Skip to Content

KINI, KRITIK KRITIKUS SASTRA SUMUT

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: Mihar Harahap
Sumber: Harian Analisa, 4 Nov 2012

Kini, kembang kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut, mengapa kuncup? Setidaknya ada 3 hal. Pertama, sejumlah kritikus telah meninggal dunia, misal B. Y. Tand, Herman KS, Ahmad Samin Siregar dan Antilan Purba. Tinggallah Damiri Mahmud, Mihar Harahap, Shafwan Hadi Umry dan yang istirahat. Untung, muncul angkatan baru seperti Yulhasni, Afrion, Suyadi San, Jones Gultom, Budi P.Hatees dan lainnya. Kritik sastra pun mengalir, walau tekanan arus tak sederas masa lalu.

Kedua, para kritikus jarang membicarakan karya sastra Sumatera Utara, apalagi karya anak muda, kecuali anak muda itu sendiri. Entah karena temperamen, multi etnis atau apa -barangkali perlu penelitian- tampaknya kritik sastra dengan karya sastra dalam beberapa angkatan agak berjarak. Contohnya, angkatan 80-an dan 2000-an terasa berjarak dengan angkatan sebelumnya. Dampaknya, generasi Sugeng Satya Dharma dan Hasan Al Bana lahir sendiri tanpa diantar kritik kritikus sastra.

Ketiga, para kritikus umumnya adalah para pencipta (pemuisi, pecerpen, penovel, pengesai dan penaskah drama). Berfungsi ganda memang bermanfaat untuk menambah pengalaman mencipta, pengayaan dan pendalaman, sehingga lahirlah kritik dan karya sastra yang pilihan dan bukan asalan. Kenyataan dan kebanyakan, pengarang terlena dengan kemeriahan (mengarang apa yang dia bisa) akan tetapi lupa dengan keutamaan (bagaimana mengkritik karya sastra itu dengan baik).

Kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumut dewasa ini, dapat dilihat dari 3 tempat yakni di kampus, buku-buku dan koran Di kampus, misalnya UNIMED, USU, UISU, UMSU, UMN dan NOMENSEN. Contoh, skripsi mahasiswa UISU, Habibah, 2008, “Mengapresiasi Cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah karya Hamsad Rangkuti” dan Rini Iriani Siregar, 2011, “Pembelajaran Metode Partisipatif Terhadap Nilai Budaya Cerpen Perawan Dari Pantai Karya Sulaiman Sambas”.

Habibah mengurai tema, plot, setting, penokohan/perwatakan, point of view dan stilistika. Rini pula dapat menemukan nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi serta agama. Kedua peneliti tingkat sarjana ini mengulas cerpen dengan sederhana, hati-hati dan teoretis. Selain itu, ada diktat, jurnal, majalah dan makalah seminar. Semuanya, merupakan hasil penelitian/pengamatan dari dan untuk kepentingan akademik.

Kemudian, buku-buku kritik kritikus.Contoh, buku “Kompleksitas Sastra Indonesia” karya Antilan Purba, USU Press, 2007. Dalam buku, dia mengatakan puisi “Tanpa Kata” A.Rahim Qahhar adalah puisi kontemporer. Alasannya, mengutip Rachmat Djoko Pradopo, antara lain bergaya mantra, bereduplikasi kata, frasa, kalimat, imajis dan simbolis. Saya heran, mengapa mentang-mentang ada reduplikasi kata atau frasa dalam puisi itu, lantas disebut puisi kontemporer?

Apa iya puisi bergaya mantra (bagaimana gaya lain atau mengapa karena gaya) disebut puisi kontemporer? Ada apa Rchmat membuat 15 ciri puisi kontemporer layaknya mode puisi Sutardji Calzoum Bachri? Ataukah Antilan yang keliru mengutip menafsir dan memetakan pendapat orang demi kepentingan bukunya? Bahkan keliru menandai puisi Rahim bergaya mantra (bereduplikasi kata/frasa), imajis, simbolis, sementara pengucapan puisinya sebenarnya normatif, lugas dan konkrit.

Buku Menafsir Kembali Amir Hamzah karya Damiri Mahmud, BPAD, 20-12, terbit mengejutkan. Dia menolak H.B.Jassin, A.H. Johns, A.Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana dan Abdul Hadi W. M. bahwa antologi Nyanyi Sunyi terutama puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah bertema religi, ketuhanan bahkan sufistis. Padahal menurutnya, bertema cinta (semisal cinta Amir pada kekasihnya Ilik Sundari atau Aja Bun) yang kandas di tengah jalan akibat persoalan keluarga, politik dan ekonomi.

Sayangnya Damiri tak mengurai Padamu Jua dan puisi lain dalam antologi itu secara perbaris perbait berurutan. Malah kembang ke kanan-kiri menyinggung pemuisi lain. Unsur-unsur pendekatan (strukturalisme-ekspresionisme) yang digunakan tak jelas diungkapkan. Apalagi ‘daftar isi’ pun tak membantu. Akibatnya, sangat mengganggu pembaca untuk memahami, merasakan dan mendalami ide-ide baru penulis buku.

Selanjutnya, kritik kritikus sastra di koran. Berbagai harian seperti Analisa, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Mimbar Umum, Medan Bisnis, Sumut Pos, Jurnal Medan, memiliki rubrik budaya, sastra termasuk kritiknya. Bahkan terasa lebih semarak dibanding di kampus dan di buku. Meski ada pengarah, penguji, pengantar, editor skripsi, tesis dan buku, tetapi para redaktur di koran dapat bertindak lebih dinamis, ketat dan cepat menilai kritik sastra yang layak muat atau tidak.

Contoh kritik sastra itu adalah tulisanYulhasni, Mihar Harahap, Damiri Mahmud,T.Agus Khaidir, Supri Harahap dan Budi P.Hatees tentang antologi cerpen”Sam- pan Zulaiha” (SZ) karya Hasan Al Bana (Analisa-Waspada 2011-2012). Yulhasni menemukan SZ, Metamorfosis Puisi Dalam Cerpen (Waspada,01-01-2011) yakni 1).tema/karakter kedaerahan Tapsel dan 2). memindahkan kaidah puisi ke dalam bentuk cerpen. Entah mengapa, dia hanya mengurai hal kedua, 4 dari 14 cerpen yang ada.

Dalam pemindahan, dia 1). menyetir persamaan-perbedaan Rumah Amangboru dengan cerpen Ibu Senang Duduk Depan Warung, karya Jujur Pranoto, 2). menca tat pemakaian majas dan bahasa komunikasi ala Medan, 3). melihat kekuatan-kelemahan cerpen bagi pembaca awam.

Terus terang, saya kecewa dengan temuannya ini, karena tak mengurai SZ dengan metode/pendekatan frankfurt bersama tokohnya Jurgen Habermas, yang katanya lebih baik, kekinian dan tidak ketinggalan zaman.

Damiri Mahmud menulis “Muatan Lokal atau Gaya yang Membius”(Analisa, 15-07-2012). Simpulannya 1). cerpen Hasan bukan bermuatan lokal dan 2). Bergaya bahasa membius, tetapi bisa meracuni. Ternyata, simpulan ini memicu polemik, kecuali tulisan Supri Harahap “Tradisi Lisan atau Muatan Lokal” (Analisa, 29-07-2012). Dia lebih suka istilah tradisi lisan ketimbang muatan lokal sambil menegaskan Mandailing adalah Batak juga serta kelihatan mendukung tulisan Damiri.

Polemik Damiri dengan Mihar Harahap diikuti T.Agus Khaidir. Tanya Agus, apa hubungan nihilisme dengan SZ dan di mana letak absurditas cerpen Hasan, seraya mengulas pertanyaannya sendiri (Analisa, 26-08-2012). Mengingat itu, Budi P.Hatees tegas menyebut Damiri hanya menyoroti pribadi Hasan dan bukan karyanya (Analisa, 02-09-2012). Bahkan menolak pernyataannya tentang istilah ‘pelancong’, isi lebih uta-ma dari bentuk dan terlalu membesar-besarkan (Analisa, 16-09-2012).

Bagi saya, tak menarik mengeritik tema/sub tema, termasuk soal benar apa salah tentang mulok, urban dan lainnya. Bukan tak perlu, sebab tema sama pentingnya dengan bentuk. Hanya, bentuk lebih menuntut kretifitas. Kalau tema mengenai apa, siapa, mengapa cerita itu, sedang bentuk mengenai bagaimana cerita itu diceritakan. Bahkan saya beranggapan, keberhasilan cerpen cenderung ditentukan akan kebolehan bentuknya daripada keberatan/kebesaran temanya.

Oleh karena itulah, saya melihat cerpen yang terhimpun dalam antologi SZ ini berhasil, karena kebolehan bentuknya yang memikat, memesona, melebihi temanya yang kebetulan sederhana dan biasa-biasa saja. Barangkali, di sinilah letak perbedaan interpretasi dan pandangan saya dengan Damiri, sehingga harus berpolemik. Jika Damiri memandang cerpen Hasan adalah gagal, maka saya sebaliknya, adalah berhasil karena kekuatan bentuknya yang memikat, memesona pembaca itu.

Kesimpulan, pertama, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera Utara dewasa ini, tetap ada, walau keadaannya mengalir begitu saja, kecuali sesekali datang secara mengejutkan. Meski ‘kritikus lama’ hilang dimakan usia atau ditelan masa, akan tetapi ‘kritikus baru’ muncul satu-satu. Hanya, perlu dicari kritikus sastra yang benar-benar serius, kontinu dan konsisten. Saya melihat pertumbuhan komunitas sastra sekarang ini dapat menampung dan mendukung usaha pencarian ini.

Kedua, kritik kritikus sastra Indonesia modern di Sumatera Utara dewasa ini dapat dilihat dari tiga tempat, dalam kampus, buku-buku dan koran-koran. Tempat yang semarak adalah di koran-koran ketimbang di dalam kampus dan di buku-buku. Sebab, pertumbuhan kritik sastra di dalam kampus dan buku-buku didasari oleh kepentingan akademik dan ekonomik, sedang di koran-koran lebih kepada kualitas murni sastra di mana nilai akademik dan ekonomik hanyalah dampak positifnya.

Penulis Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UIU Medan.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler