Skip to Content

PUISI-PUISI F. AZIZ MANNA

Foto SIHALOHOLISTICK

INGATAN PERJALANAN

kereta tidak bersama mereka

tapi mereka bersama berada dalam kereta

(Afrizal Malna)

 

perjalanan ini kian membingungkan, mereka bilang telah

bangkit dan berjalan jauh selama 100 tahun tapi kami tak

melihat kaki-kaki beranjak, hanya pemandangan silih berganti:

pepohonan, sawah, ladang, sungai, jembatan, perumahan,

pabrik, perkantoran, tembok-tembok semuanya hanya jadi

perbincangan, lewat begitu saja, jalanan tidak bersama kami

padahal kami bersama berada dalam perjalanan, suara-suara

kami juga membingungkan, antara bunyi klakson, cerobong

dan gesekan besi, mulut-mulut berkembang biak, bertingkahan

untuk jadi dominan, kami yang datang selalu jadi penumpang

dan tak ada yang mau turun, tak ada yang mau menyentuh

tanah, kami, para penumpang itu, ingin selamanya duduk di

kursi di atas lantai besi melupakan perjalanan dalam perjalanan

 

KOTA YANG BUNUH DIRI

mal-mal dibangun di bawah reruntuhan kampung, real estate dan

apartemen menancap dalam pecahan batu nisan, kota kami tumbuh

melebihi kemampuan kami, membuat tembok-temboknya sendiri,

seperti kekasih yang menyimpan foto orang lain, kami di pinggiran

bukan karena tak diinginkan tapi kota tak lagi punya titik tengah:

ruang yang seharusnya dihuni-penuhi sejarah pikiran, hanya

berkubang otot dan kemaluan, bulan lebih cantik dari neon dan

mercury, listrik memalsukan tubuhmu, membuat elektronika lebih

dipercaya dari perbenturan kepala, kota kami tumbuh di luar impian

kami seperti peta yang menghapus dirinya sendiri

 

MEMPELAI

kami pernah jatuh cinta dan pada saat itu apa yang kami rasa

seluruhnya semerbak bunga tapi saat kami putuskan menikah,

dunia beralih rupa, penuh tembok dan gunting, memagari dan

memangkas ranjang bunga pengantin kami, taman cinta kami

ditumbuhi kegersangan, kami baru sadar ternyata cinta saja

tak cukup bagi hidup, harus ada siasat, tawar menawar, dan

sedikit kecurangan, dunia terlalu sibuk bagi perkawinan, meski

kami pernah jatuh cinta tapi dunia kian praktis, hidup kian bengis

 

KAU BILANG, KATAMU

/1/

kau bilang tak ada lagi puisi, kau bilang kata telah dikekang, dijerat

dianyam jadi barang kerajinan, kau bilang bahasa hanya seorang

tawanan dank au bilang tak ada yang menarik lagi pada puisi, kau

bilang puisi yang lahir dari bibir si mahir, si lihai, si ahli, si tukang

jahit hanya menawarkan baju dari potongan kain perca, baju-

baju yang hanya pantas bagi tubuh langsing manekin, kau bilang

bukan tubuh manusia, bukan tubuh kita, kau bilang

 

/2/

membeli buku puisi kini, katamu, seperti mengumpulkan kertas

bekas, katamu, membacanya seperti berjalan dalam plasa

tanpa uang, katamu, hanya membuat capek dan mual, katamu,

seperti ditipu gadis ayu, katamu, yang mengaku perawan tapi

dadanya penuh cupang, katamu, seperti pendoa yang

ditinggalkan pendengarnya, katamu, sepertinya tak perlu lagi

puisi, katamu, sebab tak ada lagi obat dalam puisi, katamu,

sebab kata telah lenyap dari kertasnya, katamu, sebab kertas

jadi topeng bahasa, katamu, topeng kertas bahasa yang

menutupi kata, katamu

 

RODA

roda berputar demikian liar, lingkar-melingkar, gila-menggila, roda

tar-berputar di tubuh kami, sar-berpusar di otak kami, roda,

membelit diri kami, roda, melilit hidup kami, roda, membekas-gurat

di kening kami, di perut kami, roda, jelma jalan usia, roda, tumbuh

melingkar, roda, membelukar, roda, liar seperti ular, roda,

menyimpan lobang jebakan, roda, mengancam leher kami, roda,

menderu napas kami, roda, mengguruh hendak runtuh, roda,

laju-berpacu, roda, buru-memburu, roda, ngilu, roda, ini waktu,

roda, ngilu

 

TAMAN KETABANG

di taman ketabang, kita bercakap tentang hari-hari yang lewat

sementara orang-orang di sekitar semakin erat berpelukan atau

khusyu’ mananti kambangan kail bergerak digondol ikan, kita

mengurai waktu di antara orang-orang yang berusaha keras

menangkap waktu, mengabadikannya dalam kekinian, kita

melompat dari kemarin ke kemarinnya lagi, mengeker-eker

kubang kenangan, ada jam dimana kita bertengkar tentang

cat rumah yang nampak muram, ada juga detik ketika kita saling

tersenyum membayangkan anak-anak kita tumbuh menjadi

orang-orang berdasi dan bekursi, namun sebelum tuntas

segala yang melintas di atas kepala dan percakapan kita, kau

tiba-tiba berkata: meski banyak orang dan pohonan di taman

ini, meski banyak impian dan harapan berlompatan, namun

entah mengapa aku merasa sendiri, sepi dan sunyi, kau tahu,

cuaca di tempatku, beberapa waktu ini dilikut kabut, seperti

hatiku, beberapa cermin yang terpasang di kamar enggan

memantulkan bayangan, bahkan, kertas-kertas yang biasa

kutulisi puisi, lembab, tak mau terbuka lagi, seperti pikiranku,

sampaikan maafku pada anakmu ketika ia memejamkan mata,

atas malam-malam panjang yang hilang darinya, karena kau

sedang mendendang kidung tidur buatku, tapi percayalah, tiap

linang air mataku adalah sebuah rindu padamu, meski aku tahu,

aku telah kehilanganmu sejak awal pertemuan

 

ORANG-ORANG KAMPUNG

/1/

kami tidur dengan impian terpotong, tubuh kami menggigil oleh

bunyi sendiri dalam pelukan sprei yang lengket, kerisik daun

mangga jadi begitu menakutkan seperti masa lalu yang

menghardik, mata kami menutup tapi pikiran kami dibawa lari

kenangan, kenyataan yang tidak nyata, kegaiban yang

mengada, kami di ambang tidur dan jaga

 

/2/

kami mulai mengalami gangguan pada pikiran, kami

menceracau tentang keburukan para tetangga, ada seorang

yang pernah begitu bersemangat berkhotbah tiba-tiba berlaku

buruk pada anak kami, menodai anak kami hingga mengancam

hidup generasi kami, ada para pengurus yang awalnya suka

menata namun akhirnya memerintah dan memaksa, hingga

para saudara kami yang tidak lagi peduli

 

/3/

malam itu pukul 1 kami mencoba menjaga gerak tubuh tapi

mimpi membuat ceracau kian kacau: wajan-panci-kereweng-

baki melayang dari dalam rumah ke luar melewati tembok ke

jalanan, kami menangis dalam hati, lihatlah, ibu kami bakal

mati karena ngenes, tak bisa sabar dan tak bisa kuat menahan

beban cobaan, kami ingin kembali normal dan bercengkerama

dengan wajar kepada saudara-saudara kami kepada para

tetangga penghuni kampung kami kepada seluruh penghuni

bumi, kami tak ingin menyapa dengan senyum bercampur

tangis bercampur meringis bercampur teriakan bercampur

dendang bercampur rintihan bercampur umpatan bercampur

joget bercampur tatap liar yang kosong, kami akan menjadi

orang yang paling berdosa dan bersalah jika ada satu bagian

dari diri yang mengalami kegilaan

 

/4/

tuhan, selama ini kami memang tidak pernah melibatkanmu

dalam persoalan kerena kami merasa tidak begitu pantas

memintamu untuk turut campur, kami orang asing bagimu tapi

saat ini orang asing ini telah jadi tawanan keadaan, terkalahkan

dan butuh bantuan sedang bantuan seluruhnya telah

menghilang, kaulah satu-satunya, kami hanya ingin satu hal:

jika memang keputusanmu mengambil hidup kami, ambillah

cepat tapi jika keputusanmu masih memberi waktu, biarkan

kami sembuh, bernapas lepas seperti orang-orang bebas,

tolong jangan gantung hidup kami antara sadar dan gila

 

INDISCHE

/i/

perkebunan tua itu menarik mimpiku

pada sebuah cermin buram, di sana

harum embun daun teh

manis tebu dan daun sereh

lalu kutanya

milik siapa?

 

/ii/

ayahku seorang yang jauh

bahkan perkutut itu pun tak tahu

tapi ibuku berdiam saja

bukan siapa-siapa

dan perkutut pun tahu

darimana datangnya, di sana

harum embun daun teh

manis tebu dan daun sereh

 

lalu kutanya milik siapa?

 

/iii/

kemiripan kami tertanam di tanah

burung-burung sahabatku

kebun tebu tempat bermainku

tapi kau seperti tak menyahutku

seperti tak memandangku

lalu siapa yang membunuh?

 

MONTASE KOTA MATI

/1/

di pagi muram menikam

pintu, kelambu dan lampu masih menyala

dalam kamar jejak hujan

dalam dada jejak kenangan

ingatanku berlubang

 

/2/

terlihat leher bumi yang retak

laut mengirimkan air matanya

ke serambi jantungku

lama sudah tak terdengar

ketuk pintu di ruang tidurku

 

/3/

dari jendela itu terpandang rintik hujan

kelopak basah

daun jantung patah

dan sebuah payung

tertinggal

sendirian

 

/4/

o, kenangan

hujan dalam dekapan

kadang muncul kadang tenggelam

di mataku

menggenang gemuruh adzan

 

/5/

hujan pun jatuh di kepala

susut di hitam rambut

tiris di garis alis

tumpah di air mata

 

/6/

aku pun menulis kisah pada wajah mungil bunga

pada televisi dan majalah pada seluruh peta kota

dan di sana, di sudut entah dimana, hujan

dan aku tak pernah ada

 

/7/

sementara, tak ada lagi musik indah

orang-orang berderap dalam teriak

seperti ingin hidup seperti ingin mati

seperti warna kopi

 

/8/

sekawanan gelombang berderap

menerobos gerbang kota

di pusat pusar air

setangkai bunga

patah

makan terasa sakit

dan kau entah kemana

 

/9/

nyawa melengkung dalam ombak

menancap dalam karang

mengendap dalam kehijauan

pekiknya

melulur di jantung kota

 

/10/

musim mengamuk

mengasingkan kenangan

dari ruang tunggu

matamu dan pintu nasib itu

mengembunkan seluruh pikiranku

 

/11/

hujan bukanlah air

bukanlah petir

bukanlah geludug

bukanlah mendung tebal

awan hitam, bukanlah …

tuhan, kota terus bimbang

 

/12/

lalu titik

menitik

entah terus entah putus

kata kata dalam haus

 

/13/

di tikungan jalan itu

masih tergambar cinta

dan lembut suara, ketika

gerimis pecah

bayang berbayang

aku kau tanggalkan

 

/14/

seorang anak adalah perahu penyelamat

di musim hujan, seorang tua

kini dengan bunga

di sudut taman kota

 

/15/

daun-daun melayang

kabut tebal mengembang

limbung

mengambang

di sungai panjang

bayi mati terbuang

 

/16/

di taman makam kota terbaca kisah

ribuan orang bergerak dalam perang

(antara impian dan dendam) payung-payung hitam

meninggalkan masa depan

waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan

 

/17/

waktu

jalan

penuh hujan

si tua muram berjalan

berkerudung kenangan

hitam

 

/18/

dan kota penuh awan

penuh gemuruh penuh ledakan

penuh wajah ketakutan

ciumlah aku maka kau kutinggalkan

 

menyusuri reruntuhan kota lama

Surabaya Utara

 

/19/

aku berjalan di rawa-rawa mati

apakah yang mungkin

selain kata dan cinta

sedang tubuhku penjara

dan wajahmu terlampau berbahaya

 

/20/

kota-kota halte

mulut-mulut menganga

seorang orang menggenggam detik jam

antara pergi dan mati

 

/21/

aku terus berjalan

di rawa mati, 100 nyawa tercekam

dan sejarah dirobohkan, bekasnya

jadi lobang penuh kutukan

 

/22/

orang-orang berkumpul membicarakanmu

tapi bahasa hanya bergetar di mulut sendiri

waktu telah retak, memusat di tubuh ini

tapi kenapa kau lari, lari dariku

 

/23/

aku pun tenggelam di rawa mati

pintu menghadapku

sekaligus menghadapmu

tapi siapa, yang tiba-tiba saja, merobohkannya?

 

/24/

seperti kekosongan

kota ini tak bisa dibingkai

seperti puisi atau komposisi bunyi-bunyi

kota ini tak mau ditafsiri

 

/25/

maka jangan kau cinta mereka

yang berhasrat tinggal bersama

seperti hujan datang

dan pergi

 

Gerbang Kota yang Dirobohkan

Malam Hujan Paska Wonokromo Dibakar

 

/26/

dalam sebuah bait suci

adzan melengking putih

membisikkan sesuatu

yang seluruhnya sia-sia

 

/27/

ini malam

kelam

mencekam

lubang hujan di jantung karang

 

/28/

antara mendung dan kembang celung

angin tertikam, lanskap garis hujan

di tengah ruang kosong

malam

 

/29/

beberapa cahaya dinyalakan

beberapa kepala bertopi lebar

beberapa jauh di tengah lautan

dengan doa dalam hujan

 

/30/

rumah dalam lingkar mawar

sehabis hujan

sehabis: tuhan apakah yang kau inginkan?

jalan terjal, pintu, aku, dan bayangan

menjauh

 

/31/

seberkas bunga plastik

aspal selepas hujan

angin bergetar mengikuti bayangan

seorang tua dalam wajah ketakutan

 

/32/

dalam sisa-sisa hujan

hanya seorang pejalan

hanya angin malam

hanya kekosongan

wajahmu begitu muram

 

/33/

seperti cintaku

dunia akan menjadi masuk akal

jika memang kau berkehendak

hujan menerjemahkan gebalau

 

/34/

dan bila kerinduan bersayap

ke jendela kamar tentu akan terbang

untuk menculikmu saat ini

sebab langit berdusta dengan bahasa cuaca

 

/35/

waktu telah menetes di balik awan

membentuk danau di dadaku

di dasarnya

jantungku membatu

 

/36/

kenangan hanya kaca yang lekas pecah

ketika hujan tak hendak selesai

dan kau berpaling, pulang

dalam diam

 

/37/

kota telah berlayar dalam gelombang

dan cerita tinggal gesekan biola

lalu bagaimana kusembahyangkan

kenangan cintaku padamu

 

/38/

pintu terbakar dan

aku telah sampai pada titik

dimana cinta tak mungkin lagi dimulai

seperti kopiku yang kian pahit

kota kian gelap

 

SEMAKIN

hidup semakin susah

apalagi di surabaya

 

tanam padi tumbuh pagar besi

tanam jagung tumbuh gedung

 

sepetak tanah

harganya naudzubillah

 

padahal itu hanya untuk kuburanku

apalagi untuk rumahku?

 

tempat menyetubuhi istriku

dan melahirkan anak-anakku

 

masyaallah

dunia sudah jungkir balik

 

buat rumah dibikin susah

buat mall malah dipermudah

 

kalau mau kelon

apa harus di etalase dan ditonton?

 

kalau sudah begini

berakpun jadi susah

 

bukan tak ada tempatnya

atau mahal harganya

 

tapi memang tak ada

yang bisa dikeluarkan

 

dari dubur ini cuman kentut

itupun sudah tercemar timbal

 

baunya minta ampun kawan

bikin perempuan tak mau buka kutang

 

ealah! sampeyan masih nulis puisi ta?

ya, setidak-tidaknya untuk membujuk

 

hidup biar tidak kepalang buruk

dan cacing dalam perut bisa sedikit nurut

 

meski jarang dikasih makan

ya, memang aku bicara kelewat muram

 

seperti malam tak pernah terang

dan kamar hanya dihuni cucian

 

tapi semua perlu dicuci bukan?

juga mulut yang kacau ini

 

otak yang pelo ini

karena hidup memang kian semerawut

 

lihat saja, di jalan banyak tilangan

eh, pencurian malah tak hilang-hilang

 

apa sampeyan masih baca puisi?

ya, setidak-tidaknya masih ada langit biru

 

dan embun subuh itu obat

mujarab penghilang kalut dan sakit perut

 

ah, maaf kalau bicaraku ngawur dan ngelantur

bukannya aku protes, ngamuk atau kecewa

 

pada nasib yang tak berubah

atau pemerintah yang diam saja

 

tidak kawan

aku tidak sedang melawan

 

perlawanan

hanya bagi yang gelap pikiran

 

yang tak punya pilihan jalan keluar

yang hanya bisa menyalahkan orang

 

tidak kawan

aku tidak sedang membangkang

 

aku hanya sekedar ingin melupakan

kehidupan

 

hidup yang kian susah

apalagi di Surabaya

 

TENTANG F. AZIZ MANNA

F. Aziz Manna adalah alumnus Tambak Beras Jombang, aktor, mantan ketua Teater GAPUS Surabaya, aktivis Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Menyelesaikan studi sejarahnya di Unair. Juga pernah menjadi koordinator bidang sastra dewan kesenian Surabaya. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama, juga pernah disiarkan radio suara Jerman, Deuchte Welle. Berdomisili di Tropodo I No. 302 Waru Sidoarjo 61256.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler