Skip to Content

Cerpen Racun untuk Tuan : Tembakau Saksi Bisu Sejarah

Foto Dezi Nusa Putri

Cerpen Racun untuk Tuan : Tembakau Saksi Bisu Sejarah

Oleh

 Dezi Nusa Putri

Cerpen ( Cerita Pendek ) adalah salah satu bentuk karya fiksi memiliki manfaat bagi pembacanya yaitu sebagai media dalam mengungkap sejarah yang pernah terjadi di Indonesia . Hal inilah yang dilakukan oleh seorang cerpenis M. Iksaka Banu yang memang karya-karyanya dilatar belakangi oleh sejarah di Indonesia, dan bisa dibilang inilah keistimewaannya. Salah satu karyanya yaitu cerpen Racun untuk Tuan yang dimuat dalam Koran Tempo pada tanggal 27 Februari 2011.

Terpilihnya cerpen Racun untuk Tuan bukan tanpa alasan , karena cerpen ini memiliki keterikatan sejarah yang yang terjadi di Indonesia yang didukung dengan beberapa fakta yang sampai saat ini masih sering terulang. M. Iksaka Banu sendiri tidak dapat diragukan dalam dunia kesusastraan Indonesia,hal ini terlihat dari beberapa karyanya yang berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20 cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana  tahun 2008 dan 2009 yang dilatar belakangi oleh sejarah.

Cerpen karya M. Iksaka Banu yang berjudul Racun untuk Tuan menceritakan fakta sejarah yang pernah terjadi yaitu bagaimana seorang nyai diperlakukan tidak adil oleh seorang tuan yang berasal dari Holland atau belanda yang pada waktu itu menetap di sebuah perkebunan tembakau terpencil di kota Deli provinsi Sumatra Utara yang memang pada waktu sedang dijajah oleh belanda.  Cerpen ini meceritakan adanya seorang sosok nyai yang merupakan peran pendukung utama yang mengisi keseharian tuan-tuan belanda yang bertugas di Deli. Bisa disumpulkan pada masa penjajahan konflik yang muncul bukan saja tentang kekuasaan namun wanita pun merupakan unsur terpenting yang membuat para tuan – tuan belanda itu dapat bertahan di Deli , Sumatra Utara. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji cerpen Racun untuk Tuan karena didalam cerpen tersebut mengandung unsur Poskolonial yang memang sangat kental,dimana yang menjadi objeknya adalah kaum wanita pribumi.

Bahasa yang digunakan dalam cerpen Racun untuk Tuan membangunkan imajinasi namun tidak membangkitkan emosi pembaca. Hal ini terlihat dari kata-kata yang dipilih oleh pengarang sehingga dengan mudah pembaca memahami latar dari  cerpen tersebut, yaitu gambaran daerah perkebunan tembakau di kota Deli provinsi Sumatra Utara dan Negara Belanda ( rumah keluarga tokoh Tuan) dan latar budaya masyarakat serta ke khas-an daerah tersebut tanpa harus dijelaskan secara gamblang. Berikut kutipan :

Langit Spijkenisse beranjak merah, cuaca dingin berangin. Di seberang sungai, sebuah kincir angin tua berputar pelahan menimbulkan derak berulang yang mencemaskan.

Kutipan diatas merupakan penggambaran gambaran tentang keadaan Sungai Oude Maaspad yang mengidentifikasikan kata kincir angin yang memang menjadi ciri khas Negara Belanda.

Namun kata-kata yang dipilih pengarang kurang menimbulkan emosi pembaca, mungkin hal ini terjadi karena pengarangnya seorang pria sehingga kepedihan yang dirasa oleh tokoh Imah yang menjadi koban ketidak adilan kurang tereksploritasi sebagaimana yang dikisahkan. Mungkin berbeda jika seorang wanita yang mengarangnya pasti kepedihan akan diangkat lebih mendalam.

Bila dikaitkan dengan jenis tokoh dalam cerpen maka karya M.Iksaka Banu ini termasuk kedalam jenis tokoh utama vs tokoh bawahan. Pengarang dalam menggambarkan watak tokoh melalui pengungkapan secara tidak langsung yang tersirat melalui dialog , hal ini dipilih agar pengarang tidak perlu memberikan banyak penggambaran tentang watak tokoh sehingga akan mucul saat ucapan-ucapan dan adegan yang dilakukan oleh para tokoh dalam cerpen tersebut. Berikut kutipannya :

 Pagi-pagi buta, seluruh pelosok ruangan sudah rapi dan bersih. Di meja makan terhidang kopi panas kental, lengkap dengan roti panggang, selai, dan telur rebus.

Pemaparan diatas menunjukan bahwa seorang Imah sangat rajin dan cekatan dalam merawat tuan, karena itulah Tuan sangat menyukainya.

Pada bagian pengaluran cerpen Racun untuk Tuan karya M. Iksaka Banu ini terdapat dua pengaluran yaitu kilas balik dan sorot balik, dimana pada pengaluran kilas balik menceritakan kegiatan Tuan bersama Imah tiap harinya . sedangkan pengaluran sorot balik menceritakan awal mula Imah hadir dalam kehidupan tuan , secara tidak langsung pada bagian ini terkuak kebiasaan para tuan-tuan belanda pada masa penjajahan tersebut . Berikut kutipannya :

YA, mana mungkin ia, dan mungkin seluruh penduduk Hindia Belanda ini paham, betapa seorang pegawai swasta seperti aku sanggup hidup terpisah ratusan kilometer dari tanah air di Eropa. Lepas dari bangsanya, lepas dari peradaban, untuk ditempatkan di sebuah perkebunan tembakau terpencil di Deli? Aku memang tak akan sanggup… bila hanya sendirian. Minggu-minggu awal sebagai asisten administratur merupakan masa tersulit dalam hidupku. Ada perasaan terkucil, sepi, gelisah, yang sangat mengganggu sebelum aku berhasil memicingkan mata setiap malam. Mungkin lantaran masih terbawa sisa masalah dalam sehari: menghukum kuli pemberontak, memberi sanksi kepada tandil yang malas bekerja. Memastikan bahwa siklus pekerjaan berputar sempurna agar pasar tembakau di Eropa mendapat pasokan cukup.

Pemaparan diatas menggambarkan bahwa para Tuan Belanda tidak bisa hidup tanpa wanita untuk memuaskan hasratnya oleh karena itu banyak dari mereka menikahi wanita pribumi. Lalu dari hal diatas juga terlihat kekejaman para penjajah saat itu.

Pada cerpen Racun untuk Tuan sepertinya M. Iksaka Banu memiliki penyampaian yg agak berbeda, mengapa demikian karena bila kita lihat lebih cermat yang menjadi objek dalam cerpen ini adalah tokoh Imah namun yang lebih banyak menceritakan dan mengungkapkan kepedihan yang dirasa imah adalah tokoh Tuan . Oleh karena itulah pembaca berada pada sudut pandang Tuan sehingga emosi pembaca tidak sampai pada penderitaan wanita pribumi yang diperlakukan secara tidak adil yang diwakili oleh tokoh Imah.

 

Dari pemaparan semua unsur diatas bisa disimpulkan bahwa cerpen Racun Untuk Tuan ini mengangkat konteks historis tertentu yang menaungi kota Deli (Sumatra Utara) yang memang merasakan dampak-dampak dari penjajahan Belanda itu sendiri yaitu, adanya penjajahan antar ras dan kesenjangan antara masyarakat pribumi dengan para kolonial-kolonial Eropa, kawin kontrak dimana yang menjadi korbanya adalah wanita pribumi. Cerpen M. Iksaka Banu juga bisa menjawab permasalah kawin kontrak yang memang sampai saat ini fenomena itu masih berlajut , mungkin ini bisa kita jadikan referensi asal mula terjadinya kawin kontrak.

 

 


cerpen karya M. Iksaka Banu yang berjudul Racun untuk Tuan yang diterbitkan pada Koran Tempo pada tanggal 27 Februari 2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler