Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2004 "EMAS SEBESAR KUDA" KARYA ODE BARTA ANANDA

Foto SIHALOHOLISTICK

“Lai1), Mis?!” Sabe meneriakkan tanya sehabis menyelam ke arah Simis yang juga baru muncul. Terus mengibas-kibaskan rambut seleher seperti itik baru keluar dari air.

Simis tak peduli. Dia kembali membenamkan tubuh ke dalam Batang Sukam. Sambil mengatupkan mulut untuk menahan napas, lelaki berdegap itu menyalangkan mata, memerhatikan serpihan pasir yang masih bersisa di atas batu layah. Dengan mimik optimis, dikipas-kipasnya serpihan pasir menggunakan tangan kiri.

Sabe menggerutap menjejak tepi sungai. Menyeka telapak tangan dengan handuk lusuh, kekumuhan handuk hijau itu berbanding terbalik dengan kejernihan air Batang Sukam. Tapi dia tak peduli malah mengalihkan perhatian dengan melinting tembakau ke dalam daun enau.

Sedang Simis, tersenyum manis dalam air. Setelah serpihan pasir tersibak, matanya terbelalak melihat sebutir emas sebesar kacang hijau tergeletak indah di atas batu layah. Dengan mulut masih dikatupkan, ditekannya emas itu dengan jari tengah. Dan dikempitnya dengan ibu jari.

Sabe semakin menggerutu. Rokoknya yang baru saja dibakar terjatuh ke dalam sungai, “Kalera! Kanciang!2)” carut bungkangnya tak menghilangkan gigil. Maka sambil mengerinyitkan kening yang lebar, menyipitkan mata yang berlensa merah, serta menggeretukkan geraham berbalut rahang kekurangan daging, dia kembali menggulung tembakau ke dalam daun enau yang baru.

Sambil berdiri di pinggir kali, Sabe menyalakan korek api. Tapi Simis langsung memadamkannya dengan menyembul tiba-tiba dari Batang Sukam, yang hanya berdalam lebih kurang setengah depa.

Lalu pemuda berambut sesenti itu berseru, “Aku berhasil, Be!” terus menggigit telunjuk kanan untuk mendarahi emas yang dipegang sangat erat pada telapak tangan kiri.

“Kanciang!” maki Sabe sambil menggeser diri lebih ke darat. Dicampakkannya rokok kedua yang juga telah basah. Melinting sebatang lagi sambil mencangkung di bawah batang beringin.

Simis terkekeh, “Hei!” gigi hitamnya kelihatan mengilap dibakar Matahari. “Karena waang3) sedang takut air, sebaiknya waang alihkan kuda kita ke tempat rumput yang masih segar,” ujarnya sambil memasukkan emas sebesar kacang hijau yang sudah selesai didarahi ke dalam kantong kecil dari kain hitam. Dan menyelipkan pada saku celana sambil kembali tersenyum.

“Kenapa tak waang masukkan ke dalam botol?!” sorak Sabe masih dalam keadaan mencangkung.

“lni emas terbesar yang berhasil kutemukan dalam dua tahun ini. Makanya harus disimpan dalam kantong khusus untuk dijadikan jimat keberuntungan!”

Sabe terbatuk. Dahak hampir saja terserak dekat botol emasnya yang terletak di depan ujung kaki kiri. Dia menekur untuk meraih botol sebesar ibu jari kaki itu. Terus menimang-nimang memerhatikan beberapa miang4) emas yang seakan berenang karena botol memang sengaja diisi air jernih.

“Be!” Simis menyorakkan ejekan. “Jika waang mengalihkan kuda kita, waang akan kuhadiahi emas dalam botol ini!” diacungkannya botol kecil berair yang juga hanya berisi beberapa miang.

Sabe langsung berdiri. Menghirup rokok dalam-dalam. Baru melangkah gontai untuk memindahkan dua ekor kuda milik mereka.

“Dasar cangok!5) Kerja sedikit saja mengharapkan upah!” umpat Simis sebelum kembali menyelam.

Sabe mendongak memandang Matahari. Sang lbu Cahaya seakan mengejeknya karena terlalu suka memelihara perasaan dingin untuk menyurukkan sifat malas, dengan menusukkan keris terik. Punai dan barabah turut mencemooh dengan memperkeras kicau. Dan sepasang sipatung merah serta kupu-kupu ungu tak mau ketinggalan, mereka terbang saling berselisih di udara, sejenak melupakan bunga-bunga.

Beberapa saat kemudian, “Be!” sorak optimis Simis kembali memecah kesunyian belantara.

Sabe bergegas menambatkan kuda, “Apo!?” balasnya sambil kembali dengan berlari kecil.

Simis mengacungkan sebutir emas sebesar biji jagung. Terus berjalan dari tengah Batang Sukam, ke arah Sabe. Memberikan botol emasnya dan berujar, “Pindahkan isi botolku itu ke dalam botol waang.”

Sabe memindahkan beberapa miang emas upah mengalihkan kuda dengan kerut kening mengukir cemburu. Lalu mengembalikan botol yang sudah kosong dengan napas memburu.

Simis memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol sambil bersiul-siul. Dan, terus saja menekur memerhatikan emas dalam botol seperti kuduknya telah diganduli bisul.

Sabe beringsut ke belakang Simis. Seluruh mukanya menegang menahan cemburu. Dan…, kraak! Trinting! Tush! Botol dalam genggaman Simis terjatuh dan meletus. Pecah. Ternyata emas paduan itu mendadak menjadi semakin besar. Semakin besar. Membesar. Berbadan. Berkepala. Berkaki. Dan berlari!

Simis tentu langsung mengejar emas yang telah menjelma kuda itu ke dalam hutan belantara….

Sabe berdehem, “Begitulah cerita lengkapnya, Fuah,” ditusuknya mata Marfuah, istri Simis, dengan pandangan sungguh-sungguh.

“Kenapa Uda Abe tidak mengikuti Da Mis, mengejar emas sebesar kuda itu?” tak ada nada curiga dalam pertanyaan Marfuah. Karena memang hampir seluruh penduduk dusun terisolasi Ranah Pudak, pernah mendengar dan bahkan percaya -walau belum pernah melihat- tentang emas sebesar kuda, sebagai penjaga Batang Sukam yang mengalir di tengah hutan larangan.

Malah ada rasa bangga bersemayam di dada Marfuah. Hanya suaminya, Simis, dan suami Leli, Sabe, yang berani mencari emas ke Batang Sukam yang mengalir berkelok-liku di tengah serakan pohon-pohon besar berhantu bela-u.

“Saya sengaja pulang sebentar untuk memberi kabar,” Sabe terdehem sambil tersenyum miring. “Jika kami pulang berdua, tentu kami akan kehilangan jejak. Makanya, setelah nanti saya kembali ke dalam hutan larangan, tolong sampaikan pengejaran kami pada Leli,” diakhirinya pesan sambil memecut kuda.

“Kalian memang pantas menjadi keturunan orang bagak6),” lambai Marfuah sangat antusias.

Kuda belang tiga berlari kencang. Pikiran Sabe menggigil mengulang kembali cerita yang sebenarnya: Setelah Simis selesai memasukkan emas sebesar biji jagung ke dalam botol, Sabe langsung memukul kepala sobatnya itu dengan batu sebesar lipatan lutut orang dewasa. Simis tertelungkup pingsan. Botol berisi emas sebesar biji jagung dikantongi. Dan….

“Tapi…, bukankah masih ada sebutir emas lagi dalam saku celana panjang Simis?” gumamnya sambil menarik kekang kuda.

Kuda belang tiga meringkik. Binatang berkaki empat itu seakan tak suka perjalanannya menempuh jalan setapak beraspal tanah, menuju pasar, tiba-tiba ditunda. Sabe tak peduli. Kuda dibelokkan ke arah jalan kuda beban pengangkut kayu bakar, kembali memasuki hutan larangan.

“Mudah-mudahan tubuh Simis belum dimakan Raja Hutan,” gumamnya seakan auman harimau. Tapi dia tetap merinding, karena tiba-tiba teringat peristiwa seminggu yang lalu. Waktu itu mayat Ociak ditemukan di tengah hutan pinggir ngarai-tak jauh dari tempat Sabe dan Simis mencari emas-dalam keadaan cabik-mabik.

Namun, panggilan emas ternyata lebih buas ketimbang ngeri pada harimau. Hingga, setelah lebih dari dua jam berkuda melewati kerimbunan hutan larangan, Sabe bersorak tapi hanya berani dalam hati. Ternyata tubuh Simis masih dalam posisi seperti tadi. Badan berdegap tak berbaju itu tertelungkup dengan kepala bagian belakang penuh darah. Separuh badannya tersekat di darat dan separuh tubuhnya terendam dalam Batang Sukam.

Entah kenapa, Sabe terpaku agak lama setelah turun dari kuda. Dicobanya mendongak untuk mengalihkan perhatian pada daun-daun beringin yang sedang bercumbu dibantu angin. Pucuk hijau muda gembira melanjutkan tugas fotosintesa. Sedang daun coklat tua tak berduka gugur penyubur tanah.

Tap! Sabe tersentak. Sebatang ranting melenting dari dahan untuk menimpuk hidung peseknya, “Kanciang! Kalera!” kebiasaan carut bungkangnya kembali berkumandang. Terus dengan gegas diperiksanya saku celana panjang Simis. Mengambil kantong kecil berisi emas sebesar biji kacang hijau. Membuka kain itu, mengeluarkan emasnya. Dan memasukkan ke dalam botol sebesar ibu jari kaki dengan mimik penuh kemenangan.

“Hiy! Ya!” kuda dinaiki dan dihalau, sedang tangan kiri masih menggenggam botol.

Namun, setelah kuda berlari hanya sejarak sembilan tombak. Klotak! Ting! Botol berisi emas terjatuh. Thas! Terinjak kaki depan kuda belang tiga.

Khiik!! Kuda meringkik. Keterkejutan mengubah arah larian.

Khiik! Kuda belang tiga terus berlari tak terkendali. Terus dan terus berlari… *

 

Padang, Maret 2004

Bahasa Minangkabau yang perlu diterangkan:

Lai1) =Ada.

Kalera dan Kanciang2) = kata makian.

Waang3) = kau/kamu untuk lelaki.

Miang4) = ukuran paling kecil untuk emas juga sebutan untuk bulu-bulu tumbuhan yang menggatal.

Cangok5) = rakus tanpa berusaha.

Bagak6) = pemberani.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler