Skip to Content

Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer

Foto ferliana ishadi

A. Silsilah

Ayah Pram bernama Mastoer ( lahir pada 05 Januari 1896 ), beliau adalah seorang guru, sedangkan ibunya bernama Oemi Saidah. Selain seorang guru, Mastoer pernah menjadi kepala sekolah Institut Boedi Oetomo dan aktivis PNI cabang Blora. Sementara itu, Oemi Saidah atau Siti Kadariyah lahir pada tahun 1907. Saidah adalah anak penghulu Rembang yang bernama Haji Ibrahim dengan istri selirnya Satimah. Kakek Pram dari garis ibu mengambil selir disebabkan ia sudah dua kali ditimpa kemalangan, yaitu kematian istrinya. Menurut nasihat "orang pintar", perkawinannya bisa selamat jika menikah keempat kalinya. Jadi sebagai selingan, ia mengambil selir bernama Satimah, nenek Pram.

Saidah lulus HIS pada 1992. Sayangnya, ia tidak mendapatkan izin melanjutkan studi ke Van Deventerschool (sekolah kerajinan untuk gadis) di Semarang seperti yang diharapkannya. Penyebabnya adalah ia sudah bertunangan dengan guru Mastoer yang tidak bersedia menunda perkawinannya lebih dari satu tahun. Perkawinan Mastoer dengan Saidah yang konon baru berumur 15 tahun berlangsung pada tahun 1922.

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 06 Februari 1925 di Kampung Jetis, Blora, Jawa Tengah, sebagai anak pertama. Ibunya selalu memberikan semangat hidup kepada Pram. Salah satu pesan dari ibunya kepada Pram adalah mendorongnya agar menjadi orang yang mandiri dan kuat.

B. Masa Kecil

Masa kecil Pram banyak berada di daerah Blora. Ki Panji Konang yang pernah menjadi teman Pram sewaktu kecil di sekolah angka tiga, bertutur bahwa Pram sewaktu habis pelajaran sekolah sering mengajak teman - temannya bermain di halte pasar Blora. Di sana, mereka diajak Pram utnuk mencari bungkus rokok. Bungkus - bungkus rokok tersebut kemudian dijadikan mainan, tetapi kebanyakan oleh Pram dibuat alas untuk menulis.

Ada pula data yang menyebutkan tentang masa kecil Pram sangat tertindas, terutama oleh perlakuan ayahnya yang terlalu keras dan berdisiplin tinggi. Pram pernah dikatakan sebagai anak goblok karena pernah tidak naik kelas hingga tiga kali sewaktu masih sekolah dasar. Saat ingin melanjutkan ku MULO (setingkat SMP), Pram ditentang oleh ayahnya yang mengatakan dirinya adalah anak bodoh, tidak pantas melanjutkan sekolah, dan lebih baik kembali mengulang di sekolah dasar. Kondisi tertekan yang terus - menerus karena perlakuan ayahnya mengakibatkan psikologis Pram labil di masa kecil. Kemudian, hal ini menyebabkan pergaulan Pram semasa kecil pun bukanlah dari kalangan menengah ke atas melainkan kalangan masyarakat bawah, seperti anak petani dan anak buruh di desanya. Ia merasa lebih bisa menjadi manusia ketika bersama dan bermain dengan mereka ketimbang harus bersama dan bermain dengan anak - anak kalangan terdidik menengah ke atas.

C. Masa Pendidikan

Pram mulai pendidikan formalnya di SD Blora, Radio Volkschool Surabaya pada tahun 1940 - 1941. Kemudian, melanjutkan ke Taman Dewasa/Taman Siswa pada 1942-1943. Lantas, ke Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo dan sekolah Stenografi 1944-1945, dan pernah ke Sekolah Tinggi Islam Jakarta, pada 1945.

D Masa Berjuang dan Bekerja

Di masa muda ketika kondisi negara sedang dijajah, Pram melakukan perjuangan membela bangsanya melawan penjajah, baik Belanda, Jepang, maupun Belanda dengan sekutunya yang ingin kembali menjajah ketika Indonesia telah merdeka pada 1945. Pram sering mengikuti kelompok militer di Jawa dan ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Hasil dari perjuangannya tersebut, ia ditahan oleh penjajah selama 2 tahun pada 1947-1949.

Selain berjuang untuk negaranya, ia juga berjuang untuk keluarganya. Bentuk perjuangan Pram untuk keluarganya sangat berat bahkan ketika ia masih muda belia. Ayahnya yang kecewa dengan gerakan nasionalis jatuh dalam dunia ceki sementara ibunya jatuh sakit. Keadaan ini memaksa Pram mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan delapan adiknya. Dia terpaksa naik sepeda ke Cepu untuk mencari dagangan rokok dan tembakau. Selain berjual rokok dan tembakau, Pram juga berjualan benang tenung.

Namun akhirnya, nyawa ibunya tidak dapat ditolong lagi, ibu Pram meninggal dunia pada usia muda, yaitu sekitar 34 tahun, sementara dirinya masih berusia 17 tahun. Kemalangan dan ujian hidupnya bertambah ketika adiknya, Soesanti yang baru berumur tujuh bulan tidak selang lama kemudian meninggal dunia. Pada usia tersebut, ia harus menanggung beban menghidupi adik-adiknya yang berjumlah 7 orang.

Untuk menghidupi semua kebutuhan keluarganya, Pramhijrah ke Jakarta dengan membawa serta semua adik-adiknya. Di Jakarta, Pram sambil berusaha meneruskan sekolah, juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan adik-adiknya. Pada awalnya, ia bekerja sebagai wartawan di kantor berita Jepang, Domei. Kemudian, ia belajar mengetik cepat untuk menjadi stenograf, lantas menjadi jurnalis yang handal.

Selain itu, ada beberapa data menyebutkan bahwa Pram mempunyai riwayat sebagai seorang militer. Data tersebut menyebutkan bahwa pada Oktober 1945, Pramoedya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Teruna (kemudian menjadi inti divisi Siliwangi) sebagai prajurit II. Dalam waktu singkat, ia menjadi sersan mayor.

Semasa tugasnya di Cikampek, Pram menyempatkan diri menulis naskah Sepuluh Kepala Nica, selain membuka tama bacaan untuk resimen yang berisi koleksi buku - bukunya sendiri. Akan tetapi, naskah tersebut hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta.

Pada saat di Jakarta, Pram bekerja pada "The Voice of Free Indonesia", yang mana roman Di Tepi Kali Bekasi mulai disusun dan diterbitkan (yang diterbitkan saat itu adalah fragmen Krandji-Bekasi Jatoeh). Selain itu, ia mendapat tugas dari atasannya untuk mencetak pamflet dan majalah perlawanan untuk disebarluaskan. Semua itu terjadi ketika Belanda mulai melakukan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Dua hari kemudian Pram tertangkap marinir Belanda dengan surat-surat bukti di dalam sakunya. Ia disiksa satu pleton marinir totok, indo, dan Ambon. Barang-barang dirumahnya disita, dimasukkan ke dalam tahanan tangsi di Gunung Sahari dan tangsi polisi di Jagomonyet (seperti diceritakan dalam Pertjikan Revolusi). Akhirnya, ia dipenjara di Bukit Duri tanpa proses yang wajar dan selanjutnya di Pulau Damar (Edam).

Akhirnya pada 03 Desember 1949, Pramoedya dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Peristiwa itu adalah konsekuensi dari dicapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar dan penjajahan kolonial Belanda pun berakhir. Namun secara paradoksal, Pram justru melihatnya sebagai kekalahan Revolusi. Naiknya sang Merah Putih tak lebih dari hasil kompromi kalau bukan kapitulasi melalui KMB, bukan hasil perjuangan revolusi.

Dari sinilah kita mengetahui bahwa sejak kecil dan masa remajanya banyak dihabiskan Pram untuk perjuangan dan pengorbanan yang besar, bukan saja harus bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, melainkan pula berjuang melawan penjajah. Ia bahkan harus rela ditahan dan ditangkap oleh pihak Belanda. Pram telah mencontohkan kepada kita semua bagaimana menjadi pemuda yang berguna bagi keluarga dan negara di tengah himpitan ekonomi, psikologi, dan politik. Ia adalah pemuda sebagai suri tauladan yang kuat dan sulit kita tandingi.

Pada tahun 2006, tepatnya pada 30 April 2006, Pramoedya Ananta Toer wafat dikarenakan serangan Diabetes, sesak napas, dan jantung.

 E. Penghargaan yang Diperoleh Pramoedya Ananta Toer

1. Pada 1951 : First Prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)

2. Pada 1953 : Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)

3. Pada 1964 : Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales from Jakarta)-declined by writer.

4. Pada 1978 : Adopted member of the Netherland Center During Buru exile.

5. Pada 1982 : Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia.

6. Pada 1982 : Honarary member of the P.E.N. Center Sweden.

7. Pada 1987 : Honarary member of the P.E.N. American Center, USA.

8. Pada 1988 : Freedom to Writer Award from P.E.N. America

9. Pada 1989 : Deutschsweizeriches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.

10. Pada 1989 : The Fund for Free Expression Award, New York, USA.

11. Pada 1992 : International P.E.N. English Center Award, Great Britain.

12. Pada 1995 : Stichting Wertheim Award, Netherland.

13. Pada 1995 : Ramon Magsaysay Award, Philiphine.

14. Pada 1995 : Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981) dan UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996).

Daftar Acuan :

Rifai, Muhammad. 2010. "Biografi Singkat 1925-2006, Pramoedya Ananta Toer". Jogjakarta: Garasi House of Books.

 

 

F. Warisan

Pramoedya Ananta Toer meninggalkan warisan tidak hanya pada keluarga, Blora, kalangan sastrawan, aktivis pergerakan, tetapi pada kita semua umat manusia, yang harus memiliki kesadaran mengembangkan dan melanjutkan warisan tersebut. Warisan tersebut adalah perjuangan akan nilai-nilai kemanusiaan tanpa pernah lelah dan terus bergerak.

Berikut daftar karya Pramoedya Ananta Toer :

  • Ø Karya Fiksi

Sepuluh Kepala Nica (1946), Krandji-Bekasi Djatoeh (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Dia yang Menyerah (1950), Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi, Percikan Revolusi (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Tjerita Dari Blora (1952), Gulat di Djakarta (1953), Korupsi (1954), Midah Si Manis Bergigi Emas (1955), Sunyi Senyap di Siang Hidup (1956), Tjerita dari Djakarta (1957), Tjerita Tjalon Arang (1957), Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958), Gadis Pantai (1962), Panggil Aku Kartini Sadja I, II, III, IV (1965), A Heap of asheas (1975), Bericht uit Kebayoran (1978), Verloren (1978), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Sang Pemula (1985), Rumah Kaca (1988), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), Mangir (2000), Larasati (2000), Manggelinding I, Jalan Raya Pos, Jalan Daendeles.

Sementara itu, karya puisinya di antaranya Antara Kita (Siasat) (1949), Anak Tumpah Darah (Indonesia, 1951), Kutukan Diri (Indonesia, 1951).

G. Ciri Khas Karya Pramoedya Ananta Toer Sebagai Sastrawan

Apa yang menjadi ciri khas dari karya Pramoedya, yang membedakan karya-karya sastrawan di Indonesia lainnya ?

Disebabkan Pramoedya telah dipengaruhi oleh sastrawan luar negeri dan sastrawan dalam negeri terutama bagaimana para sastrawan tersebut menjadi guru Pram. Tetapi, apa yang menjadi keunikan dari karya-karya Pram, di bagian inilah akan menarasikan apa yang menjadi ciri khas dari karya-karya Pram.

Setidaknya menurut sumber tulisan ini ada beberapa hal yang menjadi ciri khas karya Pram, sebagai berikut :

Pertama, persoalan tema biografi. Kebanyakan dari karya Pram adalah menceritakan seorang tokoh atau riwayat seseorang atau sebuah keluarga. Hal itu bisa kita temui dalam karya seperti tetralogi, Panggil Aku Kartini Saja, Larasati, Jejak Langkah, Arok-Dedes, Arus Balik, dan beberapa karya lainnya, seperti Bukan Pasar Malam maupun Korupsi. Kalaupun bukan biografis biasanya adalah semi-otobiografis. Jadi, kalaupun bukan biografi dari seorang tokoh seperti Tirto Adhi Soerjo, Kartini, atau semi-biografi dirinya sendiri ataupun dari keluarganya, baik itu nenek, ibu, maupun tetangganya.

Kedua, karya-karya Pram kebanyakan menguraikan persoalan sejarah. Baik itu sejarah pada zaman Majapahit, zaman Demak, seperti dalam karya Arus Balik, Arok-Dedes, Panggil Aku Kartini Saja, atau dalam sejarah perjuangan melawan penjajah, sejarah revolusi, sejarah pergerakan, seperti dalam karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi, dan lain sebagainya.

Ketiga, karya-karya Pram kebanyakan bertendensi pada kemanusiaan, nilai-nilai humanis dalam setiap zaman manusia selalu bergerak atas nilai tersebut dan berbenturan dengan nilai tersebut pula. Namun, harus dibedakan nilai humanis yang kerap digarap Pram dengan  nilai humanis yang digarap kalangan Manikebu (Manifestasi Kebudayaan). Nilai humanis yang digarap Pram adalah nilai humanis realis. Nilai humanis realis memang dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam Lekra. Namun begitu, karya Pram tetap memberikan jarak atas kerja dan gerakan organisasi tersebut. Humanis realis Pram tidak dikendalikan oleh garis politik Lekra dan garis politik PKI. Pergulatan personal Pram atas kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik adalah nilai humanis itu sendiri.

 


info sastra berikut ini lebih terbilang lengkap dibandingkan info yang saya catat kemarin.... :)

Komentar

Foto Fina Chairani

Komentar

Biografinya singkat, padat, dan jelas.

Bisa buat tugas biografi penulis angkatan 60' nih...

Foto Fina Chairani

Singkat tapi mengena....

Singkat tapi mengena....

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler