Dapur, Kuda, dan Syair Didong
Oleh: Emil E. Elip
Dari ”dapur”-lah sesungguhnya sosialitas dan kebermasyarakatan orang Gayo, yang menempati di Kab. Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luwes sampai Kab. Singkil), dibentuk. Jangan lupa, iklim di Bener Meriah, Aceh Tengah, dan sebagian wilayah Gayo Luwes rata-rata dingin sepanjang tahun. Kalau kemarau tiba atau musim hujan datang, dinginnya sungguh tidak bersahabat. Bahkan di desa-desa orang keluar rumah selalu berbalut sarung, jaket atau selimut. Maka dapur adalah tempat paling hangat. Di dapur makanan diolah, sekaligus anggota keluarga, saudara, atau tetangga berkumpul menghangatkan diri bersama. Hidangan kopi Gayo tentu tidak ketinggalan untuk mempererat hangatnya suasana.
Pada saat itulah segala sesuatu diperbincangkan baik diantara keluarga inti dan atau keluarga luas, baik antar orang tua, orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, serta kepada saudara-saudara atau tetangga yang bertandang dengan segala macam urusan dan tentu saja harapan-harapan mengenai nilai-nilai keluarga, kemasyarakat, adat-budaya, dan bahkan soal tata politik lokal. Di sanalah setiap individu dibentuk kesadaran akan posisinya di dalam nilai struktur keluarga-keluarga mereka. Dari garis mana keluarga mereka berasal dan kepada siapa harus berhormat.
Ketika kehidupan kian kompleks, banyak orang Gayo mulai memiliki rumah beton, atau kalau yang kurang beruntung ekonominya, ukuran rumah lebih kecil karena semakin terbatasnya lahan untuk membuat rumah besar. Rumah-rumah lawas umumnya dari kayu papan. Namun begitu representasi ”dapur” tetap saja ada. Bagi yang rumahnya beralih menjadi beton/tembok tentu dapurnya tidak berbentuk tanah dengan tungku dan potongan kayu disekitarnya, tapi berubah keramik dengan kompor minyak atau kompor gas. Tapi tetap saja sampai saat ini, representasi ”dapur” hadir berubah menjadi tempat perapian semacam tungku sederhana, yang diletakkan di salah satu ruangan tempat keluarga tersebut berbincang-bincang, baik dengan anggota keluarganya sendiri atau saudara dan tetangga yang bertandang. Dari situ perbincangan apa saja pun dimulai, dan kopi tetap hadir memperhangat tali persahabatan dan persaudaraan.
Tanah yang datar dan relatif aman untuk tempat tinggal di pegunungan Gayo ini terbatas. Tanah semacam ini kian terfragmentasi dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendatang. Tidak mungkin lagi mendirikan rumah yang luas tempat bernaung keluarga luas. Rumah menjadi semakin kecil cukup hanya untuk keluarga inti, seiring dengan itu semakin banyak bentuk rumah-rumah petak dari papan. Di dalam rumah tipe semacam ini, meski dapur mungkin masih dari tanah dan tungku, tetapi hanya cukup untuk berkumpul keluarga inti. Dengan begitu apakah budaya ”dapur-tungku” lantas hilang? Jawabannya adalah tidak.
Berkumpul dan berdiang dihadapan tungku, atau api unggun, semacam sudah menjadi trade mark atau lebih tepatnya budaya orang Gayo. Di kampung- kampung atau desa-desa, di komunitas yang rumah- rumahnya petak papan, orang berkumpul di luar rumah sambil berdiang di api unggun. Di pos-pos ronda, atau persimpangan jalan kampung, di terminal, atau di sudut-sudut pasar, apalagi di kebun-kebun, beberapa orang berkumpul berdiang bersama api unggun hampir setiap hari apalagi pada musim-musim kemarau yang dingin. Di sanalah dialog tentang apapun digulirkan, diiringi dengan canda, dan tentu saja sang kopi hitam di hidangkan entah beli dari warung atau membuat sendiri dari rumah terdekat.
Budaya ”dapur” dan perapiannya ”tungku” (yang kemudian disebut ”dapur-tungku”) dibawa pula oleh para penggembala kuda ketika mereka mengelana di padang-padang penggembalaan yang banyak tersebar di wilayah Bener Meriah dan Aceh Tengah. Konon kabarnya dahulu ternak andalan orang Gayo adalah kuda. Jaman dulu hampir setiap keluarga petani memiliki kuda. Kuda menjadi bagian dari kehidupan budaya Gayo. Kuda-kuda ini tidak dikandangkan namun dibiarkan bebas di padang-padang penggembalaan sementara para penggembalanya mengawasi dari jauh.
Kuda bukan sekedar hewan ternak piaraan. Ada sebagian kuda yang dipelihara sebagai ”kuda pacu”. Maka itu semacam sudah tradisi sejak dulu, baik di Bener Meriah maupun Aceh Tengah, setiap tahun selalu diadakan pacuan kuda. Biasanya pacuan ini dilakukan pada saat perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Kuda-kuda yang menjadi juara pasti harga pasarannya melonjak, juga memberikan keuntungan dan prestise bagi pemiliknya. Bagi kalayak ramai yang menonton, terutama para ”game player” kuda-kuda inipun memberikan kuntungan.
Bagi sebagian orang Gayo kuda menjadi identitas pretise seseorang. Mungkin mirip dengan burung ”perkutut” di Jawa, dia menjadi bagian dari simbol prestise sebagian priyayi. Para pejabat pemerintah lokal yang berduit biasanya mencoba membeli kuda-kuda juara itu, dan tentu kuda-kuda ini semakin melambung harganya karena tidak hanya satu dua pejabat yang memburunya. Dan ketika kuda juara sudah berada di satu tangan pejabat, maka mulailah kuda itu masuk dalam sistem jaringan jual-beli klas tinggi seiring dengan naik-turun prestasinya bertempur dalam pacuan-pacuan berikutnya. Bergilirlah sang kuda itu dari satu tangan ke tangan para pejabat, cukong, atau para juragan-juragan kopi.
Kepanitian pacuan kuda melibatkan birokrat dan pejabat pemerintahan lokal karena memang dijadikan satu denga rangkaian perayaan Kemerdekaan RI. Dua sampai tiga minggu sebelum pacuan dimulai, sebagian pejabat memang agak susah ditemui karena sibuk mengurus sana-sini. Belum lagi jika sebagian dari mereka adalah orang-orang yang berkepentingan dengan tradisi pacuan dan prestise melalui pacuan kuda. Di berbagai tempat berkumpul, tentu saja juga di kedai- kedai kopi, orang sibuk diskusi membuka sejarah dan trac-record kuda-kuda kesohor, bagaiman dia perangainya, milik siapa kuda itu sekarang, siapa yang kira-kira akan menjadi jokinya, dll. Bagi para ”game- player” analisis dan isu-isu seputar kuda-kuda tadi menjadi penting, karena dari sana dia harus memasang ”kuda-kuda” untuk terlibat dalam permainan di balik pacuan itu sendiri.
Saat ini sudah tidak banyak orang memiliki atau beternak kuda. Seiring dengan kebutuhan dan kompleksitas masyarakat yang terus berkembang, muncullah usaha-usaha ternak lain yang lebih bernuansa ekonomis. Di antaranya adalah kian berkembangnya ternak kerbau dan kambing. Kerbau-kerbau inipun dibiarkan dipadang penggembalaan, ditunggui para penjaganya dari jauh di gubuk-gubuk papan tempat menginap mereka.
Pada malam-malam sepi yang dingin tentu saja para penggembala kuda jaman itu berkumpul berkelompok-kelompok dan berdiang di ”tungku api unggun”, memperbincangkan keluarga, pertanian, kopi, ternak kuda, karapan kuda, apa saja untuk membunuh dingin dan sang malam. Tentu tidak lupa bubuk kopi bekal mereka dibuat minuman kopi dan dihidangkan seiring gurauan mereka.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu tentu saja bahan perbincangan mulai membosankan dan itu-itu saja. Maka mulailah tercetus ide lain untuk melawan sang waktu, dingin, dan malam. Satu dua orang penggembala ini mulai ”bersyair”, dan seperti sifat dasar penggembala yang bebas dan egaliter, syair-syair mereka bernuansa bebas: kritik, sindiran, dan parodi.
Syair-syair parodi mereka muncul spontan dan langsung dilantunkan sesuai intonasi lagu-lagu tradisi lisan Gayo. Syair-syair itu memparodikan atau mentertawakan segala macam problema, seperti: kondisi lingkungan yang kian lama kian buruk, mengapa kuda-kuda sulit gemuk, petuah-petuah sekaligus sindiran perkawinan, cinta dan perselingkuhan, kehidupan bertani dan harga-harga yang tidak bersahabat, cerita-cerita kepahlawanan Gayo, tentang kehidupan beragama, kehidupan yang rukun dan bersatu, cerita tentang politik, korupsi, kepemimpinan dan pengkhianatan, dll.
Melantunkan lagu-lagu bersyair parodi akan semakin asik dan menumbuhkan gelak tawa penghiburan, jika dimainkan bersautan antar dua atau beberapa kelompok. Dahulu musik pengiringpun sederhana saja, tepuk tangan, memukul-mukul batu, atau memukul-mukul bilah kayu dengan irama-irama ritmis tertentu sesuai lagu yang dimainkan. Jadilah kemudian semacam kelompok musik syair yang sederhana. Masing-masing kelompok saling bersautan menggemakan gelak tawa di padang-padang penggembalaan.
Dari orang-orang atau kelompok penggembala Gayo ini tentu saja muncul satu atau dua orang yang cerdas mencipta syair-syair lisan dan sekaligus melantunkannya. Dia lah disebut chek, sang seniman musik-syair tradisi lisan ini yang tumbuh silih berganti dari generasi ke generasi. Chek ini biasanya kemudian menjadi ”panglima” (pemimpin) kelompok karena dari dialah arah substansi syair, nada pilihan lagu, bahkan dinamisasi kekompakan kelompok dimainkan.
Mem-”parodi”-kan Kehidupan
Setiap komunitas kebudayaan nampaknya mempunyai arena dan caranya sendiri dalam melakukan semacam ”refleksi-otokritik” atas perkembangan sosialitas masyarakatnya(1). Lenong dalam kebudayaan Betawi adalah semacam panggung tradisi lisan, dimana para aktor memainkan cerita- cerita rakyat yang diselipi dengan tema-tema kekinian yang terjadi di masyarakat berikut dengan pantun- pantun yang parodis, bahkan sifatnya sangat partisipatif dimana penonton bisa ikut berceloteh. Di komunitas-komnitas berbasis kebudayaan Melayu, tradisi lisan sahut-menyahut pantun sudah sangat merakyat, mulai dari pantun yang bermuatan syariat agama, kepahlawanan, petuah norma, sampai pantun parodi sosial bahkan yang menyerempet cerita ”jorok”.
Didong merupakan tradisi lisan parodis yang sangat melekat di hati masyarakat Gayo, dengan syair- syair yang sangat partisipatif terhadap kehidupan yang sedang berkembang. Sebagai contoh saja syair Didong ”Renggali” berikut ini, yang dibuat oleh Abdul Kadir seorang seniman tradisi lisan dan sejak muda sudah dikenal dengan ”chek kucak” (chek kecil)(2) , berikut syairnya :
RENGGALI
wahai renggali
yang harum harum harum mewangi renggali ini si tajuk hias
ini lagu baru dekat tengah malam wahai renggali
yang harum harum harum mewangi
ceh sekarang semakin banyak
tetapi lagunya banyak tak mengena
yang membeli kenderaan semakin banyak
tetapi minyaknya semakin menyala
wahai renggali
yang harum harum harum mewangi renggali ini si tajuk hias
ini laguku bukan harta pinjam benih sawah semakin banyak
tapi zakatnya semakin berkurang
(Terjemahan dari bahasa Gayo oleh L.K.Ara)
Renggali ini bukan sekedar syair, tetapi syair yang dilagukan. Coba kita simak bahwa setidaknya ada tiga tema sosial otokritik dari Abdul Kadir terhadap masyarakatnya. Pertama, cehk-cehk baru memang mulai bertambah banyak tetapi Abdul Kadir menganggap syairnya jelek-jelek dan tidak bermakna. Tentu saja secara tidak langsung dia juga ingin mengkritik bahwa menjadi cehk janganlah dengan cara instant tetapi perlu kesenimanan yang matang dan teruji. Kedua, Abdul Kadir ingin mengajak refleksi bersama atas kesadaran berzakat yang semakin berkurang padahal mungkin penghasilan dan harta semakain menumpuk, yang ditulisnya dalam bait benih sawah semakin banyak tapi zakatnya semakin berkurang.
Berikut ini petikkan sebuah syair Didong cukup panjang dari Abd. Rauf tahun 1978 berjudul ”Sedenge”(3) :
SEDENGE
Hoi, coba kenang masa silam orang muda beria senang
Suara-suara gemerincing, suara 'teganing' di pintu senja
Di ujung beranda, gempita, gemerlap
Bunga menguntai, rangkai
Hoi, betapa semaraknya tawa rayu, aduhai
Bercubitan manja jemari menari
Dalam cengkerama mengenang bunga 'renggali'
Yang baru dipetik di pematang
Hoi, cobalah kenang lagi istiadat di kampung halaman
Orang dulu berbasa tutur teatur mengangkat santun
Bertingkah cermat bagai bertongkat hakikat
Semua tergapai, rangkai
Hoi, dalam pesta pakaian gemerlap dengan sanggul adatnya
Saling mengenal rasa, pinang mimpi pun indah
Teriring kapur sirih jjelas dengan cerana tembaga, mama
Hoi, mengiring mempelai yang santai beramai-ria, aduhai
Mempelai bersunting merah kuning
Dengan wajah santun bagai disanding
Di atas pelamin, bergandeng
Hoi, insan yang berpikir, takdir kembalilah dari kelalaian
Di atas ilmu dalam akal di atas pematang di tengah sawah
Pada pikir dalam dada menimbang untung rugi,
Hoi, tertibnya tata kerama mengurai pikir, aduhai
Bunga disuntingnya merangkai pantunnya
Dunia para muda menjaganya kupiah yang teleng, sumbang
Hoi, masa yang silam orang muda dalam canda
Di tepian tak sembarangan para muda membagi kasmaran
Bagi kekasihnya bertutur adat bila di keramaian
Musti ditunda, pemali ya itu adatnya, merangkai
Hoi, kita tatap masa kini semrautnya, aduhai
Tiada batas, bebas Berakhir sesal
Bagai ayam meronta terbang, elang jalang
Hoi, orang dahulu dalam tatak-krama
Penuh sungkan adik-abang
Sekarang tak lagi berbeda, sayang
Yang terpandang anak dan bapak
Bercanda, biasa, biasa berbangkang, sayang sayang
Hoi, ketakburan yang angkuh pertanda kerugian, aduhai
Bertutur halus bertingkah lembut menghindar dari khianat
Bernasib bagai sampah isi keranjang, sayang
Hoi, himbauan terakhir
Kenanglah ibaratnya sanggan kacang
Tingkah pongah tak dianggap pesta pora mengundang murka
Bila sesat kembalikan sesal tanpa murka
Jangan menyimpang, sayang
Hoi, bila tiba bala terhadap saudaraku, aduhai
Tolonglah bantu Apa yang perlu
Saling merasa seia-sekata tanpa batas-batas
Hoi, bila dikenang adat dahulu mulia kita pandang
Kita pandang masa sekarang orang tua tinggal tercengang
Bila dikenang adat dahulu mulia kita pandang
Kita pandang masa sekarang
Hoi, bila ada rezeki sahabat pun ramai, aduhai
Tertawa angkuh bagai gemerincing uangnya
Bila papa melanda cuma kerabat yang sayang, menopang
Orang tua tinggal tercengang.
Syair di atas bermakna mengingatkan kepada kita tentang tata norma adat dan agama, pentingnya memperkuat tali persaudaraan, hubungan persahabatan, dll. Syair ini membandingkan ”masa lalu” dan ”masa kini”, namun tidak hendak mengindoktrinasi agar kembali ke masa lalu. Meski syair Sedenge ini sarat muatan makna, yang menarik di simak adalah ”bahasa”-nya yang dipakai begitu lugas apa adanya meski terangkai dalam koridor makna kesopanan. Itulah menurut penulis salah satu ciri Didong sebagai kesenian tradisi lisan yang lahir dari komunitas egaliter masyarakat dataran tinggi, yang sebagian besar petani, pemanfaat hutan dan penggembala, dan pekebun kopi Gayo.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, masa berganti masa, dan dikenalah seni tradisi lisan para penggembala itu dengan Didong. Seni ini terus bergema hingga kini, bertumbuh dari generasi ke generasi tidak hanya untuk kaum tua tetapi juga para muda Gayo. Seni yang dulunya dimainkan oleh kaum ”pinggiran” (para penggembala desa) itu kini merambah menuju pusat-elite: ke pesta-pesta perkawinan, di pertemuan-pertemuan resmi pemerintahan, di pesta-pesta apapun sebagai ungkapan rasa syukur, di upacara kemerdekaan, upacara-upacara pesta penyambutan tamu penting, dll. Dia menjadi ciri khas identitas kebudayaan Gayo(4) . Kini seni ini menjadi salah satu dari banyak seni tradisi kebanggaan Aceh, dan semakin kesohor di nasional bahkan vestifal-vestifal seni tradisi internasional. [###]
Yogyakarta, 2016
https://nawakamalfoundation.blogspot.com/
https://www.kompasiana.com/emil-e-elip
Catatan kaki:
(1) Masih banyak di wilayah-wilayah Indonesia yang memiliki tradisi semacam ini, yang berbentuk arena panggung “sandiwara” atau semacamnya sebagai media internalisasi nilai, norma sekaligus juga kritik parodis terhadap masyarakatnya sendiri.
(2) Lihat http://acehpedia.org/Abdul_Kadir
(3) Lihat blog dari LK. Ara (http://lkara2000.blogspot.com), seorang seniman Didong. Yang disajikan ini hanyalah terjemahan bahasa Indonesianya saja.
(4) Beberapa informan menceritakan bahwa pada mulanya Didong dimainkan dalam satu babak permainan hanya oleh satu kelompok. Kemudian berkembang dalam satu babak permainan dimainkan oleh dua atau lebih kelompok, dimana mereka saling bersautan mengisi syair-syair petuah, tuntunan-tununan kaidah hidup bermasyarakat, kepahlawanan, solidaritas, dll. Kini dikenal permainan Didong Jalu. Dalam satu babak dimainkan dua atu lebih kelompok, namun syair- syairnya cenderung berupa sindiran terhadap kelompok lawan, saling mencari sisi negative lawan, bahkan kadang-kadang mengungkan kebobrokan pribadi seseorang. Tidak sedikit orang yang merasa kurang “pas” dengan kecenderungan Didong dimainkan dann dilantunkan dalam babak Didong Jalu ini.
Komentar
Tulis komentar baru