Skip to Content

PETA POLITIK SASTRA INDONESIA 1908-2008 (Bag.I)

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ASEP SAMBODJA (Program Studi Indonesia FIB UI) *)

 

PROLOG 

Bagaimanakah peta politik sastra Indonesia selama 100 tahun (1908-2008) belakangan ini? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara deskriptif peta politik sastra Indonesia dalam satu abad kebangkitan nasional. Kita tahu bahwa perkembangan politik di Indonesia sangat berpengaruh dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia. Siklus perubahan politik 20 tahunan, misalnya, bisa terbaca dalam penyebutan angkatan yang diberikan kritikus sastra H.B. Jassin.

Di masa kolonialisme, pengaruh itu tampak dalam karya sastra, baik yang memiliki semangat antikolonialisme di zaman Belanda maupun berkembangnya simbolisme di zaman Jepang akibat situasi yang sangat represif. Di masa pemerintahan Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam nasionalisme, agama, komunisme juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra Indonesia, yakni dengan merasuknya ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya sastra yang dihasilkannya. Hal ini dapat terbaca dengan jelas dalam polemik antara sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai realisme sosialis dengan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai humanisme universal.

Di masa pemerintahan Soeharto, polemik antara sastrawan Manikebu dengan sastrawan Lekra sedikit menyusut dalam paruh pertama masa pemerintahannya, namun semakin mencuat di paruh kedua masa pemerintahan Soeharto. Indikasinya adalah munculnya polemik hadiah Magsaysay pada 1995, saat sastrawan Lekra, Pramoedya Ananta Toer, memperoleh hadiah tersebut. Polemik itu dimotori oleh Taufiq Ismail, salah satu ujung tombak sastrawan Manikebu.

Pemerintahan Soeharto yang cenderung sentralistis juga menimbulkan reaksi di kalangan sastrawan, yakni dengan munculnya suara-suara revitalisasi sastra pedalaman yang menolak Jakarta sebagai pusat. Selain itu, kecenderungan apolitis yang diterapkan pemerintah Soeharto juga direspons dengan gagasan sastra kontekstual yang disuarakan Arief Budiman dan Ariel Heryanto.

Kini, di era reformasi, sastrawan Indonesia juga merasakan adanya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lahirnya semangat untuk menghargai perbedaan (multikulturalisme). Jiwa bhinneka tunggal ika yang terdapat dalam karya sastra klasik Indonesia abad ke-14, kakawin Sutasoma karya Empu Tantular, seperti dibangkitkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan berbudaya di Indonesia.

PENDAHULUAN

 

Dalam sejarah sastra Indonesia, selalu ada dua kutub yang saling bersinggungan dan bernegosiasi. Relasi kuasa antara pihak yang merepresi dengan pihak yang tertekan senantiasa menimbulkan gejolak, konflik, dan perubahan. Penelitian ini dibatasi pada satu abad kebangkitan nasional Indonesia, yakni dimulai pada 1908 saat kesadaran berbangsa mulai tumbuh di kalangan pemuda-pemuda Indonesia yang mendirikan organisasi Boedi Oetomo hingga 2008, yang bertepatan dengan satu abad perjalanan bangsa Indonesia.

Dalam penelitian terdahulu, saya telah menyinggung adanya dua kiblat dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Budha yang sangat kuat, yang terpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera (Sambodja, 2005: 174). Kedua kiblat itu bisa menjadi rujukan dan runutan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan itu juga diperkuat dengan hasil penelitian Kratz (1987) yang memperlihatkan bahwa pada 1983, sastrawan Indonesia yang menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia banyak berasal dari kedua kiblat itu, yakni Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%). Saya tidak mempersoalkan benturan dari kedua kiblat itu, karena masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri. Karya-karya sastra Jawa lebih banyak terpengaruh oleh karya sastra India (Zoetmulder, 1985). Naskah Jawa tertua yang puitis, Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, misalnya, terbaca adanya pengaruh Mahabarata karya Vyasa. Sementara karya sastra Melayu abad ke-16 dan 17 lebih banyak dipengaruhi karya sastra Arab dan Persia (Hadi, 1995). Ajaran tasawuf dalam karya-karya Hamzah Fansuri, misalnya dalam Sidang Ahli Suluk , memperlihatkan pengaruh pemikiran sufi sebelum abad ke-13, seperti Al Hallaj, Imam Al-Ghazali, dan Ibn Arabi (Hadi, 1995: 21). Hamzah Fansuri dibunuh dan karyanya diberangus atas anjuran ulama-ulama Aceh yang berafiliasi dengan pusat kekuasaan.

Dalam pembacaan Sikorsky (1970), karya sastra Jawa yang lebih modern, seperti karya Ronggowarsito, yang menggunakan bahasa Jawa, seharusnya diperhatikan oleh penulis sejarah sastra Indonesia, karena message yang disampaikan pengarang masih relevan bahkan hingga hari ini. Sikorsky juga menilai, selama ini pakar sastra seperti A. Teeuw dan H.B. Jassin menggolongkan sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang digunakan dalam penulisan karya sastra, yakni bahasa Melayu tinggi. Penggolongan semacam itu menafikan karya sastra lainnya yang menggunakan bahasa Melayu rendah, seperti karya Semaun dan Mas Marco Kartodikromo. Kedua nama tersebut tidak tercantum dalam khasanah sastra Indonesia karena dianggap meracuni masyarakat, berbau komunis, dan mengandung pornografi. Padahal, penilaian itu menggunakan perspektif atau kacamatakolonial Belanda. Kalau menggunakan perspektif lain, maka yang tampak adalah pencerahan, yakni pemikiran baru yang keluar dari batas-batas konvensi, yang berisi semangat Indonesia, karena mengandung antiimperialisme atau antikolonialisme.

Penggolongan sastra Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa Melayu tinggi tidak saja menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu rendah, tapi juga menafikan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah. Betapa banyak karya sastra yang tidak termasuk dalam khasanah sastra Indonesia hanya karena menggunakan bahasa daerah, seperti karya Ronggowarsito, misalnya, padahal message karya Ronggowarsito itu tetap abadi hingga kini. Semangat Indonesianya, yang antifeodalisme, sangat kentara dalam karya-karyanya. Sayang kalau karya sastra produk anak bangsa yang berbobot seperti itu luput dari perhatian para ahli sastra atau penulis sejarah sastra Indonesia.  

Sebelum 1908, terjadi benturan antara pihak keraton dengan pihak di luar keratin (Mohamad, 2003). Selain itu, antara sastrawan dan ulama sufi dengan kaum puritan juga terjadi gejolak dan benturan sebagaimana dialami Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Bagaimana dengan relasi kuasa yang ada pada periode 1908-2008? Kita tahu bahwa pada periode 1908-1945 adalah masa penjajahan yang memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia, baik di bawah kolonial Belanda maupun Jepang (1942-1945). Jelas, bahwa ketegangan yang terjadi adalah antara pihak colonial dengan pihak inlander (pribumi). Ketika berada di bawah kolonial Belanda, sastrawan Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan menyuarakan antiimperialisme, dengan menggunakan bahasa Melayu Rendah bahasa yang tidak dikehendaki Balai Pustaka saat itu (Sikorsky, 1970). Sastrawan Indonesia yang menerbitkan karyanya di Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial Belanda, mengalami nasib penyensoran, karena naskah yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintahBelanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis, misalnya, berbeda jauh dengan isi naskah aslinya. Begitu juga nasib novel Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Sementara novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka dilecehkan dengan dicap sebagai bacaan liar , novel picisan , dan dianggap bisa meracuni masyarakat .

Ketika berada di bawah pemerintah kolonial Jepang, penyensoran tetap terjadi bahkan makin menjadi. Sastrawan Indonesia dilarang menulis dalam bahasa Belanda atau menyinggung hal-hal yang berbau Barat. Di satu sisi, pelarangan ini membatasi kreativitas sastrawan saat itu, tapi di sisi lain, perkembangan bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat cepat karena menjadi bahasa utama dalam komunikasi, pendidikan, dan sastra (Rosidi, 1995). Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan) menjadi alat represi pemerintah Jepang yang sangat efektif. Lembaga ini membatasi ruang gerak seniman dan sastrawan, karena diarahkan untuk menulis sastra propaganda demi kemenangan Asia Timur Raya dan antiAmerika dan sekutu-sekutunya. Seniman yang mencoba menyuarakan pikiran dan perasaannya sesuai dengan hati nuraninya sendiri, seperti yang disuarakan Cak Durasim, maka berujung pada kematian (Poeponegoro, 1984; Wasono, 2007).

Sejarah kemudian mencatat bahwa Polemik Kebudayaan yang dipicu Sutan Takdir Alisjahbana dan polemik antara sastrawan Lekra dengan sastrawan Manifes Kebudayaan banyak mewarnai perjalanan sastra Indonesia. Polemik Kebudayaan melahirkan generasi Surat Kepercayaan Gelanggang dan kelompok Manifes Kebudayaan. Di samping itu, polemik antara Lekra dengan Manikebu tidak hanya terjadi pada 1960-an (menjelang naiknya Soeharto ke puncak kekuasaan), melainkan juga terjadi pada 1990-an (menjelang jatuhnya Soeharto dari puncak kekuasaan).

PERSPEKTIF BARU

 

Terbitnya dua buku Ernst Ulrich Kratz, A Bibliography of Indonesian Literature in Journals Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi (1988) dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (2000) telah memberikan perspektif baru bagi pembacanya bahwa sejarah sastra Indonesia harus selalu ditulis ulang, terus-menerus, dan diperbaiki dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan terbitnya buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1995) karya P.J. Zoetmulder dan buku Yang Indah, Berfaedah, dan Kamil: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (1998) karya V.I. Braginsky. 

Setidaknya ada dua alasan utama kenapa sejarah sastra Indonesia harus selalu diperbaiki. Pertama, sesuai dengan perkembangan waktu perkembangan zaman, jumlah sastrawan dan karya sastra yang dihasilkan akan selalu bertambah. Semakin lama akan semakin banyak jumlahnya. Kedua, penulisan sejarah sastra seringkali hanya memperhatikan sastra kanon, sehingga karya sastra yang muncul pada masa yang bersamaan hanya menjadi fosil atau artefak yang tidak diperhatikan. A. Teeuw dalam Kratz (1988) mengatakan bahwa kanonisasi dalam sastra itu sangat penting dan berguna, namun sekaligus juga sangat berbahaya, karena kanonisasi itu akan menimbulkan kecenderungan untuk memfosilkan sastra dan apresiasi sastra dalam masyarakat serta akan mencegah orang untuk membaca dengan perspektif baru, untuk membuat penemuan-penemuan baru, dan membentuk pandangan-pandangan segar.

Dalam buku A Bibliography of Indonesian Literature in Journals itu, Kratz mencatat ada 27.078 judul karya sastra yang terbit di majalah pada 1922-1982 yang ditulis oleh 5.506 sastrawan. Dengan rincian, puisi sebanyak 16.507 judul, prosa 10.389 judul, dan drama 182 judul. Dalam kurun waktu 60 tahun, jumlah sastrawan berikut karya sastra yang berbahasa Indonesia tercatat dalam jumlah yang fantastis. Namun, buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis melalui proses kanonisasi yang rumit karena tidak saja ditentukan oleh faktor kesusastraan dan kebudayaan, melainkan juga dipengaruhifaktor ekonomi, sosial, dan bahkan politik itu tidak bisa menampung semuanya. Sementara buku Kratz yang lain, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, memperlihatkan bahwa sastrawan dan kritikus sastra Indonesia juga sudah bertahuntahun memikirkan dan membicarakan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Banyak hal yang dibicarakan dalam buku ini, namun yang menonjol adalah sejarah pemikiran para sastrawan dan budayawan Indonesia mengenai sastra dan budaya Indonesia pada 1928-1997. Beragam pemikiran yang dihimpun Kratz tersebut memperlihatkan beragamnya visi atau perspektif yang bisa digunakan dalam melihat suatu peristiwa sejarah.

Sementara empat buku Keith Foulcher, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986) saya urutkan secara kronologis berdasarkan topik yang dibicarakan, dan bukan berdasarkan tahun terbitnya memperlihatkan intensitasnya dalam membaca sejarah nasional Indonesia, khususnya yang terkait dengan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia.

Model penulisan sejarah semacam ini, yang mengaitkan sastra dengan factor sosial politik, yang juga menjadi model penulisan Harry Aveling, misalnya dalam buku Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003), sedikit banyak mempengaruhi pembahasan mengenai peta politik sastra Indonesia (1908-2008) ini. Dalam Keith Foulcher (1991) misalnya, ia tidak hanya membahas karya sastra yang terbit pada masa 1930-an, tetapi juga membahas panjang lebar mengenai polemic kebudayaan yang terjadi pada pertengahan 1930-an sekaligus situasi sosial politik pada saat itu. Hal ini membuktikan bahwa sastrawan berikut karya sastranya tidak terasing dari persoalan yang ada di masyarakatnya. Bahkan terjadi interaksi secara langsung antara sastrawan, karya sastra, realitas kehidupan, dan masyarakat.

Sastrawan menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang dilihat dan dialami sesuai dengan visinya. Dengan kata lain, sastrawan memotret kenyataan yang diketahuinya dan kemudian menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Analoginya, bila wartawan memotret kenyataan menjadi berita, maka sastrawan memotret kenyataan menjadi cerita. Baik berita yang ditulis wartawan maupun cerita yang ditulis sastrawan akan diwarnai visi penulisnya. Dan itu sah-sah saja.

Sebuah fakta akan menjadi berita yang berbeda-beda jika ditulis oleh para wartawan yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda pula, misalnya, latar belakang agama, suku(etnik), pendidikan, ideologi, partai politik, komunitas, gender, dan sebagainya. Bagaimana bila fakta yang sama itu ditulis oleh para sastrawan? Tentu hasilnya akan lebih mencengangkan, karena setiap sastrawan memiliki licentia poetica, semacam hak prerogatif untuk menggunakan metafora yang khas, personal, bahkan bebas melakukan penyimpangan terhadap konvensi bahasa yang ada. Claire Holt (2000) mengatakan, satu abad hanyalah sebuah periode singkat dalam sejarah sebuah peradaban. Perlu dicatat di sini bahwa dalam rentang waktu 1908-2008 telah terjadi sebuah peristiwa politik yang sangat penting bagi bangsa Indonesia yakni peristiwa 30 September 1965 yang dampaknya masih terasa hingga sekarang.

Misalnya, keluarga anggota PKI yang ikut menjadi korban dalam peristiwa itu, meskipun mereka tidak berhubungan secara langsung dengan PKI, belum mendapatkan keadilan. Nama baik mereka belum direhabilitasi, apalagi mendapat kompensasi karena selama Orde

Baru mereka dibatasi ruang geraknya untuk mencari nafkah. Penelitian ini akan difokuskan ke persoalan sastra dan budaya, yang secara tidak langsung terseret ke persoalan politik karena sastrawan-sastrawan Lekra menggaungkan politik adalah panglima , terutama setelah Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tentang Demokrasi Terpimpin, yang antara lain memberikan wewenang yang sangat besar pada Lekra underbouw PKI, salah satu partai pendukung kebijakan-kebijakan Soekarno untuk mengembangkan kebudayaan.

POLEMIK KEBUDAYAAN

 

Ada pendapat yang mengatakan bahwa semua perbuatan manusia pasti dipengaruhi pikiran. Dan, kita tahu bahwa tidak ada yang baru sama sekali di bawah kolong langit ini. Oleh karena itu, pengaruh pemikiran sebelumnya pasti kita lihat pada semua pemikiran yang berkembang sekarang ini (Kuntowijoyo, 2003: 189-192). Roland N. Stromberg, dalam Kuntowijoyo (2003), mendefinisikan sejarah pemikiran (history of thought, history of ideas, atau intellectual history) sebagai the study of the role of ideas in historical events and process. Oleh karenanya, sejarah manusia tidak dapat lepas dari proses perkembangan pemikiran.

Sutan Takdir Alisjahbana, yang pada 1935 berusia 27 tahun, menghentak kalangan intelektual Indonesia dengan pemikirannya yang radikal melalui sebuah artikel berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang dimuat di majalah yang didirikan dan dipimpinnya sendiri, Pujangga Baru. Dalam tulisannya itu, Sutan Takdir Alisjahbana membedakan kebudayaan pra-Indonesia (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan kebudayaan Indonesia (yang dimuali pada awal abad ke-20). Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, perjuangan Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan lain-lain bukanlah untuk Indonesia. Demikian pula dengan pembuatan Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia.

Semuanya itu termasuk dalam kebudayaan praIndonesia. Kebudayaan Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, bukanlah sambungan kerajaan Mataram, Sriwijaya, atau Majapahit. Kebudayaan Indonesia yang dimaksud Sutan Takdir Alisjahbana adalah kebudayaan yang terlepas dari kebudayaan praIndonesia dan harus berorientasi ke Barat. Karena, masyarakat Indonesia yang statis harus diubah menjadi dinamis. Untuk itu, kita harus mencontoh negara-negara yang dinamis, yakni negara-negara Barat. Dan, sejatinya, kaum terpelajar Indonesia generasi pertama dapat berorganisasi, berpolitik, mendirikan Budi Utomo pun karena pendidikan Barat.

Semangat muda yang dipancarkan Sutan Takdir Alisjahbana itu sebenarnya mengikuti jejak pendahulunya yang menggelar kongres pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam kongres itu, Muhammad Yamin, yang saat itu berusia 24 tahun, menjadi tokoh kunci kongres tersebut, dan dialah yang menyusun komposisi dari resolusi yang dihasilkan kongres, yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda (Foulcher, 2000: 8). Sumpah Pemuda yang disusun Muhammad Yamin berbunyi demikian.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe

bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe

berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng

bahasa persatoean, bahasa Indonesia. 

Resolusi Sumpah Pemuda itu membawa perubahan besar dalam kehidupan berbangsa. Karena, sebelum kongres menghasilkan resolusi itu, sebagian besar pemuda yang berpendidikan Barat berbicara dalam bahasa Belanda. Setelah peristiwa itu, mereka dengan bangga menggunakan bahasa Indonesia, karena menambah rasa nasionalisme mereka.

Gagasan yang dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana di atas mendapat reaksi dari rekan dan seniornya. Sanusi Pane, yang saat itu berusia 30 tahun, tidak sependapat dengan Sutan Takdir Alisjahbana. Ia tidak setuju dengan pembagian sejarah semacam itu. Menurut Sanusi Pane, pada zaman Majapahit, Pengeran Diponegoro, Borobudur, dan lain-lain sudah mempunyai ciri keindonesiaan, yang belum ada hanyalah ciri natie atau nation (bangsa) Indonesia. Zaman sekarang, kata Sanusi Pane, merupakan terusan dari zaman dahulu. Ia juga menyarankan agar kebudayaan Indonesia menyatukan Faust yang didominasi pemikiran, akal (Barat) dan Arjuna yang didominasi perasaan, nurani (Timur).

Sementara Poerbatjaraka sependapat dengan Sanusi Pane. Menurutnya, tidak mungkin kita lepas dari masa lalu. Untuk membangun kebudayaan Indonesia, kita harus mengetahui jalan sejarah dari dulu sampai sekarang. Kita justru membangun masa depan dengan bertitik tolak dari masa lalu. Poerbatjaraka mengingatkan, kita jangan mabuk kebudayaan kuno, tapi jangan juga mabuk kebudayaan Barat. Yang ideal adalah kita mengetahui kedua kebudayaan itu, Barat dan Timur, dan memilih yang baik dari keduanya untuk membangun kebudayaan Indonesia (Kartamihardja, 1998).

Saya sendiri cenderung sependapat dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, karena peradaban yang telah dibangun secara perlahan oleh nenek moyang kita menjadi runtuh dan tak berarti apa-apa jika kita mengikuti pola pikir Sutan Takdir Alisjahbana. Dengan memutuskan mata rantai sejarah, Sutan Takdir Alisjahbana seolah-olah menafikan kekayaan rohani dan kekayaan batin bangsa kita yang terekam dan tercatat dengan baik dalam karya sastra klasik yang diciptakan sejak abad ketujuh masehi (Sambodja, 2005: 159-177). Meskipun demikian, kita wajib bersyukur dengan adanya pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana seperti itu, yang menjadi shock therapy bagi bangsa Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depan kebudayaannya. Sejak Sumpah Pemuda 1928, peran pemuda dalam percaturan politik dan kebudayaan pada umumnya memang kian menonjol.

Pada tahun 1950, tepatnya 18 Februari 1950, seniman-seniman muda yang terdiri dari Chairil Anwar (28 tahun), Asrul Sani (24 tahun), Rivai Apin (23 tahun), M. Balfas (24 tahun), M. Akbar Djuhana (26 tahun), Mochtar Apin (25 tahun), Henk Ngantung (23 tahun), dan Baharudin (39 tahun) mengeluarkan pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang untuk menyikapi persoalan kebudayaan sekaligus memperlihatkan orientasi kebudayaan mereka, yang memperkuat bahkan mengembangkan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana sebelumnya. Bahwa orientasinya bukan ke Barat saja, tetapi mendunia (Ismail, 1995). Adapun bunyi selengkapnya pernyataan itu adalah sebagai berikut.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

 

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit yang sawo-matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami sendiri, membahas dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri. Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Enam bulan setelah lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang, tepatnya 17 Agustus 1950, lahir sebuah organisasi yang concern terhadap bidang budaya. Organisasi itu bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Penggagasnya adalah D.N. Aidit, Njoto (Iramani), M.S. Ashar, dan A.S. Dharta yang saat itu berusia 27 tahun. Lekra adalah sebuah gerakan kebudayaan yang bersifat nasional dan kerakyatan, yang didalamnya memang ada orang-orang yang menjadi anggota PKI, tetapi sebagian besarnya bukan. Lekra, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada pandangan kelas dan atau Marxisme-Leninisme (Ajoeb, 2004:7).

Setelah terbit Dekrit Presiden tahun 1959, Lekra banyak mewarnai kehidupan kebudayaan di Indonesia, termasuk sastra Indonesia (Eneste, 1988: 90). Dalam siding pleno Pimpinan Pusat Lekra pada Juli 1961, semboyan politik adalah panglima diterima sebagai azas kerja kreatif, namun bukan sebagai instruksi atau keharusan (Ajoeb, 2004: 14).

Joebaar Ajoeb menjelaskan, Indonesia sebagai bekas daerah jajahan memerlukan semboyan politik adalah panglima , karena pada 1950-an ada semacam propaganda yang hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan keluar dari gelanggang politik. Propaganda itu, misalnya, menyebut politik hanya menjadi urusan orang politik, politik itu kotor, seniman dan sastrawan itu suci, tidak perlu ikut-ikutan berpolitik, termasuk dalam berkarya. Lekra menentang propaganda yang bertentangan dengan semangat Kebangkitan Nasional (Ajoeb, 2004: 16-17).

Ada baiknya kita baca dengan teliti Mukaddimah Lekra di bawah ini. Dalam Mukaddimah ini Lekra tidak saja mengimbau anggotanya, tetapi juga mengimbau seniman-seniman lain di luar Lekra. Atas dasar apa Lekra mengurusi/mencampuri atau merecoki seniman di luar Lekra? Imbauan itu misalnya terbaca pada kalaimat, Lekra menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman, sarjanasarjana, dan pekerja-pekerja kebudayaan di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.

Kemudian, ada penekanan lebih lanjut, Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dan sebagainya, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya. Pertanyaannya, kebenaran menurut siapa? Mengapa Lekra memposisikan dirinya sebagai subjek dan anggotanya serta seniman di luar Lekra sebagai objek? Siapa yang memberi otoritas sedemikian besar sehingga Lekra over confident seperti itu? Sebelum mengkritik lebih jauh atas pemikiran sastrawan-sastrawan Lekra, kita baca terlebih dahulu Mukaddimah Lekra yang saya maksud.  

MUKADDIMAH LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT (LEKRA)

 

Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang sebagai hasil keseluruhan daya upaya sadar manusia untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dengan tiada putusnya. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah, adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk Kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat. Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana serta pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.

Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan putera-putera yang baik, di lapangan kesusastraan, seni rupa, musik, seni tari, seni drama, dan film, maupun di lapangan-lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa bangsa kita terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya. Lekra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju, Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa Kebudayaan penjajah yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada sebagian bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajari dengan seksama segala segi peninggalanpeninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil klasik maupun dari bangsa lain yang manapun, dan dengan ini meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah dan bangsa kita, menuju ke penciptaan kebudayaan baru yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada seniman-seniman, sarjanasarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran. Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentanganpertentangan yang berlaku di dalam masyarakat manapun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataankenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal ini, baik untuk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk cara kerja penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian, Lekra mendorong inisiatif yang kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.

Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan anti-sosial dari kebudayaan bukan Rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan, Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.

Di dalam kegiatannya, Lekra menggunakan cara saling bantu, saling kritik dan diskusi persaudaraan dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat bahwa secara tegas berpihak pada Rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya, untuk mencapai hasil-hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerja sama dalam pengabdian ini. (Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat di Solo, tanggal 22-28 Januari 1959)

Dalam Mukaddimah itu, Lekra seolah-olah mengklaim bahwa ia merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia. Apabila asumsi itu benar, maka pernyataan Lekra hanyalah sebuah utopia. Tidak mungkin seseorang atau suatu lembaga mengatasnamakan seluruh rakyat. Apa dan siapa sebenarnya rakyat itu? Bisakah ia diwakilkan? Kalaupun diwakilkan, seperti mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini, maka suaranya tidak pernah bulat. Suaranya tidak pernah tunggal. Sama halnya tidak dapat kita terima jika Front Pembela Islam (FPI) mengatasnamakan seluruh umat Islam dan melakukan aksi penegakan hukum tanpa prosedur hukum yang berlaku. Ada proses distorsi makna rakyat ketika Lekra mengatasnamakan rakyat mengganyang dan membabat seniman-seniman yang tidak sepaham dengannya.

Oleh karena itu, wajar bila muncul seniman-seniman muda lainnya yang melakukan perlawanan. Di antara seniman muda itu adalah Goenawan Mohamad (22 tahun), Arief Budiman (23 tahun), Boen S. Oemarjati (23 tahun), dan Taufiq Ismail (26 tahun). Bersama H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo, mereka mengeluarkan pernyataan berupa Manifes Kebudayaan yang tidak bisa menerima konsep politik adalah panglima dan realisme sosialis . Dalam penjelasannya, selain menyinggung dua hal itu, mereka juga menjelaskan konsep kesenian mereka, humanisme universal , dan pandangan mereka mengenai kebudayaan nasional. Berikut ini pernyataan Manifes Kebudayaan.

MANIFES KEBUDAYAAN

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

POLEMIK LEKRA-MANIKEBU

Terbitnya buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk yang disusun D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995) mengundang kontroversi, karena buku yang dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan kita pada peristiwa bersejarah tahun 1960-an dinilai kurang tepat momentumnya. Buku tersebut mengungkap kembali masa lalu sastrawan Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) organisasi massa (ormas) underbow Partai Nasional Indonesia (PNI) Sitor Situmorang, yang membabat sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu) melalui media massa yang berafiliasi PKI, yakni Harian Rakyat dan Bintang Timur, serta media yang berafiliasi PNI, Suluh Indonesia. Dikatakan kurang tepat momentumnya karena sastrawan Lekra yang menjadi sasaran kritik buku itu tidak memiliki hak jawab. Pramoedya Ananta Toer tidak bisa melakukan pembelaan karena berada dalam pengawasan serius pemerintah Soeharto, meskipun saat itu Pramoedya Ananta Toer sudah dibebaskan dari Pulau Buru.

Setahun setelah itu muncul buku Refleksi Kebudayaan yang disusun Adila Suwarno dkk. (1996), yang berisi makalah-makalah yang disampaikan dalam sebuah diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Diskusi atau dialog terbuka bertajuk Refleksi Kebudayaan itu merupakan reaksi dari seniman dan intelektual yang prihatin dengan situasi politik dan budaya saat itu. Kita tahu bahwa pada Juli 1994, pemerintah Soeharto memberedel majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik. Ini membuktikan bahwa tidak ada kebebasan berpendapat di negara demokrasi Pancasila era Soeharto.

Pada saat yang hampir bersamaan, tepatnya pada 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay memberikan Hadiah Magsaysay yang disebut-sebut sebagai Nobel Asia kepada Pramoedya Ananta Toer untuk kategori penulisan jurnalistik dan sastra. Hadiah serupa pernah diterima oleh H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Soedjatmoko, Ali Sadikin, Abdurrahman Wahid, Ny. A.H. Nasution, Anton Soedjarwo, Ben Mboi, dan Nafsiah Mboi. Sebelumnya, pemberian Hadiah Magsaysay itu tidak pernah bermasalah. Hanya saja, karena yang menerima seorang Pramoedya Ananta Toer yang sarat kontroversi, pemberian hadiah itu pun menimbulkan polemik.

Dengan diberikannya Hadiah Magsaysay kepada Mochtar Lubis (yang anti komunis) dan Pramoedya Ananta Toer (yang pro komunis) bisa ditafsirkan bahwa Yayasan Ramon Magsaysay tidak mempertimbangkan latar belakang ideologi seseorang. Yang menjadi pertimbangan adalah keduanya sama-sama berprestasi di bidang sastra dan jurnalistik, serta sama-sama mengalami represi oleh penguasa; Mochtar Lubis mendapat represi di zaman Orde Lama (rezim Soekarno) dan Pramoedya Ananta Toer mendapat represi di zaman Orde Baru (rezim Soeharto).

Meskipun demikian, ada 26 sastrawan dan budayawan yang dipelopori Taufiq Ismail yang langsung membuat surat pernyataan menolak pemberian hadiah Magsaysay itu kepada Pramoedya Ananta Toer. Para sastrawan dan budayawan yang menolak penganugerahan Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, Rendra, H.B. Jassin, Asrul Sani, Ali Hasjmy, Wiratmo Soekito, Yunan Helmy Nasution, D.S. Moeljanto, Bokor Hutasuhut, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, Lukman Ali, Rosihan Anwar, Sori Siregar, Leon Agusta, Syu bah Asa, Rachmat Djoko Pradopo, Danarto, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranagara, Budiman S. Hartoyo, Slamet Sukirnanto, Mochtar Pabottingi, dan Abdul Rahman Saleh. Bahkan, Mochtar Lubis mengembalikan Hadiah Magsaysay beserta uang senilai Rp100 juta yang pernah diterimanya pada 1958. Adapun pernyataan yang mereka tanda tangani itu berbunyi demikian.

PERNYATAAN

Keputusan Yayasan Hadiah Magsaysay memberikan hadiah sastra 1995 kepada Pramoedya Ananta Toer mengherankan kami di Indonesia. Kami menduga bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay tidak sepenuhnya tahu tentang peran tidak terpuji Pramoedya pada masa paling gelap bagi kreativitas di zaman Demokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia. Apapun juga kriteria penilaian sastra yang dipergunakan, nampaknya yayasan tidak menilai kegiatan Pramoedya di zaman merajalelanya komunisme di Indonesia. Dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musikus non-komunis, melecehkan kebebasan ekspresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam serta mengeluelukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya. Dia juga melancarkan kampanye fitnah dan pemburukan nama secara teratur terhadap seniman-seniman non-Lekra/PKI, teror mental dan intimidasi sebagai pelaksanaan prinsip tujuan menghalalkan cara , mengembangkan gaya bahasa caci-maki di pers Indonesia, melakukan kampanye pembabatan terhadap penerbit-penerbit independen, a.l. yang masih berani menerbitkan terjemahan Dr. Zhivago, karya novelis Boris Pasternak pemenang Hadiah Nobel 1958.

Demikianlah maka terasa sangat ironis apabila dengan keputusan tersebut Pramoedya jadi duduk sebangku dengan pemenang hadiah Magsaysay Mochtar Lubis dan H.B. Jassin. Mochtar Lubis, pengarang dan wartawan, pejuang kebebasan ekspresi dan hak asasi manusia lebih dari 40 tahun hingga kini, dan H.B. Jassin, kritikus dan dokumenter sastra, salah satu dari sasaran utama Pramoedya di masa kampanye fitnah dan teror mental tersebut.

Terlepas dari apa yang dialaminya sekarang, sebegitu jauh Pramoedya tidak pernah terdengar menyesalkan peran yang dilakukannya dulu, tidak pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya di masa itu sebagai tindakan pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik. Namun demikian, seniman-seniman non-komunis pasca-1965 tidak memperlakukannya seperti Pramoedya dkk. memperlakukan mereka 30-35 tahun yang silam mereka malah membela haknya menulis, memprotes pelarangan bukunya dan menyayangkan pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Kami khawatir bahwa pemberian hadiah kepada Pramoedya sekaligus berarti pula bahwa Yayasan Hadiah Magsaysay membayarnya untuk tindakannya menindas kebebasan kreatif sejak awal hingga pertengahan 60-an di Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Ia bahkan dicekal ke luar negeri oleh pemerintah, sehingga ia tidak bisa menerima hadiah itu secara langsung dan diwakilkan oleh istrinya, Maemunah Thamrin. Meskipun demikian, seniman-seniman muda bereaksi terhadap penolakan 26 sastrawan dan budayawan itu. Mereka, dalam jumlah yang sama besarnya, mengeluarkan pernyataan ketidaksetujuannya dengan 26 sastrawan-sastrawan senior itu. Dari surat pernyataan yang ditandatangani 26 sastrawan dan budayawan muda itu tampak bahwa pemikiran kaum muda lebih mencerahkan dalam membangun kebudayaan yang lebih beradab. Sastrawan dan budayawan muda yang menandatangani pernyataan pada 15 Agustus 1995 itu adalah Ariel Heryanto, Halim H.D., Tommy F. Awuy, Ahmad Sahal, Acep Zamzam Noor, Adi Wicaksono, Sitok Srengenge, Isti Nugroho, Angger Jati Wijaya, M. Imam Awi, Simon Hate, Toto Rahardjo, Nuruddin Amin, Hairus Salim H.S., Gojek J.S., Arief Afandi, Nurhidayat Poso, Agus T., Wahyu Susilo, Noor Aini Cahya K., Tan Lioe Ie, Weye Haryanto, Ayik Sadat, Gunawan Budi Susanto, Sosiawan Leak, dan Sutanto. Adapun pernyataan itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.

PERNYATAAN KAUM MUDA UNTUK KEBUDAYAAN

Wacana Kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari pengobaran tema dan konflik lama yang bersemangat primordialistik. Masa depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran dan siap menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konflik masa silam yang tidak relevan untuk masa kini. Mendesak suatu dialog budaya yang mampu melampaui pertikaian keyakinan, yang bermuara pada penyempitan sikap budaya. Pada tanggal 19 Juli 1995, Yayasan Ramon Magsaysay memutuskan akan memberikan penghargaan bidang penulisan sastra dan jurnalistik kepada Pramoedya Ananta Toer. Pada tanggal 29 Juli 1995, 26 seniman dan budayawan Indonesia menyatakan keheranannya atas anugerah Yayasan Magsaysay kepada Pram. Pram dalam pandangan mereka, sangat tidak layak atas penghargaan itu, karena dalam sejarah resmi ia disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pengekangan kebebasan berkreasi dan berpendapat di masa paling gelap bagi kreativitas pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Kontroversi di atas menunjukkan dekadensi wacana kebudayaan Indonesia. Wacana kebudayaan Indonesia semestinya bertumbuh dari dialognya yang jantan dan terbuka terhadap problem-problem riil bangsa. Maka berkenaan dengan itu, perlu dikemukakan beberapa hal penting bagi bertumbuhnya kebudayaan Indonesia masa depan.

1. Tragedi politik dan budaya 1965, bagi kami, sejumlah generasi muda yang relatif berjarak dengan sepotong realitas zaman tersebut, hingga kini masih diselimuti sisi gelap. Bahwa ada sejarah yang ditulis, dirasakan hal itu masih merupakan interpretasi sepihak. Sementara pihak yang lain hingga kini belum pernah diberikan kesempatan secara terbuka dan aman mengemukakan versinya. Di sinilah pertanyaan tentang keadilan, obyektivitas yang bertumpu pada kejernihan dan kearifan sejarah mesti dikedepankan.

2. Dendam dan sakit hati adalah hal yang sangat manusiawi tetapi kalaupun pernah terjadi teror dan kekejaman yang dilakukan sekelompok atau seseorang terhadap sekelompok atau seseorang yang lain, bukan berarti tindakan balas dendam atasnya menjadi sah karenanya perlu dimaklumi. Sebab betapapun tindakan memaafkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan berkebudayaan adalah setinggi-tingginya nurani kemanusiaan.

3. Demi menjamin tumbuhnya sikap budaya yang demokratis, terbebas dari bentuk-bentuk pembatasan, pengekangan, pemasungan kreativitas, sudah saatnya kehidupan kebudayaan dibebaskan dari prasangka politik. Dalam kaitannya dengan kasus Pramoedya Ananta Toer, selayaknyalah kita rela mmemandang sebagai sebuah capaian kreativitas, atas prestasi budaya salah seorang putra bangsa Indonesia. Kekhawatiran ideologis yang berlebihan, selain tidak mendewasakan juga menghambat lahirnya gagasan kritis yang mencerdaskan.

4. Perlu kita sadari bersama bahwa pewarisan nilai kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seyogyanya dilakukan melalui pengungkapan sejarah yang utuh dan berimbang. Upaya penggelapan terhadap realitas sejarah demi proteksi akan berakibat lahirnya sebuahm generasi yang diliputi kecemasan, ketakutan dan gamang menatap masa depan. Karena masa depan republik ini harus tumbuh di atas bangunan kebudayaan yang arif, egaliter, bukan berdasarkan dendam politik dan pertarungan paham yang berkepanjangan.

5. Untuk itulah dalam rangka merumuskan dinamika kebudayaan yang kondusif bagi lahirnya masa depan yang dicita-citakan segenap kaum muda, seluruh pertikaian paham dan konflik kepentingan wilayah-wilayah kekuasaan harus segera dipadamkan. Semangat rekonsiliasi harus lebih memuat makna dialog dalam kesadaran pluralisme. Rekonsiliasi penting untuk dikedepankan bukan dalam konteks pemahaman politik yang di dalamnya tetap berkembang perasaan kalah-menang.

Kontroversi itu tidak berhenti sampai pada perang pernyataan saja, melainkan terus berkembang di ruang diskusi di TIM, yang kemudian dibukukan dalam Refleksi Kebudayaan (1996), dan menjadi polemik di media massa. Polemik yang terjadi di media massa ini kemudian dikumpulkan dan dibukukan A.S. Laksana dalam Polemik Hadiah Magsaysay (1997). Polemik atau kontroversi seputar pemberian Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer ini mengingatkan kita pada kontroversi antara sastrawan Lekra dan Manikebu pada 1960-an, karena aktor-aktor yang berperan masih aktor-aktor yang lama. Pramoedya Ananta Toer di satu pihak melawan 26 sastrawan dan budayawan senior. Di manakah ujung dari manuver ke-26 sastrawan dan budayawan senior itu?

 Dari tulisan Rendra, misalnya, yang diharapkan adalah pengakuan dosa Pramoedya Ananta Toer atas tindakan-tindakannya di masa lalu dan permintaan maaf atas kesalahankesalahan yang telah dilakukan. Pramoedya Ananta Toer tentu saja menolak minta maaf dan tidak mengakui apa yang dilakukannya merupakan kesalahan, karena dia sangat yakin bahwa yang dilakukannya adalah benar. Yang menarik adalah berubahnya formasi kubu sastrawan Manikebu yang tidak satu suara lagi. Goenawan Mohamad, yang melihat Pramoedya Ananta Toer sebagai seorang yang keras kepala, kali ini tidak sehaluan dengan kelompok Taufiq Ismail. Tulisan Goenawan Mohamad (2004), Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer memperlihatkan perbedaan sikap yang jelas dengan kelompok Taufiq Ismail. Goenawan Mohamad menyuarakan perlunya rekonsiliasi antara berbagai pihak yang bertikai, dengan saling memaafkan dan bisa menerima perbedaan.

Sikap Goenawan Mohamad ini diikuti oleh rekan seperjuangannya, Arief Budiman, yang sama-sama menolak menandatangani pernyataan yang dibuat Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Benih perpecahan antara kelompok Goenawan Mohamad, Arief Budiman, ditambah Sapardi Djoko Damono dan Umar Kayam di satu pihak, dengan kelompok Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, ditambah Sutardji Calzoum Bachri dan Hamsad Rangkuti di pihak lain, sebenarnya sudah mengemuka sejak terjadinya kekisruhan pengelolaan majalah sastra Horison pada Juli 1993. Peristiwa penerimaan Hadiah Magsaysay oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi stimulus yang memperlebar dan mempertajam perbedaan itu. Polemik Hadiah Magsaysay ini menjadi pertanda bahwa kontroversi sastrawan Lekra dan Manikebu itu belum selesai. Bukan hanya itu, kalau kita membaca secara jeli dan teliti buku antologi puisi yang disunting oleh Taufiq Ismail, seperti Ketika Kata Ketika Warna (1995) yang berisi 50 penyair pilihan dan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2001), sama sekali tidak memasukkan Sitor Situmorang di dalamnya. Saya berasumsi bahwa tidak diikut-sertakannya Sitor Situmorang ke dalam dua buku puisi yang disunting Taufiq Ismail itu karena latar belakang pengalaman mereka berdua yang berada di jalan yang berbeda. Asumsi ini diperkuat oleh data berupa kliping berita Koran yang ada di dalam buku Prahara Budaya. Mengapa di buku Prahara Budaya ada tulisan Sitor Situmorang sedangkan di buku Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi karya Sitor Situmorang tidak ada padahal penyuntingnya sama?

Dari kasus ini saja kita bisa melihat subjektivitas seorang Taufiq Ismail. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa jika seorang pelaku sejarah menulis dengan perspektifnya sendiri, maka akan kental subjektivitas si penulis. Dalam menulis Prahara Budaya, D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail memotret peristiwa tahun 1960-an dari perspektif sastrawan Manikebu. Demikian pula Joebaar Ajoeb, mantan Sekjen Lekra, menulis buku Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (2004) untuk memotret peristiwa 1960-an dari perspektif sastrawan Lekra. Dalam bukunya, Joebaar Ajoeb berusaha menjelaskan posisi Lekra yang tidak bisa diidentikkan dengan PKI. Berdasarkan hal itu, penelitian mengenai sejarah sastra Indonesia menjadi sangat signifikan kalau kita menggunakan perspektif baru.

Sebenarnya, sastrawan-sastrawan Lekra dan sastrawan-sastrawan Manikebu sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. Karya-karya sastra yang telah mereka hasilkan memperkaya khasanah kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Masuknya politik ke dalam dunia sastra yang demikian dalam mengakibatkan penulisan sejarah sastra Indonesia tidak pernah utuh dan sempurna. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra Indonesia perlu merangkum semua sastrawan yang berbeda haluan maupun ideologi ke dalam wadah yang sama: dunia sastra Indonesia.

Penulisan sejarah sastra idealnya bisa merangkum semua sastrawan berikut karya sastra yang dihasilkannya. Dari perspektif politik, pada 1960-an itu terjadi kontroversi yang cukup tajam antara sastrawan Lekra dengan sastrawan Manikebu. Arief Budiman (2006) memetakan setidaknya ada empat kelompok sastrawan yang memiliki visi yang berbeda. Pertama, sastrawan yang tergabung dalam Lekra, yang mengusung paham realisme sosialis, yang bersemboyan politik sebagai panglima . Kedua, sastrawan independen, yang mengusung paham humanisme universal, yang menyatakan semua sektor kebudayaan sederajat, saling melengkapi, dan menolak politik menjadi panglima. Ketiga, sastrawan yang masuk ke dalam partai politik-partai politik yang ada, sehingga mereka bisa berlindung di bawah partai politik dan sekaligus menyuarakan kepentingan partai masing-masing. Keempat, sastrawan yang tidak masuk ke dalam tiga kelompok itu, seperti Trisnoyuwono dan Ajip Rosidi (Budiman, 2006: 173-174; Rosidi, 1995).

Sejak didengungkan politik sebagai panglima oleh Lekra yang berdiri pada 17 Agustus 1950 pengertian sastra yang baik, sastra yang indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang, mengangkat tema-tema yang bisa dipahami rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat hidup mereka (Budiman, 2006). Semakin kuatnya posisi Lekra di kancah politik, karena mendapat support dari PKI, maka sastrawan yang tidak berada di bawah payung Lekra menjadi sasaran tembak, terutama sastrawan independen yang berani mengeluarkan sikap penolakan terhadap semboyan politik sebagai panglima . Akibatnya, iklim sastra Indonesia menjadi tidak sehat. Setelah Presiden Soekarno melarang Manikebu pada 8 Mei 1964, pemerintah menindaklanjutinya dengan pelarangan karya sastra yang ditulis oleh penandatangan Manikebu dan sastrawan-sastrawan yang tidak sehaluan dengan Lekra. Sebaliknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Lekra juga mengalami nasib yang sama, yakni dilarang terbit, dilarang beredar, dan dilarang dibaca oleh siapa pun. Pemerintahan Soeharto tidak saja melarang buku-buku yang dihasilkan sastrawan Lekra, tetapi juga menahan mereka. Dampak yang lebih buruk adalah tidak utuhnya karya sastra Indonesia yang terdapat dalam buku sejarah sastra Indonesia ataupun buku yang mencoba menampilkan karya sastra Indonesia secara komprehensif. Di era Soeharto (1966-1998). Jelas tidak mungkin kita mengharapkan buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh sastrawan atau sejarawan Lekra. Buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern Jilid 1 (1964) karya Bakri Siregar, mantan Ketua Pengurus Pusat Lekra, saja dilarang, meskipun digunakan di dunia akademik. Buku sejarah sastra yang ditulis Bakri Siregar itu baru sampai pada masa Pujangga Baru, dan belum ada kelanjutannya, kerena jilid kedua tidak kunjung terbit.

Dari dua buku Ajip Rosidi, Laut Biru Langit Biru (1977) dan Puisi Indonesia Modern (1987), sama sekali tidak disinggung sastrawan Lekra. Dan, bila kita membaca buku Refleksi Kebudayaan (1996) dan Polemik Hadiah Magsaysay (1997), kita belum bisa banyak berharap akan lahir sebuah buku sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh kalangan Manikebu secara komprehensif. Begitu juga dari kalangan Lekra. Saya merasa kita memerlukan sejarah sastra Indonesia yang komprehensif, yang memuat karya sastra hasil ciptaan bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang agama, suku, pendidikan, ideologi, maupun partai politiknya. Mengapa demikian? Karena, hasil cipta sastra yang ditulis oleh para sastrawan itu baik kelompok Lekra, Manikebu, yang ikut dalam partai politik, maupun sastrawan yang berada di luar kelompok itu memiliki nilai yang sangat berguna bagi bangsa Indonesia. Karya sastra yang mereka tulis merupakan hasil perenungan dan pemikiran mereka terhadap situasi sosial politik dalam masyarakatnya yang terjadi pada zamannya. Apapun sikap pengarang terhadap realitas, saat itu patut kita hargai, meskipun kita tidak sependapat dengan gagasan si pengarang, atau bahkan kita bertentangan dengan sikap pengarang. Karena, karya sastra bukanlah kitab suci yang lepas dari interpretasi.

Mengapa sejarah sastra Indonesia periode 1960-an menjadi titik perhatian? Kita semua tahu bahwa dalam sejarah kontemporer Indonesia, ada dua periode yang masih menyisakan tanda tanya, yakni periode 1960-an dan periode 1990-an. Pada kedua periode tersebut terjadi pergantian rezim penguasa. Pada 1966 terjadi pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Proses pergantian rezim penguasa ini tidak berjalan mulus, bahkan dapat dikatakan berdarah-darah. Ada tujuh elite militer Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh, kemudian PKI dijadikan terdakwa, sebagai dalang di balik pembunuhan para jenderal itu. PKI sebagai partai terbesar keempat hasil Pemilu 1955 setelah PNI, Masyumi, dan NU pun dibubarkan dan dijadikan partai terlarang. Pemimpin PKI ditangkap dan ditahan, sebagian dibunuh. Yang memilukan, ribuan atau bahkan jutaan anggota partai di level akar rumput (grass root) menjadi korban pembantaian. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar ahli memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban begitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tidak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia (Ricklefs, 2005: 566).

Demikian pula dengan peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie, yang diwarnai dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kerusuhan Mei 1998. Banyak orang yang tewas dalam kerusuhan itu, banyak pula perempuan keturunan Cina yang menjadi korban perkosaan. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, elite politik saat itu saling tuding dan melepas tanggung jawab. Yang menarik, partai Golkar (Golongan Karya), yang dihujat demonstran saat demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto turun, tidak dibubarkan sebagaimana PKI. Padahal, partai Golkar yang merupakan pendukung utama Soeharto mengemban tanggung jawab moral atas keterpurukan perekonomian Indonesia dan maraknya korupsi di Indonesia, hingga Indonesia dikenal sebagai negara terkorup di dunia.

Kontroversi yang terjadi pada 1960-an bersinggungan langsung dengan kesusastraan dan kebudayaan. Meskipun demikian, yang terjadi adalah konflik politik, bukan konflik sastra. Oleh karena itu, dalam penulisan sejarah sastra, tidak dikenal istilah kalah dan menang, tidak ada istilah benar dan salah, yang ada hanyalah perbedaan dan keberagaman. Pengganyangan atau bahkan penindasan sastrawan Lekra terhadap sastrawan Manikebu hanya merupakan peristiwa di luar wilayah sastra. Dalam arti, pemaksaan dan pembabatan yang dilakukan sastrawan Lekra terhadap sastrawan-sastrawan Manikebu itu tidak serta-merta mempengaruhi kualitas karya sastra yang dihasilkan. Sama halnya pelarangan dan penindasan yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap sastrawan Lekra yang tidak mempengaruhi kreativitas sastrawan Lekra dalam menghasilkan sebuah karya sastra.

Bagi seorang Pramoedya Ananta Toer, misalnya, pembatasan yang dilakukan pemerintah Orde Baru sama sekali tidak mempengaruhi proses kreatifnya. Karena, kata Pramoedya Ananta Toer, kreativitas itu merupakan persoalan sastrawan dengan dirinya sendiri. Goenawan Mohamad, dalam Eka Kurniawan (2006), mengatakan, meskipun desakan untuk membabat mereka yang berpikiran lain berlangsung, dan pemerintahan Demokrasi Terpimpin ikut mengumandangkan realisme sosialis bagi kesenian Indonesia, kondisi sosial politik dan posisi PKI belum melahirkan seorang Stalin (yang melakukan sensor ketat melalui partai) dan seorang Zhdanov (juru sensor Stalin). Bahkan sebagian besar anggota Lekra belum mengerti benar apa yang dimaksudkan Pramoedya Ananta Toer mengenai realisme sosialis itu. Bagi sebagian besar anggota Lekra, mengerti semboyan seni untuk rakyat saja sudah cukup, malah lebih menarik dan dapat membuka pelbagai kemungkinan tafsir. Dalam seni rupa, misalnya, semboyan semacam itu menghasilkan karya-karya yang sangat mengesankan dan jauh dari keseragaman.

Sementara dalam puisi, menghasilkan karya-karya Agam Wispi, Hr. Bandaharo, dan Amarzan Ismail Hamid yang gemanya hidup sampai sekarang. Saya menggarisbawahi pendapat Goenawan Mohamad bahwa perbedaan konsep dalam berkesenian, seperti seni untuk seni, seni untuk rakyat, seni beraliran realisme sosialis, seni beraliran humanisme universal, ataupun pengkategorian seperti sastra kanon, bacaan liar, sastra cina peranakan, sastra populer, roman picisan, sastra marginal, sastra feminis, dan sekarang malah ada sastra koran, sastra cyber, dan masih banyak lagi, perlu mendapat perhatian kita. Apa yang telah dihimpun Ernst Ulrich Kratz (1988) sesungguhnya memperlihatkan bahwa masih banyak lahan yang belum kita garap. Dari 5.506 penulis/sastrawan yang tercatat, mungkin tidak lebih dari sepuluh persen yang tercatat dalam buku-buku sejarah sastra yang kini beredar di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, di era reformasi sekarang ini, kita susun kembali sejarah sastra Indonesia secara lebih bijak, lebih adil, komprehensif, dan memperlihatkan kekayaan khasanah sastra Indonesia.

Wilhelm Dilthey, dalam Kuntowijoyo (2003), menjelaskan pendekatan verstehen (memahami) sebagai jalan untuk memahami sejarah. Lebih jauh dikatakan, actor sejarah adalah manusia yang berpikir dan merasa. Kita harus memahami perilaku pelaku sejarah sebagaimana pelaku itu memberi makna perbuatannya, serta harus menemukan makna subjektif dan tafsir subjektif pelaku sejarah.

Adapun proses yang harus dilalui adalah empati atau menyatukan rasa. Selain itu, kita harus hidup dalam makna subjektif itu (to relive). Bila kita tidak dapat hidup dalam makna subjektif, maka sejarawan pun tidak akan dapat memahami ketaksadaran kolektif, seperti cinta, permainan, dan ketakutan. Pendekatan yang ditawarkan Wilhelm Dilthey tersebut membawa kita kepada pemahaman mengapa seseorang bertindak seperti itu, apa motifnya, mengapa ada ketaksadaran kolektif seperti itu, dan sebagainya. Dengan demikian, muara yang dituju bukanlah menghakimi seseorang benar atau salah atas tindakannya di masa lalu. Dalam sastra, tidak ada kebenaran absolut, yang ada adalah kebenaran relatif, tergantung bagaimana kita menginterpretasi karya sastra, dan tergantung perspektif yang digunakan.

Demikian pula peristiwa sejarah, yang juga multidimensional dan multiinterpretasi (Kuntowijoyo, 2003: 174). Dalam hal ini, kaitan antara sastrawan dengan karya sastra dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ketika kita mencari makna tekstual suatu karya sastra, maka pendapat Roland Barthes bahwa pengarang telah mati dapat diterima. Dengan demikian, kita dapat menilai karya tersebut tanpa menyangkutpautkan karya itu dengan pengarangnya apakah pengarang itu berhati malaikat atau berhati iblis, tidak menjadi soal. Kedua, bila kita hendak menggali makna kontekstual suatu karya sastra, misalnya dengan menggunakan pendekatan feminisme atau postkolonialisme, maka pengarang tidak dapat dipisahkan dari karyanya. Bagaimanapun, ideologi pengarang sangat berpengaruh dan bahkan sangat menentukan dalam penyampaian/mengekspresikan gagasan-gagasannya, pemikirannya, dan sikap politiknya melalui karya sastra.

Meskipun demikian, kedua pendekatan tersebut bisa digunakan secara bersamaan, karena saling melengkapi. Maksudnya, kita perlu memperhatikan pokok (berkaitan dengan pemikiran sastrawan yang dikemas melalui karya sastra) dan tokoh (yakni kehidupan dan biografi sastrawan itu sendiri). Selain itu, diperhatikan juga unsure tematik (berkaitan dengan tema, isi, dan topik karya sastra) serta unsur stilistik (berkaitan dengan gaya bahasa, gaya pengucapan, diksi, bentuk, dan komponen sastra lainnya). Diharapkan penelitian semacam ini menjadi titik awal penulisan sejarah sastra Indonesia yang lebih lengkap, lebih luas, dan lebih mendalam lagi.

Dunia akademis memiliki tanggung jawab moral dalam penyusunan sejarah sastra Indonesia, dan sudah sepantasnya menyusun buku sejarah semacam itu. Apalagi dunia akademis memiliki kebebasan mimbar/kebebasan akademis, memiliki otoritas di bidang sastra, independen terlepas dari kepentingan politik tertentu, dan memiliki intensitas perhatian di bidang sastra.

Kanonisasi

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu

Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat

(Chairil Anwar)

Kita patut merasa rugi ketika membaca buku sejarah sastra Indonesia yang selama ini beredar di masyarakat, karena belum ada satu buku pun yang memuat sejarah sastra Indonesia secara komprehensif. Memang harapan akan sebuah buku yang benar-benar komplet seperti sebuah utopia, tapi bagaimanapun upaya semacam itu harus dilakukan.

Kalau kita membaca Horison Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh kelompok Horison Taufiq Ismail dan kawan-kawan maka tidak akan kita temukan, misalnya, sastrawan Lekra seperti Agam Wispi atau Hr. Bandaharo maupun sastrawan LKN seperti Sitor Situmorang. Padahal, ketiga nama itu layak dicatat dalam sejarah perpuisian Indonesia.

Apakah dengan demikian Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu patut disalahkan? Tentu saja tidak. Kita malah harus berterima kasih dengan karya yang telah dihasilkan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu. Karena, bagaimanapun, penyusunan sebuah antologi karya sastra secara kronologis sehingga sedikitnya ada pretensi kesejarahan seperti itu tidak terlepas dari subyektivitas penyusunnya, baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Tapi, yang dilakukan Taufiq Ismail rupanya dilandasi dengan kesadaran penuh, karena ternyata nama Sitor Situmorang tidak hanya hilang di buku Horison Sastra Indonesia, melainkan juga tidak muncul dalam buku lain yang juga disuntingnya, Ketika Kata Ketika Warna.

Yang mengejutkan, ketika Taufiq Ismail ingin memaparkan fakta sejarah pada awal 1960-an, yang diakui atau tidak, merupakan potret hitam sastrawan Lekra yang saat itu memaksakan semua sastrawan menyuarakan revolusi, dengan semangat politik sebagai panglima, dan ukuran keindahan sebuah karya sastra hanya ditentukan pada pembelaan kaum buruh dan tani semata, puisi Sitor Situmorang dan sastrawan-sastrawan Lekra seperti Sobron Aidit dan Agam Wispi bisa muncul. Buku Prahara Budaya membuktikan hal itu.

Saya sama sekali tidak menyalahkan Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto yang menyusun Prahara Budaya yang sangat penting artinya sebagai bahan baku penulisan buku sejarah yang lebih obyektif namun menyayangkan saja, kenapa ketika bicara yang manis-manis , seperti untuk buku Horison Sastra Indonesia dan Ketika Kata Ketika Warna nama Sitor Situmorang tidak dimunculkan, dan ketika bicara yang pahit-pahit, seperti untuk buku Prahara Budaya, nama Sitor Situmorang berikut karya-karyanya bias muncul dalam porsi yang berlebihan? Dan, bahkan, secara politik bisa merugikan Sitor Situmorang, kalau kita kaitkan terbitnya buku itu dengan konteks zaman saat itu, saat rezim Soeharto ingin memberantas PKI dan antek-anteknya sampai ke akar-akarnya.

Apa yang perlu disikapi dari kanonisasi semacam itu? Memang, kita tahu bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam sastra Indonesia. Kritikus sastra sekaliber H.B. Jassin memang sempat dikukuhkan Gajus Siagian sebagai Paus Sastra Indonesia, yang fatwafatwanya dipercayai banyak pihak, termasuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, setelah Jassin meninggal, tidak ada yang secara serius melanjutkan pekerjaannya, padahal bahan baku yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin sangat melimpah. Ignas Kleden mengklaim PDS H.B. Jassin merupakan perpustakaan terbesar di Asia Tenggara yang menyimpan karya sastra Indonesia. E.U. Kratz pun mengakui bahwa penyusunan dua bukunya, A Bibliography of Modern Indonesia Literature in Journals dan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX sebagian besar didukung oleh data yang tersimpan di PDS H.B. Jassin. Lagi pula, Jassin sendiri baru menyusun buku yang bervisi kesejarahan baru sampai pada Angkatan 66.

Lalu, bagaimana sastra Indonesia periode 1970-an dan sesudahnya? Bagaimana sejarah sastra Indonesia pasca-Orde Baru atau di era reformasi? Ini menjadi tugas kita bersama, terutama pengajar sastra Indonesia di perguruan tinggi untuk bisa menampilkan wajah sastra Indonesia selengkap mungkin. Ini tidak hanya tugas pengajar sastra Indonesia di Universitas Indonesia (UI) saja, tapi juga pengajar sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia atau di mana pun. Apa yang dilakukan Yudiono K.S., pengajar sastra Indonesia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, yang menulis buku sejarah sastra Indonesia terbaru, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, patut diapresiasi, karena di dalamnya sudah ada nama-nama sastrawan Indonesia yang baru, meskipun menurut saya masih ada kekurangannya.

Misalnya, masih lenyapnya sastrawan Lekra dan sastrawan eksil. Khusus di bidang puisi, upaya yang dilakukan Harry Aveling melalui Rahasia Membutuhkan Kata, yang berisi puisi-puisi yang lahir di masa Orde Baru (1966-1998) pun patut dihargai, meskipun masih banyak juga penyair yang luput dari perhatiannya. Kanonisasi yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh penulis buku sejarah saja, tapi faktor politik cukup besar pengaruhnya. Ini, misalnya, bisa kita lihat dari upaya atau niat besar Linus Suryadi Ag. yang hendak menghimpun puisi dari penyair Indonesia selengkap mungkin melalui buku Tonggak (1987, empat jilid). Tapi, niat mulia Linus Suryadi itu tak bisa terwujud, karena penyair atau sastrawan Lekra masih kena segel merah alias dilarang berekspresi dan bersuara melalui media apa pun, termasuk karya seni yang bernama puisi. Akibatnya, hanya 180 penyair yang berhasil dikumpulkan oleh Linus. Angka 180 itu pun merupakan angka kompromi antara Linus sebagai editor dengan Gramedia sebagai penerbitnya. Karena, bagaimanapun, penerbitan sebuah karya besar memerlukan dana yang besar pula.

Yang patut disayangkan dari buku Tonggak ini adalah tidak adanya penyairpenyair seperti Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Ikranagara, dan Emha Ainun Nadjib. Tapi, ketiadaan nama-nama itu bukan karena kesalahan Linus Suryadi, melainkan karena keinginan para penyair itu sendiri. Sama halnya dengan tidak adanya nama Rendra dalam kumpulan puisi yang menandai 50 tahun Indonesia merdeka, Ketika Kata Ketika Warna. Tak adanya nama Rendra bukan karena kesalahan Taufiq Ismail, tapi karena ketidakmauan Rendra sendiri.

Jadi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan proses kanonisasi itu terjadi. Pertama, faktor politik. Kedua, faktor ekonomi. Ketiga, faktor penulis [buku sejarah] atau penyunting [antologi karya sastra]. Kini, kita perlu meneruskan dan mengembangkan kerja yang sudah dilakukan H.B. Jassin. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui Yayasan Lontar baru-baru ini menerbitkan Antologi Drama Indonesia (empat jilid) yang cukup lengkap. Isinya adalah 60 naskah drama yang pernah terbit antara 1895-1995 (satu abad) pilihan Sapardi Djoko Damono.

Apa yang dilakukan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI itu merupakan kerja raksasa. Apalagi buku itu akan diikuti antologi cerpen, novel, puisi, dan esai (yang belum tersentuh oleh banyak ahli sastra). Meskipun ada kanonisasi dalam pembuatan buku raksasa seperti itu, karena banyak yang terpinggirkan, banyak yang tersingkirkan, tetap harus diapresiasi. Saya mensyukuri terbitnya Antologi Drama Indonesia, karena banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Namun, itu jangan dianggap bahwa naskah drama yang baik hanya yang seperti 60 naskah itu. Tentu saja masih banyak naskah drama yang harus dibukukan lagi.

Sekali lagi, menurut A. Teeuw, kanonisasi itu penting dan berguna, karena kita bisa membaca karya-karya puncak yang dihasilkan oleh suatu bangsa. Namun, kanonisasi sekaligus membahayakan, karena menutup kemungkinan masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya yang lain, yakni karya-karya yang dilarang penguasa, karyakarya yang tidak memenuhi selera penulis, penyunting, atau penerbit.

Jejak Langkah Sejarah 1965

Setelah membaca berita itu,

Sebagai anak kecil pun aku bertanya-tanya

Apakah orang-orang yang diciduk selama ini termasuk manusia-manusia

biadab yang membunuh para jenderal itu jika tidak, mengapa mereka

harus diciduk dan tidak pernah kembali lagi?

(Seno Gumira Ajidarma)

Saya sangat yakin bahwa pembaca akan terkejut bila membaca pengakuan 10 perempuan korban perkosaan pasca 30 September 1965 yang dihimpun dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 (SPKT 65) karya Ita F. Nadia (2008). Membaca pengakuan kesepuluh perempuan itu saya sampai pada titik kebimbangan: apakah yang ditulis oleh Ita F. Nadia itu fakta atau fiksi? Kalau fakta, maka pengalaman traumatik yang dialami oleh perempuan-perempuan itu sangat sulit dipahami dengan bahasa hati nurani dan kacamata kemanusiaan. Jeritan kaum perempuan itu sudah melampaui batas imajinasi kita. Apa yang dialami Yanti, misalnya, yang ketika ditangkap pasca 30 September 1965 masih berumur 14 tahun, meruntuhkan pengetahuan kita akan peristiwa lubang buaya yang tertera dalam buku sejarah bangsa Indonesia.

Peristiwa lubang buaya yang diberitakan harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha pada 1965, yang antara lain menyebutkan perempuan-perempuan yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai penyiksa dengan tingkat kesadisan yang melewati batas yakni menyiksa para jenderal dengan menyungkil matanya dan memotong kemaluannya sambil menari-nari telanjang yang dulu dianggap fakta yang melatari permakluman atas pembantaian jutaan orang pada 1965/1966, kini terbaca sebagai fiksi, bahkan cenderung menjadi mitos dalam kehidupan berbangsa kita, terlebih kalau kita mengacu pada hasil visum et repertum yang terbaca oleh Ben Anderson (lihat Adam, 2004).

Kalau cerita atau pengakuan 10 perempuan itu dikategorikan sebagai fiksi, maka buku ini layak mendapat penghargaan sebagai karya fiksi terbaik, karena cerita yang disampaikan kesepuluh perempuan itu sangat menyentuh dan menggedor-gedor nurani pembacanya. Siapa pun yang membaca buku ini, apalagi perempuan, bisa dipastikan akan merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kembali kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Marsinah, serta kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan China pada Mei 1998. Saya menilai buku SPKT 65 itu sebagai sebuah data yang berisi fakta-fakta yang perlu dibuktikan kebenarannya oleh sejarawan.

Dalam pengantar novel Lubang Buaya, Saskia Wieringa (2003), novelis itu menulis, banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi. Tidak ada fakta, hanya discourse yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan, kata novelis yang juga antropolog itu. Kalau sejarah adalah fiksi, apakah fiksi juga berarti sejarah?

Saya tidak ingin terjebak dalam labirin telor ayam: mana yang lebih dulu di antara keduanya. Yang jelas, sedikit berbeda dengan Saskia, saya berpendapat bahwa sebuah karya sastra yang baik senantiasa merekam denyut nadi masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Sastrawan sebagai representasi masyarakatnya merekam dengan baik pikiran dan perasaan masyarakat sezamannya.

Lebih lanjut, Saskia Wieringa mengakui bahwa novel Lubang Buaya berangkat dari hasil penelitiannya pada 1980-an mengenai kekerasan yang dialami perempuanperempuan Gerwani. Hasil penelitian itu pun sudah dibukukan dalam Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (1999). Tidak mengherankan jika ada fragmen dalam novel itu yang terbaca dengan jelas sama dengan pengakuan Yanti dalam buku SPKT 65.

Yang cukup mengherankan adalah adanya kesamaan fragmen dalam Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dengan pengakuan Darmi dalam buku SPKT 65. Dalam novel Seno itu, seorang gadis kecil menyaksikan pembakaran rumahnya dan pembunuhan seluruh keluarganya, termasuk saudara kembarnya, hanya karena ayahnya dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena gadis kecil itu tidak bisa menerima kenyataan yang dilihatnya, dan tidak mampu memahami peristiwa itu dengan akal sehatnya, akhirnya ia menjadi gila. Berangkat dari sinilah cerita Seno bergulir hingga menarik pembaca untuk segera menuntaskan pembacaan atas novel setebal 234 halaman itu.

Sementara dalam SPKT 65, Darmi yang saat itu menjadi penari istana di zaman Soekarno, tidak saja menyaksikan suami dan kedua mertuanya dibunuh dan rumahnya dibakar, melainkan ia mengalami penyiksaan mental yang luar biasa. Ia bukan anggota Gerwani, ia hanya penari, tapi suaminya anggota PKI. Gara-gara itulah ia diarak oleh orang banyak yang anti PKI dalam keadaan telanjang bulat, berjalan kaki mengelilingi desa, dan begitu sampai pada tahap pemeriksaan di pos tentara, ia disuruh menari di atas meja dalam keadaan telanjang bulat. Dan, jika ia menolak menari dan menolak diperlakukan tidak senonoh, maka tawanan lain akan dijadikan sasaran penganiayaan.

Selama 30 tahun di masa pemerintahan rezim Soeharto, setiap mendengar gamelan Bali, Darmi mengalami trauma yang luar biasa. Ia merasa bahwa tari adalah jiwanya, dan bunyi gamelan selalu memanggil-manggilnya untuk menari. Namun, bersamaan dengan bunyi gamelan itu, saat itu pula ia merasa takut dan membencinya. Ini akibat penganiayaan yang terjadi pasca 30 September 1965 yang dialaminya di Bali.

Dengan demikian, fakta yang terbaca dalam SPKT 65 lebih mengguncang nurani pembacanya dibandingkan dengan cerita dalam novel Lubang Buaya dan Kalatidha. Meskipun begitu, apa yang dihasilkan Saskia dan Seno tersebut memperlihatkan bahwa sastra bisa menjadi strategi untuk mengungkap kabut politik yang terjadi di negeri ini, termasuk peristiwa pembunuhan massal 1965/1966 dan peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998.

Dalam diskusi novel Kalatidha di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada Selasa, 8 April 2008, sejarawan Hilmar Farid mengatakan bahwa dalam menggambarkan korban kekejaman 1965/1966, Seno sengaja menggunakan tokoh aku yang gila untuk menembus keterbatasan ekspresi dalam mengungkap kekerasan dan menembus keterbatasan hukum untuk mengungkap fakta. Batas antara fakta dan fiksi menjadi hilang, kadang-kadang tokoh aku dalam Kalatidha menggambarkan kenyataan, kadang-kadang berada dalam dunia kabut yang tak terumuskan. Dalam pembacaan Hilmar Farid, sastra bisa menjadi medium untuk mengungkap fakta, kenyataan, dan kebenaran. Sementara Melani Budianta, Guru Besar FIB UI yang juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan bahwa fiksi seperti yang ditulis Seno tersebut berpeluang untuk menyembuhkan luka yang terjadi di masa lalu. Tokoh perempuan kembar dalam Kalatidha dibaca Melani sebagai metafora yang digunakan Seno untuk menggambarkan peristiwa 1965/1966.

Tokoh yang satu mati terbunuh, yang menyimbolkan masa lalu yang penuh kekerasan. Tokoh yang satu lagi menjadi gila karena tak mampu melihat kekerasan, yang menyimbolkan masa kini yang masih gagap melihat sejarahnya sendiri. Dilihat dari tataran mental psikologi, novel Kalatidha menampung atmosfir refleksi, kegilaan, perasaan marah dan dendam, bangkitnya belas kasih, pemulihan dari luka, dan transendensi. Semuanya ada dalam novel itu, kata Melani.

Meskipun dalam diskusi tersebut Seno mengakui bahwa Kalatidha merupakan novel pesanan, karena ada pihak yang memesannya untuk menuliskan peristiwa kekerasan itu, saya tetap menganggap bahwa Kalatidha merupakan novel Indonesia modern yang penting, yang menurut saya menjadi novel terbaik pada 2007, karena merefleksikan sebuah peristiwa yang tidak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia: pembunuhan massal 1965/1966. Tapi, bukan hanya karena itu novel ini menjadi novel terbaik. Bahasa yang digunakan Seno sangat kuat. Ia seperti memainkan sebuah orkestrasi yang demikian indah, meskipun lagunya menyayat hati. Novel Kalatidha mengajak pembacanya untuk mengungkap kabut politik yang menyelimuti sejarah nasional Indonesia.


Bersambung....

Komentar

Foto Beni Guntarman

Terima kasih...

Terima kasih, artikel ini sangat bermanfaat dan saya banyak mendapatkan pengetahuan setelah membacanya.

Beni Guntarman

Foto SIHALOHOLISTICK

TERIMA KASIH KEMBALI

Semoga di sini kita berbagi ilmu dan pengetahuan, meskipun pengetahuan dan ilmu itu bukan dari kita sendiri.
Manfaatlah yang kita ambil dari ilmu siapapun....

=@Sihaloholistick=

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler