Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2006 “DINDING MAWAR” KARYA YANUSA NUGROHO

Foto SIHALOHOLISTICK

Tingginya hampir tiga kali tinggiku. Membentang dari utara hingga selatan, selebar kira-kira 700 meter. Tebalnya aku tak tahu persis, karena, bahkan dari celah-celahnya saja, aku tak mampu menembus sisi lain dari bentangan ini. Dan percayalah ini memang sebuah dinding; dinding mawar.

Semuanya adalah mawar kampung, mawar yang paling kusukai, karena satu-satunya yang mampu mengharumkan alam sekitarnya. Mawar jenis lain, yang impor atau yang sudah silangan, kurang kusukai. Mengapa? Sederhana saja. Mawar-mawar itu, meskipun kelopaknya lebih besar-besar dan warnanya lebih beragam, lebih sedap dipandang mata, bagiku tak lebih seperti Mona, Ingrid, atau Mely. Cantik, tapi hanya manequin. Sempurna fisiknya, tapi tak memberiku “kehidupan” sama sekali.

Maaf bila aku membandingkan bunga dengan perempuan. Bagiku perempuan itu penting, karena dia adalah ruh bagi laki-laki. Mawar yang mampu memberiku ruh adalah mawar kampung ini. Dengan ruh yang kumiliki itu, aku memiliki tenaga luar biasa, sehingga seringkali aku menitikkan air mata, merasuki keindahan alam ini. Percayalah, itu semua karena mawar kampung ini.

“Mau diapakan semak-semak itu nanti?” ucap istriku tak acuh, sambil menekan-nekan tombol HP-nya.

“Ya,..enggak diapa-apain…,” jawabku menahan dongkol.

“Jorok, ah… halaman segini luasnya masak memelihara semak….”

“Kamu itu…masak, mawar segini bagusnya kamu bilang….”

“Halooo… Eni? hai… lagi ngapain…” dan dia seperti tenggelam dalam pembicaraan dengan karibnya, begitu saja, meninggalkan kalimatku yang menggantung di kekosongan.

Kami, dua tahun lalu, membeli tanah ini. Tanah seluas 5.000 meter persegi ini kami beli semata-mata karena aku tertarik pada dinding mawar ini. Waktu itu, begitu aku diajak melihat langsung oleh si pemilik, jiwaku seakan tersedot, terjerat erat oleh daya hidup dinding mawar ini. Dia, dinding mawar ini, seakan cinta pertamaku, yang mampu membuatku tak bernafas belasan detik. Mungkin mulutku ternganga, wajahku seketika tolol, lantaran ruhku melayang entah ke mana.

Lalu, dengan begitu saja aku memutuskan untuk membelinya.

Sesampai di rumah, ketika kusampaikan ke istriku, hanya senyum yang kuterima. Lalu dengan santainya dia berkata, “Jadi, sekarang mau bisnis tanah, nih… makanya, dari dulu aku bilang apa… begitu tahu enaknya, keranjingan….”

Aku diam saja. Biar saja dia punya penafsiran begitu, karena memang beralasan. Baru setahun sebelumnya, kami membeli tanah dengan luas yang sama di daerah Bogor.

“Tapi, yang ini, kayaknya, aku enggak mau jual…,” kataku tenang, menanggapi ucapannya yang seakan mengibarkan bendera kemenangannya atas sikapku beberapa waktu lalu.

“Lho, terus untuk apa?”

“Ya, enggak tahu, tapi yang jelas… yang ini enggak akan kujual….”

Istriku terdiam sesaat, lalu, “Lihat saja, nanti…,” ucapnya yakin seolah semua sudah terbayang di matanya.

“Jujur saja, aku enggak tahu, kenapa aku memilih ’gubuk di tengah rimba’ dan bukannya hotel bintang 5…,” gerutunya. Itu terjadi ketika dia kuajak menginap di rumah “dinding mawar” ini. Lalu disusul penyesalannya lantaran tak membawa player, karena dengan begitu dia tak bisa menyaksikan “Phantom of the Opera”.

“Melankolis…,” ledekku.

“Idih, enggak romantis….”

Akhirnya, ranjang besar ini kurasakan terlalu dingin dan terlalu luas, bahkan hanya untuk sepasang suami istri. Sambil membayangkan anak-anak kami berlarian atau bersepeda di halaman luas ini, lama-kelamaan aku terlelap. Bayangan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Pagi buta, aku sudah terjaga. Aku berjalan, tanpa alas kaki, menyaruk-nyaruk kabut tipis putih susu di hamparan ini. Aku berjalan sambil menatap dinding mawar itu.

Kian dekat langkahku, kian kuat degup jantungku. Ya, persis seperti ketika kujumpai si “prenjak” istriku itu, dulu, hampir 20 tahun lalu. Dia yang tahu bahwa aku naksir, berlagak tak acuh tapi butuh. Aku tahu, dia pun naksir aku. Dan entah mengapa rasa saling tertarik itu kami biarkan menggantung sampai setahun; sebuah misteri yang nikmat. Aku, dan kurasa dia juga, menikmati saat-saat pandangan kami bertumbuk dalam jarak tertentu, karena kami berkelompok dengan geng kami masing-masing. Detik-detik yang memerangkap, lalu disusul senyum, wajah yang tertunduk, jantung yang berdegup keras, sungguh kenikmatan yang tak bisa dibeli bahkan di surga sekalipun.

Dinding mawar ini kian memukauku. Dan akhirnya langkahku terhenti pada jarak pandang yang tak bisa kuperkirakan. Angin pagi, samar-samar menaburkan keharuman mawar-mawar itu ke lubang hidungku. Inderawiku meriap-riap, kuhirup kesegaran yang indah ini. Kalau saja ini kebahagiaan, sungguh tak terkira besarnya.

Entah berapa lama aku berdiri dengan mata terpejam, menikmati arus kebahagiaan yang mengalir di setiap sel tubuhku, aku tak tahu. Kurasakan perlahan-lahan kehangatan mengaliri tengkuk, punggung, dan sekujur tubuhku.

Aku terbahak-bahak di pagi cerah itu, menertawakan matahari yang merasa kikuk berada di punggungku. Aku tersadar, ketika telingaku menangkap gesekan sapu lidi Pak Kadi yang sedang membersihkan halaman. Dialah yang selama ini merawat tanah dan rumah ini, dan dia orang yang sejak kecil tinggal di wilayah ini. “Pak…,” kataku sambil melambaikan tangan. “Di sebelah sana, di balik mawar ini… tanah siapa?”

“Kebon karet, Pak… punya Haji Mandar….”

“Kebon karet?”

“Iya, tapi sudah enggak terawat….Kosong. Katanya sih, mau dijual… Berminat, Pak?”

“Beli tanah lagi?” tiba-tiba istriku sudah berada di antara kami.

Pak Kadi tertawa, dan aku merasakan diriku mentah lagi.

“Tuh, sarapannya sudah disiapin sama Bik Min…,” potong istriku tak acuh.

“Aku penasaran, masak ada kerimbunan mawar tak bisa ditembus pandangan mata?” ucapku sambil menyuapkan nasi goreng.

“Buat apa, sih, segitu penasarannya?”

“Ya, penasaran aja.”

“Enggak masuk akal.”

“Emangnya, cinta itu masuk akal? terlalu besar buat diselipkan di akal kita yang sempit…,” godaku sambil mencoel dagunya yang indah itu. Ah, pipinya bersemu merah.

“Idih, tua-tua, genit…,” kilahnya, lalu bangkit dan mengambilkan air minumku.

“Sebetulnya, aku masa bodoh dengan yang di seberang dinding mawar itu.” Kataku begitu saja, entah suara siapa sebetulnya yang kuucapkan itu.

“Terus? … Idih, Mas kok makin aneh, sih?”

“Masak begini aja aneh?”

“Maunya apa, coba?”

“Aku kepingin berada di dalam ’dinding mawar’ itu…,” sekali lagi, kata-kata itu seperti tersusun sendiri, hidup dan terlontar dari mulutku.

Tak kusangka, istriku menatapku cukup lama, seakan kedua mata beningnya itu ingin menembus rongga mataku, mencari di mana aku berada. Kemudian dengan lembutnya dia memelukku dengan perasaan sayang luar biasa.

Ketika dia menitikkan air mata, aku sadar bahwa batinnya tergores. Dia menafsirkan bahwa kewarasanku sudah mulai rapuh.

“Apanya yang aneh?” bisikku lembut. “Aku ingin tahu sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, dan ingin mencobanya sendiri. Apa yang aneh dengan itu?”

“Kelopaknya indah, tapi batangnya, kan penuh duri.” Bisiknya lembut.

“Ngerti….”

“Durinya, kan, tajam?”

“Paham….”

“Bisa terluka….”

“Percaya….”

“Bukan cuma luka, tubuh Mas akan hancur oleh sayatan durinya!”

“Nikmatnya….”

Wulaningtyas, istriku itu, menjauh dengan wajah “durga”-nya.

“Sebaiknya jangan pernah mengucapkan keinginan sinting itu di depanku, karena aku tak mau terseret kegilaanmu….” Lalu dia balik arah dan menghilang di kamar.

Aku sendirian lagi, melanjutkan suapanku di pagi itu. Perasaan aneh menggelimangi diriku. Aku seperti disadarkan oleh kalimat istriku, tetapi yang sekaligus menciptakan daya dorong untuk mewujudkan apa yang baru saja kuucapkan padanya. Jika mataku mampu menyerap keindahannya, tentunya kulitku pun mampu menerima kepedihannya. Sesaat aku ragu akan ucapanku, namun ada perasaan lain yang menepiskan keraguanku.

Aku berjalan. Baru kali ini aku bisa merasakan bahwa langkah ini milikku.

Ketika aku bocah, aku adalah milik impian dan harapan bapak-ibuku. Ketika aku kuliah, aku milik suatu sistem yang ingin membentukku. Ketika aku menikah, aku milik tatanan sosial dan tentu saja menjadi milik istriku. Ketika aku bekerja dan memimpin berbagai perusahaan, aku milik orang banyak, dan segala sesuatunya harus terikat pada logika orang banyak. Seperti sebuah iklan televisi, aku selama ini harus “sempurna” tampil. Baju rapi. Wajah dibedaki. Senyumku diarahkan, makanku harus terlihat nikmat agar semua yang menonton “terpengaruh”. Ah, kedunguan kerbau ini, betapa makin menggelimangi hidupku.

Tapi, pagi ini, semuanya yang mencekikku itu sirna dalam sekejap, begitu kuputuskan untuk masuk ke dalam “dinding mawar” ini. Luar biasa. Aku merasakan kerianganku, jiwaku bersorak girang. Gairah hidupku tiba-tiba terpompa kembali.

“Nanti Kus jemput aku pulang. Aku ke rumah mama….” ucap istriku dingin. Dia mematung dengan tas pakaiannya.

“Sayang sekali, sebetulnya aku ingin menggandengmu ke pelaminan kita di sana itu…,” bisikku, menunjuk rimbunnya dinding mawar.

Kulihat tubuhnya yang tegak, bergetar hebat, dia menangis dalam usahanya untuk tegar.

Kusentuh batang berduri ini. Kutatapi kelopak yang indah ini. Kuserap kemurnian ini. Perlahan kusibak batang mawar ini dengan telapak tanganku. Duri menciumnya dan bermandi merah darahku. Aku melangkah, dan duri-duri bermanja ria merangkul kakiku, lalu lenganku, wajahku, kepalaku, punggungku….

Kurasakan setiap tusukannya yang pedih, namun sekaligus memijarkan kenikmatan seorang perempuan yang melahirkan kehidupan ke alam ini. Kurasakan sayatan dan robekan di kulitku, sebagaimana kurasakan sobekan tubuh perempuan yang melahirkan. Hidup ini indah dan dibayar dengan kenikmatan luka.

Aku terus melesak ke dalam rimba dinding mawar. Kurasakan darah menggelimang di sekitar alisku, kemudian menetes nyaris membasahi bola mata. Kuseka, dan kulihat tanganku merah penuh luka. Batang-batang kusibak, dan tak kulihat ujung sana. Kian kusibak, aku hanya memasuki kedalaman yang lain. Sementara duri-duri kenikmatan ini kian bersukacita menyambutku. Mereka seakan bidadari yang terbakar atau membakar gairahku, dengan ketajamannya. Menggosok-gosokkan dan seringkali menancapkan dengus gairahnya ke jiwaku.

Mungkinkah Abimanyu merasakan apa yang kurasakan, ketika tubuhnya dirajam panah Kurawa? Kurasa ya, hanya saja mungkin berbeda dalam memaknainya. Aku tak peduli. Yang kurasakan, tiba-tiba aku menemukan sebuah jawaban yang selama ini kucari.

Ketika kubuka mataku, yang kulihat adalah wajah istriku. Matanya sembab. Dia tersenyum penuh perasaan “plong”. Dari penuturannya aku tahu bahwa hampir dua jam aku tenggelam di dinding mawar. Istriku yang cemas, akhirnya tak jadi pulang, dan bersama Pak Kadi, beberapa tetangga, dan akhirnya si Kus, yang telanjur berangkat dari rumah, menemukanku terkulai penuh luka dan pingsan.

“Aku enggak peduli apa yang Mas lakukan, yang penting Mas selamat dan tetap sayang sama aku…,” bisiknya penuh kebahagiaan.

Aku tersenyum, dan menjawab bahwa yang terpenting justru yang sedang kita lakukan, apa pun hasilnya menjadi nomor sekian. “Yang penting kan mencintaimu, nah apakah cintaku disambut atau di-prek-in, enggak penting buat aku…,” godaku.

“Jangan khawatir, mulai sekarang, kalau Mas mau, bisa kapan saja keluar-masuk dinding mawarmu itu…,” bisiknya lembut.

Aku tersengat, jangan-jangan….

“Enggak, kok… cuma di bagian tengahnya. Kemarin aku suruh Pak Kadi bikinin lorong, dan dikasih fiber melengkung sedalam dinding mawar itu. Jadi, Mas bisa masuk, jalan- jalan, sampai mentok… tanpa luka-luka lagi…. Persis di Sea World itu… bedanya yang ini melihat duri-duri…” dan senyumnya mekar.

Aku tersenyum, entah apa yang kurasakan aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah air mataku menetes hangat.

“Aku hebat, ya…,” goda istriku manja.

Ya, ya… kamu hebat, bisikku dalam hati. Ya, dan anehnya, perasaan bahagia ketika duri-duri mawar melukaiku itu, kembali menderas dalam jiwaku. Tapi ada yang kurasa aneh, membayangkan dinding mawar itu berlorong fiber!

 

Pinang 982

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler