Skip to Content

This is a short Story :)

Foto Athena

My Destiny, Mak?

 

 

            Kanza, menatap langit hitam dengan bintang yang senasib dengannya dalam sendiri. Sudah tengah malam, ia masih belum ingin merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya menerawang, pikirannya mengawang. Teringat segala tetek bengek seharian tadi yang menganggu pikirannya. Masnya yang tak berhenti mengganggu dengan menyalakan musik keras-keras, Ibu yang sedang sakit, dan ditambah lagi mak yang mengatakan sesuatu yang ia anggap masa depannya.

            Siang hari, Kanza memijat mak di beranda. Mak bercerita tentang masa lalunya sebagai gadis desa incaran para pemuda. Dulu. Kanza tersenyum penuh simpati sesekali tertawa mendengar gurauan lucu saat mereka mak digoda. Kanza menikmati cerita mak, ia paham mak sedang mengenang ‘masa kejayaannya dulu’, tak berani Kanza untuk menyela atau bertanya, melihat maknya yang begitu bersemangat.

            Mak berhenti bercerita,

            “Don, Mak sudah banyak cerita,gimanaa? Sudah punya pacar belum?” Kanza terkejut atas pertanyaan mak yang tiba-tiba itu. Namun teringat tentang seorang yang menjadi ‘musuh’nya, Kanza langsung tertawa.

            “Haha, Mak tau sendiri aku gak tertarik sama yang begituan, ada juga yang bikin aku tertarik buat bogem dia.” Ujar Kanza, tangannya mengepal tinju.

            “Lho, kok begitu, Don?”

            “Gak papa, Mak. Cuma dia itu suka gangguin, bikin aku kesel…” Kanza cemberut. Mak tersenyum melihatnya.

            “Suka mungkin dia itu sama kamu, Don.” Mak merayu.

            “Haha.. boro-boro Mak, dia itu sukanya panggil aku wong elek, apaan.. orang cakep gini kok ya mak ya?” Kanza nyengir. “Tapi ya Mak, kalo ada apa-apa dia itu minta tolongnya sama aku. Abis itu? Hrrrgg.. kok bisa ya Mak, dia se-PD itu?“ Kanza geram, namun ada sesuatu di binar matanya.

            “Hmm.. harusnya kamu bersyukur, berarti dia itu anggap kamu orang baik.” Kalimat Mak ini membuat Kanza mengerutkan dahi.

            “Iya lho Don, karena meskipun dia buat kamu kesal, tapi dia tetap minta tolong sama kamu, itu karena dia yakin kalo kamu orang baik dan akan nolong dia.”Mak tersenyum, kanza mengangkat alis lalu menghembuskan nafas berat. Mak menatap cucu perempuan kesayangannya itu, lalu..

            “Sini Don, Mak lihat telapak tanganmu.”

            Kanza berhenti memijat, lalu menyodorkan tangannya pada Mak.

            “Wah, Mak mau ngramal aku ni Mak?” Pupil mata Kanza membesar. Mak tersenyum sambil melihat sesuatu di telapak tangan Kanza.

            “Hmmm., jodohmu itu teman SD.” Ucapan Mak ini membuat mata Kanza membelalak. Mak tertawa melihat wajah cucunya itu.

            Memikirkan kejadian siang itu, Kanza jadi tak bisa tidur. Ia terus menatap ke luar jendela yang terbuka, sambil bersandar pada kursi meja belajarnya.

            Pagi-pagi, Kanza sudah siap dengan sepedanya. Ibu memintanya untuk ke pasar membeli bahan dapur. Seorang laki-laki dengan telanjang dada datang menghampirinya. Mas

            “Kemana dek?” Tanya Mas.

            “Ke pasar, disuruh Ibu.” Jawab Kanza tak acuh.

            “Yuk, Mas anter” pinta Mas sambil memakai kaos oblongnya.

            “Dih, tumben..” Kanza mengerlingkan mata dengan senyum mengejek. Mas nyengir kuda.

            Angin pagi yang segar seolah memberi kebahagiaan bagi pohon-pohon yang menyambut matahari. Tapi tidak bagi Kanza, menurutnya angin itu membawa sesuatu.

            “Ih Mas, kamu belum mandi?” celetuk Kanza di atas motor.

            “Kenapa emang? Harum ya?” Ucap Mas dibalik kemudi motor, tersenyum sambil mengangkat alis.

            “Bau tau!”

            “Yo biarin toh, biar bau juga banyak yang mau, hahaha” Mas tertawa penuh bangga. Kanza memukul pundaknya.

            “Eh Dek, By the way any way busway, punya temen cewek yang masih single gak?”

            “Owalahh.. pantesan mau nganter aku, ini toh maunya.. hmm”  

            “Sebagai adek yang baik itu, yo harus bantuin masnya mencari teman toh?”

            “Teman, teman, teman jalan kali, katanya banyak yang mau… lha kok minta dicarikan..” Kanza mengerling, mengalihkan pandangannya ke rumah-rumah yang mereka lewati.

            “Ah.. itu biasa aja, just Phone a Friend. Mas pengen nyari yang klik” pandangan mata Mas serius. Kanza mengernyitkan kening.

            “Ha? Mesra-mesraan begitu dibilang biasa? Eh Mas, jangan mempermainkan wanita ya, adekmu ini juga wanita. Hukum karma itu pasti berlaku Mas..”

            “Eh Dek, dengar ya, Ma situ tipe orang yang suka nyari teman…”

            “Iya, teman cewek” Nada bicara Kanza sebal.

            “Denger dulu… dan Mas itu suka ngetes orang, ternyata mereka tidak sesuai dengan yang Mas harapkan”.

            “Maksudnya Mas?”

            “Mereka yang hanya mengandallkan penampilan luar semata. Yow is Dek, sudah sampai, pulangnya sendiri aja ya? Mas ada janji mo nganter si dia, hehe bye bye honey..!” Mas meninggalkan Kanza dengan senyum khasnya. Kanza menggeleng, sambil memperhatikan kakaknya yang makin menjauh.

            Perbincangan itu memberikan pengetahuan baru bagi Kanza bahwa pemain cinta sekalipun akan mencari seorang yang terbaik. Tidak hanya secara fisik.

@@@

            Perjalanan pulang Kanza tak menghiraukan lingkungan sekitar. Ia terpaku pada dirinya sendir dan masih memikirkan yang disampaikan Mak tentang teman SD.

Apa benar? Teman SD? Siapa?  Batinnya.

            Ia tak menyadari seseorang dengan helm hitam bertanda tangan memperhatikannya di belakang. Orang itu menyalakan mesin motornya dan menghampiri Kanza.

            “Hai Kanza ya? Ini nomor handphoneku, simpan ya?” ia tiba-tiba berkata yang mengejutkan Kanza ditambah lagi tanpa melepas helmnya. Belum sempat Kanza mengucapkan sepatah kata pun, orang itu pergi meninggalkan Kanza yang heran luar biasa. Ia terpaku pada secarik kertas yang diberikan orang tadi. Orang aneh.. Siapa sih? PD banget dia, fansku di kampus kali? Tapi kalo ngefans ya dia yang minta nomor aku. Aneh.. atau jangan-jangan teroris?? Hii.. Kanza bergidik, cepat-cepat ia ke pangkalan ojeg untuk segera sampai di rumah.
@@@

            Kanza berkutat dengan laptopnya. Bukan sesuatu yang serius, tapi baginya hal tersebut adalah masa depannya. Media sosial, adalah salah satu harapannya malam itu. “Teman SD” telah membuatnya insomnia. Ia sendiri pun tak menyangka bahwa akan sebegitu pedulinya dengan sesuatu yang dulunya ia abaikan. Apakah begini jadinya jika seseorang diberi sedikit bocoran tentang masa depan?

            Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupnya. Namun, rasa ingin tahu yang begitu kuat, sulit ia redam. Disisi lain, dalam dirinya mengatakan belum tentu betul apa yang dikatakan Mak. Tapi Mak sudah banyak makan asam garam dan memang mempunyai kemampuan seperti itu duhh…. Galau…

            Sudah tengah malam, Kanza masih di depan layar notebooknya. Sejumlah nama dan keterangan ia temukan. Matanya berputar mencari jawaban. Sesaat menggeleng kepala, mengangguk, menggeleng lagi. Begitu ia lakukan setiap menemukan profil seorang teman. Kelopak mata yang memprotes untuk menutup tak ia hiraupak. Duk! Keningnya terantuk keyboard.

 

@@@

            Suasana kelas yang ricuh tak membuat Kanza yang sedang duduk di sudut ruangan itu berpaling dari ‘dunianya’. Seorang pria bertubuh tegap datang menghampirinya dengan seringai jahil.

            “DOR!”

            “ Eh Dor! Ah.. kamu! Dateng2 gangguin orang”.

            Pria itu tertawa. “Lagian pagi-pagi udah ngelamun lu, tumben, biasanya suka heboh, kenapa girl?” Tanya lelaki itu menarik bangku dan duduk dihadapan Kanza.

            “Bil, aku mo Tanya… emm.. gimana kalo ada yang kasih tau kamu tentang orang yang bakal jadi jodoh kamu?”

            Pertanyaan Kanza membuat pria itu bengong lalu tertawa. “Oh, jadi elu mikirin jodoh Za?, kok bisa-bisanya sih? Nih gua kasih tau elu ya, ga usah dipikirin, jodoh itu udah diatur Tuhan, jadi….” Belum selesai ia berbicara, Kanza menyela,

            “Itu juga aku tau, bukan itu… tapi gimana kalo kamu dikasih tau siapa orangnya?”

            Laki-laki itu memiringkan kepalanya. “Aneh lu ah, tapi kalo iya gue tau siapa orangnya. Misalnya ada yang kasih tau gue siapa orangnya, blab la bla, gue bakalan check n recheck dulu dia kayak gimana, trus apa dia bakal klop ga sama gue. Kalo ternyata gak sesuai harapan, ya udah, gue cari yang lain, meskipun orang itu bilang dia bakal jadi jodoh gue. Karna gue yakin, yang namanya jodoh itu, kesesuaian jiwa…” lelaki itu mengakhiri pembicaraannya dengan mengembangan telapak tangannya di udara, dengan mata yang berbinar.

            Bersamaan dengan itu, seorang pria berjenggot putih memasuki ruangan.

@@@

            Di akhir jam pelajaran, Kanza mendapat secarik kertas dengan tulisan:

            Za, gue bosen berantem mulu sama lo, sabagai tanda damai dan permohonan maaf gue ngagetin lo tadi. Kita jalan yuk?

NB: Wajib mau!

By: your lovely enemy, Nabil.

            Kanza tersenyum dengan raut wajah agak heran. Ia menoleh pada sang pengirim surat. Nabil. Ia tersenyum lebar pada Kanza.

            “Eh, kamu mau kemana emang? Gak ada niat nyulik aku kan?”

            “Udah ikut gue, sekalian lu certain hal yang bikin lu surem gitu. Yuk!”

 

@@@

            Matahari siang itu perlahan tertutup awan yang menghitam. Tiupan angin pun lebih keras dari sebelumnya. Bunga-bunga yang cantik terlihat sepi karena tak ada satu pun lebah yang hinggap. Atmosfer yang melankolis.

            Di sebuah bangku panjang di taman itu, Kanza dalam balutan jaket tebal bercerita pada Nabil tentang perkataan Mak yang membuatnya galau akhir-akhir ini. Beberapa kisah membuat lelaki itu tersenyum geli. Mereka berdua tak menyadari, seseorang dengan helm hitam bertanda tangan memperhatikan dari jauh.

            “Haha! Za… Za… lu lebay juga! Sampe insomnia gara-gara penasaran gitu doang? Woles Za..”

            “Diem, kamu gak ngerti sih gimana galaunya” Kanza mengerling.

            “Emang gimana sih rasanyaaa.. cuu cuu cuu.. “ Lelaki itu berkata dengan nada jahil. Mulutnya mencucu. Kanza mendorongnya.

            “Gak taulah, pokoknya perasaan yang belum pernah aku rasain sebelumnya” Kanza memejamkankan mata sambil menghembus nafas berat.

            “Tau gak Za, terkadang kita gak menyadari kalo sesuatu yang kita cari itu udah sedekat ini” Lelaki itu membentuk huruf V dengan dua jarinya. Kanza merenung. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah kabar dari sana bahwa Ibu masuk rumah sakit. Bergegas ia pergi, begitu pun lelaki di sampingnya.

 

            @@@

            Kejadian yang berturut-turut menimpa Kanza membuat hatinya gundah. Kondisi Ibu yang belum membaik pun menambah gelisah hatinya. Di ruangan 6x5 meter itu ia duduk menatap langit dengan satu bintang yang senasib dengannya dalam sendiri. Ada yang berbeda dengan bintang yang biasa menemaninya itu. Sinarnya meredup. Dan entah kenapa melihat itu, matanya berkaca-kaca. Membentuk pelangi di kedua konjungtivanya. Hingga genangannya tak terbendung lagi. Kanza sesenggukan.

            Sesuatu membuatnya beranjak, ia menghapus air matanya dan menuju meja belajar. Sebuah laci ia buka, di dalamnya ada secarik kertas dengan nomor handphone. Kanza berdehem, menghilangkan gemuruh aneh di tenggorokannya. Tit tut tit, dengan tangan bergetar gadis itu memberanikan diri memijit tombol handphone. Berharap ada sesuatu yang berarti di sana. Seorang dengan helm hitam yang bertanda tangan.

            “Halo..” Kanza menyapa saat ada tanggapan dari sana.

            “Kana?” Tanya suara di seberang yang membuat Kanza tersentak. Darimana dia tau nama kecilku?

            “Maaf ini siapa?” Suara Kanza terdengar gugup.

            “Apa kabar?”

            “Baik, ini siapa ya?” Nada bicaranya naik, dan tuuutt… tak ada jawaban dari seberang. Ia mencoba menghubungi lagi, namun tetap tak ada jawaban. Perasaannya makin tak menentu, keningnya mengernyit. Kok dia tau nama kecil aku ya? Hmmm.. kana kan panggilanku waktu SD.. Ha?!!

            Ponselnya berdering. Nabil menelfonnya.

            “Halo Za?” suaranya tercekat.

            “Ya Bil, ada apa?” Tanya Kanza agak cemas.

            “Lu, sini ya.. temenin gue.. kakak gue.. kecelakaan….”

 

@@@

 

            Tanpa izin Mas, Kanza mengambil kunci motor. Ia tak mengambil baju hangat atau apapun yang bisa melindunginya dari dinginnya angin malam itu. Dengan kencang Kanza mengemudikan motornya. Dipikirannya hanya satu, Nabil. Kawan sekaligus musuh sejatinya.

            Langkah kaki Kanza yang bergegas mencari ruangan tempat Nabil dan kakaknya membuat orang-orang di rumah sakit itu melirik ke arahnya. Ia tak menghiraukan itu dan terus mencari ruang Unit Gawat Darurat.

            Gadis itu berdiri di depan sebuah pintu dengan orang-orang berjas putih yang berlalu lalang. Ia masuk ke dalam mencari seseorang yang ia kenal. Di balik kerumunan dokter dan para perawat, terbaring seorang yang badannya ditutupi kain putih. Dada Kanza sesak. Dia melihat sekeliling dan menemukan seorang lelaki terduduk dengan kesedihan mendalam. Dengan langkah pelan, Kanza menghampiri lelaki itu.

            “Yang kuat ya Bil….” Ucap Kanza menahan tangis. Lelaki itu sesenggukan. Kanza mengusap pundaknya. Dan tak jauh dari tempatnya duduk, ia melihat sesuatu yang tak asing. Sesuatu yang kali ini menghantam jantungnya. Itu helm hitam bertanda tangan. Dalam suara terbata Kanza bertanya,

            “I…itu punya siapa, Bil?”

            “Punya.. kak Dimas…”

 

            Tak ada kata-kata lagi malam itu, hanya butiran air mata yang mengalirkan jawaban atas sejuta tanda tanya.

 

@@@

 

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler