Skip to Content

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

Dari blog CANNADRAMA

ANAK MANUSIA

anak-anak
bukan
anak-anak

Kemayoran,  2011-2017
#puisipendekindonesia 
-----

Lha.  Pagi ini, Rabu, akhir bulan, 28 Februari,  2018 saya menemukan status media sosial facebook yang menggelitik. Otomatis saya ada niat mengomentari meskipun selintas. Sebab,  setidaknya tiga status dari tiga orang berbeda tersebut memiliki keumuman persoalan. Pasti menjadi perhatian banyak orang sampai kapanpun.

Pertama,  ini status dari Hakimi Sarlan Rasyid. Statusnya begini:
"Lihatlah Chairil Anwar dari sisi Do'a, betapa indah pengakuan tentang dirinya yang "la hawla wa la quwwata illa bi llah"

DOA

Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mngetuk
aku tidak bisa berpaling
---

Chiairil Anwar memang binatang jalang karena pemberontakannya atas cara berpuisi yang ada waktu itu.
Mengapa Chairil Anwar dicecar sedemikian rupa seolah-olah anjing kudisan yang menjijikkan.
Adakah penelitian yang membuktikan bahwa Chairil Anwar telah ada sastrawan Indonesia yang menjadi binatang jalang.
Li sajidin ...bukan hanya 11 bintang ... bulan dan matahari -yang melambangkan 11 saudara serta ayah bundanya- akan sujud kepadanya (Yusuf) ... li sajidin ... sujud kepadaKu (Allah) itu hakikatnya.
Lagi pula mana ada di semesta alam ini yang tidak tunduk dan bertasbih kepada Allah. (Al A'la)
Dan mana ada di dunia ini yang bukan ayat/tanda Allah".
-----

Karena bermaksud berkomentar sesingkat mungkin,  maka inilah komentar saya di akun tersebut:
"Tentu beda. Firaun saja yang menolak eksistensi Yang Maha Esa dan Mulia, masih bisa dilihiat kebaikannya, minimal cara mengunyah makanannya di mulut (termasuk pakai tangan kanan).

Pada Chairil berlaku etika kelayakan manusia. Dihikmati kebaikannya, tertolak kekurangannya. Itu biasa. 
Dua sosok, Firaun dan Chairil jelas beda sebagai TANDA DARI ALLAH. Tanda yang selalu berisi pesan firman.

Persoalannya, antara Chairil baik dan Chairil berkekurangan itu, ada yang coba mempertimbangkannya, dalam bahasa yang serius, dalam kerangka kelaziman itu.

Pendeknya, orang-orang, siapa saja, terus berfikir tentang kesemestian orang. Kemanusiaan. Yang lemah di hadapan Allah. Apalagi Chairil dibintangkan.  Dia akan selalu berposisi di ujung komentar dan kritik banyak pihak. Sampai-sampai fikiran kritis menukik, puisi bagus itu jangan pernah lepas dari karakter bagus penyairnya, begitupun sebaliknya". 
-----

Kedua,  giliran status facebook RgBagus Warsono yang menarik minat saya.  Ini statusnya:
"Bangsa kita tak mengajari berjudi. Sabung ayam adalah kebudayaan rakyat Indonesia warisan nenek moyang".

Status ini dilengkapi gambar sabung ayam.
-----

Kembali,  berniat ngasih komentar singkat,  saya menulis begini:
"Ketika sabung ayam diposisikan sebagai kesenian yang berbudaya, dia seperti tinju pada manusia. Ya,  tinju yang dipuji-puji Amin Rais itu. Tentu prinsipnya, haram ada ayam atau binatang apapun, diadu sampai mati. Maka jika begitu, itu adalah karya pertunjukkan sekaligus trik mengasah ketajaman jago, pemenang, dalam mengeksploitasi gerak yang efektif, dan eksotis.

Filosofinya ada. Hadir. Berbuat. Trampil. Bermartabat dan bermanfaat. Menang.

Sayangnya posisinya beda jauh antara lomba sabung ayam dan judi sabung ayam. Yang satu terbuka dan penuh etika. Yang kedua liar dan penuh tipu muslihat.

Yang utama otokritik kita, jangan siksa binatang apapun. Pakailah rasa. Jangan paksa bertikam sampai nyeri demi kepuasan mata dan nafsu manusia, apalagi sampai mati. Kuatkan aturan main. Jangan pakai belati di kaki yang bikin luka-luka tambah celaka dan binasa.

Bagi yang tetap menolak,  tidak suka pertunjukan sabung ayam, kita hormati. 

Termasuk,  jangan adu anjing dan babi sampai babinya mati. Kecuali dalam upaya mengusir perusak tanaman pertanian. Meskipun dengan alasan,  babi itu binatang haram sekalipun. Sebab logika normalnya, binatang tidak mesti disiksa begitu. 
-----

Lalu yang ke tiga status dari Cunong Nunuk Suraja:
"Ketika para gaek merasa abege mencoba membuat gerakan pembaruan dunia sastra Indonesia ternyata terjerat serat optik berlabirin".
------

Demi membaca status yang ke tiga ini saya membuat pengandaian yang jauh,  untuk persoalan yang mirip. Maka wajar komentar saya jadi melebar.

Saat ini, rasanya hari dan jam lebih pendek. Buktinya para remaja menganggap lagu-lagu tahun 2000-an masuk katagori lagu jadul banget. Di luar selera. Tidak menunjukkan cerminan jaman baru yang dinamis,  sensasional dan hebat. Bahkan semua kesenian apapun diperlakukan sama. Padahal tahun 2000 itu baru kemarin sore.

Yang lucu,  para calon kepala daerah, calon legislatif, dan calon presiden,  yang sedang berkampanye malah jadi tebiasa menjeburkan diri 100% menjadi ABG (Anak Baru Gede). Seolah-olah dosa besar tanpa menjadi masa kini yang seperti itu. Ditunjukkan pula oleh para kepala dinas dan aparatnya. 

Padahal tahun 1994 ketika saya mulai jadi manajer radio di usia belum sampai 25 tahun, belum kawin, saya masih bikin format program radio dengan memutarkan musik-musik tahun 60-an. Bahkan untuk acara tertentu ada yang lebih lama dari itu,  yang sering disebut musik pop awal merdeka. Kok bisa sejauh itu rentang apresiasinya? Dan gak ada istilah,  "Itu musik babeh gue".

Sampai-sampai saya bahas berulang-ulang di acara Apresiasi Seni, Amerika dan Ingris itu paling senang bilang,  inilah inspirasi dari Amerika,  dari Eropa! Keberangkatan yang besar. Masa lalu di masa depan. Seakan-akan tak ada sebutir pasir pun peninggalan masa lalu mereka yang terbuang. Mereka butuh bilang,  semua sudah dimulai dari sini!  Ini dan itu buktinya!

Tetapi di Indonesia,  sekuat apapun kita teriak begitu soal masa lalu kenusantaraan kita,  mentok di era 2000 yang menolak trsdisi. Ya,  ramai-ramai para tokoh pembaharu kesiangan, didukung orang-orang jadul yang berkepentingan,  memihak masa kini yang terputus dari masa lalunya.  Nebeng arus reformasi, menjadi semacam revolusi total. Tak ada masa lalu.

Menghidupkan dan menghipnotis generasi emas dengan melupakan generasi emas yang inspiratif di masa silam. Indonesia Raya yang super ketika itu. Bukankah Bung Karno, Pak Harto, dll itu generasi emas yang sukses?

Padahal menolak tradisi itu ada prinsipnya. Yaitu untuk sesuatu yang dianggap benar dan mulia di masa lalu,  tetapi pada kesadaran berikutnya hal itu menunjukkan tanda-tanda kekeliruannya. Tentu dengan permakluman,  generasi silam itu benar-benar tidak tahu.

Satu contoh, di masa lalu mungkin ada masyarakat yang mengadu-ngadu anjing dan babi sampai babinya mati. Dianggapnya itu benar dan bernasehat mulia. Itu kesadarannya. Tetapi tafsir modernnya telah berubah. Babi-babi itu kini eksotik juga di kebun binatang. Soal nasehat,  "Jangan berlaku haram seperti kelakuan babi",  itu masih bisa disosialisasikan dengan cara berkesenian dan berkebudayaan yang lebih baik. Satu strateginya,  kita katakan, "Hebatnya orang dulu itu,  tidak mau berbuat haram, berprilaku seperti perlambang babi". Inilah kecerdasan dan kearifan lokal itu.

Apalagi adu babi dengan anjing itu memang pada awalnya untuk memberitahu masyarakat cara melatih ketangkasan anjing penjaga kebun petani. Termasuk melatih sang pemilik anjing mengasuh anjing-anjingnya. Tentu ada aturan mainnya. Termasuk ketika harus memilih anjing yang paling jagoan, sekaligus terlatih. Liar dan sangar saja belumlah cukup untuk seekor anjing penjaga. Anjing pemburu. Dia harus dekat dan sehati dengan manusia.

Dari kacamata Islam,  ini menarik,  sebab anjing dan babi sama-sama disebut haram. Esensinya,  manusia jangan berwatak babi atau berwatak anjing. Daging tubuh manusia harus halal. Manusia mesti jadi manusia saja.  Jangan jadi binatang.  Manusia yang baik dan mulia.

Saya tergelitik pada cerita di balik lagu Genjer-Genjer (Bing Slamet lalu Lilis Suryani). Lagu itu memang bisa didekatkan pada gerakan PKI pada masanya,  sebab itu lagu rakyat yang kepalang populer,  pssti didekati oleh siapa saja pemegang gerakan rakyat. Setidaknya untuk memetik simpatik. Padahal itu lagu biasa saja. Lagu rakyat yang bisa dinyanyikan dalam nada dan sikap yang normal.

-----
Dari DetikNews (http://m.detik.com) coba kita tengok lagu genjer-genjer ini:

Versi asli sesuai ejaan Bahasa Using Banyuwangi

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih

Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah

Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega

Terjemahan Bahasa Indonesia

Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Genjer-genjer di petak sawah berhamparan
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Ibu si bocah datang mencabuti genjer
Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat
Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang

Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ditata berjajar diikat dijajakan
Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak

Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi
---

Orde Baru punya trauma tersendiri,  jangan-jangan kalau lagu itu muncul,  berarti PKI siap-siap bangkit. Sebagai kode waktu, logikanya memang ada. Masuk akal. Rasa lagu itu bisa membawa rasa masa pergerakan PKI. Era populernya. Apalagi disebut-sebut sering dinyanyikan pada acara resmi pertemuan kader PKI. Tetapi sesungguhnya sebagai sebuah lagu,  itu lagu biasa saja sebenarnya. Bukan lagu PKI. Termasuk ketika masyarakat menyangka, pencipta dan orang-orang di belakang dapur rekamannya ada yang PKI sekalipun. 

Kita malah takut kalau ada yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila tetapi sambil bikin rusuh,  bikin onar,  dan seterusnya. Jauh dari wibawa lagunya.

Kita memang perlu melihat masa lalu secara utuh dan menyeluruh.  Bersikap dari prinsip-prinsip yang tepat agar tidak menipu. Di satu sisi kita memang tegas menolak masa lalu yang keliru,  tetapi di sisi lain, masa depan jangan bunuh diri,  terbaca dari proklamasi kemerdekaan kita, spirit masa depan dari masa lalu itu.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

  1. Khusus untuk alinea ini :

    Pendeknya, orang-orang, siapa saja, terus berfikir tentang kesemestian orang. Kemanusiaan. Yang lemah di hadapan Allah. Apalagi "Chairil dibintangkan". Dia akan selalu berposisi di ujung komentar dan kritik banyak pihak. Sampai-dampai fikiran kritis menukik, puisi bagus itu jangan pernah lepas dari karakter bagus penyairnya, begitupun sebaliknya".

    Kata "dibintangkan" setelah Chairil, "dibintangkan" atau "dibinatangkan".

    Terima kasih, terima kasih, dan mohon maaf.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler