Skip to Content

PUISI-PUISI DINULLAH RAYES

Foto SIHALOHOLISTICK

GUNUNG TAMBORA

Gunung Tambora

menyundul langit biru Sumbawa

Pagi hari mentari mengirim sinar

Menerpa wajah hijau berseri

Sore hari terpateri

Cahaya layung ramping

Kening gunung menjulang

menyimpan misteri

memendam materi

Air bening mengular

membelit tumit bukit

menuruhi lahan sawah

Mengalun kesuburan

Membuka kelopak senyum warga dusun

Damai pun menyemai

Di mana-mana

Suara Muhammadiyah, No. 14/75/1990

 

AKU DAN BAYANGAN

Menggores aksara

saat sumpah setia. Atas nama

adam dan hawa.

 

Kulit pohon palma ini

terbaca wajah zaman

pelepah daun yang luruh

harapan-harapan yang mengubur diri.

 

Kembali malam ini

aku dan bayangan di bawah bulan tua

melepas angan memburu wajahmu

yang pergi

tiada kembali lagi.

 

Doa berkendara kereta langit

Tuhan!

warnai hidupku selalu

pancarkan nur-Mu dalam hatiku

kelam berdebu

(Puisi-puisi/Pertemuan Sastrawan 1974)

 

JAKARTA

Pucuk menara

kembang api

telapak kaki

sepi

(majalah Horison, Pebruari 1976 Th. XI)

 

PESAN SEORANG RESIDIVIS PADA KEKASIHNYA

Bangku-bangku panjang melingkar

berdesakan bayangan dalam resah

menyimak benturan kata-kata

sejenak lagi namaku terdengar

lima aksara luluh dalam riak waktu.

“Tinggallah engkau di sini: sayang

nasib yang sepi kugenggam

sampai nisan tak bertanda

tiada menyapa siapa.

harap kau catat

pagi ini jarum detik jantungku

terasa begitu laju.”

(Puisi Majalah Sastra, No. 1 Th. 1 Nopember 2000)

 

SAJAK MUSIM KEMARAU

Akar-akar pepohonan di hutan

akar-akar semak belukar di tepi dusun

akar-akar bunga di halaman depan

akar-akar perdu di belakang rumah warisan

Mulut-mulut yang menganga mohon secawan air hujan

basahi kerongkongan kering gersang

Pucuk-pucuk daun pun merunduk, sembah sujud satu tujuan

Dari gumpalan awan hitam, Tuhan menempa jutaan

tempayan

“KUN”

Air pun tercurah dari kerajaan langit

Bulu-bulu akar rambatkan puji syukur

sepanjang jalan kehidupan

Menyentuh lahan hatiku

menguap bau harum surgawi di tanah lahir

Alangkah mesranya cinta yang diukir

jemari tangan-Nya.

(Suara Muhammadiyah No. 7 Th 67 / April I 87)

 

REUNI

dalam ruang gelap senyap

siapa pula yang bersandar

pada dinding angin. menjilati cairan

gula enau. matahari terpelai dedaunan

tiada terhitung dengus nafas dalam

temaram. menyentuh rumpun bunga

rahasia saling pandang lalu berjalan

berbimbingan tangan angan. dari balik daun

pintu jelaga terdengar suara ketukan

pelan-pelan kemudian nyaring

lalu mendaki lereng malam dan tiba

pada titik puncak lalu menurun

ini sebuah irama hidup, katamu

tetapi mengapa kau tetap diam menunggu?

tak menyapa siapa. di sini suara bicara

dalam isyarat. di luar tak ada sosok misteri

menunggumu lagi. angin mengendap sepi menyergap

segalam melebur dalam gua gelap

berbaur bayang Maha Misteri. barisan roh

menunggu aba-aba akhir-Mu

(Simponi, 17-5-1987)

 

BRANG BULAENG

Bagi PT. Newmont Nusa Tenggara

 

Dari hulu pedalaman Sumbawa

Mengalir, menghilir Brang Bulaeng

Harapan anak negeri segera mereguk air jernih bening

Menyirna dahaga deraan kemarau panjang

Tapi orang asing itu merampas cawan dari tangan kerdil kering

Lalu anak negeri memandang kening langit muatan mendung hitam

Batu-batu bisu di lubuk kalbunya yang buram

 

Aneh!

Tiba-tiba Brang Bulaeng jelma telaga es mengemas

Tapi kita dihalau bagai kucing kurap kurus

Dilarang menyauk apalagi mandi di tepinya

Di sini kita merasa asing dan sepi

Di kampung halaman sendiri

 

Aneh!

Air Brang Bulaeng membeku warna kuning gading

Jelma pilar-pilar bangunan negeri surga

Anak negeri merekah senyum bersama rembulan

Tiba-tiba dirampok tangan-tangan putih benua jauh

Direbut tangan-tangan sawo matang seberang lautan

Anak negeri pun jelma daun-daun dikerumus ulat

Semakin ganas begitu nekat

 

Aneh tak aneh saudaraku

Sumbawa bersukma lebah

Jati diri, harga diri kita

Haram tergadai jemari gurita

Yang mengukir bunga kata-kata

Dari lidah hati sarat arogansi

(1999, Kilas, No. 32 tahun I, 2-8 Desember 1999)

Nb. Brang Bulaeng = sungai emas

 

KELAHIRAN, KEHADIRAN DI LUAR BANDAR MELAKA

Mari kita tamasya

ke Kampung Sempang, Merlimau

di sini azan awal memecah sunyi

menyelinap telinga Tuan Haji Pit Ismail

menghirup sari daun

menyimak langkah-langkah mega

menelaah kepak burung

menghirup napas cakrawala

 

Jangan enggan istirah

di Kampung Bertam Malim

ranah ini tangis pertama menggetar lidah

Datuk Haji Mohamad bin Haji Abd. Rahman

menikmati sentuhan gugur daunan

meraba bayangan rebah

membaca sunyi sembunyi

di balik lembaran puisi alam

 

Kita singgah melemaskan saraf

di Kampung Kuala Sungai Baru

Datuk Borhan bin Md. Yaman

meluncur dari kandungan bunda

mendengar siul burung

merekam seruling gembala

memanggil angin lembah

menyambut udara tiba

membawa sabda sarat rahasia

 

Pengembara muda belia

mencuci mata hati

dalam Kampung Telok Mas

tanah kelahiran Haji Abdul Samad bin Kasim

menikmati pantun Melayu

menangkap hikayat lama

menguak tradisi leluhur

menopang plapon sejarah akhir zaman

 

Hari masih segar ketika sampai

di Kesang Tua, Jasin

Tanah tumpah darah Mohd. Adib Haji Mohd. Adam

menatap sayap burung menarikan pucuk pohonan

daun kelapa sawit melambai-lambai pengelana

menyegar sukma suara bocah-bocah mengaji

dara-dara molek merebut rumah Allah

resah gelisah bergegas sirna

 

Kaki-kaki turis menapaki bukit hijau

di tepi Kampong Jalan Permatang Serai, Merlimau

Di sini lahir Datuk Haji Ahmad Haji Ithnin

gemericik air sungai menghimbau

bebungaan mengirim harum

ikan-ikan gemerlap dalam kolam alam

membuka kelopak mata batin

duhai!

 

Mari melepas jiwa raga

sekujur Semenanjung Melaka

menjinak mimpi liar letih

dalam gua ranjang batu

dalam laut ranjang karang

dalam kabut dipan awan

menyemai damai hati insani

nyanyian surga mengalun

kita pun pesona baqa

(Kuala Lumpur- Melaka 2000: Perisa, Jurnal Puisi Melayu-Malaysia 2000)

 

LEMBAH HARAU

Buat mitra: Wisran Hadi dan Upita Agustine

 

Lidah-lidah air terjun lembah Harau

Jilati bukit-bukit batu cadas terjal

Basahi lambung sukma yang lapar rindu

Dara-dara gelar tari bagi kembara yang tiba

Gerak jemari hati membias wajah cermin alam

Memanggil-manggil dalam isyarat tangan:

Mari pulang penyair meramu rasa di ranah Minangkabau

Padang yang lapang kalbu.

 

Kita berjalan atas daun-daun

menimbun kerikil jalanan

Mengeja cuaca, rambut-rambut waktu

yang ubanan

Kita segera pulang

‘pabila umur gugur dekat kubur

bunda Mualim Kerajaan.

(1999; Tabloid Kilas No. 50 6-12 April 2000)

 

DOA

1

Bisik-bisik bunga rasa

Mendaki lereng kening-Mu

Semesta pun pesta cahaya

Tuhan merekah senyum

 

2

Tangan pun menadah

tetesan embun-Mu

Basah kuyup jemari batinku

 

3

Kuterbangkan merpati putih

hinggap di kubah benak-Mu

sunyi pun tersipu

 

4

Engkau diam dalam senyum

Lidah-Mu lisankan aksara cinta

buka pintu bumi sepi kasih

 

5

Hatiku kertas putih

Kumohon alif-ba-tas-Mu

Luluh dalam kaligrafi

bumi, langit batinku

(1996; Nusa Tenggara Minggu, 5 Januari 1997)

 

BAYANG-BAYANG REBAH

Bayang-bayang rebah

Sekujur tubuh kota

Mencari jati diri

Di bangku-bangku terminal

Di langit metropolitan

Bulan sepotong pucat pasi

Kehabisan darah

(Jakarta, Agustus 1995/ dari Negeri Poci 3, 1996)

 

RUMAH KECIL DI PUCUK OMBAK

Buat : Agus Talino, hari-hari melap limbah batin

 

Rumah kecil di pucuk ombak

laut pasang, langit legam

Payung hitam mengembang

Bulan sepotong. Sebutir bintang rontok

Tiada kepak camar di atasmu

Sayapnya basah, gemetar

gigil dalam senyap

 

Dalam lambung rumah nelayan

ikan-ikan kecil menggelepar

Nyala pelita condong ke kiri

redup dan sirna

dari bilik hati

Siapakah mengayunkan lengan angin

menampar pipi laut

hingga meraung-raung sepanjang malam?

(1992 / Dari Negeri Poci 2, 1994)

 

DINDING-DINDING JASAD

Siapapun mengerti makna wujud tubuh

yang luar yang dalam

Pilar-pilar putih topang daging bernyawa

Sebuah lahan batin bermata air kasih

Adalah tempat menuai harapan

Kepastian hidup hari esok

menuju pelabuhan janji-Nya

1992

 

MALIOBORO

Catatan sepintas buat Emha dan Linus

 

Lorong-lorong jalan kotamu gemerlap
Malam-malam gagal menitip gelap senyap
di trotowar, emperan toko
Aku bersama Bambang Widiatmoko
melepas kangen di lahan lesehan
selama ini tergadai sang waktu
Sejak senja kita memecah tabung sunyi
Senda gurau, tawa bahak kita
terkadang terhenti getaran tali guitar pengamen
yang membalut nasib terluka
dalam dandanan jaman berlari

Di samping kiri kita ada perempuan mata seribu
menawarkan betinanya yang terkoyak
pada siapa haus birahi malam gerah
Di sebelah kanan kita ada pemuda-pemuda
menggelar diskusi seputar radius pers
Mencakar-cakar pengendali negeri berlidah ganda
Memaki-maki demonstran asing merobek panji jati diri
Ah, belakang depan kita gedung-gedung menghadang
Kita takut melangkah diterkam rahang gurita
Malam ini batuk dan kantuk sirna

Bulan sepotong itu
betapa arif bijaksana
membagi rata cahaya emas
bagi pepohonan rindang perkasa
buat jemari rerumputan yang kerdil kaku

Kita bergegas menatap langit hitam pekat
tiba-tiba dingin mengigit
Kita pun gemetar
merebut mimpi yang buyar
(Yogyakarta, Agustus 1995 / Dari Negeri Poci 3, 1996)

RINDU

Pohon dan hutan                 : rindu merindu

sukma dan badan                                : rindu merindu

burung dan ranting                             : rindu merindu

ikan dan air                                          : rindu merindu

bayi dan susu                                       : rindu merindu

petani dan sawah                                : rindu merindu

bocah dan mainan                               : rindu merindu

biduan dan lagu                   : rindu merindu

penyair dan puisi                                : rindu merindu

tinta dan kertas                    : rindu merindu

aksara dan buku                  : rindu merindu

surat dan amplop                                : rindu merindu

tanah dan air                                        : rindu merindu

kopi dan gula                                       : rindu merindu

kota dan warga                    : rindu merindu

kaki dan sepatu                   : rindu merindu

garam dan asam                  : rindu merindu

flora dan fauna                     : rindu merindu

dipan dan kasur                   : rindu merindu

kain dan kapas                                     : rindu merindu

kekasih dan Kekasih                          : rindu merindu

insan dan Tuhan                  : rindu merindu

(1986 / Suara Muhammadiyah, No 8 Th. Ke-66 , April II-1986)

 

 

TENTANG DINULLAH RAYES

Dinullah Rayes lahir tahun 1937 di desa Kalabeso Kec. Alas, Kab. Sumbawa, NTB. Ia pernah bertugas sebagai guru SD beberapa tahun 1956—1965. Kemudian beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kab. Sumbawa di Sambawa Besar untuk selanjutnya dipercayakan sebagai Kasi Kebudayaan Kandep Dikbud Kab.Sumbawa. Aktif menulis sejak tahun 1956. Selain menulis puisi juga menulis cerpen, esei, naskah drama, artikel kesenian/kebudayaan.
Tulisannya tersebar di media massa: Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malasyia.

Karya-karyanya tekumpul dalam : Anak Kecil Bunga Rumputan dan Capung Ramping (Mega Putih Sumbawa, 1975), Hari Ulang Tahun (Sanggar Mayang, Mataram 1980), Kristal-Kristal (bersama Diah Hadaning, Pustaka dan Penerbit Swadesi, Jakarta, 1982), Pendopo Taman Siswa (Sebuah Episode, bersama 28 penyair Indonesia: Sema FKSS Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta, 1982), Puisi ASEAN (Bersama 39 penyair, Yayasan Sanggar Seniman Muda Denpasar 1983), Angin Senja (bersama 3 penyair NTB, PW HSBI, NTB, Mataram, 1983), Nyanyian Kecil (Pusat Dokumentasi Sastra Korrie Layuan Rampan, Jakarta, 1985), Peta Lintas Batas (bersama Sunaryono Basuki KS dan Hariman, Sanggar Bukit Manis, Bali, 1985), Pendakian (Forum Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Sumbawa, Yogyakarta, 1986), Sosok (bersama 17 penyair Nusa Tenggara Barat, HP3N Mataram, 1986), Seutas Tali Emas (bersama Siti Zainun Ismail, Agus Nurdin, Sulaiman Saleh (BKKNI Propinsi NTB, 1986), Spektrum (bersama 32 penyair Nusa Tenggara, Yayasan Mitra Sastra Mataram, bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesan (YLKMP) NTB, 1988), Istiglal (bersama 2 penyair NTP, Depdikbud Kabupaten Lombok Barat, 1990), Dari Negeri Poci 2 (Pustaka Sastra, 1994).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler