Skip to Content

RESENSI NOVEL "MENDAMBA: Mencari Jawaban untuk Sepotong Rindu" KARYA ADITYA YUDIS

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/MENDAMBA.jpg
MENDAMBA.jpg

RESENSI NOVEL

 

Judul               :  MENDAMBA: Mencari Jawaban untuk Sepotong Rindu

Penulis             :  Aditya Yudis

Editor              :  Andz & Gita Ramadhona

Proofreader     :  Christian Simamora

Penata Letak   :  Wahyu Swarni

Desain Cover  :  Jeffri Fernando

Penerbit           :  Gagas Media

Cetakan           :  Pertama; 2010

Harga Buku     :  Rp 32.000,-

Tebal               :  viii + 184 Hlm; 13x19 Cm

ISBN               :  979-780-423-2

 

SINOPSIS

Ada persoalan yang belum tuntas antara kita. Bukan, bukan dendam. Hanya tanda tanya besar mengapa kau meninggalkanku di saat aku paling membutuhkanmu. Aku marah, kesal, dan kecewa. Namun, semua itu tertutupi hangat cinta yang masih menyala-nyala dalam hatiku.

 

Setiap malam aku berdo’a, suatu saat bisa mendengar suaramu lagi. Aku mendongakkan kepala ke langit, mengharap kau melihat rembulan yang sama denganku. Kemudian aku menutup mata, takut waktu membuatku keburu melupakan raut wajahmu.

 

Sebut aku sentimentil, tapi aku sungguh merindukanmu.

Apa kau juga begitu?

 

Di saat ibuku mulai memaksa aku untuk menikah dengan menyuruh seorang pemuda bernama Indra berusaha berkenalan denganku secara wajar untuk menghilangkan kesan perjodohan, aku malah teringat sosok laki-laki dari masa laluku, dia adalah Reno. Lelaki yang sepuluh tahun yang lalu aku tinggalkan dalam keadaan yang serba sangat membutuhkan aku sebagai kekasihnya. Bayangkan saja, Reno mengalami kecelakaan yang menurut ibunya adalah karena ulahku yang selalu ugal-ugalan, tak berapa lama ibunya pun meninggal dunia yang membuat aku semakin dipojokkan oleh keadaan hingga memaksaku lari ke Prancis untuk melanjutkan studiku. Aku memang egois jika mengingat sikapku saat itu.

 

Desakan ibu agar aju segera menikah kian meningkat, dan aku tak bisa berbuat apa-apa, hingga pada suatu saat aku mengatakan pada ibu kalau aku masih mencintai Reno yang sudah sempat ingin jadi suamiku. Tapi tabrakan naas itu menggagalkan semua saat hari yang kami tunggu hanya tinggal dua minggu lagi. Kedua orangtuaku cukup demokratis dan sangat menghargai pilihanku dan ketiga adik lelakiku. Namun di usiaku yang sudah tidak muda lagi untuk seorang gadis Jawa, ibu mulai sedikit otoriter dengan berusaha menjodohkan aku dan memaksaku untuk melamar menjadi PNS.

 

Aku pun mulai berpetualang mencari di mana keberadaan Reno, dan aku memperoleh informasi dari seorang sahabat lamaku, Naufal, kalau Reno berada di Jogja. Informasi itu mengantarku kembali ke Jogja setelah cukup lama kota kenangan bersama Reno itu, aku tinggalkan.

 

Di Jogja aku memang bertemu dengan Reno, tapi bukan Reno yang kukenal dulu lagi. Reno yang sekarang lebih pendiam dan selalu bersikap dingin untuk awal pertemuan kami, namun lama-kelamaan aku menemukan kembali Reno yang dulu aku kenal, hingga aku kembali meletakkan harapanku pada cintanya Reno. Sikap Reno memang misterius sehingga aku semakin penasaran dan semakin cinta padanya. Tapi setelah cinta itu semakin menggebunya, aku terpaksa menerima kenyataan bahwa Reno telah berkeluarga yang ditinggal mati istrinya dengan seorang bocah perempuan bernama Alisha buah cintanya dengan istrinya.

Perkataan Naufal, “Jangan terlalu mengharapkan Reno lagi, sudah sepuluh tahun, lho! Itu bukan waktu yang singkat ia mengubur dirinya dalam kekecewaan.” Kembali mengiang. Kemarahanku kutumpahkan di depan Naufal yang tidak bercerita sedikitpun tentang Reno yang telah menikah, juga menyadari keteledoranku yang tidak sedikitpun sempat memikirkan hal yang demikian karena keasyikkanku berkhayal dan mengingat kisah cintaku dengan Reno.

 

Di saat bersamaan Naufal memberikan sinyal-sinyal cinta kepadaku, saat aku memberanikan diri untuk mengajaknya menikah agar aku tidak menikah dengan Indra, malah Naufal mengatakan kalau aku terlalu mirip dengan mantan kekasihnya, Afra, yang telah meninggal dunia.

 

UNSUR INTRINSIK

Tema

Aditia Yudis dalam novel Mendamba ini memiliki judul kecil Mencari jawaban untuk sepotong rindu yang boleh dikatakan inilah yang menjadi landasan atau pijakan pengarang dalam mengarahkan cerita, maka setelah kita mendalami seluk beluk penceritaan serta penyajian sejumlah kejadian yang ada dalam novel yang makin memperkuat “CINTA” sebagai tema dari novel ini.

 

Penuturan tema ini memang tidak secara jelas dipaparkan oleh Aditia Yudis dalam sejumlah kejadian. Pengarang hanya memberikan penguatan-penguatan ke arah tersebut, di mana tokoh Aku melewati sejumlah proses hingga tokoh Aku benar-benar sampai pada tahap di mana rindu yang dimilikinya benar-benar terjawab.

 

Jika kita pernah mendengarkan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Broery Marantika – Dewi Yul ada sedikit kemiripan di ending novel ini. Tokoh Reno yang merupakan pacar masa lalu tokoh Aku yang ternyata telah menikah dan memiliki seorang putri. Maka kita menguatkan bahwa novel ini bertemakan rindu terlarang yang disadari tokoh aku pada ending novel ini.

 

Penokohan

-          Aku           :     patuh, berpikiran maju, ekspresif, memiliki daya imaji yang tinggi, teguh pendirian.

-          Reno          :     tegar, sabar, perhatian.

-          Naufal       :     humoris, penyayang, perhatian.

-          Indra         :     tenang, sabar, perhatian.

-          Bobi          :     humoris, asyik.

-          Dion          :     humoris, tenang, tidak banyak bicara.

-          Fajar          :     humoris, santai, perhatian.

-          Nando       :     banyak bicara, humoris.

-          Aria           :     penyayang, bersahabat.

-          Ibu             :     perhatian, demokratis, penyayang, humoris.

 

Alur

Pemilihan alur cerita yang dilakukan oleh pengarang adalah alur maju mundur, yakni paduan dari pergerakan maju cerita dengan adukan khayalan-khayalan tokoh aku yang mengantar kita bagaimana suasana mereka pacaran ke waktu sepuluh tahun silam

 

Cerita di mulai perintah dari tokoh Ibu kepada tokoh Aku untuk masuk tes CPNS yang secara halus pengarang menautkannya dengan pernikahan yang di dambakan tokoh Ibu segera dilaksanakan tokoh Aku. Secara manis pula (setidaknya, tidak membuat pembaca bertanya macam-macam) pengarang menghadirkan tokoh Indra menyusup cerita, tapi sayangnya tokoh Aku mengetahui hal tersebut hingga menganggap kehadiran tokoh Indra hanya sebagai hal biasa saja. Desakan menikah yang kian bertubi-tubi diterima oleh tokoh Aku menghantarkan kita pada petualangan tokoh Aku membawa pertanyaan tentang rindunya pada tokoh Reno. Dalam petualangan inilah, pengarang berkali-kali memunculkan alur mundur (bahasa sastranya sorot balik, yakni mengulang kisah yang terlewat baik yang telah diceritakan secara mendetail maupun yang belum) sehingga cerita menjadi zig-zag antara maju dan mundur secara berulang-ulang. Hingga akhirnya mengantarkan kita pada suatu kejadian di mana tokoh Aku dengan petualangan rindunya mengetahui orang yang dirindukannya telah menikah dan memiliki seorang putri yang istrinya telah meninggal.

 

Latar

Dari beberapa kisah yang dipaparkan oleh Aditia Yudis dalam novel “Mendamba” ini, kebanyakan cerita berlatar di daerah Yogyakarta, sehingga bisa kita tetapkan bahwa cerita ini berlatar daerah Yogyakarta, yakni di daerah gunung Merapi yang saat ini gunung tersebut telah meletus dan menewaskan juru kuncinya Mbah Maridjan.

 

Dalam kisah lain, memang ada yang berlatar Jakarta dan sejumlah daerah lain, namun peresensi menilai di sini bahwa hal tersebut semata digunakan untuk menghantarkan kita pada latar yang dianggap sebagai latar utama.

 

Boleh dikatakan bahwa latar seperti Jakarta dan sejumlah daerah lain yang hadir dalam nuansa penceritaan atau deskripsi narasinya, dipergunakan untuk mendukung dan pengokohan ide untuk penglataran daerah Yogyakarta tesebut.

 

Sudut Pandang

Pengarang, Aditia Yudis, dalam novelnya “Mendamba” menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal dengan menggunakan kata Aku sebagai tokoh utama dalam novel ini.

 

Penggunaan sudut pandang Aku-an ini agaknya memberi pendekatan kepada pembaca untuk secara langsung merasakan bagaimana pengalaman yang dialami oleh tokoh Aku di berbagai kisah dalam novel ini. Pengokohan tersebut sangat terasa ketika peresensi sendiri memahami apa yang dialami oleh tokoh Aku itu boleh saja dianggap sebagai pengalaman hidup.

 

Di sini peresensi menilai bahwa ini adalah pengalaman hidup yang secara langsung di alami oleh penulis, namun penempatan diri pengarang yang dilakukan oleh Aditia Yudis sangat memberi rahasia tersendiri bagi permbaca.

 

Dengan sudut pandang Aku-an ini pengarang, Aditia Yudis, benar-benar ingin membagi pengalamannya kepada pembaca. Bagaimana indahnya puncak Gunung Merapi, bagaimana sulitnya menjadi seorang wanita seperti yang dirasakan oleh tokoh Aku dan sebagainya. Dengan sudut pandang Aku-an ini pengarang berhasil membius pembaca untuk larut ke dalam kisah tersebut.

 

Gaya Bahasa

Dalam novelnya “Mendamba”, Aditia Yudis banyak menggunakan gaya bahasa yang dalam hal ini dilakukan sebagai penyegar dalam menyampaikan atau memaparkan kisah yang dialami oleh tokoh Aku, sehingga dalam membaca novel ini tidak terlalu membosankan. 

 

Pemilihan kata juga dilakukan dengan baik sehingga menghilangkan kekakuan untuk memahami makna yang akan disampaikan oleh pengarang. Kelihaian yang dilakukan oleh pengarang dalam memilih kata membuat pembaca merasa bahwa susunan kata-kata tersebut sangat logis dan pembaca semakin yakin kalau kisah ini adalah kisah nyata yang disajikan dalam bentuk fiksi. 

 

Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini lebih banyak digunakan ketika pengarang dengan tokoh Aku-nya bersorot balik atau mengenang masa lalu yang telah terjadi, meskipun sebelumnya tidak dipaparkan dalam novel ini.

 

Gaya bahasa yang paling banyak digunakan pengarang dalam novel “Mendamba” ini adalah gaya bahasa personifikasi, yakni penghidupan benda mati layaknya manusia.

 

Salah satu contohnya pada bagian Sembilan (hal. 89) dan Sepuluh (hal. 97), kedua bagian ini dimulai dengan gaya bahasa personifikasi, Kabut turun menyapa (hal. 89) dan Peristiwa disergap kabut… (hal. 97). Kemudian penggunaan gaya bahasa metonomia terlihat di awal bagian Dua (hal. 21), Layaknya setetes air yang jatuh di atas kulitmu,… (hal. 21). Dan masih banyak gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini yang kesemuannya memberikan kesan yang indah dalam penataan kisah yang dilakukan oleh pengarang.

 

Amanat

Dalam novelnya “Mendamba”, Aditia Yudis memberikan pesan kepada pembaca bahwa rentetan peristiwa hidup yang dialami seseorang tidaklah akan berjalan mulus. Hal ini sangat terlihat dari berbagai kisah yang dialami oleh tokoh Aku. Seperti, bagaimana ia harus mengalami sesuatu ketika mendaki gunung Merapi yang membuat teman-temannya menjadi repot.

 

Di samping itu, pengarang juga menyampaikan bahwa harga persahabatan adalah di atas segala hal, karena bersahabat dengan banyak oranglah, seseorang akan mampu memaknai hidupnya sendiri. Kita sadari bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain.

 

Di sisi lain, pengarang juga menyampaikan kepada kita lewat novelnya “Mendamba”, bahwa hidup itu adalah sebuah pilihan, yang pilihan itu kita sendirilah yang menentukannya dan tentunya tidak mengabaikan keberadaan orang lain dalam menentukan pilihan itu.

 

Sisi lain yang diungkapkan Aditia Yudis dalam novel “Mendamba” ini, bahwa hukum alam itu harus kita sadari betul keberadaannya, jika kita tidak ingin kecewa maka jangan kecewakan orang lain. Jika kita mengkhianati orang lain, maka bersiaplah untuk dikhianati orang lain.

 

UNSUR EKSTRINSIK

 

Latar Belakang Pengarang

Aditia Yudis saat ini berdomisili di Bogor, seorang mahasiswa tingkat akhir di Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Seorang yang memiliki hobi menulis, membaca, nonton film, jalan-jalan, dan wisata kuliner juga mencintai pisang dan nge-fans berat dengan Daffa Adhitya.

 

Seorang pengarang yang religius dan menganggap Allah SWT adalah Sang Inspirator terbesar baginya, yang telah memberikannya kesempatan untuk bermimpi dan mencicipi mimpinya sebagai kenyataan. Dia juga dekat dengan keluarga, sangat menyayangi keluarganya, ayah, ibu, dan ketiga adik laki-lakinya. Orang yang memiliki pergaulan yang cukup luas, aktif di organisasi PKLP TNGM dan KSHE 43. Pergaulannya juga merupakan inspirasi baginya untuk menulis karena baginya kehadiran sahabat-sahabatnya semakin memotivasinya untuk memantapkan diri dalam mimpinya.

 

Keadaan Sosial Kemasyarakatan Daerah

Dalam novelnya “Mendamba” yang berlatar di daerah Yogyakarta, Aditia Yudis sangat banyak memperkenalkan kepada pembaca bagaimana alam, penduduk, dan tata kemasyarakatan Yogyakarta. Hal ini seolah membawa kita ke lokasi latar yang digunakan oleh Aditia Yudis dalam novelnya ini.

 

Selama ini boleh saja kita mengenal daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hanya disekitar pusat pemerintahan melalui pelajaran atau televisi, tapi siapa sangaka dengan membaca novel ini kita merasa seolah begitu dekat dengan daerah Yogyakarta meskipun kita belum pernah langsung ke sana.

 

Bagaimana Aditia Yudis mendeskripsikan puncak Gunung Merapi, telah benar-benar mengantar kita pada suasana pegunungan yang begitu indah, sejuk dan penuh kedamaian. Ini merupakan nilai plus bagi pembaca novel Aditia Yudis ini.

Pengakaraban-pengakaraban kepada alam yang dilakukan oleh pengarang begitu menyihir pembaca untuk dapat benar-benar berkonsentrasi pada kisah yang disajikan.

 

Seni Budaya

Lewat televisi atau lewat buku-buku pelajaran di waktu SD dan SMP kita mengenal daerah Yogyakarta adalah daerah yang sangat kental dengan kebudayaan. Dengan membaca novel ini, kita semakin kokoh dengan apa yang kita ketahui tentang Yogyakarta tersebut. Dengan membaca novel ini, kita tau seperti apa kesenian Yogyakarta, seperti apa kebudayaan Yogyakarta dan sebagainya.

 

Disinilah keunikan novel Aditia Yudis, sehingga pembaca tidak ingin melewatkan satu kata pun untuk menikmati bagaimana deskripsi pengarang terhadap kota Yogyakarta tersebut. Semua disuguhkan secara apik dan tidak ada kesan pembohongan dalam kisah novel ini meskipun kita tidak tau persis seperti apa tata kota, tata budaya, tata seni Yogyakarta itu sendiri.

 

Pandangan Hidup

Dalam novelnya “Mendamba”, Aditia Yudis menuangkan pandangan hidupnya sebagai pengukuhan eksistensinya sebagai penulis yang menjadi buah pikirannya dalam memandang hidup itu sendiri. Pandangan hidup itu terucap dari tokoh Aria yang dapat kita baca pada halaman 139, yakni, “…ada mimpi yang tetap indah jika tetap jadi mimpi. Itu hal yang membuat kita terus berharap. Namun adapula kenyataan yang memang indah jika kita menerimanya dengan ikhlas meski tidak pernah memimpikannya sekalipun.”

 

Pandangan hidup ini bisa kita petik sebagai pelajaran berharga dalam memandang hidup ke masa depan. Tentu bukan hal yang mudah untuk mengaplikasikannya dalam hidup, karena banyak orang yang bermimpi indah, tapi ketika ia merasa mimpi itu sudah layak terwujud ternyata malah bertolak belakang dengan apa yang dialami dalam dunia nyata dan sayang, hal itu malah mengantarnya pada kegagalan. Hal inilah yang seharusnya tidak terjadi. Hidup memang perlu mimpi, atau jangan kita sebut sebagai mimpi, kedengarannya agak kurang tepat, maka boleh saja kita sebut sebagai harapan atau cita-cita.

 

Maka dengan memahami pandangan hidup pengarang, ada sebuah motivasi yang kita dapatkan dari sana, memang tidak mudah untuk memotivasi diri sendiri lewat pendapat orang lain yang kita tidak kenal betul bagaimana kehidupan pribadinya, tapi justru inilah nilai tambah yang harus kita garis bawahi. Coba kalau kita tau orang yang mengungkapkan hal itu malah ternyata gagal dalam membuktikan filosofinya sendiri, lantas filosofi yang bagaimana lagi yang bisa membuat kita bisa bertahan. Setidaknya untuk membangun mimpi baru lagi dan berusaha mengejarnya lagi dengan lebih memperhatikan hal-hal yang harus dilakukan dan hal yang harus ditiadakan.

 

KOMENTAR

Novel “Mendamba” karangan Aditia Yudis ini, mengetengahkan masalah percintaan yang terjadi sepuluh tahun silam antara tokoh Aku dengan tokoh Reno. Namun penulis menghadirkannya dalam bentuk sorot balik (alur mundur, berupa pengingatan-pengingatan pada masa silam).

 

Hal seperti ini, bagi pembaca yang tingkat pemahamannya rendah, rasanya kurang efesien karena akan mengalami kesulitan dalam menghubungkan antara suatu ingatan ke ingatan lain yang membuat cerita ngelantur pada hal-hal yang rasanya tidak perlu. Tapi bagi pembaca yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi, hal seperti ini malah suatu warna baru yang rasanya memberikan kekhasan aroma sastra masa kini.

 

Inilah hal yang kurang disadari oleh penulis, padahal seorang penulis harus peka untuk mengetahui siapa saja yang mungkin membaca karyanya agar karya itu mampu mendobrak pasaran pembaca. Inilah yang membuat novel ini tidak terkenal.

 

Penggunaan bahasa dalam novel ini telah mendekati masyarakat yang tingkat pemahamannya rendah, jelasnya penggunaan bahasa yang dilakukan penulis telah memasyarakat secara menyeluruh, mudah dipahami dan fleksibel.

 

Dari segi pandangan hidup pengarang yang seharusnya dibebankan pada tokoh utama, ternyata pengarang gagal, dengan menyampaikan pandangan hidupnya pada tokoh kecilnya. Sehingga pandangan hidup yang terucap oleh tokoh Aria akan kurang diperhatikan oleh pembaca, karena pembaca tidak akan memfokuskan perhatiannya pada tokoh kecil.

Dalam resensi ini, peresensi boleh mengatakan bahwa novel ini gagal total karena kredebilitasnya tidak ada pada tokoh utama. Jika kita kaji secara mendalam, tokoh utama hanya memainkan sebagian kecil perannya yang di akhir cerita juga tidak mempunyai ending yang jelas. Dengan siapa akhirnya tokoh Aku menikah? Dengan Reno-kah? Jika tidak, maka dengan siapa? Hal ini menjadi tanya yang tidak bisa diberikan oleh pengarang di akhir novelnya ini. Padahal ketika pembaca sampai di tengah, pertanyaan itulah yang muncul dan membuat pembaca semakin ingin cepat meyelesaikan pembacaan pada novel ini.

 

Tapi sayangnya pengarang malah mengecewakan pembaca, kerena pertanyaan itu tidak terjawab dengan ending yang melayang tek jelas. Meskipun cerita yang demikian saat ini lagi ngetrend (istilah kerennya). Tapi kenyataannya, sekeren apapun akhir cerita saat ini, jelas pembaca telah kecewa dibuatnya.

 

Novel ini, jelas hanya layak dibaca oleh khalayak yang berumur antara usia SMP sampai batas menikah. Di luar usia itu, tak ada sedikitpun pelajaran yang pantas dijadikan sebagai pedoman hidup. Terlebih bagi pembaca yang telah berkeluarga. Dengan demikian, novel ini tidak memiliki kesetaraan tingkat usia. Hal yang seharusnya disadari oleh penulis, banyak orangtua yang gagal dalam mendidik anak, tidak salah jika novel ini disisip dengan hal-hal yang membantu orang tua dalam mendidik anak.

 

Dari segi penampilan buku, terasa kurang sreg (menggugah hati), karena desain cover agak melenceng dari judul novel tersebut. Desain cover tidak tidak menarik mata. Dengan melihat buku ini, maka orang-orang yang tingkat pemahamannya akan segera mengetahui apa yang ada di balik buku ini, tidak menyimpan sebuah misteri tentang sesuatu yang ada di dalamnya, meskipun kisahnya cukup bagus untuk sekedar dinikmati.

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler