Skip to Content

MENERUSKAN GENERASI SASTRA, MENCATAT PERJALANAN WAKTU

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh Fadmin Prihatin Malau

Dalam kebingungan dan kesibukan rutinitas, tulisan ini ditulis. Bingung karena acapkali ditanya beberapa orang rekan kerja dan para pelajar terutama anak penulis yang suka dengan sastra.

Apa pelajaran sastra di sekolah hanya mempelajari karya-karya sastra pujangga lama, sastra melayu lama, angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45 dan angkatan 50-an saja? Apakah setelah itu tidak hadir lagi angkatan berikutnya dan bagaimana dengan para sastrawan yang ada sekarang ini?

Fakta yang ada kini, para pelajar masih mempelajari karya-karya para sastrawan itu. Belum lagi masuk kepada karya-karya sastra dari para sastrawan setelah itu. Padahal logika berpikirnya tidak demikian, tidak mungkin terjadi stagnasi, tidak mungkin ada moratorium. Selagi dunia terkembang dan manusia ada pasti ada karya sastra.

Hal itu karena setiap manusia pasti berkomunikasi sesama manusia dan medianya adalah bahasa. Berbicara tentang bahasa tentu tidak bisa lepas dari karya sastra sebab setiap bahasa memiliki seni dalam bertutur kata.

Perjalanan hidup manusia ada waktu, ada periodesasi. Dan bahasa mengikuti itu termasuk bahasa Indonesia memiliki sejarah periode dan jenis karya sastra dan dikenal dengan periodesasi seperti angkatan pujangga lama yang merupakan bentuk karya sastra yang dihasilkan sebelum abad ke-20 di Indonesia.

Pada abad itu karya sastra yang dominan adalah syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Perkembangan berikutnya lahir sastra melayu lama, lantas lahir pula angkatan balai pustaka yang merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit seperti roman, novel, cerita pendek dan drama.

Pada masa ini kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat mulai digantikan dengan puisi. Setelah balai pustaka muncul, pujangga baru sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh balai pustaka terhadap karya tulis para sastrawan pada masa itu terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Perubahan zaman dan gejolak sosial, politik, budaya memengaruhi kehidupan dunia sastra di Indonesia dengan lahirnya karya sastrawan angkatan 45 yang lebih realistik bila dibandingkan dengan karya angkatan pujangga baru yang romantik dan idealistik. Lagi, masalah sosial, politik, dan budaya yang berkembang memengaruhi karya sastra, maka muncul angkatan 50-an yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.

Pergolakan dan perubahan terus melahirkan angkatan 1966-1970-an yang ditandai dengan adanya majalah sastra yang menampilkan karya sastra sangat beragam dalam aliran, ada sastra aliran surealistik, arketip, dan absurd.

Bagaimana setelah angkatan 1966-1970-an? Pertanyaan ini muncul karena perkembangan zaman dengan problematika yang berbeda. Suasana sosial, budaya, dan politik berubah secara cepat dan karya sastra dari para sastrawan terus mengalir bagaikan air sungai yang tidak putus-putusnya menuju lautan lepas.

Pertanyaan setelah angkatan 1966-1970-an wajar muncul, bila disebut angkatan balai pustaka para pelajar dan masyarakat mengenal Merari Siregar dengan karyanya Azab dan Sengsara. Marah Rusli dengan Siti Nurbaya. Nur Sutan Iskandar dengan karyanya Katak Hendak Menjadi Lembu. Abdul Muis dengan Salah Asuhan, Tulis Sutan Sari dengan Sengsara Membawa Nikmat.

Aman Datuk Madjoindo dengan karyanya Si Tjebol Rindoekan Boelan. Suman Hs dengan Mentjari Pentjuri Anak Perawan. Adinegoro dengan Darah Muda. Sutan Takdir Alisjahbana dengan Anak Perawan Di Sarang Penjamun. Hamka dikenal dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan beberapa nama lainnya.

Begitu juga bila disebut pujangga baru teringat nama Armijn Pane dengan Belenggu. Tengku Amir Hamzah dengan karyanya Nyanyian Sunyi. Muhammad Yamin dengan Ken Arok dan Ken Dedes. Ada Roestam Effendi, Selasih, JE Tatengkeng dan lainnya.

Hal yang sama bila disebut angkatan ’45 teringat nama Chairil Anwar dengan Kerikil Tajam, Idrus dengan karyanya Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma. Prammoedya Ananta Toer dengan Keluarga Gerilja. Mochtar Lubis dengan Djalan Tak Ada Ujung. Achdiat K. Miharja dengan Atheis. Ada Trisno Sumardjo, M. Balfas, Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, Rivai Apin dan lainnya.

Bila menyebut sastrawan angkatan 50-an, nama Ajip Rosidi dengan Cari Muatan. Nh. Dini dengan Dua Dunia. Nugroho Notosusanto dengan Hujan Kepagian. Ramadhan KH dengan Api dan Si Rangka. WS. Rendra dengan Balada Orang-orang Tertjinta dan lainnya.

Meneruskan Generasi Sastra

Pertanyaan dengan mudah dapat dijawab, bila terus dilakukan penerusan generasi sastra sebagaimana yang ada sejak era pujangga lama. Caranya pengajaran sastra tidak hanya sebatas sampai angkatan 50-an saja. Referensi sastra terus dibuka, ulasan sastra terus dikembangkan dan hidup dari zaman ke zaman.

Pelajaran sastra atau kesusastraan di sekolah dan di perguruan tinggi tidak hanya mempelajari karya-karya sastra dari para sastrawan pujangga lama, sastra melayu lama, angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45, dan angkatan 50-an saja tetapi terus berkembang sampai sastra dan sastrawan era kini.

Bukankah sebuah teknologi terus berkembang dan masyarakat terus berburu teknologi terbaru tanpa harus melupakan teknologi yang lalu? Pada dasarnya teknologi terbaru berkaitan dengan cikal bakalnya, dari teknologi dahulu. Begitu juga dengan sastra dan sastrawan harus hadir angkatan berikutnya tanpa harus meninggalkan angkatan yang lalu, sehingga tidak muncul pertanyaan.

Sama halnya dengan teknologi ternyata sastra dan sastrawan mengalami perkembangan begitu pesat dan harus dicermati. Dipelajari sebagai satu khasanah berharga dalam dunia kesusastraan. Bila ada angkatan 50-an tidak salah ada angkatan 70-an karena alam sosial, politik, dan budaya terus berkembang.

Hal yang pasti, semangat era 50-an tidak mungkin sama dengan era 70-an. Harus diakui semangat avant-garde sangat menonjol dengan ditandai munculnya majalah-majalah sastra, majalah hiburan dan berbagai penerbit yang menerbitkan karya sastra.

Sederet nama ada pada era 70-an ini seperti Motinggo Busye, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, HB. Jassin, Iwan Simatupang, Umar Kayam, Ikranegara, Leo Agusta, Arief Budiman, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Arifin C. Noer dan banyak lagi nama-nama lainnya.

Begitu juga dengan dasawarsa 80-an, dikenal dengan karya sastra roman percintaan, dengan sastrawan menonjol Marga T, Remi Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Tajuddin Noor Ganie, Mira W, Titie Said, La Rose dan yang sangat menonjol dengan karyanya serial Lupus yaitu Hilma Hariwijaya serta sederet nama-nama lainnya.

Perkembangan perpolitikan, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia bergejolak, melahirkan era reformasi dengan ditandai beralihnya kekuasaan yang memengaruhi karya sastra, puisi, cerpen, novel dengan tema sosial politik tentang reformasi. Berbagai media (surat kabar), penerbitan buku antologi puisi, cerpen hadir dengan tema sosial politik. Para sastrawan yang hadir era ini seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma dan banyak lagi nama-nama lainnya.

Dari Lokal ke Nasional

Meneruskan generasi sastra, mencatat perjalanan waktu harus dilakukan karena sesungguhnya para sastrawan adalah saksi sejarah pada zamannya. Bila ini yang dilakukan, pertanyaan tidak akan muncul karena dengan sendirinya sudah terjawab.

Idealnya para sastrawan menjadi saksi sejarah pada zamannya, pada daerahnya. Kondisi sekarang ini, para sastrawan baru berhasil dengan tertatih-tatih menjadi saksi sejarah pada zamannya di tingkat nasional. Di tingkat lokal masih tenggelam, belum mampu menjadi saksi sejarah pada zaman dan daerahnya.

Banyak para sastrawan di daerah sebut saja Sumatera Utara, berkiprah menjadi saksi sejarah pada zaman dan daerahnya belum diketahui oleh masyarakat daerahnya. Para mahasiswa fakultas sastra, para pelajar dan masyarakat umum di Sumatera Utara belum mengenal secara baik karya-karya sastra yang dihasilkan para sastrawan Sumatera Utara. Belum menjadi bahan pembelajaran muatan lokal di berbagai bangku sekolah dan fakultas.

Seharusnya bila dilakukan penerusan generasi sastra sebagaimana yang ada sejak era pujangga lama maka referensi sastra terus dibuka, ulasan sastra terus dikembangkan dan hidup dari zaman ke zaman. Pelajaran sastra atau kesusastraan di sekolah dan di perguruan tinggi tidak hanya mempelajari karya-karya sastra dari para sastrawan tingkat nasional tetapi karya sastra para sastrawan tingkal lokal terlebih dahulu dipelajari.

Cukup banyak sastrawan di Sumatera utara seperti Ali Soekardi, Maulana Samsuri, Damiri Mahmud, Mihar Harahap, D. Rivai Harahap, Idris Pasaribu, Lahmuddin Mane (alm), Ahmad Samin Siregar (alm), Gunawan Tampubolon (alm), Wirja Taupan, Laswiyati Pisca, Choking Susilo Sakeh, Afrion, AS. Atmadi, Sofyan Tanjung, Hidayat Banjar, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, S. Ratman Suras, Idris Siregar, YS. Rat, Thompson HS, M. Raudah Jambak, Hasan Al Bana, Muram Batu dan banyak nama-nama lain yang kini tidak muncul lagi karyanya tetapi pernah berkarya untuk khasanah sastra di Sumatera utara pada zamannya. Seharusnya tercatat dan dicatat dalam meneruskan generasi sastra karena pernah ada dan berkarya. Hal ini menjadi tugas semua pihak termasuk para sastrawan itu sendiri.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler