AIR MATA DI GEDUNG NASIONAL
Ketika aku akrab dengan gedung ini bisa disebut bangunannya kurang urus. Halamannya yang pasir urugan lebih banyak yang bersemak. Dinding luar bagian depan dan bagian dalam juga sudah kusam meski belum bisa disebut sangat. Ada yang agak terpelihara yaitu dinding bagian dalam ruangan sayap depan kiri –jika kita berada di depan gedung- karena dijadikan ruang perpustakaan. Ruangan perpustakaan inilah tempat yang akan menjadi tokoh utama andaikata ruangan ini dianggap sebagai makhluk hidup.
Tapi tidak demikian sebenarnya. Ini bukan tokoh. Juga bukan toko. Ruangan ini hanyalah ruangan perpustakaan. Sama halnya dengan ruang perpustakaan di manapun di jagat ini, pasti di dalamnya ada rak yang penuh dengan buku. Banyak atau sedikitnya tergantung banyak atau sedikitnya bukunya. Dan ini adalah perpustakaan sederhana.
Ada buku di atas meja. Buku untuk mencatat data peminjam. Ada petugasnya. Namanya Kamaludin. Aku lupa apakah namanya pakai satu atau pakai dua huruf d. Kamaludin atau Kamaluddin. Selain sabar Kamaludin penuh pengertian.
Aku sangat senang membaca. Dan disinilah kesenanganku terpenuhi selain perpustakaan kaki lima di Jalan Garuda. Banyak waktu kuhabiskan untuk membaca di dua tempat ini. Di Gedung Nasional aku tenggelam dalam kata-kata para sastrawan Indonesia dengan aneka ragam kisah indah tentang cinta dan rindu serta pengorbanannya sedangkan di Jalan Garuda aku tenggelam dalam kisah dunia persilatan.
Ada nama Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, Kho Ping Ho yang kemudian mempunyai alias Asmaraman, Gan K T, dll. Pengarang barat yang masih kuingat namanya adalah Mark Twain dan Ernest Hemingway. Judul bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa, yang masih kuingat adalah Tom Sawyer, Lelaki Tua Dan Laut, 45 Detik Dalam Topan, Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari.
Ada dua cara yang bisa dipilih. Perdeo –prodeo yang artinya gratis- atau bayar. Bagaimana agar gratis? Kalau ingin gratis aku harus membacanya di ruangan itu. Ada kursi untuk duduk. Tidak ada tikar untuk lesehan.
Bagaimana kalau buku itu akan aku bawa pulang? Tentu saja harus membayar. Namaku dicatat oleh Kamaludin dalam buku daftar peminjam. Bayarnya belakangan, bersamaan dengan saat mengembalikan buku.
Aku lebih sering membaca disana. Aku lebih sering memilih yang gratis daripada yang berbayar. Terus terang saja aku tidak punya duit untuk membayar sewa buku. Jatah mingguan yang kuterima dari orang tuaku tidak menganggarkan sewa buku.
Disinilah sabarnya Kamaludin. Ia sudah sangat sering menungguku selesai membaca. Ia sering pulang pukul lima sore, bersama, padahal perpustakaan tutup pukul empat. Dan ketika aku mengembalikan buku sambil belum bisa membayar sewanya ia hanya tersenyum –atau kadang-kadang berkata, “Kalau sudah pulang kampung bayar ya…” hanya itu. Dan ia masih mengizinkan aku meminjam untuk dibawa pulang meski masih punya utang.
201611041309 Kotabaru Karawang
Komentar
Tulis komentar baru