Skip to Content

PUISI-PUISI ZEN HAE

Foto SIHALOHOLISTICK

KAIL

di danau ini, paman khidir, betapa ngeri

tuhan-tuhan sebesar jagat

berjuntaian mengailku!

1994

 

MITOLOGI KELUARGA KAMI

: frans nadjira

 

lihat, ibu mengunyah permen di beranda

merasa burung di gaunnya berkicau. ada angin

menerbangkan kebayanya ke lautan. kemudian ibu

memuja warna langit yang hitam, seperti warna api

yang melahap gladiol tua di vas bunga, negeriku

gumam ibu, hanya derit keranda di tepi jurang

: tahun-tahun berkejaran. langit meranggas

 

(adik melompati pagar. usianya memanjang

pada pilar-pilar jalan. seakan pohon pinus

tak pernah menyentuh langit. betapa nestapa!)

 

bapak tiba dengan lukisan. setiap hari

ada kuda terpanah, juga pohon-pohon menaburi

kamar dengan erangan panjang. mengapa tak lahir

sebait puisi sufi dari seutas tali penjerat leher

teriak bapak di sajadah, ketika senja mengguyur

jalan. rerumputan mencuri embun dari gelas

 

sedang aku melubangi matahari. menggenggam api

dari meteor yang dilempar senja. tapi aku ingin

mengapur langit. sebab malam akan memancung

bulan di samudera. menggantungnya di dahan

1993 

 

PAUS MERAH JAMBU

: iswadi pratama

 

seekor paus lapar, bung, ingin mencaplok gunung

sebuah sajak mengumpaninya tongkang dan kecubung

 

bermalam-malam

kau terbangun oleh runcing taring dan luas rahang

ombak gagu yang menggeram di punggung tebing hitam

arwah basahmu timbul-tenggelam – mencari pesisir

menjeritkan suaka di antara keriut perut

“berhentilah mengejaku

ambil harpunmu

bebaskan aku!”

 

kamarku terguncang oleh pelbagai suara

tapi aku terus membaca – menyusuri bait-bait tegang

hingga jerit paraumu menjelma semburan tinta

gigil tubuhmu merontokkan huruf dan tanda baca

seperti lidi-lidi kemarau

berjatuhan dari

matahari hijau tua

 

tapi anak-anak yang mengutip biji-biji usiamu

setiap kau tidur dan tersesat di lorong bercecabang

yang bermuara di teluk hitam – hanya tertawa

sekeras guntur di kuburan. punggung mereka

berkilatan di laut rumput pagi hari

mereka menunggumu dengan sayap berkelepakan

yang bunyinya membuatmu menangis

                di atas ranjang besi

                                berkemul seribu-satu lapis

                                                doa penolak bala

 

kamar ini menjelma bubu saat kututup buku

kau melompat-lompat dengan tubuh berlendir

banjir kiriman dari

gunung

hujan berlapis-lapis

di laut lepas

membujuk kapal-kapal merapat sepanjang malam

menantang orang-ikan mengosongkan sarang

kau bergegas – di kepalamu

rahang-rahang paus lapar

umpan mahabesar

 

 “ke teluk, paman, ke teluk. kupeluk, abang, kupeluk”

 

jalan ke teluk dijaga sembilan pungguk

pepohon berdahan karang merah berdaun lokan perak

sulur-sulurnya terjuntai menggenggam batu

bukit-bukit di selatan sehijau-sebisu bangkai kapal

terdampar ribuan tahun

setelah badai meteor menggebah

dan pulau-pulau berpindah

melulu begitu!

hingga matamu memejam

mencari segala ciptaan yang pernah dikabarkan

para perawi dari samudera dan jazirah mahajauh

: rupa, suara, rasa, gerak elmaut serupa sapu

dan kautemukan pada sebuah bait murung

bintang-bintang kuning gading

dari rasi tak dikenal mencair

menjelma ikan

dan orang usiran

 

“semesta tubuh kami adalah umpan segar. kami rindu

taring runcing, liur asin, daging koyak, tulang retak

– kraak!”

 

kau teringat kembali akan seekor paus

yang terluka dan menjerit di samudera biru tua

sebuah tembakan harpun membuat lorong di tubuhnya

seorang nabi hanya berdoa. sepotong tangan tuhan

akan berdarah di sorga – inna lillahi

semua ikan dan udang akan ditangkap

akan terus ditangkap

terkubur bumbu di atas nampan

diperam di dalam kaleng

 

paus itu berkuasa di laut dalam

paus itu berpuasa di musim kawin

tubuh raksasanya hanya sebesar guling

di selembar hasrat orang-orang berwajah api

yang lidahnya terjulur ke tanah

ludahnya hijau muda

nafsu makannya

serakus setan tasmania

hauk!

 

seekor paus sekarat, bang, menabrak tongkang

sebuah sajak menguburnya dalam bait-bait riang

 

kau menanti sekelompok pemburu paus

kapal mereka merapat di bawah hujan selebat baleen

lunasnya hitam, layarnya rompang, tiangnya goyang

kelasi-kelasinya turun. bersiul sebunyi kalkun

“ini pemburuan paling sial, syahbandar

seluruh paus bermigrasi ke selat hangat

kawin dan beranak.”

 

kau hanya anak kecil di situ. pengisap dongeng

berharap asap mukjizat memandu langkah mereka

ke samudera dan jazirah impianmu. tetapi tak

langkah mereka bergetar

di bawah matahari

tujuh jari

bayang mereka terjulur ke rumah bambu

tempat aneka suara bergema dan kembali ke lautan

sebunyi camar kawin

di rumah itu paus-paus merah jambu

menunggu dengan berkendi-kendi arak

dan sepotong lagu nina-bobo akan menidurkan

para pemburu selama ratusan tahun

tubuh mereka akan kisut

tulang-belulang sekeras batu

dipeluk pasir dan debu

sementara duabelas matahari mabuk

terbakah di tiang-tiang kapal dan gulungan layar

oleng dan jatuh ke geladak – muntah bara

menunggu arak-arakan

tiga saf panjang

pemadam

 

“semesta tubuhku adalah umpan segar. kurindu

taring runcing, liur asin, daging koyak – menjelma sajak”

 

kakimu menjejak pasir. di bawah riak air

bayang-bayangmu serupa tokoh kartun

biji-biji khayali itu pecah lagi – kaupecahkan lagi

: pasir terasa rumput, ketam bagai belalang

tubuh ringkihmu menyesap serbuk taifun

kembung dan melayang-melayang

– meledak

menjelma jutaan ikan

dengan girang mereka berlompatan

memancing paus lapar

naik ke pantai

2004

 

DI HALTE MALAM JATUH

akhirnya, aku mahir menggambar hujan

menirukan langkah-langkah pulang

menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya

di bebatang pohon sepanjang jalan

dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang

gugur sebelum pagi kembali

 

“bus yang penuh sesak itu akan berangkat?”

tanyamu. orang-orang masih terus mengembara

tak ada bintang di langit

: nujuman nasib, kompas para kafilah

di mana-mana kautanam bendera. aku ingin

berkibar-kibar mengikut gelombang hujan

menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja

tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan

lewat deru angin yang tertahan di awal musim

 

aku jadi terbiasa menyimpan cinta

di batu-batu. mungkin besok

akan menjelma gadis kecil

yang belajar mengeja kata-kata bunga

aku akan menunggunya, memberinya ciuman

menyematkan melati (dan belati)

“dan bus itu,” kataku, “akan berhenti di terminal

yang tak ada bintang.” seperti usia

kota-kota lapar. letih dan tidur

tik…tik…tik… hujan menombaki senja

malam jatuh dengan ubun terluka

1992

 

MAYAT CANGGUNG DAN HUTAN RIANG

: kebumikan aku di sana. di ujung rel-rel itu

bersama matahari

yang digodam suara azan dan cekikikan

: tapi itu kereta terakhir

yang membawa para tukung cukur ke pekuburan

menangisi mayat-mayat bermisai lebat

 

orang-orang bermata embun itu telah menggodaku

serta menghidupkan lagi matahari

di gerbong terakhir

dan membayangkan kota itu

menjulurkan lidahnya ke punggung gunung

apakah mereka akan sampai ke rumah-rumah

di balik dingin itu?

aku pernah memasuki mereka

menyentuh dinding-dinding mereka

tersiram arus listrik

di dalamnya aku seperti liliput

berjingkrakan dan bernyanyi

memainkan sesulur cahaya

dari kereta kuda yang tersangkut di ranting awan

 

tapi kunang-kunang yang setia menjaga mataku

mengulur sulur cahaya itu ke jalan raya

para penjaga malam yang kehabisan bara

menampungnya dalam gelas-gelas sunyi

: “hanya serbuk matahari, man

merombengi sisa malam

dan embun

melukai sesayap hujan

ditaburkan di kamar-kamar”

 

impian yang terbakar terus mengembara

tak henti mencari sebuah kota

tempat terompet-terompet dibunyikan

di atas pekuburan sunyi

“kami tengah bersedih

untuk para martir

yang telah memandikan rumah kami

dengan nyanyian dan cahaya”

sampai angin yang ajaib mengelus

suara terompet itu

jadi tetabuhan lima setan pejajaran

berkepakan sesayap hujan: rombeng dan gigil

berkelibang membungkus tubuhku

“mari berangkat”

 

tapi siapa yang terbang dengan tubuh bergemerincing

melintasi setiap bubungan rumah

sedang  udara yang kian sekarat

hanya memercikkan doa

di sepanjang dinding memar

 

“halo, ini hutan riang. dilarang menggali kubur

halo, ini hutan riang. mayat-mayat jangan bersedih”

 

di sini mataku kian melenting

seorang pesulap menyepuh ususku yang terburai

jadi kabel-kabel tembaga

o, tubuhku bercahaya

seperti tawa orang laknat

hingga pepohonan dan sungai

tak kuasa membasuh sekujur tubuh mereka

dengan gelap dan pengap

tempat nyamuk dan ular

menetaskan sekeranjang

mimpi buruk

 

terbuka semua kelopak. menetas kicau membusuk igau

hutan terbangun dari tidur paling mematikan

mengipas matahari

membikin sepasang sayap

: putih dan kekar

“pasang di punggungmu, buyung

kau akan terbang melintasi

kota-kota yang terendam hujan

dan mimpi buruk”

 

tapi aku bukan orang suci atau pelancong

di sana hujan telah membusuk. kota-kota berkarat!

1996

 

PENANTIAN NUH

kau tentu lelah mencari jejakku

kuhidangkan sepasang cinta, kapal kayu

sepiala airbah. kesendirianmu yang renta

dan purba telah kaupahatkan

di puncak bukit

 

kini kau menunggu seorang pengiman

yang akan mengabarkan betapa aku ada

dan sorga perlu dibela. tapi seorang asing datang

menera setiap jengkal batu dan menyimpulkan

“di sini pernah terbaring ia tanpa pengiman

sebelum masa kelahiran semesta alam”

 

kau menangis dan mencium tangannya

1995

 

BANDANG

tuan, di ladang

matahari pantat dandang

tapak liman rindu ganggang

berkelindan

 

lalu

tujuh arwah telanjang

memanjat pohon santan

: kencing jadi hujan

 

tapi

kauayun kapak – mabuk

mendongak hutan tonggak

bumi mati pucuk

 

musnah rongga tanah

meluap segala – menggenang

kota bandang!

 

siang malam

jaring maut mekar di teluk

tak habis duka disindik

bertangan-tangan

 

ayo ke seberang, abang

bikin proposal, gelar seminar

“kota ditelan kolam”

 

anak-anak meriang

“ibu, raung siluman empang”

“hanya gerung katak betung,

buyung”

 

orang lendir di pesisir

memasang insang dan capit udang

“hiruplah segala bala,

raja air!”

 

tapi

sepanjang malam

ia hanya menekur dan bertelur

mengerang dan merejan

 

fajar tanpa azan

kerik akbar riang-riang

: ohoi, telur dendam

seantero kota

 

nanti,

semua menetas – bebas

terbang-berenang-melata

menyerbu segala penjuru

 

ludah paling tuah

cakar paling bakar

pagut paling maut

beraksilah!

 

tu(h)an akan tamat!

2002

 

AKU DAN TUNGGANGANKU

: agam wispi (1930-2003)

kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. kami saling meringkik saling menggoda. hiya, sambil melintasi kota-kota masa silam, kuseru kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling merdu: “tubuh digodam pulang jiwa ditebas terbang. oi”

ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar petang. kuminta pulang diberi buang. dari kandang macan ke asem lama ke teluk tonkin ke nanking ke leipzig ke kanal-kanal amsterdam. tersuruk di rumah jompo bagai orang mabuk gadung. menunggu salju turun, memindai tahun mati.

pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas tumpukan buku. menetas jadi lidah-lidah api. huruf-huruf terbakar. kata-kata mengaduh. bukan karena api tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti jamur kuping di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus duapuluh. ribuan mil jauhnya, ribuan mil jauhnya, tapi dapat kudekap dalam sekejab. bisa kucium dalam sajak.

tapi sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu. setiap malam melayang-meliuk-menukik, jatuh dan aus di pepucuk putri malu. serupa arah luku ditarik kerbau mabuk daun singkong sampo kuru. sajakku jejak kaki kaum tani yang menghadang buldoser selepas zuhur. racau pemabuk di tepi danau ketika panen tiba. sedang doa, mantra merah tua itu, hanya batu penyusun dinding. tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih. tuhan pergi dari puncak menara, ternyata.

kukenang turang. jalan turun-naik sepanjang medan-lubuk pakam. oi, kampung halaman, hanya bisa kukenang. bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi jiwa menampik bentuk di mula cipta. menolak rumah di ujung usia. jiwaku pergi ke mana suka. tidak ke kubur, bukan ke sorga atau neraka. mungkin ke planet paling jauh. asal ada kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan bintang-bintang berekor putih.

mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri tenggelam oleh kutuk tuhan. tapi aku tak tahu negeri apa, pulang ke mana, tuhan siapa. kugelar peta buta. telunjukku menunjuk seperti ke jantung seorang tiran, ke negeri impian: satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan tombak kayu, kincir angin dan iblis hijau, seekor bagal kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam yang meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong nyanyian orang gipsi:

“sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan dalam sekendi khamar. ngak ngik ngok

seorang satria memburu sebilah pedang di malam-malam badai. tang ting tung…”

tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu. orang-orang masih tertidur di atas panggang musim dingin. mimpi musim panas, sebuah pulau menyala di lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak ada ibadah minggu. hanya secangkir kopi dan puntung rokok, berserakan seperti prajurit kalah perah. aku berbenah dan menata ingatan seperti buku-buku di dalam rak. lalu kusepuh lidahku dengan haiku. “tidakkah aku tahu, bung, katak yang jatuh ke kolam menjelma lagu?”

aku dan tungganganku berjalan ke arah cahaya. kota-kota baru dibangkitkan. segalanya masih sangat muda…

2003

 

 

KOTA AIR

kematian hanyalah kunci pembuka sebuah kota

: orang bersisik cahaya, rumah siput,

pepucuk ganggang yang menyala.

menyanyikan nada hopla

 

aku memasukinya

setelah kautenggelamkan tubuhku ke dasar danau

setelah laskar api menyergap kota tua

dengan tujuh kata sandi

“seguci benih dendam, berpijar ladang arwah, bakar!”

bandar sawan, tetiang hujan gemetaran, kota sehitam

arang asam, malam sekaku tunggul jamblang

 

“yang paling dalam memeram siksa badan

akan meradang

lebih nyaring dari jerit tujuh kelenteng”

 

“jangan meracau sebentar lagi tubuhmu akan lumer

suaramu akan sember

dan danau dan surau hanya kubur sunyi

para pengigau”

 

kukenakan tubuhku yang baru

agar kau tak mengenaliku: sili yang lolos dari bubu

di rong tujuh tangan aku berkhalwat

meniru nabi di gua hira

memindai telur raja ikan, yang tampak sosok kenang

: kau berteriak bagai seekor pungguk mabuk

 

“sebentar lagi darah kami akan hitam

dan kami akan menguasai malam”

kaupaksa tubuhku jadi malam

dan butir keringatku jadi bintang

lalu seorang cenayang pincang membacakan

ayat nujuman

menyajikan seloyang batu api setandan kata maki

sejembung ganas berahi semangkuk cemas peri

di atas altar sembahyang

 

“tapi aku tak memesan semua kekerasan ini

tapi aku tidak menggelapkan hatimu

dan mewahyukan pembantaian

aku bukan…”

 

ohoi, para pembenci dunia, berhentilah sejenak

merapat di puncak khalwat. nikmati musik

: jerit bulan sabit erang bintang meriang nyawa meregang

di antara amuk api dan lontar batu

orang bersisik menari meliuk berputar

melompat menerjang

hingga tubuh mereka letih

dan di ufuk berpijar sembilan bintang pagi

“ahai, putri jangkung, jangan murung

di sini perang hanya tarian, kekerasan hanya kenangan

mari merapat – untukmu satu kecupan”

 

akhirnya kudiami sebuah kota

duapuluh lima depa di bawah peta tua

: orang bersisik letih, rumah siput

pepucuk ganggang yang membiru

 

“kami orang usiran. kami tak punya dendam”

2001

 

KITAB PELARIAN

tidurku masih disesaki kemarahan langit

sebelas malaikat menghardik-meludah di angkasa

: sawan bayi di kandungan, mendidih air di bendungan

 

empat puluh hari sehabis mimpiku, tuan hakim

kota tanpa pengiman itu akan luluh-lantak

bumi diremas langit diayak – awan serupa dedak

 

dan aku mencium maut dan aku menuju laut

 

di dasar laut – di perut seekor ikan besar

aku beriman dalam kegelapan pijar.

menulis selarik ayat

seirama degup perih jantungku. mengukir ketakutanku

pada dinding-dinding karang merah tua

kelak para penyelam, para pemburu hikayat

akan membaca pengakuanku:

 

“kenapa ia memilih si lemah hati sepertiku?

kenapa ia menitipkan kota tua padaku?”

 

sepuluh jari tanganku

tak cukup untuk sebuah kota

pun untuk seorang sahaya atau seekor ulat

aku hanya ingin menyendiri di pondokku – di timur kota

akan kutanam pohon paling rindang

dan kupiara beberapa ekor ternak

 

tapi mereka menangkapku pada suatu pagi

tapi apa gunanya kalian memintaku kembali?

 

“yunus, tuan layak marah sampai mati

sebab kota besar itu urung dihancurkan”

1993

 

 

RUMAH JAGAL

para pemburu meneluh malam

bayang kita tersalib di dinding

hujan paku dan beling meleleh dari genting

perih kian deras, sayangku. menyiram bumi

bagai luka bakar

“oleskan lagu nina bobo, abang!”

 

anjing-anjing terus berlari

menggonggong sekerat sepi kuburan

kudengar mereka meletuskan senapan

o, di bawah selimut ini

betapa merdu kaing mereka

mungkin mereka lupa

memutuskan batang tenggorok

hingga taman kotalah kamar ini

mari bercinta

hidupkan anjing dalam kepala

siram patung-patung angsa

tetapi lidahmu seperti bulu babi, manis

mengerami racun di sarang darah

ayo tanggalkan dendam. kunci pintu-jendela

dari tempias sunyi si penyendiri

di luar pepohonan bertukar salam

tanah menakar berahi akar

 

ada rumah jagal dalam lenguh panjangku, abang

pintunya tak terkunci. lihat, para pemburu itu

melompat masuk

tiang listrik dan kentongan

dipukul tiada henti

“ada prahara!

rumah kami tak lagi berpenjaga”

 

kita berpesta. merajah tubuh menyadap hayat

telah kusimpan mayat ibu-bapakmu di bawah ranjang

: dua matahari yang tenggelam tanpa doa

jangan terlalu iba pada kematian

siram air kembang

saksikan mereka meleleh dan menguap jadi hantu

pengisap madat

peminum darah ayam

hoek, kita sepasang mempelai. mohon restu

menjaga malam dari serbuan pelayat dan anai-anai

tapi kau takut pada ribuan jangkrik

yang melompat dari mulut ayahmu

mengerat rambut merah ibumu

seperti gunting kuku

 

“jangan lari, manis

yang mati malam ini

akan segera menjadi burung

kita tak boleh tidur

membiarkan sepasang hantu

berkacak pinggang

atau orang-orang cebol

akan mengarak bangkai anjing sepanjang jalan

: tubuhnya membesi tua. darah mereka berkarat

di antara liang luka

berjagalah!

burung-burung akan pulang memanggili ruh-ruh anjing

siapa menyuling kepak sayap menjadi bergalon kaing?

alirkan ke urat-urat nadi

semburkan tiga canting

 

seperti kita. anjing-anjing tak berumah, abang

jiwa-jiwa sepanjang jalan memanggul kutuk ibu-bapak

 

lalu engkau melenguh lagi. ruh-ruh anjing itu

kembali ke kamar ini. o, semesta anjing dan pemburu

berseteru dalam gelap. kata-kata iblis

berakar dalam gerimis

kaing bertunas di danau bulan

dikerkah awan

dan binatang buas

dipusatkan mata angin disedekapkan tangan

dirapal doa purba – “bunga, kartu, dupa

lisong, nasi uduk, kentongan, senter, serbuk gerimis

siapa yang menyantapmu?”

hei, di mana kutemukan

tempat berjayanya para penjaga malam

pemburu menciumi anjing-anjing seperti dua sejoli?

 

malam menggelepar, abang, malam menggelegar

gerigi runcing berpusar dalam daging

sayap-sayap terbakar akar-akar dipangkur

kubur-kubur mengapak tali darah

hura, semesta ruh beterbangan

mencari kandang raja burung

akbar   akbar   akbar

1996

 

KABA DARI NEGERI KHALISH

 

1. LOBANG JEPANG

kau membawaku ke kerajaan tanah

negeri leluhur batu nisan

mayatku yang kanak dijabat hantu ngarai panjang

: layang-layang daun gadung

ringkik udara di destar orang bodi

ke empat penjuru angin kaulepas tabik

“ini serumpun salam, dua kuntum tawa bujang

datuk bermisai akar bambu

sambutlah anak-cucumu

bukakan lepau lampau

kami menanti sebuah kaba

ditulis dengan linggis dan

bercangkir darah gadis”

 

maka, bermula kaba: suara batu dipapas

jetis cambuk, tengkorak remuk

menjalin sirih pinang dalam mulut

berlentera ribuan kuku orang mati

kita cari sumber suara

tak ada tangan tak ada kaki tak ada kepala

tubuh pun sirna dilumat tanah keramat

: perang suci sepanjang dinding

puh, jiwa-jiwa disembur tuan imam

orang-orang berenang di udara

melepas ribuan tombak

kota-kota terendam api

 

lalu kau berdoa lebih khusyuk dari mabuk

bismillahi, aku menggonggong dari lorong ke lorong

memanggili arwah para romusha

di kepalaku, balon gas ini

tumbuh sepasang sungut ungu

terekam denging dinding

“kembalikan kepala dan

tanah kami

orang-orang kuning!”

 

2. PANORAMA

maka, jangan hentikan kabamu, khalish

bangsi menyayati lambung awan

tiga belas juta bilah hujan meliuk di angkasa

mengipas lembah dan tebing batu

tujuh laskar tua berdendang dengan tubuh menggigil

mencuci asma di danau

o, perampas rempah dan emas telah datang!

menggada kembali sejarah

bakar saja kalender itu

pancung matahari itu

mayatku demam lagi

: ibu memanggang bayi di halaman

ayah berkhotbah di tepi kolam

lalu kaulubangi dadamu

kausembunyikan aku bersama ribuan gaung

“lorong ini, abang, menghubungkan para pencinta

dengan bulan”

 

terentang jala keramat

sejumput mantra dilempar pawang

“selamatkan bukan yang memar itu, inyik

dari sergapan kucing hutan”

malam-malam tanpa bulan

orang-orang menanam obor di tanam

menafsir sihir nenek moyang

 

3. KAYUTANAM

siapa yang bisa lolos dari sihir ini?

 

aku merasa tak ada lagi hari

setelah kereta jenazah itu berangkat

gerimis mengunci kotamu

di kamar, tempat puisi disucikan

dari darah dan ingar, para pencinta

mengemplang pundi-pundi airmata

mengalir tiga luhak kenangan

mayatku kembali kelonjotan

tersengat cinta tujuh malam

beri aku ciuman candu!

di hutan-hutan sekarat kabut dan cahaya bersitegang

siapa yang lebih lama bertahan

: api hitam atau gerimis biru

lalu, seperti para penemu benua baru

kaukibarkan bendera

kaudagingkan belulangku

kautiupkan nyawaku

 

meledak semua yang tersumbat

: bendungan, benteng, lorong mejan, kantung angin

kubur batu, pintu langit

“revolusi, manis, selalu bermula

dari isyarat yang amat rahasia”

1997

 

TENTANG ZEN HAE

Zen Hae lahir di Jakarta, 12 April 1970. Menulis sajak, cerita dan tinjauan sastra. Kumpulan ceritanya Rumah Kawin (Kata Kita, 2004). Paus Merah Jambu adalah buku puisi tunggalnya yang pertama. Saat buku ini diterbitkan, Zen Hae adalah Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tinggal di Kembangan, Jawa Barat, bersama sang istri, Nersalya Renata dan putri, Hilmiya Thufailah.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler