Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 06)

Foto SIHALOHOLISTICK

ENAM

 

LIBUR sekolah sudah di mulai, kemarin rapor sudah dibagikan. Banyak siswa yang merasa bergembira dengan hasil yang diterimanya dari semua usaha yang dilakukannya. Begitu juga dengan Aris yang terpilih sebagai orang kedua di seantero sekolah. Aris dengan segala kerja kerasnya dan disiplinnya mampu meningkat prestasinya yang semester lalu benar-benar anjlok. Kemarin, ia sekaligus merayakan hari bahagianya Happy Sweet Seventen-nya.

Ucapan Happy Birthday Sweet Seventen diterimanya dari sobat-sobatnya dan orang yang pertama memberi ucapan adalah Yuyun, gadis penjaga hatinya, beserta kado spesial dari Yuyun. Semalam dia merayakannya di tempatnya atas seizin ayahnya dan ibunya. Dia mengundang banyak orang, tak ketinggalan Mbak Sinta bersama Mas Dudung.

Beberapa jenis makanan yang dipesan Aris mulai dibagikan.

Aris, Rheiner, Yuyun, Sheila dan juga Ario sengaja menyulap ruangan itu sedemikian rupa. Ranjang, sofa dan beberapa perabot yang tak penting diungsikan ke bawah, mereka hanya menggelar karpet seluas ruangan itu.

Di acara puncak ultahnya, Aris meniup lilin 17 dan memotong kue diiringi nyanyian Happy Birthday dari seluruh yang hadir dengan iringan musik keyboard yang disewa Aris. Potongan kue pertama disuapkan pada Yuyun dan Aris mengecup kening Yuyun. Tepuk tangan segera bergemuruh.

Pukul dua belas, acara berakhir. Satu per satu para undangan meninggalkan tempat Aris. Mereka tinggal beberapa orang saja. Aris duduk di lantai sambil melonggarkan dasi dan membuka jasnya. Dia  meminta Rheiner mengantar Sheila sedang Mbak Sinta bersama Mas dudung.

Aris mengantar Yuyun. Ketika berpisah dengan Yuyun, di depan pagar Aris mengecup Yuyun dengan lembut, selembut ucapan cinta yang dibisikkan Aris ke telinga Yuyun.

“Yun, hari ini aku punya munajat cinta pada Tuhan. Aku pengen dia menciptakanmu sebagai jodohku. Aku dapati sesuatu hal yang sangat berharga dari kamu.”

“Apa itu, Ris?”

“Kamu persis seseorang yang paling aku sayangi dalam hidupku, meski seseorang itu sudah tiada, tapi tetap hidup dalam hati aku.”

“Siapa, Ris?”

“Orang itu adalah orang yang udah ngelahirin aku, Yun. Ya, Yun, kepribadian kamu persis seperti beliau. Meski salah, kamu dan beliau tetap maafin aku. Kehadiran kamu membuatnya seolah tak pernah tiada.” kata Aris sambil mengusap air matanya.

“Ma kasih, Ris.” kata Yuyun terbata-bata menahan haru. Dia segera berhambur ke dalam dekapan Aris.

“Aku balik, Yun.” kata Aris setelah dekapan Yuyun merenggang. “Selamat bobo, ya!”

“Ya, Ris. Hati-hati!” balas Yuyun

Aris naik ke atas motornya dan menyalakannya. Dia memacu dengan kecepatan sedang. Sampai di toko, Rheiner sudah kembali. Motornya dimasukkan ke dalam toko, juga motor Rheiner yang super bising itu.

“Rhei, tidur di sini aja, ya!”

“Rencananya sih gitu, aku udah izin sama Bu De. Tapi motor aku?”

“Udah aku masukin ke dalam toko.”

Setelah semua dikunci, keduanya rebahan sambil ngobrol, tak berapa lama mereka langsung pulas karena kelelahan.

Hari ini, ia dan Rheiner beres-beres. Mengangkat kembali barang-barang yang diturunkan ke bawah dan kembali ditata rapi seperti semula.

Tak sampai seharian semua udah clear. Namun baru sore Rheiner kembali. Aris tinggal sendiri, terduduk di atas sofa dia bingung mau ngapain lagi. Tak berapa lama ia bangkit dan mendekat pada komputernya, file novelnya dibuka dan mengetik melanjutkan novelnya.

Namun, baru beberapa saat ia mengetik, dia mendengar ketukan di pintu. Akhirnya dia bangkit, memberhentikan pekerjaannya. Aris kaget melihat Misbah ada di sana.

“Lho, tumben, nih! Masuk!” kata Aris membukakan pintu dengan lebar. “Ada keperluan apa, ya, ke sini?”

“Udah lo apain Yuyun?” tanya Misbah emosi.

“Silakan duduk! Mau minum apa?” tanya Aris membuka lemari es dengan lebar, dengan maksud memperlihatkan pada Misbah jenis minuman yang ada. “Oh, ya, aku lupa, lo paling doyan jus avokat, tapi persediaan gue abis, belum sempat di pesan, gue gak tau kalo lo bakal ke sini. Untuk sementara Nü Green Tea aja dulu, enak kok.” kata Aris mengambil satu botol dan sebuah gelas. Ia meletakkannya di atas meja.

“Gak usah banyak basa basi!” kata Misbah. “Udah lo apain Yuyun, kenapa sampai muntah-muntah dan wajahnya pucat gitu?”

“Oh, ya?” balas Aris pepura kaget. “Kok, gue gak dikasih tau. Tapi mungkin udah positif kali. Lagian udah gue bilang ke lo, dia itu milik gue, jadi suka-suka gue lah. Lo bayangin, dua insan yang saling mencintai, meski cinta itu bertolak belakang. Yang satu cintanya tulus dan mau ngelakuin apa aja demi kekasihnya. Sedang cinta yang satunya, hanya cinta sebuah kenikmatan yang dicobanya meneguk keindahan desahan nafas dan di akhiri kalau dia udah bosan dan kembali nyari cinta yang lain untuk dinikmatinya pula. Begitulah selanjutnya. Kasihan cinta yang tulus itu.” kata Aris memanas-manasi Misbah.

“Di tambah suasana yang mendukung, remang-remang dan diiringi lagu-lagu yang super romantis. Gue gak maksa atau ngerampasnya, sebab gue bukan Kucing Garong, tapi dia pasrah dan kelihatannya dia pengen ngelakuin sesuatu yang besar dalam hidupnya dan dia menikmatinya. Ternyata dia hebat, gue hampir kewalahan, tapi yang namanya Aris selalu punya trik-trik cemerlang, bahkan saat-saat yang paling genting sekali pun. Anehnya, dia marah dan nampar aku dengan keras bahkan memaki aku ketika aku mau make pengaman. Ah, udahlah! Gak baik nyeritain aib orang.” kata Aris sambil senyum bahagia melihat Misbah semakin jijik.

“Oh, ya, aku dengar dari nyokap kamu, kamu suka baca semua tulisan Aris Ws, bahkan ngoleksinya dan nyimpan di tempat yang khusus. Gak nyangka, cerita yang harganya cuma seratus lima puluh ribu itu bisa ngibuli lo, tapi thank’s banget.”

“Kamu emang laki-laki biadab, binatang, gak punya moral!” maki Misbah berdiri ingin pergi.

“Kamu cemburu atau gimana?” kata Aris dan perkataan itu, cukup membuat langkah Misbah terhenti dan berbalik.

“Apa? Cemburu? Hh...Cuma cewek sinting yang mau cemburu dengan perbuatan lo yang amoral itu.”

“Oh, ya? Tapi jangan munafik, lho. Soalnya gue gak keberatan kalo lo mau kehangatan seperti yang dirasai sepupu lo. Karena kalo nggak, lo bakal ngalami penyimpangan seks, sebab di usia lo yang sekarang, lo belum pernah merasakan sentuhan cowok. Usia lo hampir tujuh belas, ini akhir transisi buat nunjukin lo itu normal atau nggak.”

“Bajingan lo!” maki Misbah dan, “Plaakk!” Misbah menampar pipi kanan Aris. Aris berdiri di hadapan Misbah dengan senyum.

“Terusin, kalo lo emang belum puas. Anggap ini balas dendam lo, sebab lo bakal ancur karena lo juga milik gue, bukan Rhei.” kata Aris melingkarkan tangan kirinya ke pundak Misbah.

“Plaakk...!” lagi-lagi Misbah menampar, tapi Aris tetap senyum manis menanggapinya. “Plaakk...!” sekali lagi Misbah menampar Aris dan menolaknya ke arah meja komputer, hingga Aris tersudut di situ.

“Hh..., lo pikir semua orang bisa lo perlakukan kek begitu. Pada orang lain, lo mungkin bisa seenak perut lo, tapi tidak dengan gue. Jangan mimpi, lo pikir, gue cewek murahan apa. Dasar brengsek..., bajingan..., kurang ajar!” maki Misbah.

“Oh, ya?” balas Aris mendelik meyakinkan dirinya dengan apa yang di dengarnya. “Tapi, tunggu dulu!” cegat Aris sambil menarik laci dan mengeluarkan beberapa lembar foto. “Kalo gue mau, malam ini bisa aja lo gue sikat, tapi gue bukan Kucing Garong, gue pengen lo menyerahkannya dengan rela. Mungkin dengan foto-foto ini, lo agaknya lebih murahan dari pelacur.” sambung Aris sambil melempar foto-foto itu ke wajah Misbah.

Misbah memperhatikan foto-foto itu, ketika dia mengenali foto itu, dia membungkuk memungut salah satu foto yang berserakan di lantai.

“Gimana? Lo kenal ama wajah yang ada di foto itu, kan? Foto istri dan anak bungsu Pak Hendrawan, si pengusaha sukses itu, pengusaha yang memiliki relasi bisnis yang luas, bahkan sampai ke luar negeri. Sepertinya keutuhan rumah tangga Pak Hendrawan ini di ujung tanduk.”

“Apa mau, lo?”

“Gak banyak. Gue cuman pengen ngasih lo dua pilihan, pertama lo bersedia ngelayani gue di ranjang empuk itu atau yang kedua, foto-foto itu bakal masuk ke situs internet biar semua orang tau, terlebih bokap lo sendiri. Televisi, radio, dan media-media cetak sepertinya gak bakal mau ketinggalan meliput yang satu ini. Yang paling menakutkan adalah massa Front Pembela Islam yang meskipun telah dibubarkan oleh pemerintah, tapi mereka sepertinya terus berjibaku menumpas Pornografi dan Pornoaksi dengan  tindakan-tindakan yang sangat anarkis. Gue jadi gak bisa bayangin gimana jadinya rumah Pak Hendrawan diserbu oleh massa FPI, mungkin dihanguskan.”

“Dari mana lo peroleh foto-foto ini?”

“Itu gak penting buat lo, yang jelas sekarang lo udah masuk perangkap gue.” kata Aris bangkit dari sofa dan mendekati Misbah. Dirogohnya kantong jeans Misbah dan mengambil ponsel Misbah.

“Ou...!” pekik Aris tertahan melihat layar ponsel Misbah. “Rupanya lo ngerekam semua omongan gue. Bagus, ternyata lo berbakat jadi detektif. Tapi sayang, lo berhadapan ama sutradara sandiwara ini jadi lo gagal dalam misi lo karena itu gak ada dalam skenario. Lo gak nyadar, ya, seorang sutradara itu punya insting yang tajam.” kata Aris sambil memainkan rekaman suara yang ada dalam ponsel Misbah.

Misbah hanya bisa menunduk, rencananya untuk menjebak Aris sudah gagal, malah dia yang terjebak dalam permainan Aris. Air matanya mengalir dari sudut matanya yang bening.

“Gimana? Kamu pilih yang mana?” tanya Aris sambil men-delet rekaman suara di ponsel Misbah. “Tapi, lo mesti ingat satu hal, jika lo macam-macam dan laporin ke polisi, lewat ponsel ini foto-foto itu bakal menjelajah saluran internet seluruh dunia. Okey! Lo anak pintar, pasti tau apa yang mesti lo lakuin. Sekarang lo pulang, gue kasih waktu seminggu buat berpikir.” kata Aris. “Jangan pernah ngabaiin panggilan dari gue, karena itu bisa berakibat fatal.” sambung Aris sambil mengembalikan ponsel Misbah ke tangan Misbah.

Misbah menerima ponselnya dan segera pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang tak menentu, sebab dia tau, Aris tak pernah main-main dengan ucapannya. Dia tak menyangka kalau Aris mau melakukan perbuatan sekeji itu.

Sampai di rumah, dia langsung masuk kamar. Di situ ia menangis. Kenapa ia mesti berhadapan dengan laki-laki sebajingan Aris. Benci, menyesal dan marah bercampur jadi satu dalam hatinya. Tak ada yang bisa diperbuatnya. Curhat pada Rhei, percuma, Rhei sudah pasti membela Aris dan menganggapnya sinting. Pada Yuyun, sama saja, reputasinya di mata Yuyun telah di hancurkan Aris.

Kini ia merasa tinggal sendiri, dulu ia bersahabat dengan Aris dan sepertinya Aris lah yang memegang kendali. Sedangkan sekarang ia bermusuhan dengan Aris. Hanya satu yang diharapkannya kini, semoga di balik dada Aris masih ada keping-keping cinta. Jika tidak lenyaplah dia.

Untuk pasrah, itu terlalu berat, tapi untuk menolak malah akibatnya lebih beresiko. Kalau dia pasrah, bagaimana jika kepasrahannya membuahkan hasil, sudah pastilah Aris melepaskan diri dengan memperalat foto-foto itu kembali. Apa yang harus dikatakannya pada kedua orang tuanya. Kalau dia menolak, bukan cuma dia yang merasakannya tapi keluarganya akan hancur berkeping-keping.

Isak tangisnya semakin menjadi-jadi, mengingat waktunya tak banyak lagi untuk menikmati hidupnya dengan bebas. Sebentar lagi, dia akan seperti seorang pelacur yang setiap deringan ponselnya berbunyi, maka dia hanya berharap kalau itu bukan panggilan dari Aris. Namun, jika harapannya kandas, maka dia harus bersiap-siap untuk menemui Aris dan menyerahkan miliknya yang paling berharga yang tidak bisa diganti dengan apapun, bahkan dengan nyawa sekali pun dan dia akan menjadi wanita yang tak pandai menjaga kehormatan, apalagi jika sampai hamil di luar nikah.

Beruntung juga dia kalau hanya Aris yang melakukannya, walaupun dia berharap Aris pun tidak melakukannya kecuali dia sudah resmi jadi istri Aris. Tapi bagaimana jika ponselnya mendapat panggilan dari Aris, dia harus melayani orang yang berbeda, maka sebutan pelacur sudah sah disandangnya. Masih untung pelacur, dia mendapatkan imbalan dari apa yang telah dikerjakannya sementara dia tidak. Lagian wanita mana yang bangga disebut pelacur. Kalau pun ada, mungkin susunan syaraf dalam otak besar dan otak kecilnya sudah rusak total. Kalau masih normal, mungkin mati lebih baik dari pada jadi pelacur. Sesaat terlintas di benaknya untuk mengakhiri hidupnya.

Ya, lebih baik aku mati dari pada diberlakukan seperti pelacur. Ini mungkin lebih baik.

Dia segera bangkit dari pembaringan dengan tetap terisak. Untunglah kamar yang ada di sebelahnya adalah kamar tamu dan sedang kosong, sehingga suara tangisnya tidak ada yang mendengar.

Didekatinya meja belajarnya dan ditariknya laci tempat ia menyimpan gunting. Dengan gemetar diraihnya gunting itu dan digenggamnya  erat. Diayunnya tangannya lurus ke depan dan bersiap menusukkan gunting ke perutnya sambil memejamkan matanya.

Satu detik..., dua detik..., tiga detik..., satu menit berlalu, namun ia belum menyelesaikan niatnya. Akhirnya dia melepaskan genggamannya dan gunting yang dipegangnya jatuh ke lantai. Segera dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Selanjutnya dia berlutut di lantai sambil menatap tajam gunting itu. Dia tersadar, kalau dia masih ingin hidup dan tidak ingin mengakhirinya dengan cara seperti itu. Dia bangkit dan kembali ke atas ranjang dan berbaring kembali. Isaknya mulai reda.

Tak berapa lama, dia kembali ingat apa yang akan dialaminya besok-besok. Hidup tanpa arti, sebab tak ada yang mesti dibanggakannya lagi. Air matanya kembali mengalir mengiringi kepedihan hatinya, pikirannya galau, tak sedikit pun ia bisa memejamkan matanya, meskipun biasanya jam sebelas ia sudah terlelap.

Di saat seperti itu, dia sadar, hanya Tuhan yang mampu menolongnya dari masalah yang dihadapinya. Tapi sesaat keyakinannya goyah, dia tak yakin kalau Tuhan akan menolongnya, sebab selama ini, Tuhan tak pernah jadi sandaran hidupnya. Dan kini, ia dihadapkan dengan dua masalah pelik yang salah satunya harus dipilihnya, meskipun kedua-duanya tak pernah diinginkannya.

Akhirnya, dibulatkannya keyakinannya pada Tuhan. Dia percaya pada Tuhan akan mendengar do’anya. Dia meyakinkan dirinya kalau Tuhan akan mengabulkan do’a umatnya yang tulus memohon pada-Nya.

Dihapusnya air matanya yang masih mengalir. Dia turun dari ranjangnya dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Di sana dia berwudhu’ untuk bersuci dengan penuh keyakinan.

Sampai ke kamarnya, dia berserah diri pada Tuhan dan shalat dengan keyakinannya yang masih tersisa. Hanya satu keyakinannya, Tuhan tidak akan menimpakan cobaan jika umatnya tidak mampu menghadapinya. Selesai shalat dia berzikir dengan khusyu’ dilanjutkan dengan berdo’a agar Tuhan melindungi dirinya dan keluarganya. Puas berdo’a, ia bangkit dan mengambil kitab suci Al Qur’an yang sudah berdebu karena sudah terlalu lama tidak tersentuh. Dibukanya kitab suci itu, dia hampir tak mengenali huruf-huruf Arab itu lagi, perlahan dicobanya mengenali dan mulai membacanya dengan tersendat-sendat.

Rasa kantuk akhirnya memaksanya berhenti mengaji. Al Qur’an ditutup dan diletakkan di atas ranjangnya. Dibaringkannya tubuhnya di atas sajadah dengan tetap mengenakan mukena dan sarung, hingga akhirnya ia tertidur juga.

Hari-hari selanjutnya, Misbah tak ingin lagi mengabaikan shalat fardhu, shalat sunat, berzikir, berdo’a, dan membaca Al-Qur’an dengan berharap perlindungan-Nya. Dia juga tidak lupa melaksanakan puasa sunat.

Beberapa hari selanjutnya, ketika Misbah sedang shalat Isya, nada dering Islami di ponselnya berbunyi, tapi kekhusyu’annya membuatnya tak mendengarnya. Selesai shalat nada dering itu kembali berbunyi, dia bangkit dari duduknya, di layar ponselnya tertulis nama Aris.

Misbah menatap ponselnya, kemudian menutupkan matanya. Kalau ini memang keputusan-Mu, hamba ikhlas menerimanya. Kata Misbah pilu sambil menekan tombol ‘OK’.

“Halo...!” suaranya bergetar.

“Sepertinya lo ngindar dari gue? Gue harap lo gak nekat.” kata Aris dari seberang. “Atau gue kirim aja sekarang, gimana?”

“Jangan, Ris! Gue mohon sama lo, gue gak ngindar, tadi gue lagi shalat.”

“Gak perlu banyak alasan.” kata Aris. “Gimana? Lo udah siap, gue udah gak sabar, nih? Lagian, waktu seminggu gue rasa udah cukup untuk berpikir. Lo gak usah pikir panjang, gak kehilangan energi, kok, cuman gue udah minum obat kuat biar tahan lama.”

“Ris, bisa nggak lo kasihani gue, sebenarnya gue gak bisa ngelakuinnya. Gue...gue...belom siap hamil, Ris.”

“Itu bukan urusan gue. Lagian cepat amat mikirin hamil, siapa tau lo mandul, atau kalo lo emang hamil, kan masih bisa aborsi. Yang penting sekarang enak dan nikmatnya dulu.” kata Aris tertawa.

“Ris, lo bercanda, kan? Lo gak serius, kan?” kata Misbah penuh harap.

“Ou...lo kayaknya mo ngetes gue, berani atau nggak nekan tombol ‘OK’ ini. Okey, lo gak perlu datang, gue gak butuh lo, masih banyak kok yang mau ngelayani gue. Gue cuma butuh kehancuran keluarga lo.” kata Aris keras.

“Okey, gue datang.”

“Gak perlu!” teriak Aris dari seberang.

“Ris...please, kasih gue kesempatan untuk nyelamatin keluarga gue.”

“Gue bilang gak perlu!” bentak Aris dan mematikan ponselnya.

“Aris...Aris...!” teriak Misbah, tapi tak ada sahutan lagi. Ponsel segera diletakkan dan ia segera berkemas.

Ketika pamit pada ibunya, dia mencoba setenang mungkin, agar ibunya tak menangkap apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Ibunya hanya senyum dan berpesan untuk hati-hati.

Sampai di tempat Aris, Misbah bergegas naik ke atas lewat tangga dan mendapatkan Aris sedang duduk di teras sambil merokok dan memainkan ponselnya.

“Ris...!” sapanya pelan.

“Ngapain lo kesini? Mau nyari mampus atau....”

“Terserah lo. Asal keluarga gue selamat.” potong Misbah. “Kalau Tuhan memberikan cobaan ini untuk ngebuktiin kesetiaan gue ama keluarga gue, gue rela.”

“Kamu emang anak yang baik, tapi nasib kamu gak sebaik itu. Ternyata Tuhan memang gak bisa berbuat adil, padahal kamu sedang butuh keadilan itu.” kata Aris sambil berdiri dan mendekati Misbah. Dilingkarkannya tangan kirinya ke pinggang Misbah dan menuntunnya ke dalam ruangan. Di dekat ranjang, Aris melepaskan tangannya dari pinggang Misbah dan beralih ke pundak Misbah dan mendudukkan Misbah di tepi ranjang.

“Mana ponsel lo?” tanya Aris dengan bermaksud memintanya. Misbah menyerahkan pada Aris. Ponsel itu dimatikan dan meletakkannya di atas meja kecil yang ada di samping ranjang. Ponselnya sendiri juga dimatikan dan meletakkan di samping ponsel Misbah.

Misbah diam tak bergeming ketika Aris mulai menyentuh pipinya dengan begitu lembut, begitu juga ketika Aris mengecupnya dengan mesra. Kecupan kedua yang diterimanya dari laki-laki dan kedua-duanya adalah Aris, tapi kedua kecupan itu tak pernah diingininya.

Kecupan pertama hanya sebatas kesengajaan, ketika dia ingin menyelamatkan kehidupan Aris dari racun-racun nikotin. Kecupan kedua hanya sebuah keterpaksaan demi menyelamatkan keluarganya, meski dia harus kehilangan kehormatannya yang seharusnya dia berikan pada suaminya kelak.

Dalam hatinya, ia hanya meminta keadilan Tuhan. Namun keadilan Tuhan masih entah di mana ketika jari jemari Aris semakin liar menyentuh setiap jengkal tubuhnya. Dia hanya bisa menggigit bibirnya bagian bawah menahan rangsangan dari sentuhan-sentuhan Aris yang mengangkat angannya, namun kesalnya masih belum terkalahkan.

Ingin rasanya ia menolak tubuh Aris sampai terjungkal, terus dicekiknya dan dipukulnya dengan apa saja yang dapat diperolehnya. Tapi Aris pasti tidak akan membiarkannya. Aris akan segera bangkit dan langsung menamparnya. Dia akan mendapatkan dua imbalan yang pas: keluarganya akan hancur dan ia akan mendapatkan kekerasan.

Misbah juga terpaksa pasrah, ketika Aris merebahkan tubuhnya ke ranjang dan bertindak  semakin jauh. Dia hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menyembunyikan ketidakrelaannya dibalik kepasrahan di raut wajahnya. Aris menarik tangan Misbah, tapi mata Misbah tetap terpejam, mulutnya terkatup erat menahan tangis. Dua bulir air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya.

Melihat air mata itu, Aris segera bangkit dan beranjak ke sofa, disapunya wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tak berapa lama ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Dibasuhnya wajahnya dan dikeringkan dengan handuk kecil yang tergantung di samping cermin, ditatapnya wajahnya di cermin. Lama ia menatapnya, entah apa yang dicarinya di sana.

Sementara Misbah ketakutan, dia takut kalau Aris kecewa dan akhirnya foto-foto itu masuk ke situs internet yang artinya kiamatlah keluarganya.

Di saat bingung seperti itu, Aris keluar dari kamar mandi tanpa menoleh Misbah sedikit pun. Aris tak peduli apa yang dirasakan Misbah saat itu. Dibukanya lemari es dan diambilnya sebuah minuman kaleng, dibukanya dan diteguknya, dengan sekali teguk saja air itu sudah habis. Diambilnya lagi dari lemari es dan dibukanya, diteguknya hingga sampai tersisa setengah, sisanya dibawa duduk ke sofa.

Melihat hal itu, Misbah bangkit, didekatinya Aris dengan perlahan. Disentuhnya lengan Aris dengan perlahan, tapi Aris tak menoleh. Aris hanya meneguk minumannya kembali. Aris bangkit setelah meletakkan kaleng bekas minumnya di atas meja. Didekatinya komputer.

“Aris..., tolong! Jangan lakukan itu, gue mohon!” pinta Misbah bangkit mendekati Aris. Kedua tangan Aris dipegangnya mencoba menghalangi Aris. Selanjutnya dia berlutut di hadapan Aris, tapi Aris tetap diam.

Misbah akhirnya bangkit dan berdiri di hadapan Aris, begitu dekat, hingga tak ada celah kosong di antara mereka. Misbah menyugingkan senyum pada Aris.

Aris menahan nafasnya, ketika wajah Misbah begitu dekat di hadapannya. Wajah yang dulu dikaguminya, dipujanya dan dimimpikannya dalam setiap goresan penanya. Wajah lembut dan manja itu dinikmatinya lewat sorot matanya, lantas dibawanya ke samudera khayalnya, dulu.

Misbah putus asa dengan sikap diam Aris. Dicobanya menelusuri wajah Aris dengan jari jemarinya yang lentik, disentuhnya bibir Aris, tapi Aris tetap diam. Misbah tetap mencoba, dengan sedikit bersijingkat, dikecupnya Aris dengan segairah mungkin.

“Misbah! Sadar dan berhentilah! Jangan biarkan laki-laki bejat ini merampas masa depanmu. Tolong! Jangan biarkan!” kata Aris akhirnya, ketika Misbah semakin bersemangat. Dari mata Aris jatuh dua bulir air mata.

Misbah berhenti dan terpaku menatap wajah Aris. Aris segera berbalik membelakangi Misbah dan menopangkan tangannya ke atas meja.

“Tapi, Ris? Aku gak pengen keluargaku ancur, biarlah aku berkorban.”

“Gak, Mis! Gak ada keluarga yang akan hancur di tangan laki-laki bejat sepertiku.” kata Aris berbalik menghadap Misbah kembali. “Gak ada yang mesti berkorban dengan cara seperti ini. Aku mestinya berterima kasih padamu. Tuhan telah mengirimmu untukku, menyelamatkan aku dari kehancuran. Aku minta maaf padamu, mungkin aku terlalu bejat, terlalu egois.” kata Aris.

Berkali-kali Misbah memuji kebesaran Tuhan dalam hatinya. Dia tau, keadilan Tuhan telah datang menolongnya. Didekatinya Aris dan dipegangnya pundak Aris dengan tangan kirinya.

“Ris, minta ampunlah pada Tuhan! Dia yang udah nyelamatin kita dari kehancuran ini.” kata Misbah.

Aris segera berlutut ke lantai dan wajahnya ditengadahkan ke atas.

“Tuhan! Maafkanlah hamba-Mu yang hina ini! Ampunilah semua dosa hamba-Mu ini! Maafin Aris, Yah! Maafin Aris, Bu! Aris khilaf. Aris janji, Aris gak akan ngulanginya lagi.” kata Aris sambil menangis terisak-isak menyesali perbuatannya selama ini.

“Aris, bangkitlah! Aku juga minta maaf ama kamu. Aku juga salah. Waktu itu kamu udah berubah, tapi aku malah meragukanmu dan menghinamu.”

“Gak, Mis! Kamu gak salah. Sebenarnya aku masih mencintaimu. Jujur, Mis, gak ada yang bisa gantiin kamu dalam hati aku.”

“Yuyun?”

“Gak, Mis. Dia gak bisa dan dia...dia masih suci.”

“Udahlah! Mari kita duduk, kita tenangkan diri kita.”

“Mis, kamu mau kan nemani aku musnahin foto-foto itu?”

“Gak perlu, Ris. Aku percaya ama kamu dan bukan saatnya lagi bagi aku untuk tidak mempercayai kamu.”

“Kalau gitu, rapikanlah diri kamu, nanti aku antar, masih jam sembilan.”

“Baiklah!” kata Misbah bangkit dan menuju ke kamar mandi milik Aris. Sedangkan Aris mengambil sebungkus biskuit dan dua buah minuman kaleng.

Misbah keluar dari kamar mandi setelah rapi dan mendekati Aris kembali.

“Ayo, Mis!” tawar Aris ketika Misbah duduk di sampingnya bahkan kelihatannya semakin dekat, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Ris, makasih banget, ya. Kamu udah nolongin aku keluar dari masalah ini, kamu selalu jadi pahlawan bagi aku, meskipun musuh itu kamu sendiri.” kata Misbah sambil mengambil biskuit itu.

“Aku yang mestinya minta maaf, bukan kamu. Kamu hampir aja jadi korban keegoisan aku. Aku malu, Mis, kenapa aku jadi begini.”

“Ris, kalo kamu emang mencintai aku, lakukanlah! Lakukanlah atas nama cinta, kalau kamu emang butuh!” kata Misbah dengan setengah berbisik.

Aris menoleh pada Misbah mendengar ucapan Misbah itu. “Mis, jangan ulangi kata-kata itu. Itu milik suami kamu. Persembahkan padanya! Jika kita berjodoh, jagalah itu untukku!” balas Aris pelan.

“Aku berdo’a semoga kita berjodoh.”

Saat itu Aris berinisiatif membakar semua foto-foto itu. Dari komputernya, foto-foto itu             di-delet-nya. Dari laci semua foto dikeluarkan dan sebuah Handy camp, semuanya dibawanya ke teras dan memasukkan ke tong sampah yang terbuat dari drum minyak tanah, disiramnya dengan minyak tanah dan dinyalakannya dengan pemantik apinya. Sesekali isi drum diaduk-aduknya dan disemprot dengan minyak tanah.

Handy camp itu, kok, dibakar, Ris? Kan harganya mahal?” tanya Misbah setelah berada di samping Aris.

“Biar saja, agar kejadian ini tidak akan terulang lagi dan segera terlupakan.”

“Tapi, gak mesti memusnahkannya, cukup isinya saja dan handy camp itu masih bisa digunakan.”

“Mestinya tempat ini juga aku hancurin, tapi itu sangat mustahil.”

Aris mengambil air dan menyiram drum. Selesai itu ia masuk dan mengambil ponselnya dan ponsel Misbah dikembalikan pada Misbah. Aris keluar dan mengunci tempat itu. Aris menyalakan motornya dan beberapa saat melaju di jalan beraspal setelah Misbah naik di belakangnya.

“Kamu mau langsung pulang?” tanya Aris memecah kesunyian di antara mereka.

“Terserah kamu aja, Ris. Tapi kelihatannya malam ini sayang dilewatkan begitu saja.”

“Mm... hubungan kamu ama Rhei, gimana?”

“Ris, sejak kita bertiga saling kenal di acara MOS itu dan kita bersahabat, sebenarnya aku lebih menyukai kamu ketimbang Rheiner. Dan sekarang semua terbukti, aku gak bisa ngarapin dia ketika aku butuh seseorang untuk ngadapi masalahku. Dia juga gak lebih dari seorang pengecut.”

“Maksud, kamu?”

“Dia pengecut, Ris. Dia gak berani apel ke rumah aku. Alasannya gak berani ama orang tua aku, padahal orang tua aku mudah di ajak ngobrol.”

“Ya, nyokap kamu juga baik, mau ngobrol, basa basi, bahkan bercanda ama aku.”

“Itulah, Ris. Aku kecewa banget ama dia. Padahal aku pengen dia dekat ama orang tua aku  dan aku dekat ama keluarganya.”

“Sepertinya dia kurang pe-de, dia takut kalau orang tua kamu melarang hubungan kalian.”

“Aku pikir itu bukan alasan, Ris.”

“Kamu tenang, aku bakal bantu dia.”

“Gak, Ris! Kali ini kamu gak usah bantu dia, biarkan dia jadi laki-laki, bukan pengecut. Aku pengen dia ngebuktiin cintanya ke aku.”

“Kalau dia gak mau?”

“Putus! Aku malu ama orang tua aku, masak, sih, aku dibilang punya kelainan.”

“Wah, berat juga, dong, kalo gitu,” kata Aris memberhentikan laju motornya.

“Kita di mana, Ris? Di tepi pantai, ya?” tanya Misbah sambil turun dari motor Aris.

“Di pelabuhan! Di sini tempat aku nyari inspirasi. Aku sering ke sini tengah malam bawa buku tulis.” kata Aris turun dari motornya dan berjalan ke tepi pelabuhan. Dia duduk di sana dengan kaki terjuntai ke bawah, kedua tangannya di topangkan ke lantai pelabuhan untuk menopang tubuhnya yang dicondongkan ke belakang. Angin yang berhembus memain-mainkan rambut Aris, juga memain-mainkan rambut Misbah yang panjang.

Misbah berjalan mendekati Aris dan ia ikut duduk di samping Aris, hampir tak ada ruang kosong di antara mereka. Mereka duduk menghadap ke tengah laut lepas, di sana mereka melihat kerlap-kerlip lampu.

“Lampu apa itu, Ris? Lampu penduduk seberang sana, ya?”

“Bukan! Itu lampu kapal penangkap ikan.”

“Kok, ramai?” tanya Misbah dengan suara bergetar.

“Kamu kenapa, Mis? Kedinginan, ya?” Aris balik nanya sambil buka jaketnya. “Kamu pake ini, ya!” kata Aris sambil memakaikan jaketnya pada Misbah.

“Ternyata tempat ini sangat mengasyikkan. Kok, selama ini aku gak tau, padahal aku asli orang sini.”

“Karena selama ini yang ada di pikiran kamu, yang namanya pelabuhan itu pasti gak asyik, hiruk pikuk dan rawan dengan berbagai tindak kejahatan. Maklumlah selera orang kota, gak sama ama selera kampungan kek aku.” kata Aris sambil senyum.

“Ngeledek atau gimana? Trus kenapa aku suka kali ini, berarti selera aku turun sampai      50 Kg.”

“Gak juga! Itu karena orang yang ada di samping kamu saat ini, adalah orang yang paling ngerti selera kamu.”

“Hm..., jadi ngebanggain diri, nih, kedengarannya.”

“Tapi benar, kan?”

“Ya, gitu, deh. Kamu tau selera aku, suasana sepi, asyik, romantis dan sepi. Kalau Rhei gak tau bahkan terkesan gak mau tau.”

“Jangan terus membanding-bandingkan, semua orang punya kelebihan dan kekurangan sendiri.”

“Ya, aku setuju itu, tapi setidaknya dia memiliki sedikit keberanian. Dia kan laki-laki.”

“Sudahlah!”

“Sejak kapan kamu tau tempat ini?”

“Jauh sebelum peradaban dunia ini di mulai.”

“Aku serius, Ris!”

“Siapa yang bercanda? Udah aku bilang, Aris gak suka bercanda.”

“Omong kosong! Yang tadi apaan, jauh sebelum peradaban dunia di mulai.”

“Kamu gak tau maksudnya? Maksudnya sejak aku kecil!”

“Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung, jek!”

“Napa nggak? Penjabarannya, jauh sebelum aku mulai mempelajari peradaban dunia. Waktu itu aku baru berumur empat tahun dan almarhum Lena mulai berjalan tertatih-tatih. Almarhum bokap nyokap aku sering ke sini. Aku dan Lena bermain di sini, sedang mereka bermesraan di ujung sana, waktu itu aku belum ngerti, baru beberapa bulan lalu aku ingat dan hasilnya Pelabuhan  Hati!” kata Aris.

“Jadi itu cerita tentang orang tua kamu?”

“Ya, banyak kisah mereka yang aku tulis, dari mendengar obrolan yang gak sengaja terucap seperti Cinta Kita!

“Kamu emang hebat!”

“Itu dulu, sekarang gak lagi.”

“Kenapa?”

“Ini bukan soal hebat atau nggak. Ini warisan bokap aku yang mesti aku jaga.”

“Kamu emang pintar, coba kalo dulu kamu gak ngalah ama Rhei, mungkin semua gak bakal gini.”

“Kita gak tau kalau kejadiannya bakal kek gini. Kita cuma menjalani skenario alam.” kata Aris. “Kebahagiaan itu datang dengan cara bermacam-macam, dan kebahagiaan yang hakiki itu datang dari kedua belah pihak.”

“Emang kamu gak bahagia jalan ama Yuyun?” tanya Misbah selidik dengan perhatian yang mendalam.

“Ntahlah, yang pastinya perhatiannya membuat aku merasa dikuasai. Aku suka cewek manja, karena cewek manja itu nyenangin dan akan nganggap aku lebih berarti. Seperti Sheila, tapi sayangnya ketika perasaan itu mulai kokoh mesti pula tersingkir karena dia adik sepupu aku, meskipun angkat, tapi aku nganggap dia adalah pengganti Lena. Aku lebih suka pada Sheila ketimbang Yuyun. Yuyun itu tipe cewek penguasa, semakin diberi perhatian semakin ingin berkuasa.”

Angan Misbah melayang pada gadis Batak itu. Dalam hatinya membenarkan ucapan Aris. Jika dilihat, gadis Batak itu memang menyenangkan. Banyak anak-anak yang bilang kalau Sheila itu mirip padanya dan seperti anak kembar. Sekarang dia baru tau kenapa Aris menyukai Sheila, mungkin karena memang mirip.”

“Ris, aku sering dengar anak-anak ngomong, Sheila itu adiknya aku, ada juga yang bilang Misbah Part.2. Apa benar dia mirip ama aku?”

“Kalau nurut aku, antara kalian gak ada bedanya. Rambutnya, wajahnya, senyumnya, suaranya, kepribadiannya, seleranya dan hobbynya. Apalagi hobbynya itu ngoleksi semua tulisan anak Hidayat Ws, Aris Ws.

“Oh, ya? Emang Aris Ws. itu siapa, sih?” tanya Misbah mendelik.

Aris meraih tubuh Misbah dan membawa ke dalam dekapannya. “Aris itu orang gila!” jawab Aris.

“Emang!” sambung Misbah. “Udah jam berapa, Ris?”

“Setengah sebelas! Kamu pengen pulang?”

“Belum! Aku pengen nemani kamu di sini, ngabisin malam yang indah ini. Aku bahagia di samping kamu.”

“Ntar orang tua kamu khawatir sama kamu.”

“Tapi, Ris. Aku pengen bersama kamu bukan untuk malam ini saja, tapi selama aku bernafas.”

“Itu artinya aku ngebunuh sahabat aku sendiri, trus Yuyun, sepupu kamu.”

“Mereka gak bakal tau! Aku pengen berada dalam dekapan kamu, merasakan buasnya gemuruh samudera jiwamu, ikut mengharungi samudera khayalmu, dan ikut jadi dirimu juga.” kata Misbah sambil melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Aris.

Aris tak bisa menolak permintaan Misbah, dia juga merasakannya.

“Mis, seandainya ini adalah awal dari kebersamaan kita, aku gak bakal ngelepasin kamu untuk dimiliki siapa pun.”

“Benarkah, Ris?” tanya Misbah melepaskan pelukannya dan menatap wajah Aris di antara pantulan cahaya bulan empat belas dari air laut. Aris hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

“Kalau begitu, inilah awal dari kebersamaan kita dalam cinta. Anggap saja Rheiner dan Yuyun belum kita kenal.”

“Apa bisa, Mis? Kedengarannya terlalu egois!”

“Gak, Ris! Kalau kita mengalah terus, kapan kita bakal bahagia dan kek gini lagi. Kita juga pengen bahagia, kan?”

“Tapi tak semudah itu, kan?”

“Kenapa nggak? Asal kita yakin, kalau hubungan kita suci dan tulus, pasti kita siap menghadapi cobaan seberat apapun itu.”

Aris terdiam mendengar perkataan Misbah. Dia hanya bisa menatap Misbah dengan begitu dalam, sedalam samudera jiwanya yang selama ini membuatnya tenggelam. Kini perahu cinta Misbah menghampirinya dan menyelamatkannya. Dengan kedua belah tangannya, dipegangnya kedua belah pipi Misbah. Tak berselang  lama wajah mereka pun menyatu, dia memiringkan wajahnya, ingin mengecup Misbah...

“Dek, punya rokok, nggak?” sebuah suara membuat Aris dan Misbah kaget. Karena kagetnya, Aris segera menarik wajah dan kedua tangannya dari wajah Misbah.

“Oh, rupanya Dek Aris, kalian lagi pacaran? Maaf mengganggu, tadi abang lihat ada motor di sini, abang pikir siapa, ternyata Dek Aris.” kata laki-laki yang berseragam satpam itu. “Punya rokok, Dek?”

“Bang Ali. Ada, bang.” kata Aris. “Kasihin, Mis, di saku jaket!” kata Aris pada Misbah.

Misbah mengeluarkan dari saku jaket dan memberikan pada Aris.

“Nih, Bang! Buat Abang aja semua.” sodor Aris.

“Satu aja. Natar buat kamu apaan? Semua kedai udah pada tutup.”

“Buat Abang saja. Mulai besok aku gak doyan rokok lagi, aku doyan cinta. Cinta aku udah diterima, Bang.” kata Aris berseloroh sambil melirik Misbah. Misbah hanya senyum mendengar godaan Aris.

“Kenalin ama Abang, dong?”

“Boleh. Asal jangan ikutan naksir aja.”

“Bisa aja kamu, Ris. Abang udah punya anak bini, gak mungkin ikutan naksir.” balas satpam itu. “Kenalin, Dek! Bang Ali!” kata satpam itu mengulurkan tangannya pada Misbah.

“Misbah, Bang!” balas Misbah sambil menerima uluran tangan satpam itu.

“Kalian pasangan serasi. Cepat-cepat diresmikan di KUA!” seloroh satpam itu.

“Masih sekolah, Bang!” jawab Misbah.

“Oo...!” balas satpam itu. “Ma kasih rokoknya, Ris. Maaf udah mengganggu. Selamat jadian, ya. Kalau diresmikan jangan lupa undang Abang!”

“Beres, Bang!” balas Aris.

Satpam itu berlalu. Setelah jauh, Aris kembali mendekat pada Misbah. Tapi tak berani lagi melanjutkan yang tadi. Misbah hanya tersenyum mengingatnya.

“Kok, senyum?” tanya Aris heran.

“Gak kenapa-napa, kok!”

“Gak kenapa-napa, kok senyum?”

“Lucu liat kamu, tadi udah niat banget nyium dengan sebegitu mesranya, tapi kacian, gak jadi. Kamu pasti malu?”

“Kenapa mesti malu? Aku uidah pernah nyium kamu dua kali.”

“Ya, tapi bukan karena cinta.”

“Ah, bisa aja kamu!” kata Aris sambil melingkarkan tangannya di pundak Misbah. “Mis, boleh nggak aku nyium kamu lagi, kali ini atas nama cinta.”

“Gak boleh! Udah basi, tau!” balas Misbah sambil mencet hidung Aris dengan lembut.

“Kalau aku paksa?”

“Coba kalau berani!” kata Misbah sambil melepaskan diri dari tangan Aris. Dia berdiri dan berlari ke ujung pelataran pelabuhan.

Aris bangkit dan mengejar Misbah sampai di ujung pelataran. Di sana, ia meraih tubuh Misbah dan membawanya ke dalam dekapannya.

“Kelihatannya malam ini kamu bahagia banget.”

“Ya, Ris. Karena seminggu belakangan ini, gara-gara kamu, aku bersedih. Aku benci sama kamu, Ris.”

“Benci atau sayang?”

“Benci!”

“Tapi benci itu udah berhasil menyatukan kita, kan?”

Misbah mengangguk.

“Dan benci itu berganti sayang, kan?”

Misbah mengangguk.

Aris melepas dekapannya, tangannya diletakkan di bahu Misbah. Wajahnya digerakkan ke wajah Misbah, kian dekat...kian dekat.... Misbah memejamkan matanya. Wajah Aris kian dekat lagi....

“Mis, ada yang seram?”

“Ha...?” balas Misbah membuka matanya.

“Cup...!” bibir mereka beradu. Misbah tak dapat berbuat apa-apa selain membalas kecupan Aris dengan lembut.

“Ris, cuman kamu yang pernah nyium aku!”

“Gombal!” balas Aris memencet hidung Misbah.

Misbah menghadap ke arah laut. “Demi cinta dan lautan ini..., aku bersumpah..., aku gak pernah dicium laki-laki lain selain Aris, si penulis terluka.”

“Siapa yang terluka? Kan, udah sembuh. Kamu dokternya.” kata Aris. “Pulang, yok! Aku udah ngantuk, besok mo ngerampungin novel aku yang mo di terbitkan Esa Pratama Asia. Kekasih kamu bakal jadi terkenal.”

“Kalau kamu udah terkenal, pasti gak punya waktu lagi buat aku.”

“Hus...! jangan bilang gitu, gak mungkinlah, Aris bakal ngejaga kamu, bahkan lebih dari itu.”

“Maksud kamu?”

“Aku akan menikahi kamu dan melahirkan dua pasang anak. Gimana kamu siap?”

“Kapan-kapan aja, tunggu setelah selesai S-1. Okey?”

Up to you!”

“Atau aku tidur di tempat kamu aja.”

“Kalau kita udah married harus. Sekarang jangan dulu. Orang tua kamu udah khawatir sama kamu. Kamu mesti pulang, jangan buat calon mertua aku kenapa-napa. Kalau sempat, Apa kata dunia?”

“Calon mertua? Gak janji, ya?” balas Misbah. “Emang kamu cucunya Naga Bonar, anaknya Bonaga dan Monita?”

“Yok pulang, ntar aku tinggal aja kamu.”

“Gak mau!”

“Ayolah!”

“Gendong!” kata Misbah mengangkat kedua tangannya.

“Manja kamu!” protes Aris.

“Katanya suka cewek manja.”

Aris gak komentar, dia menuruti permintaan Misbah. Sampai di dekat motor, diturunkannya Misbah. Motor segera dinyalakan dan langsung melaju setelah Misbah duduk di belakangnya dan mendekap erat tubuh Aris. Meskipun suhu udara begitu dingin, sampai menusuk tulang belulang, namun Aris tak merasakannya sedikit pun. Dekapan Misbah menghangatkan jiwa Aris.

Aries menghentikan laju motornya di depan rumah Misbah. Mesin motor di matikan dan keduanya turun dari motor. Mama Misbah mendekati mereka dengan wajah cemas.

“Dari mana kalian? Mama udah khawatir sama kamu, dihubungi kok ponselnya di matikan, kalau terjadi apa-apa, gimana?”

“Tu, kan, Mis, aku udah bilang, Tante pasti khawatir sama kamu, dibilangi kamu, gak percaya.”

“Kalian dari mana? Udah tengah malam gini baru pulang.”

“Kita dari pelabuhan, Tante.” kata Aris pelan, dia tau mamanya Misbah sedang marah. Dia maklum, tidak ada orang tua yang tidak marah kalau anak gadisnya pulang selarut ini.

“Mama tenang, aja. Kita gak ngapa-mgapain, kok, cuma ngobrol, doang, negative thinking amat, sih. Lagian Misbah taulah ngaudisi teman.”

“Aris minta maaf, Tante. Aris ngaku salah.” kata Aris menunduk.

“Ma, Misbah yang salah, bukan Aris. Maafin Aris, ya.”

“Ya udah lain kali, Tante gak mau ini terulang. Kejadian ini jangan sampai di ketahui Om kamu.”

“Ma kasih, Tante. Aris pamit dulu.”

“Jaket kamu, Ris.” Misbah membukanya dan menyodorkan pada Aris. “Makasih atas waktunya buat aku, aku senang bersama kamu.”

“Sama-sama, Mis, Aris pamit, Tante, Misbah.”

“Hati-hati, Ris, jalanan licin.” ujar Misbah. Aris hanya senyum membalas, kemudian melaju. Kedua wanita itu masuk.

Di kamar, angan Misbah kembali melayang pada suasana pelabuhan yang tak bisa dilupakannya. Itu pertama kali dia di manjakan seseorang dan orang itu adalah Aris.

Kebahagiaannya seolah menjadi tebusan yang diberikan Aris atas kesedihannya beberapa hari lalu. Dia merasakan kehangatan samudera jiwa Aris, merasakan betapa buasnya gemuruh cinta Aris, terlebih ketika Aris mendekapnya.

Dia sadar, Yuyun akan semakin membencinya, tapi dia tak ingin peduli lagi. Dia hanya menganggap kebencian Yuyun adalah cobaan dari ketulusan dan kesucian cintanya pada Aris.

Dia tak sabar lagi menunggu datangnya siang, agar dia kembali ke sisi Aris untuk bermanja-manja. Berulang kali di pandangnya jam dinding, dan kenyataannya dia masih harus melewatkan kesendiriannya selama lima sampai enam jam lagi untuk menemui Aris.

Angannya kembali melayang ke suasana pelabuhan sunyi yang telah menjadi saksi bisu bersatunya cintanya dengan cinta Aris, dan bayangan pelabuhan itulah yang membawanya terlelap dalam mimpi.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler