Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004: “AIR RAYA” KARYA AZHARI

Foto SIHALOHOLISTICK

Setiap air raya tiba perahu ini akan tumbuh, pikirnya. Memanjang beberapa depa. Sungguh, buritan itu akan gemuk nantinya. Palka melebar. Tiang yang baru saja ditancap akan menjulur menusuk langit menumbuhkan tangga serupa dahan tempat di mana kelak dia akan naik dan meneriakkan hoooi. Dia akan menyusul perahu Nuh.

Perahunya tak akan memuat banyak orang. Karena yakin perahunya tak bisa tumbuh secepat itu. Kapal ini akan tumbuh perlahan-lahan. Sementara dia harus bergegas menyusul perahu Nuh. Seperti gegas air yang mengalir deras di saluran belakang rumah: tempat di mana dia akan memulai pelayaran mengejar perahu Nuh. Karena itu dia tak akan mengajak ibu dan segala binatang untuk naik serta berlayar bersamanya. Ibu harus menjaga rumah, menunggunya pulang berlayar. Sementara dia tak sanggup mengumpulkan berpasang-pasang binatang untuk ikut serta. Perihal bahwa dia akan pergi sendiri mengejar perahu Nuh, dia sudah meyakinkan ibu. Ibu memaklumi saja sekaligus mengatakan bahwa Nuh dulu juga demikian, meninggalkan seorang perempuan dalam pelayarannya. Maka kenapa kelak para pelaut selalu meninggalkan perempuan mereka tiap kali berlayar. Kenapa Nuh tersesat karena tak niat mengingat, apalagi pulang menjemput, perempuannya. Sementara para pelayar sesudah Nuh kembali ke peluk perempuan mereka.

Dia tak mengerti apa yang dimaksud ibu. Yang dia tahu air raya akan menumbuhkan perahunya. Sungguh beruntung Nuh. Nuh yang diberkahi Tuhan begitu melimpah air raya sehingga perahunya sungguh cepat tumbuh. Air raya yang diturunkan Tuhan selama 40 hari 40 malam-melalui hujan tiada tara.

Maka dia terus memperhatikan hujan yang terus turun mengaliri saluran air di belakang rumah. Ihwal yang menyebabkannya menjadi juru ukur air tiap hujan reda. Di bantar saluran dia akan mengukur air dengan kupingnya. Memperkirakan berapa sehari hujan memenuhkan saluran. Menghitung-tambahkan berapa kali hujan sanggup memenuhkan saluran air. Dengan demikian dia bisa menentukan kapan air raya akan tiba: saat dia harus bersiap memulai pelayaran dengan perahunya. Karena tiap hujan turun perahunya juga tumbuh perlahan. Tapi hujan tak pernah memenuhkan saluran, padahal nyaris saja air memajuh kupingnya saat mendengar alir di dingin bantar saluran. Perahunya akan tumbuh perlahan, tak menyusut seperti air di saluran.

Nuh telah mengajak Bapak berlayar, dia berkata suatu pagi ketika anaknya bertanya ke mana Bapak berhari-hari tak pulang. Hari-hari dalam hujan yang lama dan membuat saluran air di belakang rumah bergemuruh, seolah air itu saling bergegas, kejar-mengejar-kalau kau sering memperhatikan gegas air dengan seksama: air yang satu seperti ingin menggapai air yang lain. Mengejar bahu air dikejar bahu air.

Kenapa Nuh mengajak Bapak, tanya anaknya lagi. Anak itu barangkali sedang menajamkan telinga mendengarkan kecipak air yang menampar-nampar tebing saluran-barangkali pula membayangkan sebuah perahu kecil jika diarungkan di air deras saluran, sementara tangannya mengulur menarik tali yang mengait hidung si perahu kecil.

Perahu Nuh tiris, cuma Bapak yang bisa menambalnya. Tapi atap rumah ini tiris pula, gumamnya. Lelaki itu telah abai menambalnya.

Tapi Bapak belum menyelesaikan perahuku, lihat baru perut perahu saja yang dicungkilnya. Kenapa Bapak tak mengajakku? Padahal Bapak membuat perahu bersamaku. Dan siapa Nuh? Tanya anaknya pula.

Maka perempuan itu mengisahkan kepada anaknya tentang Nuh.

Nuh lelaki yang meninggalkan istri dan anak yang telah menistakannya. Anak dan istri yang tak pernah membantu Nuh membuat perahu. Tak memercayainya pula bahwa air raya akan datang suatu ketika. Istri dan anak yang bersekutu dengan orang-orang yang tak percaya pula bumi akan direndam murka. Nuh itu seorang yang sunyi Nak, sahabatnya belaka binatang.

Tapi anakku, kita tak pernah menistakan bapak. Engkau dan aku sepenuh hati membantu bapak. Aku percaya bahwa suatu hari kelak murka itu akan datang. Benar, murka yang telah membawa bapakmu pergi. Bapakmu tak sesunyi Nuh, anakku, dia bersahabat dengan siapa saja. Karena itu barangkali Nuh mengajaknya pergi. Bapakmu, Nak, lelaki yang percaya bencana itu akan datang.

Maka berceritalah perempuan itu perihal bencana ketika air raya tatkala Nuh datang menjemput lelakinya:

Aku harus pergi kekasih, kata lelaki itu memandang ke luar jendela. Hujan memutihkan pandangan. Tiga hari sudah hujan turun tak henti. Hujan yang membuat saluran air di belakang rumah bergemuruh. Perempuan itu ingin menyangkal hujan. Ingin mengatakan kepada lelakinya bahwa hujan akan reda ketika siang tiba. Hujan itu tak akan membuat saluran di belakang rumah meluap menjadi air raya. Air raya yang akan mengambil kembali lelaki itu dari pelukannya.

Dulu dia bisa terbahak bila lelaki itu menyinggung tentang air raya. Air raya yang membuat Nuh bisa berkeliling dunia: menghindar celaka, meluaskan sabda. Air raya yang didengarnya merangkak hingga ke leher gunung, sebelum berkah hujan tambahan, menenggelamkan segala yang menjulang. Lalu perempuan itu akan mengatakan: Tuhan tak akan pernah lagi menurunkan air raya sebelum Nuh pulang menjemput perempuan dan anaknya yang karam atau melemparkan mereka sebuah pelampung, kekasihku. Barangkali juga karena tiap-tiap lelaki kini telah diberikan Tuhan perempuan-perempuan setia-seperti dirinya.

Tetapi lelaki itu bersikeras meneguhkan bahwa Tuhan akan mengirimkan air raya untuk menyelamatkan lelaki. Ini bukan perkara kesetian, ujar lelaki. Ini adalah takdir lelaki di kampung kita. Kalau Nuh cuma berurusan dengan anak dan perempuannya dan, kaumnya yang menolak percaya bahwa Tuhan akan mengirimkan air raya. Menolak dengan memuntahkan tinja ke dalam perahunya. Maka urusan lelaki di kampung ini adalah bagaimana menghindar dibariskan di depan perempuan mereka, ditanyakan tentang khianat yang tak mereka alami, dipandang seolah anjing buduk yang kerap melakukan pekerti terkutuk.

Maka, kekasihku, lelaki mesti percaya bahwa ketika air raya tiba adalah saat yang tepat untuk pergi meninggalkan kampung. Beberapa lelaki telah naik gunung untuk menghindar dari air raya, bukan? kata lelakinya lagi.

Hujan masih turun rapat lebat: kalau kau perhatikan hujan seperti tak pernah bergerak-hampir menyerupai kurungan ayam warna kelabu.

Kau tak bisa ingkarkan perempuanku, air raya seperti mengikuti takdir hidup tiap lelaki di kampung kita. Kaulihat sendiri, berapa lelaki yang mati ketika air raya. Juga perempuan dan anak mereka yang menunggu tubuh lelaki dihanyutkan di deras air raya. Aku tak ingin kau menunggu tubuhku yang terapung di air raya. Maka aku harus pergi menumpang perahu Nuh atau, menyelamatkan diri ke puncak gunung tertinggi agar air raya tak menelan tubuhku. Tapi kautahu kan air raya pasti menenggelamkan segala gunung, segala yang menjulang.

Tapi kau belum selesai mencungkil perahu itu, tunjuk perempuan ke arah seonggok pohon yang berlubang tengahnya. Padahal perempuan itu ingin menambahkan bahwa lelaki juga lupa menambal atap rumah yang telah tiris.

Katakan pada anak kita, dia harus mencungkilnya sendiri. Katakan juga bahwa perahu itu akan tumbuh tiap air raya tiba. Dan dia harus menjemputku di atas perahu Nuh kelak kalau perahunya telah tumbuh besar, jawab lelaki.

Maka siang itu pergilah lelaki. Menumpang perahu Nuh. Tapi perempuan melihat lelakinya seperti dikurung sangkar ayam warna kelabu. Perempuan itu merasakan sekujur kepala kuyup ditimpa tetesan air hujan sebab atap yang tiris karena abai ditambal lelakinya.

Anak itu tercenung setiap mendengar cerita tentang bapaknya. Dia menggeleng-geleng kepala antara takjub, percaya, dan tak percaya. Tapi dia bertekad akan menumbuhkan perahunya tiap air raya, lalu dia akan mengejar perahu Nuh untuk mengambil kembali bapak, mengembalikannya ke hadirat ibu. Kasihan ibu, kepalanya basah kuyup tiap hujan tiba: bapak lupa menambal atap yang tiris sebelum pergi dijemput Nuh.

Perempuan itu tercenung setiap mengisahkan tentang lelakinya, Nuh, perahu yang tumbuh, air raya, dan atap yang tiris kepada anaknya. Dia menggeleng-geleng kepala antara takjub, percaya, dan tak percaya karena telah menyampaikan kisah yang ganjil kepada anaknya. Sungguh, kisah itu cuma karangannya belaka. Dia tak ingin anaknya kelak merangkak gunung untuk menghindar bencana air raya dengan alasan mencari bapaknya: karena dia tahu air raya akan menelan apa pun bahkan segala yang menjulang. Dia ingin anaknya mengejar bapaknya yang dijemput Nuh dengan perahu yang tumbuh tatkala air raya. Dengan demikian dia harus tahu diri takkan pernah ada lelaki yang menambal atap rumah yang tiris: biarlah kepalanya kuyup ditimpa hujan.

Tiap air raya tiba perahu ini akan tumbuh, pikirnya. Memanjang berpuluh meter. Sungguh, buritan itu akan gemuk nantinya. Palkanya akan melebar sampai sepuluh besarnya. Tiang yang bertahun-tahun ditancap akan menjulur menusuk langit menumbuhkan dahan-dahan tempat di mana kelak dia akan naik dan meneriakkan hoooi. Dia akan mengejar perahu Nuh. Menghentikannya. Lalu dia akan melemparkan tambang kembar yang ujungnya diikat kait serupa mata kail. Dari perahunya dia akan naik ke perahu Nuh. Menemui orang itu. Bercakap-cakap barang beberapa patah kata: menyatakan bahwa Nuh sudah cukup sampai di sini membawa Bapak berlayar dan, bukankah Bapak sudah usai memperbaiki perahu. Menegaskan bahwa dia akan menjemput Bapak. Menjelaskan tentang Ibu yang sudah lama menunggu. Mengatakan juga tentang kepala Ibu yang sering ditimpa hujan (sebab atap tiris tak ada lelaki yang menambal).

Ya, dia mesti mengajarkan Nuh mengenai kerinduan-karena dia tahu orang seperti Nuh tak paham arti kerinduan. Lalu menjabat Nuh. Memperhatikan mata Nuh: sungguh Nuh orang yang gugup. Diapitnya tangan Bapak. Tentu, Bapak akan menepuk-nepuk punggungnya. Mengusap kepalanya. Mengecup dahinya. Bapak akan dituntun menuju perahunya.

Hoooi, berteriak dia dari atas tiang kapal. Melambaikan tangan ke perahu Nuh.

Ibu sudah menunggu mereka di rumah. ***

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler