Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “CANDIK ALA” KARYA GM SUDARTA

Foto SIHALOHOLISTICK

Setelah matahari tengah hari tergelincir, langit berangsur berubah berwarna kuning. Sinar menyilaukan berpendar-pendar membiaskan kabut kuning menerpa seisi alam. Cuaca seperti inilah yang oleh ibu disebut sore “candik ala”. Suatu sore yang jelek. Suatu sore yang membawa malapetaka dan penyakit. Dalam cuaca seperti ini, kami diharuskan masuk ke dalam rumah.

Aku tidak lagi mau bertanya kepada ibu, perihal kenapa kita mesti takut kepada cuaca seperti itu. Karena kalau aku bertanya hal-hal aneh, seperti misalnya larangan untuk duduk di depan pintu yang nanti akan dimakan Batara Kala, akan selalu dijawab dengan nada agak marah, dengan kata yang tak kupahami maksudnya: “Ora ilok!” kata ibu.

Tapi kali itu, setelah beberapa kali mengalami sore candik ala, aku tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang ayah, yang sudah berbulan-bulan tidak pulang. Ibu seperti menghindar, memalingkan muka menyembunyikan wajahnya, sambil jawabnya:

“Nanti juga kalau saatnya pulang, pasti pulang.”

“Apa nggak kena penyakit karena candik ala, Bu?” tanyaku tak sabar. Ibu diam saja.

Memang, kadang-kadang setengahnya aku kurang percaya dengan hal-hal aneh demikian, tapi kadang kala pula hati dibuat ciut dengan kejadian seperti yang pernah kami alami tahun lalu. Menjelang tengah malam kudengar suara kentongan bertalu-talu, seperti jutaan kentongan dipukul bersamaan. Semula terdengar samar-samar, seperti dari kejauhan, semakin lama semakin keras seperti semakin mendekat. Ibu segera berdiri di balik pintu depan, sambil komat kamit membaca doa. Kudengar sepotong doanya:

“Ngalor, ngalor, aja ngetan aja ngulon.”

Kupeluk kaki ibu karena ketakutan oleh sesuatu yang tidak kumengerti.

“Ada gejog,” kata ibu, “Nyai Roro Kidul bersama bala tentaranya sedang berarak menuju istananya di gunung Merapi. Orang yang tinggal dekat Segara Kidul, yang pertama kali melihat ombak laut besar dan suara gemuruh, mulai memukul kentongan. Itu pertanda Nyai Roro Kidul keluar, naik kereta kencana, diiringi para serdadu jin. Kemudian orang desa yang akan dilewati rombongan itu beramai-ramai memukul kentongan supaya beliau tidak singgah ke desanya. Karena setiap beliau singgah, beliau akan mengambi abdi dalem baru.”

Aku tetap kurang paham akan keterangan ibu. Yang aku tahu ibu telah berdoa supaya rombongan itu tidak singgah ke sebelah timur Gunung Merapi, letak desa kami.

Beberapa hari kemudian, malamnya, dua lelaki berseragam loreng datang ke rumah dan mengajak ayah pergi, sepertinya dengan cara paksa. Ibu mengejar sampai halaman depan sambil memohon supaya ayah jangan dibawa dengan penuh iba.

“Ayah dibawa Nyai Roro Kidul ya Bu?” tanyaku.

“Hush!” jawab ibu sambil bergegas langsung masuk kamar tidur. Kudengar tangisan ibu menyayat hati.

Berita tentang perginya ayah merebak ke seluruh desa. Meskipun tak begitu aku pahami artinya, kudengar dari Lik Kasdi, pamanku, bahwa ayahku terlibat. Terlibat apa aku kurang jelas, hanya yang kuketahui juga dari tetangga bahwa ayahku adalah seorang pegawai negeri yang suka memberi penyuluhan kepada para petani.

Sejak itu, ibu kerap pergi dengan menjinjing rantang berisi nasi dengan lauk ikan asin dan sayur daun singkong kesukaan ayah. Kami, anak-anak, tidak diperkenankan ikut serta. Beberapa kali, aku yang merasa anak terkecil suka merengek minta ikut. Dengan sedikit marah ibu menjawab:

“Ibu akan nengok ayahmu yang sedang kerja, kamu jangan ganggu dia!”

Pasti ayah sedang kerja lembur, pikirku. Tetapi beberapa bulan kemudian, ibu tidak bisa lagi berbohong, karena kemarin aku dengar dari Lik Kasdi, bahwa ayah ditahan di kota.

Dan dia bercerita panjang lebar, tentang pemberontakan besar. Waktu itu yang tertangkap dalam otak kecilku adalah tentang para jenderal yang dikorbankan dimakan buaya di sebuah lobang.

“Ayahmu sedang berjuang,” ujar ibu dengan wajah keruh ketika aku tanya soal tahanan ayah. Tanpa tahu apakah yang dimaksud dengan berjuang, yang pasti aku kerap kali menangis sendirian bila malam waktu tidur tiba. Setiap bangun pagi, ibu melihat mataku sembab. Rupanya ibu pun tahu akan kerinduanku pada ayah. Kulihat air matanya mengembang. Kemudian memelukku erat-erat, dan tangisnya tertahan meskipun air matanya deras membasahi pundakku. Jadinya aku ikut menangis tanpa kutahu sebabnya.

Sore itu, cahaya candik ala menyelinap lewat jendela menerpa lemari kaca tempat memajang foto ayah dalam bingkai. Mungkin karena rinduku pada ayah, kulihat seakan foto ayah bergerak, tangannya melambai kepadaku. Terasa di dalam dadaku ada yang menggelepar-gelepar.

Kudengar pula dari Lik Kasdi, ayah bersama para tahanan beberapa lama ini sedang dipekerjakan membuat tanggul sepanjang rawa besar di daerah tak jauh dari rumah kami. Katanya tanggul yang sepanjang tiga kilometer ini sekaligus untuk jalan penghubung antardesa yang terpisah oleh rawa. Karena rinduku tak tertahankan lagi, dengan mengendap-endap lewat pintu dapur, tanpa sepengetahuan ibu dan tanpa takut dengan cuaca candik ala, sambil membawa pancing bambu, kugenjot sepedaku lari kencang ke rawa, dengan harapan ayah masih di sana.

Setiba di sana, nampak banyak orang berseragam loreng dengan menyandang senjata laras panjang. Mereka berjaga di sebelah timur rawa, di mana kulihat ratusan orang sedang bekerja menggali tanah dan mengangkat batu. Dalam terpaan cahaya kuning, wajah-wajah kurus semakin mempertegas cekungan mata bagai mayat hidup. Dadaku berdebar-debar, tak sabar untuk bisa cepat-cepat bertemu ayah, yang mungkin ada di sana. Beberapa meter sebelum mencapai tempat mereka, seorang petugas mengusirku, dan menyuruhku mancing agak jauh dari situ.

Kutaruh sepeda di pinggir jalan, kemudian duduk mencangkung di atas batu padas di pinggir rawa. Dengan berpura-pura memancing, terus kutajamkan mataku mencari ayah di antara ratusan orang yang sedang bekerja. Langit yang membiaskan warna kuning agak menyilaukan mataku, sehingga sulit mencari di mana ayah berada. Ketika langit berubah warna memerah, pertanda magrib menjelang tiba, dan ketika aku nyaris putus asa, kulihat di kejauhan seseorang berdiri tegak memandang ke arahku, sementara yang lain masih bekerja…. Itulah ayah!

Kulempar pancing, tanpa menghiraukan para petugas, aku pun berlari, menangis sambil berteriak keras-keras memanggil ayah. Ayah seperti tertegun melihat kedatanganku.

Tetapi kemudian wajahnya berubah gembira, meskipun kulihat seperti dipaksakan. Lengannya terentang menyambutku. Kujatuhkan diriku memeluk lututnya dan menangis sejadi-jadinya. Kulihat ayahku sangat kurus dan lusuh, tapi nampak diusahakan selalu tubuhnya ditegap-tegapkan.

“Kapan ayah pulang? Kapan, yah, kapan?” tanyaku berulang-ulang

Ayah tersenyum lebar sambil jawabnya: “Nanti kalau kerja besar ini selesai, cah bagus.”

Beberapa petugas mendekati kami. Ayah bicara kepada mereka beberapa saat, kemudian kami dibiarkan berdua. Kami hanya berpelukan sampai terdengar peluit tanda usai kerja. Kami bergerak bersama para tahanan menuju truk-truk yang sudah tersedia, sambil kupeluk pinggang ayah.

“Ayah tidak kena penyakit karena candik ala?” tanyaku.

Ayah tertawa. Sambil mengelus rambutku ayah bekata:

“Tidak mungkin ayah kena. Ayah sehat karena banyak makan sayur.”

Kemudian ayah membopongku, menciumiku sambil tawanya yang nampak dipaksakan pula. “Ayah nanti tidur di p..p..penjara?” tanyaku terbata-bata menahan tangis.

“Siapa bilang, he..he..he, bukan di penjara, tapi di hotel!”

“Ayah sedang berjuang?” tanyaku kemudian. Ayah nampak kaget.

“Ibu yang bilang…,” kataku menjelaskan. Ayah tertawa mendengar ini.

Menjelang dekat truk, ayah berjalan dengan tegak sambil menyanyikan sebaris lagu Indonesia Raya. Para petugas dan para tahanan terheran-heran, memandang kami. Setelah menurunkan aku dari gendongannya, ayah melompat ke bak truk. Sambil menoleh kepadaku, ayah mengacungkan tinju ke atas, dan katanya keras-keras:

“Ingat Aryo, kamu harus selalu berjalan tegak, menghadapi nasib apa pun. Termasuk kalau ada candik ala…. Dan jangan lupa lagu Indonesia Raya!”

Barisan truk pelan-pelan semakin jauh meninggalkanku sendirian di pinggir rawa. Tak terasa air mata membanjir membasahi pipi.

“Ayaaaaaaaaah!!” teriakku keras-keras muncul sendiri tanpa kusadari.

Saat usia sekolahku tiba, suatu malam Lik Kasdi, yang sudah menjadi carik desa, datang mengunjungi rumah kami. Di ruang depan dia bicara setengah berbisik kepada ibuku. Dari balik pintu kamarku, kutangkap pembicaraan mereka, bahwa ayah sudah menyambut maut dengan gagah sambil menyanyikan Indonesia Raya, katanya.

“Saya sudah berusaha keras menolongnya, Mbakyu,” ujar Lik Kasdi, “Sudah kuberi bukti bahwa Mas Kasman tidak terlibat, melainkan karena fitnah bekas bawahannya yang sakit hati karena dia pecat.” Aku mau menangis keras, tapi terasa tenggorokanku tercekik. Semalam suntuk aku terduduk di balik pintu kamar, sambil mendengar isakan ibu dan Yu Rini, berkepanjangan di kamarnya.

Tiga tahun kemudian, ibuku pun menyusul ayah. Bukan karena diambil Nyai Roro Kidul, melainkan oleh sakit batuk yang diidapnya sekian lama. Yu Rini pun menikah dengan seorang aparat desa dan aku ikut dengannya. Berpuluh tahun kemudian, setelah melewati berapa puluh sore candik ala, setiap cuaca demikian, ada sesuatu yang pedih, seakan ada yang pecah berkeping-keping di dalam dadaku. Dan telah sekian puluh tahun pula aku mencoba benar-benar berjalan tegak, tapi sangatlah sulit. Hanya karena aku adalah anak kandung ayah. Dan semua orang masih saja mengingat ayah adalah ayah kandungku.

Sekarang ini, aku masih juga mencoba berjalan tegak, meskipun sudah sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, tapi hanya baru bisa melata di tanah!

Klaten, 2005

Catatan:

Candik ala: pertanda buruk dengan cuaca sore yang membiaskan warna kuning

Ora ilok: pamali, larangan

Gejog: barisan roh halus

Nyai Roro Kidul: Ratu Laut Selatan

Ngalor, ngalor, aja ngetan, aja ngulon: ke utara, ke utara, jangan ke timur jangan ke barat

Segara Kidul: Laut Selatan

Kali Woro: sungai besar di lereng gunung Merapi yang dipenuhi pasir dan lahar dingin

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler