Skip to Content

LOKALITAS DALAM KARYA SASTRA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: ALIYA NURLELA

Jauh sebelum saya membaca buku-buku sastra yang bertema lokal, ada sedikit pandangan yang setengah menganggap bahwa karya sastra bertema lokal cenderung kolot dan menjenuhkan untuk dibaca. Terutama ketika bahasa lokal dalam karya tersebut sangat mendominasi, hingga harus sering-sering melirik catatan kaki. Hal lainnya, nama-nama panggilan dalam cerita lokal tersebut belum akrab di telinga. Misal panggilan ibu, paman atau kakek di daerah Bali, tentu berbeda dengan panggilan yang sama di tempat lainnya. Selain belum akrab dengan panggilan tersebut, ada semacam rasa yang belum menyatu masuk dalam cerita, terutama bagi pembaca yang berasal dari luar daerah Bali. Pada pembacaan yang kedua kalilah, mungkin pembaca bisa ikut masuk dalam cerita dengan rasa yang menyatu.

Tidak bisa dipungkiri, membaca karya-karya bertema populer cenderung lebih asyik dan bergairah, lebih mudah dicerna dan cukup sekali baca. Apalagi karya-karya penulis yang mengikuti tren tema kepenulisan yang diminati pasar, sangat bejibun. Tidak sulit mendapatkannya.

Saya cukup tertohok ketika membuka beberapa karya lama yang kental dengan nuansa Korea. Saya pernah diam, merenung dan bertanya sendiri. Apakah saya pernah ke Korea? Tidak sama sekali. Apakah saya bisa berbahasa Korea? Tidak sama sekali. Apakah saya menuntut ilmu di jurusan Bahasa Korea? Tidak. Apakah teman-teman, saudara, kerabat, dan komunitas yang saya ikuti banyak orang-orang Korea, mengenal Korea, atau yang sering pulang-pergi ke Negeri Ginseng itu? Jawabannya, juga tidak. Lalu? Nah, hati kecil saya mengakui, meski bibir malu-malu mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri ada semacam kekaguman pada banyak hal yang berwarna Korea. Dari mulai cara berpakaian masyarakatnya terutama kaum muda yang cukup modis. Lagu-lagu dan kreativitas artis Korea dalam bermusik, adat menerima tamu, dan terutama tema-tema cerita dalam Drama Korea yang banyak menginspirasi. Kalau disebut, “demam Korea” saya menolak. Sebab, kekaguman itu tidak berlaku pada semua hal dan lebih cenderung kepada karya kreatif yang dilahirkan. Berkat menonton, mengamati, menyimak terus-menerus itulah akhirnya ter-copy dalam benak dan tertuang dalam karya tulis dengan warna yang sama; Korea.

Tidak salah kita terinspirasi menulis dari mana pun. Seorang penulis memang selayaknya peka dan pandai menangkap apa saja yang dilihat dan didengarnya. Itu sebentuk modal penulis dalam menghasilkan karya-karyanya (berangkat dari apa saja dan negeri mana saja). Saya juga tidak menyalahkan atau menyingkirkan karya-karya penulis Indonesia yang berwarna luar. Saya membaca dan menikmatinya, apalagi kalau penulis tersebut mampu menguasai latar, kebudayaan, bahasa, suasana dan gambaran tempat tersebut, sangat menarik untuk dibaca. Sangat berbeda dengan beberapa karya fiksi berwarna Korea yang saya tulis, hanya nama tokoh-tokohnya saja dan sedikit bahasa Korea yang menjadi ciri bahwa cerita itu berwarna lokal Korea. Sifatnya lebih kepada menghibur atau karya ringan, meskipun ada pesan positif di dalamnya. Ketika pembacaan ulang yang kesekian kali, setelah saya endapkan beberapa tahun dan mendapat tambahan banyak bacaan yang masuk di memori otak saya, ada kehambaran yang terasa. Saat membaca itu, saya tidak berposisi sebagai penulis tapi saya memposisikan sebagai pembaca. Terasa sekali, gambaran suasana Koreanya belum dapat. Saya (sebagai pembaca) belum cukup terpuaskan dahaga untuk mengenal Korea secara (lebih) detail. Meskipun memakai tokoh Korea, (sebagian) latar Korea, (sebagian) bahasa Korea tapi rasa yang tercipta belum rasa “Hot Bar” tapi masih rasa “Goreng Singkong” khas Indonesia. Atau bisa juga, seperti rasa Bungeopang (camilan Korea) yang berisi pasta singkong.

Saat berposisi sebagai pembaca itulah, saya berandai-andai. Andai, pembaca karya tulis saya itu adalah Hyun Bin seorang aktor Korea yang memang asli Korea, mengenal daerah itu dan menguasai dengan baik bahasanya. Meskipun dia bukan penulis, tapi ketika membaca sesuatu yang janggal, pasti tergerak juga untuk sedikit berkomentar, “ah… tidak begitu.” Tentu akan jauh berbeda dengan Novel “Please Look After Mom” yang ditulis seorang novelis Korea, Shin Kyung Sook. Dalam novel “Please Look After Mom” bercerita tentang sebuah keluarga yang mencari Ibunda—yang menghilang—di suatu sore di stasiun bawah tanah Korea itu, setidaknya penulis tersebut jauh lebih paham detail latar serta kehidupan di Korea dan serba-serbinya, bukan sekadar melihat di televisi dan membayangkan, tetapi berinteraksi selama bertahun-tahun di sana, dalam kehidupan nyata.

Berangkat dari membaca ulang karya sendiri itulah, saya tergerak lebih banyak membaca karya-karya sastra bertema atau berwarna lokal. Banyak pakar mengatakan, bahwa apa yang kita tulis, sesungguhnya adalah produk yang kita baca, kita lihat, kita dengar dan kita rasakan. Ada sejumput harapan, meskipun belum bisa menulis karya-karya bertema lokal secara mendetail, tetapi setidaknya diawali dari kebiasaan membaca terlebih dulu. Hasil membaca itulah yang sedikitnya akan mewarnai dalam menulis karya-karya berikutnya. Untuk menulis cerpen, saya sedang mulai ke arah itu, menuliskan cerpen-cerpen bertema sosial dengan latar daerah tertentu di Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia yang lahir dan besar di Indonesia, berbahasa ibu bahasa Sunda dan tidak pernah berdomisili di luar negeri (Korea, misalnya), saya sedikit “keukeuh” meluncurkan novel pertama saya yang bercita rasa Indonesia dan berwarna lokal—meskipun tidak total berbahasa lokal dan bertema umum (bukan adat daerah itu). Novel-novel sebelumnya yang pernah saya tulis dan bercitarasa negeri lain, saya simpan dulu, untuk kemudian direvisi. Tambal-sulam terlebih dulu, baru kemudian diterbitkan.

Melalui novel pertama saya yang diterbitkan—atau novel ke sekian yang saya tulis—saya mengambil latar Kota Galuh (Ciamis) yang ada di Tanah Pasundan. Di tempat itulah saya dilahirkan dan dibesarkan, meskipun setelah dewasa saya tinggal di Jawa Timur. Saya paham kehidupan masyarakat di sana, fasih berbahasa Sunda, mengenal karakter masyarakatnya, adat-istiadat, dan bertahun-tahun berinteraksi serta tinggal di sana. Semua masih terekam dengan jelas. Dalam novel yang kemudian diberi judul “Lukisan Cahaya di Batas Kota Galuh (LCBKG)”, saya bercerita-menuangkan rekaman memori itu. Bisa disebut, isi novel itu 75 persen terinspirasi dari kisah nyata diri sendiri yang kemudian dinovelkan.

Meskipun belum sepenuhnya berwarna lokal dan bukan novel berbahasa Sunda, setidaknya melalui tema yang saya tulis itu, sedikitnya mencatut bahasa lokal, kebiasaan masyarakat di sana, mengenalkan tempat-tempat di kota itu dan mengenalkan kuliner khas Kota Galuh. Walaupun Ciamis termasuk kota kecil, tapi di wilayah itu pada zaman dulu pernah berdiri kerajaan besar yaitu Kerajaan Galuh. Melalui novel itulah saya belajar mengenalkan kota kelahiran sendiri, sekaligus sebagai wujud kecintaan terhadap tanah kelahiran. Saya harus bangga lahir dan tinggal di Indonesia, sudah barang tentu harus bangga pula mengenalkan Indonesia dan serba-serbinya. Nilai-nilai kearifan lokal memang belum bisa diserap sepenuhnya dalam novel tersebut, tapi setidaknya ada sedikit sentuhan ke arah itu yang mengangkat nilai-nilai kekeluargaan, kerjasama, berbaur dengan alam dan kegotongroyongan.

Ada perasaan berbeda ketika menuliskan novel yang berlatar Korea dengan novel berlatar kota kelahiran. Rasa tidak bisa dibohongi. Saya benar-benar larut dalam cerita saat menulis novel LCBKG, kadang tersenyum, tertawa spontan, menangis penuh haru dan bermacam rasa lainnya yang tiba-tiba muncul. Termasuk ada perasaan rindu kuat yang menyelinap, karena saya menuliskannya di Jawa Timur. Semacam kerinduan ingin pulang kampung, kembali ke masa itu dan menyusuri jalanan serta tempat-tempat yang pernah dilalui. Sebelum tulisan itu selesai, saya sudah merasakan aura kebahagiaan. Itulah sebentuk rasa yang sulit dilukiskan. Rasa yang menyatu dalam karya. Mungkin rasa ini pula yang dirasakan penulis-penulis yang pernah menulis cerita berlatar kota kelahiran.

Hal lainnya, terasa lebih mudah saat menuliskan. Mungkin bahasa lainnya begini, menyajikan kolak singkong berkuah gula aren, jauh lebih mudah dari menyajikan Bungeopang yang berpasta kacang. Sebab singkong dan gula aren mudah didapat di Ciamis, justru di situlah gudangnya. Selain berlimpah, rasa pun akan lebih cocok dengan lidah.

Saya sering terkagum-kagum membaca karya sastra bertema lokal. Menurut saya karya sastra bertema lokal, termasuk karya sastra yang serius dan dikerjakan penulisnya secara serius (dalam arti berangkat dari fakta dan referensi). Menurut Ahmad Tohari, banyak orang beranggapan bahwa lokalitas selalu dekat dengan mitologis, tidak ilmiah, tahayul, dan lainnya. Tapi pada dasarnya, kelokalan itu memiliki nilai-nilai kearifan yang tersembunyi. Saat membaca karya sastra bertema lokal itu selalu ada dorongan untuk melakukan pembacaan kedua, ketiga, dan seterusnya. Seperti buku “Sukreni Gadis Bali” yang saya baca berulang-ulang. Atau “Rinai Kabut Singgalang (RKS)”—karya sastra yang kuat warna lokal Minangkabaunya—karya penulis Muhammad Subhan. Novel ini pun saya baca berulang-ulang. Sebagai orang luar Minang, tentu saya mendapat banyak kosakata baru yang belum sepenuhnya bisa ditangkap pada pembacaan pertama. Tapi justru dari karya seperti itulah saya memiliki wawasan tentang suatu daerah, bahasa, budaya dan hubungan masyarakat di sana.

Terus-terang saja, sebelum saya membaca novel RKS saya awam soal Pulau Sumatera dan tidak ada saudara dekat yang tinggal di sana. Saya hanya tahu masakan Padang yang enak, gurih dan menyisakan kelezatan di lidah hingga kecapan terakhir. Selebihnya, Pulau Sumatera dijadikan tempat teman-teman saya (waktu sekolah dasar) yang transmigrasi bersama keluarganya, karena kabarnya di sana tanahnya masih luas dan didominasi wilayah hutan. Selain itu, saya belum tahu banyak soal Pulau Sumatera terutama Minangkabau. RKS bagi saya menjadi jembatan mengenal Minangkabau dan budayanya. Sebuah karya yang ditulis dengan apik, berangkat dari pijakan yang jelas, ada ideologi yang diperjuangkan dan kental sekali dengan adab-adab moral. Latar tempat dideskripsikan secara detail, sehingga pembaca seolah ikut berpetualang di setiap tempat yang dijadikan latar cerita. Secara tidak langsung, karya sastra bertema lokal menjembatani pembaca untuk mengenal suatu daerah tanpa perlu datang terlebih dulu ke tempat itu.

Amat disayangkan, karya-karya bertema lokal sangat kurang sekali dibaca oleh kalangan pelajar atau generasi muda. Padahal sebenarnya, karya-karya berwarna lokal cukup banyak. Salah satu faktornya, mungkin karena pengaruh budaya atau globalisasi. Seperti menurut Ibnu Khaldun, peradaban suatu bangsa yang kalah akan mengekor peradaban bangsa yang menang. Demikian pula masih minim penulis muda yang menuliskannya, sebab bisa jadi hal ini dipicu oleh kurangnya mengenal budaya sendiri. Lagi-lagi tergerus oleh ekses globalisasi tadi yang mengikis kepekaan terhadap budaya dan isu-isu lokal. Tak bisa dipungkiri, hal ini erat kaitannya dengan sistem pendidikan yang berlaku. Di mana pemerintah seharusnya menjadi fasilitator untuk mengenalkan budaya negeri sendiri kepada masyarakat.

*) Aliya Nurlela, pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, menulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler