. Tak pernah sebelumnya ada wacana seperti ini di rumah ini. Setahuku, sudah ada beberapa orang yang mencalonkan dirinya untuk menjadi kepala desa, terlihat beberapa selebaran berisi nama dan foto mereka di sepanjang jalan menuju rumahku. Namun dengan ucapan Abah yang telah diminta menjadi kepala desa? Aku baru saja mendengarnya sekarang. “Lalu, apa yang menjadi halangan Abah? Bukankah kalau ada yang mendukung kita untuk memimpin itu satu hal yang bagus kan, Bah?”

“Betul. Tapi Abah tidak mau memimpin siapa pun. Tidak seperti sekarang.”

“Maksud Abah seperti apa? Bukankah menyenangkan telah dipercaya warga lain untuk menjadi pemimpin mereka? Itu bukan satu hal yang mudah didapatkan kan Bah?”

Abah mengangguk. “Abah tidak mau menanggung banyak dosa.”

Aku menggelengkan kepalaku tanda tak mengerti. Apa hubungannya menjadi pemimpin dengan dosa? Bukankah prestisius menjadi seorang pemimpin? Meski memang cakupannya hanya desa, tidak lebih besar seperti pemimpin-pemimpin yang sering kulihat reklame atau selebarannya di ibukota.

“Kamu tentu tahu, menjadi pemimpin itu tidak mudah. Menjadi kepala keluarga seperti sekarang saja membutuhkan lebih dari sekedar semangat. Abah bisa saja menjadi kepala keluarga yang buruk jikalau tidak sepenuhnya belajar dari kesalahan-kesalahan yang Abah punya dan Abah sudah lakukan. Menjadi kepala keluarga saja, Abah sudah merasa takut dengan ganjaran dan dosa yang mungkin Allah berikan untuk Abah. Tidak ada yang tahu apakah Abah akan diganjarkan surga atau neraka karena apa yang Abah lakukan selama ini.”

“Tapi Bah…”

“Abah kemarin menangis karena Abah takut. Abah juga khawatir bilamana nanti Abah menjadi pemimpin yang dzalim kepada orang-orang yang Abah pimpin. Sudah berapa banyak orang yang kemudian Allah ganjari mereka neraka karena kedzaliman mereka di saat memimpin dulu. Dan Abah tidak mau masuk dalam sebagian orang dzalim itu.”

“Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mendukung dan percaya dengan Abah?”

“Bila pun harus mengecewakan mereka. Rasanya lebih baik mengecewakan mereka sekarang di saat Abah belum diberikan tanggung jawab untuk memimpin mereka.”

Character exchange’ adalah bagian dari proses karakterisasi yang bisa dilakukan oleh penulis agar karakter yang ada di dalam cerita berkembang dan menyesuaikan diri dengan jalan cerita yang dibangun atau kita ingin sampaikan kepada pembaca. Karakterisasi sendiri adalah proses menyampaikan informasi tentang karakter dalam cerita atau karya, di antaranya bisa dilakukan melalui percakapan sehari-hari. Bentuk dari karakterisasinya sendiri dapat disajikan dengan cara deskripsi, melalui tindakan mereka, ucapan, atau pikiran.

‘Character exchange’ menjadi poin menarik yang bisa kita lihat dari setiap cerita, karena dari sana kita bisa melihat bagaimana masing-masing karakter di perjalanan dan alur cerita yang dibangun, bisa saja berubah dan berkembang ke arah yang tidak sebelumnya pembaca pikirkan. Ada twist atau ‘kejutan’ dari cerita yang kita tuliskan.

Sebagai contoh, jika ada satu karakter, diceritakan di awalnya ia hidup berkecukupan, dia bisa saja berubah menjadi tidak lagi hidup berkecukupan karena sikap-sikap yang dia lakukan. Perubahan-perubahan yang ada pun di cerita yang kita baca, tidak melulu dipersepsikan baik dan juga buruk terus menerus, karena, pun, jika kita bawa lagi isi cerita yang kita dapatkan di buku-buku yang kita baca, kenyataannya, sulit sekali bagi kita untuk tetap terus menerus baik, karena selalu saja ada godaan, cobaan dan ujian-ujian yang muncul, yang mungkin saja membuat kita goyah dan akhirnya tidak bisa bertahan dengan kebaikan yang kita lakukan sebelumnya. Selain itu juga, orang-orang yang awalnya kita persepsikan sebagai orang yang ‘tidak baik’ dan ‘jahat’, bagaimana pun selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Mereka selalu berkesempatan untuk menjadi ‘baik’. Character development adalah bagian dari ‘evolusi’ (perubahan, adaptasi, penyesuaian diri) yang akan setiap makhluk hidup lakukan.

Dalam cerita, terutama jika kita fokuskan dengan novel sebagai yang utama, proses perubahan, adaptasi atau penyesuaian diri masing-masing karakter itu dalam menyikapi setiap konflik batin dan lahir yang muncul akan menjadi titik balik yang penting untuk melihat kembali perkembangan alur cerita yang dibuat penulis.

Konflik dan ‘character exchange‘ adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan, konflik itu seperti darah dalam cerita, tanpa konflik, baik itu konflik batin atau lahir, cerita yang kita tuliskan akan terasa biasa. Semakin detail dan juga kuat penggambaran konflik dan ‘character exchange‘ itu di cerita, kemungkinan kepuasan pembaca itu akan lebih besar. Tidak mudah memang, tapi dengan berlatih dan membiasakan mengolah konflik itu menjadi santapan utama di setiap cerita yang kita buat, itu akan menjadi sangat menarik.

Seperti sebelumnya, menulis adalah satu kegiatan yang sangat menyenangkan, namun akan lebih menyenangkan lagi apabila kita benar-benar tahu dan memahami apa yang ingin kita tulis. Mari terus belajar dan berlatih agar kita juga menjadi ‘berkembang’ dan tidak stagnan dengan pengetahuan dan kemampuan yang sama setiap waktunya! Mari berkarya!

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler