Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 013: KUTUKAN EMPU BHARATA

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS013.jpg
WS013.jpg

SATU

 

SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali. Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu.

Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya.

Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang kelangit.

"Mendung sekali pagi ini..." katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.

"Untung! Kau kemarilah . . . "

Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Diamengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.

"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.

Si orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir siap ..." berkata orang tua itu, "cuma ada beberapa bagian yang harus di pertajam. Pergilah cari kayu-kayu kering untuk api

penempa. Aku kawatir kalau hujan turun kau tak bisa mencari kayu-kayu kering. "

"Persediaan kayu yang kukumpulkan dua hari yang lalu sudah habis, Empu?" tanya Untung Pararean.

"Ya, sudah habis. Nah kau pergilah dan cepat kembali."

Untung Pararean segera meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan setumpuk kayu-kayu kering di bahu kanannya.

"Bawa terus kedalam Untung, dan sekalian nyalakan api. Kalau sudah ambilkan Mustiko Jagat dari dalam lemari."

"Baik Empu", sahut Untung Pararean.

Sementara pemuda itu menyalakan api, Empu Bharata mengisi sebuah mangkok tanah dengan air bening lalu ditaburi bunga-bunga tujuh rupa. Dari perapian yang telah menyala disiapkannya sebuah perasapan yang ditaburi dengan setanggi dan kemenyan sehingga suasana di dalam teratak tua itu harum semerbak baunya.

"Kalau Mustiko Jagat sudah siap nanti, berarti kesampaianlah cita-citaku untuk memberikan sumbangan pada Kerajaan..."

"Aku tak mengerti maksud kata-kata Empu," kata Untung Pararean pula sambil menyeka butirbutir keringat yang terbit dikulit keningnya akibat panasnya perapian.

Orang tua itu mengelus janggutnya yang panjang. Dua bola matanya bersinar-sinar. "Mustiko Jagat adalah sebilah keris sakti, Untung. Tujuh tahun aku menempanya bukanlah satu masa yang singkat. Seorang yang bodoh dan tak tahu kepandaian silat apapun, jika memegang keris itu pasti akan dibimbing oleh satu kekuatan aneh tapi sakti hingga ia menjadi seorang jago yang sukar untuk dikalahkan. Disamping itu, Mustiko Jagat bila direndam dalam air, air itu bisa menjadi obat segala macam racun jahat. Dan senjata sakti itulah yang bakal kuserahkan pada Sri Baginda untuk mempertahankan Kerajaan dari segala macam bahaya dan malapetaka. Dan kau Untung ... kaulah nanti yang akan kuutus untuk menyampaikan Mustiko Jagat ke istana."

"Jadi senjata yang bertahun-tahun Empu buat ini hendak diserahkan pada Kerajaan?" tanya Untung Pararean heran.

"Ya."

"Aku kira tadinya untuk Empu pakai sendiri."

Empu Bharata tertawa pelahan.

"Aku sudah tua, Untung. Sebentar lagi bakal mati. Dan kalau aku mati tak satupun yang akan kubawa ke liang kubur, Disamping itu apakah sumbangan dan balas jasaku kepada tanah air dan Kerajaan? Keris sakti itu berguna bagi Kerajaan dan bagi anak-anak cucuku ... termasuk kau."

Untung Pararean berpikir sejenak. Lalu tanyanya, "Apakah Mustiko Jagat boleh dipakai untuk membunuh, Empu... ?"

"Boleh! Memang boleh! Tapi untuk membunuh manusia-manusia jahat. Tegasnya untuk menumpas kejahatan dari muka bumi ini."

"Dan kalau dipakai untuk membunuh orang baik-baik, bagaimana Empu?" tanya Untung Pararean pula ingin tahu.

"Itu berarti melakukan satu kejahatan besar. Yang melakukannya akan berdosa besar. Dan setiap kejahatan sudah barang tentu ada pembalasannya," jawab Empu Bharata. "Nah, sekarang kau pergilah ambil keris itu didalam lemari."

"Baik Empu." Untung lalu masuk kedalam sebuah kamar. Di kepala tempat tidur yang terbuat dari jambu terletak satu lemari kayu jati. Ketika lemari dibuka, sinar biru yang amat terang rnerambas keluar. Itulah sinar keris Mustiko Jagat yang terletak diatas sehelai kain putih. Keris itu sengaja tidak dimasukkan ke dalam sarungnya karena ada beberapa bagian yangmasih belum diperhaluskan dan dipertajam. Untung Pararean pernah mendengar dari Empu Bharata bahwa senjata sakti apa saja sebelum selesai benar tak boleh dimasukkan kedalam sarungnya. Apa sebabnya Untung Pararean pernah menanyakan pada orang tua itu, tapi Empu Bharata tak mau menerangkannya.

Meskipun sudah pernah beberapa kali disuruh oleh Empu Bharata untuk mengambil senjata ini tapi saat itupun kedua tangan Untung Pararean menjadi bergetar sewaktu mengangkat kain putih di mana keris Mustiko jagat terletak. Dirasakannya ada satu hawa aneh mengalir dari keris sakti kelengannya. Dengan menanting senjata itu di kedua tangannya Untung Pararean keluar dari Kamar.

Empu Bharata dlihatnya sudah duduk dimuka perapian membelakanginya, tengah mengatur-atur perkakas. Dalam melangkah mendekati orang tua itu tiba-tiba selintas pikiran jahat muncul di benak pemuda ini. Selintas pikiran jahat itu datangnya seperti satu bisikan melalui telinga Untung Pararean.

"Untung Pararean, kenapa kau begitu buta hingga tak melihat kesempatan baik di depan matamu? Bukankah sudah sejak lama terniat di hatimu hendak menjadi pendekar sakti mandraguna, hendak memiliki keris Mustiko Jagat itu? Kau tunggu apa lagi? Kau punya kesempatan untuk memiliki keris itu sekarang!"

"Tapi Empu Bharata tentu akan marah," jawab kata hati Untung Pararean.

Dan suara aneh jahat berbisik lagi ketelinga pemuda itu. "Tolol, sungguh kau pemuda tolol! Kalau orang tua itu marah padamu, tusuk saja dia dengan Jagat. Bunuh! Dan kalau dia sudah mati, kau bisa memiliki keris itu dan kau akan jadipemuda sakti mandraguna, ditakuti di delapan penjuru angin. Disamping itu jika namamu sudah dikenal kau akan mudah menduduki jabatan Perwira Bala tentara Kerajaan! Perwira ... ! Tidakkah kau inginkan jabatan yang tinggi dan terhormat itu?

Ayolah! Bunuh orang tua tak berguna itu!"

"Kalau aku membunuhnya berarti aku berbuat dosa," kata hati Untung Pararean, "dan aku jadi orang jahat. Lalu kelak aku bakal menerima pembalasan!"

"Betul-betul kau tolol orang muda! Jika keris itu sudah berada ditanganmu, jika kau sudah menjadi seorang sakti mandraguna siapa yang sanggup dan berani turun tangan terhadapmu? Kalau tidak kau bunuh si tua renta itu, kau bakalmenjadi manusia tak berharga, jadi hamba sahaja seumur-umurmu!"

Di diri Untung Pararean saat itu seolah-olah terjadi perang tanding antara kejahatan dan kebenaran. Bagaimanapun pemuda ini berpijak dan bertahan diatas kebenaran namun lama-lama, dalam detik-detik yang mencapai puncak ketegangan itu, kebenaran yang ada dalam dirinya berhasil ditumbangkan oleh kejahatan yang melanda hati dan jalan pikirannya!

Ketika dia cuma tinggal dua langkah dari tubuh Empu Bharata yang duduk bersila menghadapi alat-alatnya dan perapian, pemuda itu tiba-tiba mengambil keputusan bahwa dia harus membunuh si orang tua! Digenggamnya hulu keris Mustiko Jagat erat-erat. Sesaat kemudian senjata itu dihunjamkannya ke punggung kiri Empu Bharata. Orang tua itu mengeluh tinggi, tubuhnya tersungkur di muka perapian, darah cepat membanjiri punggung dan selempang kain putihnya, tapi dia belum lagi menghembuskan nafas penghabisan. Sepasang matanya yang agak mengabur dimakan umur dan dijelang ajal itu memandang sayu tapi mengerikan pada Untung Pararean yang berdiri, dengan keris Mustiko Jagat berlumuran darah di tangan kanannya.

"Pemuda dajal ..." desis Empu Bharata diantara nafasnya yang mulai menyengal. "Apakah yang membuat kau sampai melakukan kejahatan terkutuk ini terhadapku?" Tenggorokan orang tua itu turun naik beberapa kali lalu. "Aku tahu . . . aku ta ... hu. Kau inginkan keris itu bukan?" Empu Bharata menyeringai pucat. "Kau bisa memiliki Mustiko Jagat, manusia jahat.

Tapi apa yang kau lakukan terhadapku kelak akan mendapat balasnya di kemudian hari. Demi para Dewa di Swar ... swargalo ...ka ... kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat juga. Dan .,. se... sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir ba . . . ba..."

Ujung kata-kata yang diucapkan Empu Bharata lenyap oleh suara guntur yang menggelegar dengan tiba-tiba. Di luar teratak kilat menyambar, lalu suara guntur lagi dan sesaat kemudian hujan lebat turun membasahi bumi, seakan-akan alam ciptaan dan Kuasa ini turut menyaksikan dan menangisi kematian Empu Bharata. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri mematung dengan bulu kuduk merinding. Ketika diperhatikannya paras Empu Bharata, kedua mata orang tua itu, sudah tertutup sedang dari mulutnya membuih darah kental akibat racun keris Mustiko Jagat yang amat berbisa. Keris yang masih dilumuri darah itu dimasukkan Untung Pararean ke dalam sarungnya. Karena masih ada bagian-bagiannya yang belum diperhalus, senjata itu tak dapat masuk keseluruhannya kedalam sarung, mengganjal diluar kira-kira setengah senti. Tapi itu tak diperdulikan Untung Pararean. Dia masuk ke dalam kamarnya, mengemasi pakaian serta barang-barangnya lalu dibawah hujan lebat yang mencurah bumi pemuda itu berlari menuruni lereng timur Gunung Slamet.

Seminggu sesudah dibunuhnya Empu Bharata kelihatanlah seorang berlari cepat mendaki, Gunung Slamet. Demikian cepat larinya hingga hanya bayangan jubah putihnya saja yang terlihat. Dalam waktu yang singkat orang ini telah mencapai teratak tua tempat kediaman Empu Bharata. Begitu muncul disitu begitu orang ini berseru, "Dimas Bharata, aku datang!" Suara seruannya yang keras menggetarkan seantero tempat hanya disahuti oleh gema seruan itu sendiri. "Heran, kenapa sepi-sepi saja." membathin orang ini. Tubuhnya bungkuk, badannya yang kurus kering macam tengkorak hidup itu tertutup oleh sehelai jubah putih yang kotor dan bertambal-tambal. Mukanya bopeng buruk sekali. Rambutnya yang awut-awutan tak pernah kena air mengumbar bau yang tidak sedap, ditambah lagi dengan bau jubahnya yang kotor.

"Dimas Bharata, Untung Pararean, apa kalian tuli hingga tak mendengar kedatanganku?!" seru si muka Bopeng. Dia melangkah besar-besar ke pintu teratak yang terbuka lebar. Sampai diambang pintu mendadak sontak langkahnya terhenti.

Sepasang kakinya yang kurus kering itu laksana dipantek ke lantai tanah. Tapi hanya sesaat. Sedetik kemudian dia sudah menghambur masuk dan menjatuhkan diri disamping mayat Empu Bharata. Ada satu keanehan atas diri Empu Bharata. Meski mayatnya sudah seminggu menggeletak namun masih tetap utuh dan tidak busuk hingga kalau tidak memperhatikan bekuan darah yang terdapat dipunggung dan di lantai, orang tua itu tak ubahnya seperti seorang yang tengah tidur nyenyak.

"Dimas Bharata! Siapa yang melakukan ini? Siapa yang membunuhmu?!" teriak si muka Bopeng. Namanya Gambir Seta. Tapi didunia persilatan dia lebih dikenal dengan nama gelaran yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng, dan dia adalah kakak kandung Empu Bharata. Seperti orang gila Pengemis Sakti Muka Bopeng terus juga berteriak-teriak menanyakan siapa yang telah membunuh adiknya. Tapi siapakah yang akan memberikan jawaban?! Dengan bercucuran air mata didukungnya mayat adiknya. Dia hendak meninggalkan teratak itu tapi ia ingat sesuatu dan menghentikan langkan lalu memandang berkeliling

"Untung! Untung Pararean, dimana kau?!" serunya memanggil. Tak ada jawaban. Dia berteriak lagi tetap saja tak ada yang menyahut karena memang Untung Pararean sudah tidak ada di tempat itu lagi. Hati laki-laki ini menjadi syak wasangka. Dia masuk ke dalam kamar yang diketahuinya sebagai kamar si pemuda pembantu adiknya dan menggeledah. Tak satu potong pakaianpun ditemuinya disitu.

Juga dengan masih mendukung mayat adiknya, Pengemis Sakti Muka Bopeng kemudian masuk ke kamar Empu Bharata. Dia tahu bahwa adiknya pernah membuat sebilah keris sakti bernama Mustika Jagat. Tapi senjata itu tak ditemuinya dikamar, juyd setelah diperiksa seluruh teratak, keris sakti itu tetap tak bersua.

"Bangsat! Pasti pemuda itu yang membunuh adikku! Pasti dia juga yang mencuri dan melarikan Mustiko Jagat!" Geraham-geraham Pengemis Sakti Muka Bopeng bergemeletakan. Dia tak dapat mengendalikan kelakar marahnya. Sambil berteriak-teriak bahwa dia akan melakukan pembalasan, memecahkan kepala Untung Pararean, orang tua ini mengamuk hebat, menendangi segala apa yang ada di dalam teratak hingga bangunan itu hancur berpelantingan. Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum puas. Pohon-pohon dan apa saja yang ada di sekitar tempat itu habis ditendanginya. Ada kira-kira sepeminuman teh dia mengamuk kalap begitu rupa. Sambil menangis dan kadang-kadang berteriak-teriak kemudian Pengemis Sakti Muka Bopeng lari menuruni Gunung Slamet dengan membawa jenazah adiknya.

***

 

DUA

 

KETIKA dia sampai di kaki gunung hujan telah reda. Bajunya dan sekujur tubuhnya basah kuyup. Sambil menggigil kedinginan dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan perutnya menggereok minta diisi. Sejak pagi tadi memang dia belum makan apa-apa sama sekali. Dia berharap dalam waktu yang singkat akan dapat menemui sebuah desa atau kampung di mana dia bisa membeli makanan untuk pengisi perutnya.

Belum lagi lewat sepeminuman teh berlalu Untung Pararean menemui satu jalan yang sangat becek akibat hujan. Pemuda ini mengikuti jalan itu ke sebelah tenggara. Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara derap kaki-kaki kuda. Ketika dia berpaling dilihatnya sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam besar meluncur cepat sekali di jalan yang becek itu, memancarkan lumpur dan air kotor ke kiri kanan jalan. Pengemudi kereta tiada hentinya mencarnbuk punggung kedua ekor kuda agar kereta bergerak lebih cepat. Di belakang kereta yang bagus dan tertutup itu ada dua orang penunggang kuda berpakaian keprajuritan.

"Pemuda gila!" kusir kereta tiba-tiba berteriak memaki Untung Pararean. "Kalau tidak lekas menyingkir kuda-kudaku akan menerjangmu! Apakah kau ingin tulang-tulangmu hancur berantakan?!"

Untung Pararean merutuk dalam hati lalu menepi. Dan ketika kereta itu lewat disampingnya, lumpur dan air kotor bermuncratan membasahi muka dan pakaiannya.

"Sialan!" maki Untung Pararean.

Baru saja dia habis memaki begitu satu tendangan mampir di bahunya, membuat dia terpelanting dan jatuh duduk ditanah!

"Ha . . . ha! Itu bagian untuk manusia kotor yang berani memaki prajurit Kerajaan!" seru salah seorang prajurit yang mengawal kereta. Dialah yang telah menendang Untung Pararean.

"Keparat! Kelak kau bakal menerima pembalasan dariku!" teriak si pemuda seraya bangun dan membersihkan pakaiannya.

Dengan masih menggerutu Untung Pararean lalu melanjutkan perjalanan. Tapi baru saja menindak beberapa langkah tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara sorak sorai di jalan didepannya, disusul dengan suara ringkik kuda. Ketika dia memandang ke depan dilihatnya kereta tadi berhenti di tengah jalan. Dari kiri kanan jalan menyerbu kira-kira sepuluh orang berpakaian seragam hitam, bersenjatakan golok-golok besar. Sebelum Untung Pararean sampai di tempat itu pertempuran antara dua pengawal yang dibantu oleh kusir kereta melawan kesepuluh orang berseragam pakaian hitam itu telah berlangsung! Tak salah lagi pastilah orang-orang itu gerombolan rampok hutan Dadakan yang memang sering malang melintang disekitar kaki Gunung Slamet.

Untung Pararean menyelinap kebalik serumpun semak belukar lebat dan menyaksikan jalannya pertempuran dari tempat ini. Kedua prajurit Kerajaan itu masing-masing bersenjatakan sebilah pedang sedang kusir kereta sebilah keris panjang. Dari gerakangerakan mereka nyatalah bahwa ketiganya memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Sampai sepuluh jurus mereka sanggup membendung serangan-serangan sepuluh anggota rampok. Tapi walau bagaimanapun jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi lawan yang tiga kali lipat lebih banyak hingga jurus-jurus selanjutnya ketiga orang itupun terdesaklah.

"Prajurit-prajurit Kerajaan yang sombong," kata Untung Pararean dalam hati, "sebentar lagi kalian akan segera mampus!"

Terdengar satu jeritan. Prajurit yang tadi menendang Untung Pararean roboh dengan satu luka besar di dadanya!

"Rasakan!" seringai Untung Pararean.

Tiba-tiba dilihatnya pintu kereta terbuka dan satu suara perempuan mengumandang.

"Atas nama Kerajaan hentikan pertempuan ini!"

Terkejutlah para rampok yang mengeroyok. Untung Pararean sendiri tak kurang kagetnya. Di dalarn kereta itu ternyata ada seorang dara berpakaian bagus, berkulit hitam manis dan berwajah elok sekali! Kejut para rampok cuma sebentar. Beberapa orang diantara mereka lantas saja menyerbu ke arah kereta! Kalau tadi Untung Pararean karena sakit hati terhadap prajurit-prajurit Kerajaan itu tidak mau turun tangan memberikan bantuan, kini melihat gadis jelita yang didalam kereta terancam keselamatannya, segera melompat keluar dari persembunyiannya. Keris Mustiko Jagat tergenggam ditangan kanannya, memancarkan sinar biru yang menggidikkan.

"Rampok-rampok rendah! Lekas tinggalkan tempat ini kalau tidak mau mampus!" demikian bentak Untung Pararean gagah laksana seorang pendekar digjaya meski dia sama sekali tidak tahu satu jurus ilmu silatpun! Tapi dia percaya dengan kesaktian keris Mustiko Jagat. Sewaktu keris ini dipegangnya pertama kali tadi, satu hawa aneh telah menyelimuti sekujur tubuhnya hingga tubuhnya terasa sangat enteng sedang satu kekuatan yang luar biasa terpusat di kedua kaki dan kedua tangannya!

"Kurang ajar! Pemuda kesasar dari mana yang mau jadi jago!" teriak salah seorang anggota rampok, lalu menerjang dan membabatkan golok besarnya ke kepala Untung Pararean.

Seperti telah diketahui Untung Pararean hanyalah seorang pemuda pembantu Empu Bharata yang sama sekali tidak tahu seluk beluk ilmu silat, apalagi segala macam ilmu kesaktian. Tapi berkat kesaktian yang luar biasa dari keris Mustiko Jagat, pada saat golok perampok menderu ke kepalanya, secara aneh satu kekuatan gaib yang ada pada keris sakti itu membimbing tangan Untung Pararean dan membuat satu gerakan yang cepat sekali, menangkis dan keris Mustiko Jagat!

"Trang!!"

Bunga api memercik. Golok besar ditangan siperampok patah dua dan ke udara. Selarik sinar biru sinar keris Mustiko Jagat menderu lalu terdengarlah pekik rampok yang goloknya patah mental tadi. Tubuhnya terhujung kebelakang sambil kedua tangannya memeganggi dadanya yang tertusuk Mustiko Jagat Sesaat kemudian dia roboh ke tanah yang becek tanpa nyawa dan sekujur kulit tubuhnya berwarna biru gelap akibat racun yang amat hebat dari keris sakti Mustiko Jagat!

Melihat munculnya seorang pemuda yang tak dikenal yang dalam satu gebrakan saja berhasil merobohkan kawan mereka, rampok-rampok yang lainpun menjadi marah. Niat untuk menyerbu kereta dibatalkan dan tujuh anggota rampok itu lantas menyerbu Untung Pararean sementara yang dua lainnya masih menghadapi kusir kereta dan prajurit Kerajaan.

Mulanya hati Untung Pararean kecut juga melihat datangnya serbuan itu. Tapi dengan penuh keyakinan dia menghadapinya. Tubuhnya berkelebat ringan diantara deru senjata-senjata lawan. Sinar biru keris Mustiko Jagat bergulung-gulung dan dalam dua jurus saja enam perampok bergeletakan tanpa nyawa lagi!

Tiga orang yang masih hidup tentu saja tak punya nyali lagi. Tanpa tunggu lebih lama ketiganya segera ambil langkah seribu dan lenyap dari tempat itu dalam sekejap mata!

Kalau tadi baik si pengemudi kereta maupun prajurit Kerajaan menganggap Untung Pararean pemuda desa hina dina, tapi sesudah menyaksikan "kehebatan" pemuda itu dan menghadapi kenyataan bahwa Untung Pararean telah menjadi "tuan penolong" mereka, maka baik kusir kereta maupun prajurit Kerajaan cepat-cepat sama berlutut di hadapan pemuda itu.

"Pendekar gagah," berkata si prajurit, "kami mohon maafmu atas kelancangan kami sebelumnya dan terima kasih atas pertolonganmu."

Seumur hidupnya baru kali itu Untung Pararean dihormat dan disembah orang demikian rupa. Cuping hidungnya kembang kempis. Di mulutnya tersungging seringai bangga tapi juga mimik yang mengejek. Dan dalam hatinya pemuda ini berkata sinis. "Siapa sudi menolong kalian. Aku turun tangan karena keselamatan gadis di dalam kereta terancam. Demi dia, bukan demi kalian!"

"Sudah, berdirilah!" kata Untung Pararean sesaat kemudian pada kedua orang yang berlutut. Ketika dia memandang ke arah kereta, dara cantik di atas kendaraan itu kelihatan turun, melangkah kehadapannya, mengangguk memberi hormat dan tersenyum. Kikuk juga Untung Pararean menerima penghormatan dan senyum si jelita itu.

"Saudara, terima kasih atas pertolonganmu." berkata gadis itu.

"Ah . . . pertolonganku tak ada artinya." jawab Untung Pararean merendah setelah terlebih dulu balas menghormat.

"Kuharap kau sudi ikut ke Ibukota untuk menerima balas jasa dari ayahku."

"Aku menolong tidak mengharapkan balas apa-apa, saudari." jawab Untung Pararean.

Bagaimanapun si gadis memaksa tetap saja pemuda itu tidak mau ikut ke Ibukota. Tapi seandainya Untung Pararean mengetahui bahwa si gadis adalah keponakan Sri Baginda, niscaya dia tak akan menolak. Bukankah setelah membunuh Empu Bharata pemuda ini memang bermaksud untuk mencari kedudukan di Kerajaan? Akhirnya setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya, gadis itu pun berlalu bersama kusir serta pengawalnya. Pengawal yang mati digeletakkan di punggung kuda, dibawa ke Ibukota. Dengan jalan kaki Untung Pararean meneruskan pula perjalanannya. Sepanjang jalan apa yang barusan dialaminya seperti terbayang kembali di depan matanya. Betapa mula-mula dia merasa ngeri diserang oleh perampok-perampok hutan Dadakan itu. Bagaimana kemudian dia menghadapi perampok-perampok itu dengan keris Mustiko Jagat dan membunuh mereka satu demi satu hingga akhirnya tiga orang perampok yang masih hidup lari pontang-panting! Kemudian ingat pula dia sewaktu kusir kereta dan pengawal itu berlutut di hadapannya, menyebutnya "Pendekar gagah!"

Lalu sewaktu gadis jelita itu datang padanya, tersenyum dan mengucapkan terima kasih! Menjelang tengah hari Untung Pararean sampai ke sebuah kampung. Sebenamya kurang pantas disebut kampung karena selain besar dan ramai juga di situ pusat perhentian lalu lintas perdagangan. Di situ terdapat pula sebuah rumah makan yang merangkap rumah penginapan. Begitu memasuki kampung, Untung Pararean segera menuju kesini. Dan di depan bangunan rumah makan itu dilihatnya kereta yang ditumpangi gadis jelita yang telah ditolongnya sebelumnya. Baru saja Untung Pararean sampai di pintu, dari dalam rumah makan seseorang datang menyongsongnya. Ternyata orang itu adalah si pengawal kereta.

"Ah, sungguh gembira dapat bertemu dengan kau di sini Pendekar," berkata pengawal itu. Kemudian tanpa diminta dia menerangkan. "Kami terpaksa berhenti dan menginap di sini. Seseorang menerangkan sungai banjir akibat hujan besar yang turun tadi pagi. Diperkirakan baru besok air akan surut."

Bertiga dengan kusir kereta Untung Pararean kemudian duduk di salah satu bagian rumah makan. Pengawal itu memesankan makanan yang enak-enak serta tuak harum untuknya. Selagi menyantap hidangan itu pengawal menerangkan pula bahwa jenazah kawannya telah disuruh kubur di tepi kampung. Kemudian dia bertanya. "Sesungguhnya siapakah Pendekar ini dan berasal dari mana?"

"Aku cuma orang gunung yang barusan saja turun dari Gunung Slamet," jawab Untung Pararean.

"Oh, pastilah Pendekar murid seorang pertapa sakti."

Untung Pararean tak memberi jawaban. Diteguknya minumannya lalu memandang berkeliling ganti bertanya.

"Dimana gadis itu?"

"Maksud Pendekar Den Ayu Sri Kemuning?" ujar si pengawal.

Kemudian sang kusir kereta menyambungi. "Istirahat di kamarnya. Perjalanan jauh sangat meletihkan Den Ayu."

"Saya tidak mengerti," berkata pengawal kereta, "kenapa Pendekar tidak mau menerima ajakan Den Ayu Sri Kemuning untuk ikut ke Ibukota. Itu suatu kerugian besar, Pendekar."

"Kerugian besar bagaimana?"

"Pendekar tentu belum tahu siapa gadis itu sebenamya?"

"Aku barusan saja turun gunung, mana tahu siapa dia?" ujar Untung Pararean pula.

Pengawal kereta itu tersenyum lalu didekatkannya mukanya pada si pemuda seraya berkata.

"Den Ayu Sri Kemuning adalah keponakan Sri Baginda . . . "

Terbeliaklah sepasang mata Untung Pararean. Mulutnya ternganga.

"Betul?!" tanyanya ingin meyakinkan.

"Masakan saya berani main-main sama Pendekar."

Dan memang terasa sebagai satu kerugian besar bagi Untung Pararean sesudah dia tahu siapa adanya gadis yang ditolongnya itu. Dengan ikut ke Ibukota bukankah lebih mudah mendapat jalan untuk mencapai cita-cita yang diidam-idamkannya selama ini yaitu menjadi Perwira Kerajaan?!

Dengan melihat paras si pemuda, pengawal kereta ini dapat membaca isi hati Untung Pararean. Maka berkatalah dia, "Sekarang masih belum terlambat untuk merobah putusan Pendekar. Jika kau mau, nanti aku akan menemui Den Ayu dan menerangkan bahwa kau bersedia ikut ke Ibukota."

Meskipun hasratnya meluap-luap tapi Untung Pararean tak segera memberikan jawaban. Diisinya tuak baru ke dalam gelas lalu diteguknya perlahan-lahan.

Justru pada saat itulah di pintu rumah makan terdengar suara bentakan yang  lantang keras hingga bangunan itu bergetar!

"Bangsat muda yang sedang meneguk tuak, lekas berlutut untuk menerima

***

 

TIGA

 

UNTUNG PARAREAN meletakkan gelas tuaknya ke atas meja perlahan-lahan. Kepalanya dipalingkan ke belakang. Dari tempat dia duduk dilihatnya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bercambang bawuk. Orang ini mengenakan pakaian hitam.

Tampangnya buas. Sepasang matanya yang besar dan merah menambah keseraman parasnya. Di pinggangnya kiri kanan tergantung masing-masing sebilah golok yang luar biasa besarnya! Di belakang manusia tinggi besar ini berdiri lima orang lainnya, yang juga berseragam pakaian hitam dengan tampang-tampang yang tak kalah seramnya dengan si tinggi besar yang tadi membentak itu.

Kusir kereta dan pengawal paras keduanya menjadi pucat seperti kertas sewaktu menyaksikan siapa adanya orang-orang diambang pintu rumah makan. Pemilik rumah makan sendiri menggigil sekujur tubuhnya.

"Celaka ... celaka! Pasti tempatku ini akan diobrak-abrik berantakan!" demikian pemilik rumah makan mengeluh dalam hati.

"Bangsat apa tidak dengar aku memerintah?!" si tinggi besar di ambang pintu membentak kembali. Marah sekali dia karena sampai saat itu Untung Pararean masih duduk di bangkunya.

"Siapa mereka . . .?" tanya Untung Pararean berbisik pada kusir kereta.

"Yang tinggi itu . . ." jawab kusir kereta juga berbisik dan gemetar, "adalah Sepasang Golok Maut, pemimpin rampok hutan Dadakan!"

Mendengar keterangan itu kini tahulah Untung Pararean bahwa pemimpin rampok itu sengaja datang mencarinya untuk menuntut balas kematian anak-anak buahnya! Segera tangan kanannya disiapkan di pinggang di mana Mustiko Jagat tersisip dibalik pakaian. Kemudian dengan perlahan dan tenang

Untung Pararean berdiri, memutar tubuh lalu melangkah ke tengah ruangan. Sepuluh langkah dari ambang pintu pemuda ini berhenti.

"Apakah benar aku berhadapan dengan Sepasang Golok Maut, kepala rampok hutan Dadakan yang ditakuti orang?" tanya Untung Pararean.

"Puah! Nyalimu terlalu besar berani bicara keren terhadapku! Sepasang Gulok Maut mengangkat tangan kanannya memberi tanda pada kelima orang anak buahnya, lalu memerintah. "Cincang sampai lumat budak keparat itu! Juga dua monyet yang dimeja sana!"

"Sreet ... sreet ... sreet ... sreet ... Sreet"!

Lima buah golok dicabut dari sarangnya dalam waktu yang bersamaan. Sesaat kemudian kelima anak buah Sepasang Golok Maut sudah mengurung Untung Pararean. Kusir kereta dan prajurit pengawal telah pula mencabut senjata masing-masing tapi sampai saat itu masih tetap berada dekat meja tak berani maju ke kalangan pertempuran!

Rumah makan itu seperti hendak runtuh oleh bentakan keras kelima anggota rampok! Tubuh mereka berlesatan kemuka dan lima serangan maut menderu mencari sasaran di kepala, leher, dada, perut dan pinggang Untung Pararean!

Pada saat lima perampok hutan Dadakan membentak Untung Pararean telah mencabut keris Mustiko Jagat. Begitu tangannya memegang hulu keris Mustiko Jagat, satu hawa dan kekuatan aneh menyelubungi dirinya. Tubuhnya menjadi sangat enteng. Dan sebelum lima buah golok datang menghajarnya, pemuda itu telah melompat ke atas!

Percaya bahwa kelima anak buahya yang berilmu tinggi akan berhasil membereskan Untung Pararean maka Sepasang Golok Maut kelihatan meninggalkan ambang pintu dan masuk ke ruangan dalam rumah makan. Ini membuat Untung Pararean merasa heran. Kemudian dia ingat sesuatu. Maka sambil melompat menyelamatkan diri tadi, pemuda ini cepat berteriak pada kusir kereta dan prajurit pengawal.

"Lekas ke kamar majikanmu! Bangsat itu pasti hendak melakukan sesuatu terhadapnya!"

Kusir kereta dan pengawal saling pandang! Mereka tahu bahwa mereka sama-sama tidak punya nyali untuk menghadapi kepala rampok yang berilmu tinggi itu. Untuk beberapa lamanya keduanya masih tak beranjak dari dekat meja.

"Lekas!" Teriak Untung Pararean. "Nanti aku akan bantu kalian!"

Mendengar ini, meskipun dengan agak takuttakut, kedua orang itu baru masuk ke ruang dalam dimana terletak ruangan penginapan. Bangunan penginapan bertingkat dua. Dan kamar yang di tempati oleh Den Ayu Sri Kemuning terletak di tingkat atas. Dengan menjambak rambut seorang pelayan, Sepasang Golok Maut berhasil mengetahui yang mana kamar gadis itu. Dari anak-anak buahnya dia telah mendapat keterangan tentang Untung Pararean dan juga tentang gadis cantik dalam kereta.

Kepala rampok itu sampai di muka pintu kamar. Dicobanya mendorong daun pintu, ternyata dikunci dari dalam. Kaki kanannya bergerak. Sekali tendang saja pintu kamar itu terpentang lebar hancur berantakan!

Di dalam kamar saat itu Den Ayu Sri Kemuning tengah membersihkan badannya. Tubuhnya yang padat bagus sama sekali tak tertutup sehelai pakaianpun! Gadis ini memekik sewaktu mendengar suara hancurnya pintu kamar dan seorang laki-laki berpakaian hitam tinggi besar berewokan yang langsung menyergap tubuhnya yang telanjang!

Sri Kemuning menjerit dan meronta-ronta melepaskan diri. Tapi rangkulan tangan kiri kepala rampok itu ketat sekali. Dirangsang oleh keadaan tubuh si gadis yang tidak berpakaian sama sekali, Sepasang Golok Maut menyeret gadis itu ke tempat tidur! Pada saat laki-laki ini dengan buasnya hendak menindih tubuh dara itu tiba-tiba sudut matanya melihat dua orang memasuki kamar dan di lain kejap sebilah pedang serta sebilah keris sudah menyerangnya dengan sebat di bagian punggung dan kepala!

"Setan alas!" sentak Sepasang Golok Maut seraya menjatuhkan dirinya ke lantai. Sambil berguling tangan kanannya bergerak kepinggang lalu "wutt"! Terdengar pekik kusir kereta. Kerisnya telepas dari tangan. Tubuhnya terhempas ke lantai karena kedua pergelangan kakinya putus dibabat golok besar si kepala rampok dari hutan Dadakan!

Jeritan kusir kereta itu tadi disertai pula oleh jeritan ngeri Sri Kemuning. Selagi ada kesempatan gadis ini cepat-cepat menarik seperai tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan seperai itu lalu menjauhkan diri dari pertempuran yang kemudian berlangsung antara Sepasang Golok Merah dengan pengawal.

Sudah jelas pengawal itu bukan tandingannya Sepasang Golok Maut. Apalagi si pengawal bertempur dengan ragu-ragu dan nyali lumer. Maka dalam tempo yang sangat cepat pengawal itupun tergelimpang tanpa nyawa. Perutnya robek, usus menjela-jela disambar golok si kepala rampok hutan Dadakan! Untuk kesakian kalinya terdengar jeritan ngeri Sri Kemuning. Gadis ini coba lari ke pintu namun Sepasang Golok Maut berhasil menangkap lengannya!

Kita kembali pada pertempuran yang terjadi di rumah makan antara Untung Pararean dengan lima pengeroyoknya. Setelah berteriak pada kusir kereta dan pengawal tadi yaitu agar cepat-cepat pergi ke kamar majikan mereka maka Untung Pararean dengan mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh yang di dapatnya berkat hawa sakti keris Mustiko Jagat laksana seekor alat-alat menukik ke bawah. Sinar biru menderu dalam bentuk lingkaran. Dikejap itu terdengar berturut-turut tiga kali suara beradunya seniata. Tiga batang golok mental patah ke udara. Dua anggota rampok menjerit kena di babat Mustiko Jagat, kelojotan sebentar lalu meregang nyawa. Rampok ketiga mencelat satu tombak ke dinding rumah makan, melosoh ke lantai tanpa nyawa karena dadanya remuk dihantam tendangan kaki kanan Untung Pararean!

Dua orang rampok yang masih hidup terkejut sekali. Untuk sejenak mereka berdiri sangsi apakah akan meneruskan perkelahian atau ambil langkah seribu! Waktu yang sesaat itu sudah cukup bagi Untung Pararean guna bertindak! Sekali dia berkelebat, keris Mustiko Jagat kembali meminta korban nyawa rampok yang disebelah kanannya! Rampok yang terakhir tanpa tunggu lebih lama segera melompat ke pintu melarikan diri ! Tapi dia kurang cepat.

Dengan satu lompatan saja Untung Pararean berhasil mendahuluinya, menghadang di depan pintu! Setengah mampus ketakutan, rampok itu lantas saja jatuhkan diri berlutut minta ampun! Untung Pararean tidak mau perdulikan permintaan ampun itu. Kaki kirinya bergerak dan terhempaslah rampok itu dengan perut pecah. Dia menggerang sebentar. Dan sebelum nyawanya lepas Untung Pararean sudah berlalu dari situ. Di tingkat atas di sebelah belakang yaitu di penginapan didengarnya jeritan Den Ayu Sri Kemuning berulang kali!

Untung Pararean sampai di tingkat atas ketika Sepasang Golok Maut baru saja keluar dari sebuah kamar, memanggul tubuh Sri Kemuning yang hanya tertutup sehelai kain acak-acakan hingga sebagian besar dari auratnya yang terlarang jelas kelihatan! Gadis ini tiada hentinya berteriak dan meronta melepaskan diri!

"Bedebah! Lekas lepaskan gadis itu kalau masih sayang kau punya nyawa!" bentak Untung Pararean.

Sepasang Golok Maut menghentikan langkahnya. Hatinya tercekat juga melihat keris Mustiko Jagat ditangan Untung Pararean yang memancarkan sinar biru menggidikkan. Apalagi di ujung senjata itu dilihatnya noda-noda darah yang masih segar!

"Lekas lepaskan dia!" teriak Untung Pararean seraya melangkah mendekati kepala rampok hutan Dadakan itu!

Sepasang Golok Maut tiba-tiba keluarkan suara tertawa bekakakan! Seraya mendorong tangan kanannya dia balas membentak. "Budak anjing! Minggirlah!"

Untung Pararean terkejut sewaktu merasakan bagaimana satu hembusan angin keras yang keluar dari telapak tangan kiri kepala rampok itu mendorongnya kebelakang hingga hampir saja dia rnencelat mental dan terguling di tangga! Cepat-cepat pemuda ini melompat kesamping lalu melintangkan keris Mustiko Jagat di depan dada! Senjata ini beriar-benar hebat. Karena begitu sambaran angin keras memben tur sinar keris tersebut, buyarlah angin keras itu! Secepat kilt Untung Pararean kemudian menyerbu kemuka! Sinar biru menabur menggidikkan!

Melihat datangnya bahaya maut mengancam di depan mata, kepala rampok hutan Dadakan itu tak mau berlaku ayal. Denyan satu gerakan yang lihay dia mengelak kesamping lallo dengan tubuh Den Ayu Sri Kemuning yang masih meronta-ronta diatas bahunya dia mencabut golok din memapak ke arah Untung Pararean! Terkejut juga si pemuda menerima serangan baiasan yang tiada terduga cepatnya itu. Buru-buru dia menangkis!

"Trang!"

Bunga api memercik sewaktu keris Mustiko Jagat saling bantrok dengan golok besar di tangan kanan Sepasang Golok Maut! Untung Parrean kaget ketika merasakan bagaimana bentrokan itu membuat tangannya menjadi pedas dan tergetar. Tapi sedetik kemudian hawa aneh yang mengalir dari keris membuat rasa pedas dan getaran di tangan kanannya menjadi sirna!

Dilain pihak Sepasang Golok Maut terkejut bukan main! Bukan saja tangan kanannya tergetar hebat dalam bentrokan senjata itu, tapi sewaktu diperhatikannya ternyata goloknya telah rompal!

"Bangsat hina dina!" maki Sepasang Golak Maut seraya melemparkan tubuh Sri Kemuning ke lantai lalu mencabut lagi golok besarnya yang tergantung di pinggang kiri. "Akan kukuntung-kuntung tubuhmu hingga menjadi seratus kuntungan!"

Untung Pararean yang yakin akan keampuhan keris Mustiko Jagat ganda tertawa mendengar ucapan garang kepala rampok itu. Malah dia menjawab: "Ayo manusia iblis! Majulah biar kau segera pula kukirim ke liang kubur menyusul lima orang kunyuk-kunyukmu yang sudah mampus dibawah sana!"

Terkesiap Sepasang Golok Maut mendengar ucapan pemuda itu! Lima orang anak buahnya yang paling diandalkan telah menemui ajal di tangan pemuda itu?! Benar-benar keparat, makinya! Dia lipat gandakan tenaga dalamnya hingga serangan yang dilancarkannjra hebat bukan main!

Perkelahian antara kedua orang itu terjadi di langkan atas yang tak berapa lebar. Masing-masing memperhitungkan benar-benar langkah yang mereka buat. Karena sekali bertindak salah di ruangan yang sempit itu pasti celaka! Sementara itu di halaman samping rumah makan orang banyak berkumpul menyaksikan jalannya pertempuran dilangkan tingkat atas rumah penginapan itu! Semua orang memuji kehebatan pemuda itu apalagi setelah dia dengan seorang diri sanggup membunuh lima anggota rampok tadi. Dan semua orang berharap agar si pemuda itu juga berhasil membunuh Sepasang Golok Maut yang selama ini bersama anak buahnya mendatangkan bencana dan malapetaka. Tapi di dalam berharap begitu semua orang juga merasa cemas. Karena bila pemuda itu kalah, pastilah Sepasang Golok Maut akan mengamuk dan menurunkan tangan ganas terhadap seluruh penduduk yang tidak berdosa!

Setelah pertempuran berjalan sepuluh jurus, Sepasang Golok Maut mulai menyadari bahwa walau bagaimanapun pemuda itu bukanlah lawannya. Setiap serangan goloknya yang dilancarkan dengan tipu-tipu lihay, bahkan telah pula dikeluarkannya jurus-jurus yang terhebat dari permainan goloknya itu, tetap saja tak dapat menghadapi keris lawan, bahkan mengimbanginyapun tidak sanggup! Dari pada mendapat celaka, lebih baik siang-siang mengundurkan diri!

Sengaja kepala rampok itu melancarkan satu serangan berantai yang cepat. Ketika dilihatnya ada satu peluang yang baik, segera dia melompat keatas genteng rumah makan!

"Bedebah! Kau mau lari kemana?!" teriak Untung Pararean keren!

"Makan senjata rahasiaku ini!" jawab Sepasang Golok Maut. Dalam kejap itu pula lima puluh jarum-jarum biru menderu ke arah Untung Pararean. Dengan sigap pemuda ini memapaskan keris Mustiko Jagat ke depan maka tersapulah seluruh jarum-jarum itu! Tapi dalam kejap itu Sepasang Golok Maut telah berada di halaman bawah. Untung Pararean cepat mengejar. Namun sebelum dia sampai di bawah kepala rampok hutan Dadakan itu telah lenyap!

Orang banyak termasuk pemilik rumah penginapan menjura pada Untung Pararean. Beberapa di antara mereka ada yang memuji-muji kehebatanya. Sebaliknya Untung Pararean cepat-cepat kembali ke tingkat atas. Didapatinya Sri Kemuning duduk bersimpuh dilangkan tingkat atas, menangis tersedu-sedu.

"Sudahlah Den Ayu," kata Untung Pararean. "Sebaiknya masuk ke kamar dan berpakaian."

Kata-kata pemuda itu membuat sang dara tambah keras tangisnya hingga Untung Pararean menjadi bingung.

"Masuklah ke kamar," kata pernuda itu manakala tangis Sri Kemuning telah agak mereda.

"Mayat-mayat itu ... aku negeri melihatnya," kata Sri Kemuning di antara sesenggukannya.

Untung Pararean masuk kedalam kamar. Ditemuinya mayat kusir kereta dan prajurit pengawal. Memang mengerikan. Kusir kereta menggeletak dengan kedua kaki buntung sedang prajurit pengawal terhampar dengan perut robek, usus membasai. Pemuda itu berteriak memanggil pelayan rumah penginapan. Beberapa pelayan kemudian membawa mayat kedua orang itu yang selanjutnya segera dikubur secara sederhana di pinggir kampung. Mayat lima orang perampok dilemparkan ke dalam sebuah kali.

Sementara Sri Kemuning berpakaian, Untung Pararean kembali ke rumah makan. Orang memandang padanya penuh kagum. Pemilik kedai kemudian mendatanginya. Setelah menjura hormat, pemilik kedai itu·seorang tua·duduk dihadapan Untung Pararean.

"Tak sedikit jasamu kepada penduduk karena telah menumpas rampok-rampok itu, pendekar. Sesungguhnya siapakah nama pendekar dan datang dari mana?"

"Aku barusan saja turun dari gunung Slamet, bapak." jawab Untung Pararean.

"Kalau begitu pastilah pendekar murid orang tua sakti yang bernama Empu Bharata."

Untung Pararean mengangguk pelahan. Disebutnya nama Empu Bharata membuat hatinya tidak enak karena mengingatkan dia atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang tua itu!

"Pendekar, dengan lolosnya kepala rampok keparat itu, bapak rasa suatu ketika pasti dia akan datang kemari dan mengganas, menurunkan tangan jahat, membunuh penduduk sini dengan sewenang-wenang. Bapak mewakili penduduk dan berharap agar pendekar sudi menetap disini untuk sementara sampai penduduk benar-benar yakin bahwa rampok-rampok itu tak berani lagi datang kesini."

"Aku yakin, bapak. Apa yang telah terjadi pasti telah membuat rampok-rampok itu menjadi takut kembali ke sini." Ujar Untung pula.

"Mudah-mudahan saja memang demikian," kata pemilik penginapan. Sementara itu seorang pelayan datang menemui Untung Pararean, mengatakan bahwa Sri Kemuning memanggilnya.

***

 

EMPAT

 

KETIKA Untung Pararean masuk kembali ke kamar itu, keadaan kamar tidak seperti tadi lagi. Noda-noda darah telah dibersihkan dan Sri Kemuning duduk di tepi tempat tidur. Pada parasnya yang agak pucat masih membayang rasa takut.

"Den Ayu memanggil aku?" tanya Untung Pararean setelah terlebih dahulu menjura.

Gadis itu mengangguk.

"Kotaraja masih jauh dari sini, saudara ..."

"Saya tahu . . . "

"Untuk kedua kalinya kau telah menyelamatkan diriku. Untuk kedua kalinya pula aku harap kau sudi ikut ke Kotaraja. Apakah kau masih juga menolak?"

Kalau sebelumnya Untung Pararean tidak tahu siapa adanya gadis itu, tapi setelah mendapat keterangan dari kusir kereta dan prajurit yang telah menemui ajal itu tentu saja pemuda ini tidak menampik lagi! Ke Kotaraja berarti menuju ke tempat di mana dia kelak akan mencapai apa yang dicita-citakannya yaitu menjadi Perwira Kerajaan. Dan Sri Kemuning kebetulan adalah keponakan Raja! Tentu akan mudah baginya untuk mencapai cita-cita itu, apalagi mengingat jasa pertolongan yang telah dua kali dibuatnya terhadap gadis itu!

"Aku tidak berani lagi menolak, Den Ayu. Kusir kereta, dan pengawalmu telah menemui kematiani Apa lagi baktiku kepada Kerajaan kalau bukan berbakti pada keluarga Istana?"

"Terima kasih saudara ... Eh, kau belum menerangkan namamu."

"Namaku Untung Pararean. Panggil saja Untung."

"Saudara Untung, melihat apa yang telah terjadi di sini aku merasa kawatir untuk meneruskan niat bermalam di sini. Sebaiknya kita berangkat saja . . . ."

"Tapi sungai banjir, Den Ayu. . . "

"Oh ya. Lupa aku."

"Kalau Den Ayu . . . "

"Buang saja sebutan Den Ayu itu, saudara Untung. Namaku Kemuning. Sri Kemuning ..." potong gadis itu.

"Kalau . . , kalau Den . . . kalau kau percaya padaku, kau tak usah kawatir Kemuning," kata Untung Pararean pula gugup.

"Aku akan mengawal dan berjaga sepanjang malam di luar kamarmu ..."

"Ah, nasib diriku rupanya ditakdirkan hanya untuk menyusahkan orang lain saja," ujar Sri Kemuning. Tapi diam-diam hatinya gembira mendengar ucapan pemuda yang gagah itu.

"Baiklah Untung. Kalau begitu katamu, aku tak akan merasa kawatir lagi. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu. Kelak pada Sri Baginda akan kumintakan balas jasa yang sesuai untukmu! Sekurang-kurangnya pangkat yang penting dalam kalangan Istana!"

"Terima kasih Kemuning . . ." kata Untung Pararean pula, "tapi pertolonganku tidak mengharapkan pamrih apa-apa."

sambungnya pura-pura bersikap ksatria sejati padahal memang pangkat yang tinggi itulah yang tengah dicarinya. Dalam berdiri dihadapan gadis diam-diam Untung Pararean membayangkan bagaimana dia akan disambut secara hormat oleh orang-orang Istana. Lalu Sri Baginda atas kehendak Sri Kemuning akan menganugerahkan pangkat tinggi kepadanva. Dia akan jadi perwira kerajaan yang paling disegani dan paling ditakuti karena ilmunya tinggi!

Di lain pihak pada saat itu Sri Kemuniny diam-diam tengah memperhatikan pemuda itu dengan kedua bola matanya yang hitam dan bersinar-sinar penuh kagum akan kegagahan si pemuda apalagi sesudah mengetahui ketinggian ilmunya. Untung Pararean sama sekali tidak mengetahui bahwa meski Sri Kemuning adalah keponakan kontak dari Sri Baginda, tapi gadis itu bukanlah gadis Istana yang bersifat dan berkelakuan baik-baik. Kecuali Sri Baginda dan Permaisuri serta ayah dan ibu Sri Kemuning semua orang di Istana sudah tahu akan peri tabiat gadis itu. Adalah memalukan seorang keluarga Sri Baginda bertabiat seperti Sri Kemuning. Tapi apakah mereka musti mengadu pada Sri Baginda? Salah-salah mereka bisa mencari penyakit sendiri! Dituduh memfitnah!

Dilubuk hati Sri Kemuning saat itu, di balik pandangan matanya yang bersinar-sinar itu bergejolak satu hasrat kotor yang membuat darah diseluruh pembuluh tubuhnya laksana mendidih. Kening dan puncak hidungnya penuh oleh butir-butir keringat sedang pandangan matanya semakin berani dan sikap duduknya semakin menantang.

"Keras benar angin dari luar sana ..." kata Sri Kemuning. "Tolong tutupkan pintu itu, Untung."

"Baik Den ... Kemuning."

Untung Pararean melangkah ke pintu dan sambil menutupkan daun pintu dia hendak keluar.

"Oh, maksudku . . aku tidak menyuruh kau keluar Untung," kata Sri Kemuning pula ketika dilihatnya pemuda itu menutupkan pintu sambil menindak keluar. "Tutupkan saja dari dalam sini."

Untung Pararean masuk kembali ke dalam dengan perasaan heran. Ditutupnya pintu itu dari dalam. Ketika dia memutar tubuh, Sri Kemuning tersenyum padanya. Aneh senyum gadis itu di mata si pemuda.

Berdesir darah Untung Pararean, berdebar dadanya sewaktu Sri Kemuning berkata, "Nanti malam kau akan mencapaikan diri mengawalku. Berarti siang-siang begini kau butuh istirahat, Untung."

"Aku rasa begitu . . . "

"Nah, kau boleh beristirahat disini, Untung."

"Biar aku cari kamar yang lain saja, Kemuning."

Sri Kemuning tertawa. Seraya berdiri dari tempat tidur dia berkata, "Mengapa harus menyusahkan diri saja, Untung? Kau istirahat disini sambil bicara-bicara denganku. Kau tahu, aku orang yang paling senang bercakap-cakap."

Perasaan aneh mula-mula yang ada didiri Untung Pararean kini berubah menjadi satu prasangka adanya maksud-maksud yang tidak senonoh dari gadis itu. Tapi seorang keluarga Istana, seorang keponakan Raja yang terhormat mempunyai sifat begitu rupa? Sementara Untung Pararean berdiri mematung di tengah kamar itu, Sri Kemuning datang melangkah mendekatinya.

Goyang pinggulnya yang dibuat-buat, senyumnya yang menawan dan sinar matanya yang mengundang memukau Untung Pararean. Walau bagaimanapun Untung Pararean adalah seorang laki-laki, seorang pemuda yang baru saja turun gunung dan tak banyak tahu tentang peri kekotoran hidup di dunia luar, apalagi cara-cara untuk menjauhkan semua kekotoran itu. Meski mula-mula hatinya binqung bercampur takut menghadapi sikap Sri Kemuning namun ketika gadis itu memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dada, Untung Pararean mulai memberikan reaksi, reaksi sebagai seorang pemuda yang berdarah panas! Dirangkulnya tubuh dara itu erat-erat dalam gejolak nafsu yang seumur hidupnya baru kali itu dirasakan oleh Untung Pararean. Namun sesaat kemudian kambuh lagi rasa kawatirnya.

"Kemuning, kalau pemilik penginapan memergoki kita berdua-duaan begini, kita bisa celaka ..."

Sri Kemuning tertawa merdu. Rasa digelitik liang-liang telinga pemuda itu, tambah terangsang darah mudanya mendengar suara tertawa itu.

"Dia tahu siapa aku. Untung. Dan dia juga tahu apa yang bakal menimpanya jika berani-beranian turun tangan. Aku sanggup menyuruh tutup penginapan dan rumah makannya! Bahkan lebih dari itu aku bisa menjebloskan dia dalam penjara."

Untung Pararean yang tahu bahwa Sri Kemuning adalah keponakannya Sri Baginda, denqan sendirinya mempercayai ucapan gadis tersebut. Karenanya lenyaplah kekawatirannya dan kembali keberanian membuat nafsunya mengumbar. Gadis itu dipeluknya erat-erat hingga Sri Kemuning merintih antara kesakitan dan kenikmatan! Ada kira-kira sepeminuman teh kedua makhluk itu berpagut-pagutan di tengah kamar itu.

"Kakiku letih, Untung ..." bisik Sri Kemuning. "Gendong aku ke tempat tidur." pintanya lirih.

"Hem . . . " guman Untung Pararean.

Sesaat kemudian keduanyapun telah berada ditempat tidur. Berpagut dan berguling seperti sepasang ular. Dan memang mereka tak ubahnya separti binatang saja saat itu. Seperti binatang dan tanpa pakaian!

Ketika hari telah senja, Untung Pararean masih juga berdiri termenung di depan rumah makan. Apa yang telah terjadi siang tadi di kamar di tingkat atas penginapan itu kembali terbayang di pelupuk matanya. Dan mengingat ini, menggejolak lagi darah muda pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali-itu dia mengenal perempuan, dan perkenalan yang pertama kali itu sungguh luar biasa sekali! Luar biasa bagi Untung Pararean meskipun Sri Kemuning sudah tidak perawan lagi!

Bila malam tiba dan kegelapan memekati disekitar rumah makan itu, Untung Pararean ingat bahwa sudah saatnya dia berjaga-jaga disekitar kamar Sri Kemuning. Bukan tidak mustahil orang-orang jahat terutama Sepasang Golok Maut akan muncul kembali untuk menuntut balas!

Tingkat atas rumah penginapan diselimuti kesunyian. Di beberapa kamar kelihatan nyala lampu. Satu diantaranya adalah kamar Sri Kemuning. Untuk sesaat lamanya Untung Pararean berdiri di depan pintu kamar itu. Kembali teringat olehnya apa yang telah terjadi di dalam kamar tersebut siang tadi. Tubuh telanjang Sri Kemuning yang keringatan! Pelukannya yang ketat liat, nafasnya yang memburu dan gigitannya yang berulang-ulang pada kulit dadanya . . . semuanya teringat lagi. Sewaktu hendak ditinggalkannya hadapan pintu kamar menuju keujung langkan di tingkat atas itu, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka.

Sri Kemuning memunculkan kepalanya. Dia terkejut melihat seseorang berdiri di depan pintu namun keterkejutan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenali bahwa yang berdiri itu adalah Untung Pararean.

"Terkejut?" tanya Untung Pararean menegur.

Matanya liar meneliti paras Sri Kemuning. Gadis ini barusan saja habis bersolek hingga parasnya lebih segar dan lebih cantik. Ditambah lagi saat itu dia mengenakan pakaian yang bagian dadanya terbuka lebar hingga kedua pangkal buah dadanya jelas kelihatan tersembul keluar, memhuat Untung Pararean jadi blingsatan tak karuan!

"Aku kira siapa," ujar Sri Kemuning sambil melontarkan senyum genit. "Heh, kau sudah mulai berjaga-jaga sesiang ini?"

"Ya. Aku kawatir kepala rampok itu akan muncul lagi membawa anak buahnya!"

"Ah, betapa senangnya mempunyai seorang pengawal yang setia sepertimu ini, Untung," kata Sri Kemuning pula dengan tertawa cerah lalu berdiri di tepi terali langkan ditingkat atas itu. "Gelap dan hitam saja pemandanyan disini ... Dan banyak nyamuk pula!" Dipalingkannya kepalanya pada Untung Pararean lalu dipegangnya lengan pemuda itu hingga hasrat yang menyesak-nyesak di darah si pemudan kembali membuat sekujur tubuhnya panas dingin laksana orang diserang demam malaria! Diremasnya tangan gadis itu. Untuk sesekali mereka saling berpandangan. Hasrat hati untuk kembali mengulangi apa yang telah mereka lakukan siang tadi kentara terbayang dibola mata masing-masing.

Untung Pararean tak dapat menahan hatinya lagi saat itu. Diulurkannya tangannya hendak memeluk Sri Kemuning tapi dia kecewa karena gadis itu mengelak.

"Jangan di luar sini Untung ... " bisik Sri Kemuning. Ditatapnya pemuda itu sebentar, digoyangkannya kepala ke arah pintu lalu masuk ke kamar tanpa menguncikan daun pintu.

Untung Pararean berdiri mematung sejenak lamanya. Dia memandang ke dalam kamar lewat pintu yang terbuka dan dilihatnya Sri Kemuning berdiri di hadapan sebuah kaca besar, menanggalkan pakaiannya satu demi satu! Laksana gila Untung Pararean menghambur masuk ke dalam kamar itu! Sesaat kemudian keduanya sudah berada di atas tempat tidur! Untung Pararean baru saja hendak meneduhi tubuh Sri Kemuning ketika di atas genteng terdengar suara tertawa bekakakan yang membuat kedua insan didalam kamar itu sama-sama tersentak kaget!

"Ha . . . ha . . , ha ... ! Rupanya kalian berdua adalah bangsanya lonte-lonte bejat! Bagus sekali! Teruskan niatmu mencapai sorga dunia itu, pemuda keparat! Bila sudah, aku menunggumu di halaman samping! Jangan lupa pakai pakaianmu dulu biar kau mampus secara wajar!"

Laksana kilat Untung Pararean melompat dari atas tempat tidur dan menyambar pakaiannya. Dengan keris Mustiko Jagat ditangan kanan dia keluar dari pintu kamar. Dia tidak takut pada manusia yang tadi bicara dan tertawa di atas genteng! Tapi jika dia berani datang pastilah mengandalkan sesuatu! Ketika dia sampai diujung langkan apa yang diduganya ternyata betul.

Tapi Untung Pararean yakin akan keampuhan Mustiko Jagat, maka tanpa ragu-ragu dia melompat turun dari samping yang gelap, hanya diterangi bintang-bintang, rembulan dan sinar lampu yang merambas dari rumah makan dan penginapan!

***

 

LIMA

 

SUARA tertawa bekakakan kembali mengumandang mandang sewaktu Untung Pararean sampai di halaman samping itu.

"Ha...ha! Apakah sudah kau teruskan tidur dengan gadis itu? Kalau belum berarti kau akan mampus penasaran Untung Pararean!"

"Sepasang Golok Maut! Setelah selamat melarikan diri mengapa berlaku bodoh untuk datang kembali?! Apakah kau punya nyawa rangkap?!" bentak Untung Pararean dengan suara tak kalah keras. Sambil membentak begitu kedua matanya meneliti suasana sekelilingnya.

Di belakang kepala rampok dari hutan Dadakan itu, dibawah pohon cempedak, berdiri seorang kakek-kakek yang cuma mengenakan sehelai cawat. Tubuhnya kurus kering tulang-tulangnya kelihatan bertonjolan hingga dia tak ubahnya seperti tengkorak hidup saja! Kakek-kakek ini berambut keriting pendek dan cuma memiliki sebuah mata. Matanya yang sebelah kiri hanya merupakan satu lobang hitam yang besar dan mengerikan! Yang luar biasa dari orang yang kulitnya berwarna hitam ini ialah kedua tangannya yang teramat panjang hingga sampai ke betis!

Tiba-tiba saja manusia ini mengeluarkan suara tertawa mengekeh dan menuding Untung Pararean dengan tangannya yang panjang. Meski jarak mereka terpisah cukup jauh, tapi karena tangan manusia ini panjang sekali maka ujung-ujung jarinya yang menuding hampir saja menyentuh hidung si pemuda membuat Untung Pararean tercekat juga hatinya!

"Pemuda gendeng kau segera akan mampus, tapi masih berani bicara sombong dihadapanku!"

"Orang aneh! Aku tidak kenal padamu! Apa urusanmu mencampuri persoalan orang lain?!" tukas Untung Pararean.

"Oh, jadi kau kepingin kenal siapa aku?!" ujar orang itu. "Aku yang buruk ini bemama Tunggul Gawe-gawe. Orang-orang menggelariku Iblis Tangan Panjang. Dan kedoyananku cuma satu yakni paling senang mencabut nyawa manusia-manusia macammu!" Habis berkata begitu manusia bercawat itu kembali tertawa mengekeh.

"Hem . . . rupanya kau bangsa kawanan setan pelayangan juga!" ejek Untung Pararean. "Manusia-manusia macammu memang pantas untuk jadi andalan rampok busuk ini! Aku tanya apakah ada kawan-kawanmu yang lain yang berada di sekitar sini? Sebaiknya lekas-lekas disuruh keluar agar bisa kulabrak sekaligus!"

"Iblis Tangan Panjang! Baiknya mari cepat-cepat saja kita bikin tamat riwayatnya ini pemuda anjing!" seru Sepasang Golok Maut.

"He ... he . . . Untuk membereskannya kenapa musti berdua." menyahuti Iblis Tangan Panjang. "Biar aku sendiri yang menunjukkan jalan ke neraka padanya!" Manusia ini melangkah ke hadapan Untung Pararean. "Pemuda gendeng, kau bersiaplah untuk mampus!"

Habis berkata begitu Tunggul Gawe-gawe atau Iblis Tangan Panjang menggerakkan tangan kanannya.

"Wutt"!

Satu pukulan lengan yang keras dan menimbulkan angin bersiuran menderu ke arah kepala Untung Pararean. Pemuda ini cepat-cepat merunduk dan sebelum dia sempat melakukan serangan balasan, lengan kiri Iblis Tangan Panjang telah memapas ke pinggang membuat pemuda ini terpaksa melompat menyelamatkan dirinya! Perkelahian seru segera berlangsung jurus demi jurus! Meskipun Untung Pararean memegang keris sakti Mustiko Jagat di tangan kanannya, namun gerakan-gerakan lengan lawannya hebat sekali, membuat dia tak bisa leluasa melancarkan serangan-serangan. Dalam perkelahian itu karena tangannya yang amat panjang, Iblis Tangan Panjang tak perlu susah-susah berkelebat kian kemari. Cukup dia menggeser-geserkan saja kedua kakinya sedang kedua tangannya laksana sepasang tongkat baja memukul dan membabat kian dari pelbagai jurusan!

Karena tak mungkin bagi Untung Pararean untuk mengirimkan tusukan ke tubuh ataupun ke kepala lawannya maka kini pemuda itu merubah taktiknya. Serangan-serangan keris Mustiko Jagat langsung diarahkan pada kedua tangan Tunggul Gawegawe Dan buktinya memang berhasil!

Pada dasarnya Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang diam-diam memang merasa jerih melihat senjata mustika yang ada di tangan lawannya. Dan ketika keris itu kini dipakai untuk menggempur sepasang tangannya, merasakan pula dinginnya sambaran angin senjata tersebut, dia tak lagi dapat bergerak leluasa. Setiap serangannya yang mengandalkan kedua tangannya yang panjang selalu dibikin musnah oleh sambaran keris lawan! Beberapa kali hampir nyaris lengannya kena tertikam senjata tersebut. Naga-naganya kalau dia bertempur begitu terus, lambat laun pasti dia akan kena celaka juga! Maka tanpa tunggu lebih lama Iblis Tangan Panjang mengeluarkan senjatanya dari dalam cawatnya!

Senjata ini adalah sebuah untaian batu-batu permata yang telah direndam dalam racun jahat. Warnanya aneka agam dan kesemuanya bergemerlapan meskipun di halaman samping itu suasana gelap. Ketika untaian batu-batu permata itu diputar diatas kepala maka menggelombanglah angin yang amat hebat. Pohon-pohon bergoyangan, banyak yang daun-daunnya berguguran. Dinding rumah makan dan tiang-tiang rumah penginapan berderikderik sedang tanah serasa dilanda lindu saking hebatnya gelombang angin yang keluar dari senjata Iblis Tangan Panjang itu!

Untung Pararean sendiri tergontai-gontai beberapa detik lamanyal Buru-buru dia membentak nyaring dan sewaktu lawannya datang dari depan, pemuda ini kiblatkan keris Mustiko Jagat dalam jurus aneh yarig luar biasa.

"Hebat sekali ilmu silat keparat ini!" rutuk Iblis Tangan Panjang. Dia tidak tahu bahwa kesaktian keris Mustiko Jagatlah yang membimbing pemuda itu memainkan jurus-jurus silat yang luar biasa itu!

Karena yakin bahwa senjata lawan tak bakal dapat menandingi senjatanya, maka sewaktu bentrokan akan terjadi, Iblis Tangan Panjang sengaja tidak menarik pulang untaian batu-batu permatanya! Meskipun dia tak berhasil menggebuk lawan tapi sekali senjatanya bergeser dengan kulit si pemuda, pastilah pemuda itu akan keracunan. Kalau sudah begitu tentu mudah dia membereskan lawannya itu, demikian pikir Iblis Tangan Panjang. Tapi betapa kagetnya dia sesaat kemudian!

Terdengar suara berdentingan dan percikan bunga api di dalam gelapnya malam sewaktu keris dan untaian batu-batu permata beradu! Untung Pararear merasakan tangannya bergetar hebat tapi itu tak ada artinya karena di depannya dilihatnya bagaimana batu-batu permata yang menjadi senjata lawannya putus berhamburan!

Kaget Iblis Tangan Panjang bukan alang kepalang! Jika senjatanya yang paling diandalkan bisa dibuat berantakan begitu rupa, ini sudah merupakan satu pertanda lebih baik dia angkat kaki dari situ dari pada meneruskan perkelahian! Tapi untuk melakukan hal itu tentu saja dia merasa malu terhadap Sepasang Golok Maut yang berada ditempat itu. Buntut-buntutnya dia cuma berseru untuk meminjam salah satu golok kepala rampok itu.

Sambil memberikan salah satu golok besarnya, Sepasang Golok Maut berseru, "Tunggul Gawegawe, tak usah kau repot terlalu lama. Aku akan bantu!"

Bantuan, memang itulah yang diharapkan oleh Iblis Tangan Panjang. Dengan nyali besar kedua orang itu lalu mengeroyok Untung Pararean! Pemuda ini berkelebat cepat sekali. Bayang-bayang tubuhnya tertutup oleh sinar biru dari keris Mustiko Jagat.

Bagaimanapun Iblis Tangan Panjang dan Sepasang Golok Maut menggempur dan mengirimkan serangan dahsyat silih berganti namun tiada guna nya! Kedua orang ini tak sanggup mendekati pemuda itu lebih dekat dari jarak empat langkah. Di lain pihak sementara itu kekuatan gaib yang berasal dari keris Mustiko Jagat semakin hebat pula membimbing dia. Setelah bertempur empat putuh jurus lebih, dengan ilmu menyusupkan suara Iblis Tangan Panjang berkata pada Sepasang Golok Maut.

"Naga-naganya kita tak bakal menang sobatku! Sebelum celaka sebaiknya siang-siang kita tinggalkan tempat ini!"

Sepasang Golok Maut juga sudah sangat penasaran dan mulai sangsi. Apa yang dikatakan Iblis Tangan Panjang adalah benar menurutnya, maka iapun segera hendak menjawab menyetujui ucapan kambrainya itu. Namun sebelum dia sempat berkata keris Mustiko Jagat menderu cepat di muka hidungnya! Sepasang Golok Maut melompat kebelakang sambil melancarkan satu pukulan tangan kosong. Justru lengannya yang memukul ini merupakan makanan empuk bagi keris Mustiko Jagat! Terdengar lah pekik kepala rampok hutan Dadakan itu! Tangan kanannya papas, buntung! Darah menyembur! Saat itu juga racun keris Vustiko Jagat yang amat berbahaya memasuki darahnya, menjalar dengan cepat keseluruh pembuluh hingga beberapa detik kemudian Sepasang Golok Maut meregang nyawa dengan tubuh matang biru!

Pada saat Sepasang Golok Maut menjerit keras karena tangannya putus dibabat keris Mustiko Jagat, pada saat perhatian Untung Pararean ini dipergunakan oleh Iblis Tangan Panjang untuk melarikan diri tanpa diketahui oleh si pemuda. Untung Pararean baru menyadari bahwa lawannya yang seorang itu sudah lenyap sewaktu dia memandang berkeliling. Sementara itu dari mana-mana bermunculan penduduk ke tempat itu. Untung Pararean menerangkan sedikit apa yang kita telah terjadi lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Di kamar penginapan di tingkat atas, pemuda ini disambut dengan pelukan hangat oleh Sri Kemuning.

"Aku menyaksikan perkelahianmu dari terali atas sana. Untung! Kau hebat sekali! Betul-betul hebat ... Oh, aku cinta padamu Untung!" Gadis ini memeluk lagi pemuda itu ketat-ketat ke tubuhnya, menciumi keringat yang membasahi dada Untung Pararean. Dan apa yang telah terjadi sebelumnya segera terlupakan oleh kedua orang itu. Semalam-malaman, sampai pagi, Untung Pararean benar-benar telah melakukan "pengawalan" atas diri Sri Kemuning di dalam kamar itu . . . di atas tempat tidur!

Keesokan harinya kedua orang itu melanjutkan perjalanan ke Kotaraja. Untung Pararean bertindak sebagai kusir kereta merangkap pengawal. Menjelang tengah hari mereka telah memasuki Kotaraja, langsung menemui Sri Baginda di Istana. Bukan main kagetnya Raja mendengar penuturan keponakannya. Di samping itu Raja merasa sangat gembira pula dan berterima kasih pada Untung Pararean karena telah menyelamatkan Sri Kemuning dari bahaya maut sampai beberapa kali!

Seperti yang telah dikatakan Sri Kemuning, atas permintaan gadis itu maka Untung Pararean oleh Sri Baginda diangkat menjadi salah seorang Perwira Kerajaan. Dan bukan itu saja, Sri Baginda juga meminta agar pemuda itu suka mengambil Sri

Kemuning menjadi istrinya! Sebenamya memang Untung Pararean sangat terpikat dan cinta pada dara yang penuh daya tarik dan pandai merayu itu. Maka tanpa banyak cerita lagi Untung Pararean menerima permintaan itu.

Perkawinan dilangsungkan cukup meriah dan kepada kedua orang itu diberikan sebuah gedung kecil yang terletak dalam lingkungan tembok Istana.

Beberapa tahun kemudian . . .

Dari perkawinannya dengan Sri Kemuning, Untung Pararean dikaruniai seorang anak perempuan yang diberinya nama Sri Lestari. Meski di luaran kehidupan rumah tangga kedua orang itu kelihatan rukun bahagia, tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Seringkali kedua suami istri itu cekcok satu sama lain. Ini disebabkan tabiat Sri Kemuning yang membuat Untung Pararean sakit makan hati.

Seperti telah dituturkan sebelumnya, Sri Kemuning meskipun keponakan Sri Baginda tapi bukanlah seorang perempuan baik-baik. Diantara sekian banyak keburukannya, yang paling terkenal di kalangan orang-orang Istana ialah sifatnya yang mata keranjang. Tak boleh melihat laki-laki gagah, apalagi jika laki-laki itu masih muda belia dan tegap kuat! Telah berkali-kali Untung Pararean mendengar kabar bahwa jika dia sedang bertugas ke tempat jauh, istrinya itu sering pergi ke tempat beberapa orang pemuda bahkan seorang diantara pemuda-pemuda itu pernah beberapa kali disuruhnya datang ke gedungnya dalam lingkungan Istana itu!

Mula-mula Untung Pararean tidak mau percaya karena dia yakin bahwa istrinya itu sangat mengasihinya sehingga masakan mau berbuat serong begitu rupa? Namun pada satu hari dia dihadapkan pada satu kenyataan yang dibuktikannya sendiri!

Pada masa itu Kerajaan tengah menghadapi beberapa pemberontakan kecil. Dibawah pimpinan beberapa Perwira Kerajaan, termasuk Untung Pararean, pasukan Kerajaan berhasil menumpas pemberontak-pemberontak tersebut. Meskipun belum keseluruhan pemberontak berhasil dimusnahkan, namun untuk sementara bahaya yang mengancam Kerajaan boleh dikatakan tidak ada. Namun demikian tidak seorangpun dari Perwira-perwira Kerajaan yang mengetahui bahwa satu kekuatan besar kaum pemberontak yang berpusat dikaki Gunung Lawu tengah merencanakan penyerbuan besar-besaran ke Kotaraja.

Demikianlah, karena merasa keadaan sudah cukup aman maka Untung Pararean bersama pasukan kembali ke Kotaraja. Rindunya terhadap anak istrinya membuat dia begitu selesai memberi laporan pada Sri Baginda, cepat-cepat kembali ke tempat kediamannya dan langsung menuju ke kamar. Begitu pintu kamar terbuka terkejutlah Untung Pararean melihat bagaimana istri yang sangat dicintainya itu telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang pemuda! Pemuda ini bukan lain adalah salah seorang pengawal gedungnya, jadi masih merupakan anak buahnya sendiri.

Gelaplah pemandangan Untung Pararean. Keris Mustiko Jagat segera dihunusnya. Sri Kemuning menjerit sewaktu menyaksikan bagaimana pemuda yang tidur bersamanya itu roboh dilanda tikaman yang pertama. Menyusul tikaman yang kedua, ketiga ... keempat dan seterusnya hingga sekujur tubuh pemuda itu laksana daging cincangan, lumat membanjiri darah.

Untung Pararean masih akan terus menusuki tubuh pemuda yang sudah tak bernyawa itu jika seandainya saat itu lima orang prajurit kepala dan empat orang Perwira tidak masuk menyerbu ke dalam kamar dan memeganginya!

"Lepaskan aku! Lepaskan!" teriak Untung Pararean menggeledak. "Dajal perempuan itu juga harus mampus! Harus mampus!"

Tapi seorang Perwira berhasil merampas keris Mustiko Jagat hingga kejap itu lenyaplah kekuatan yang ada di diri Untung Pararean. Seorang Perwira lain segera menolak tubuhnya sementara Sri Kemuning sendiri sudah melarikan diri dari kamar itu!

Apa yang telah terjadi itu menghebohkan seluruh Istana. Tapi semua orang tak bisa memikirkan itu lebih lanjut, juga tak berusaha mencari tahu ke mana Sri Kemuning bersama anak perempuannya melarikan diri karena yang dipikirkan oleh semua orang saat itu ialah bahaya besar yang mengancam Kerajaan. Kabar yang dapat dipercaya menyatakan bahwa bala tentara pemberontak yang berpusat di kaki Gunung Lawu telah mulai bergerak menuju Kotaraja! Setiap kampung dan desa yang mereka temui pasti akan disamaratakan dengan tanah. Penduduk yang tidak berdosa, tak perduli apakah perempuan atau anak-anak dibunuh secara kejam luar biasa. Demikian cepatnya pergerakan pasukan pemberontak ini hingga dalam tempo yang singkat saja hanya tinggal tiga hari perjalanan lagi dari Kotaraja!

Kira-kira seribu prajurit dibawah pimpinan lima orang Perwira Kerajaan telah dikirim untuk menghancurkan kaum pemberontak. Mereka bertemu di satu tempat yang terletak dua hari perjalanan dari Kotaraja. Meski prajurit Kerajaan berjumlah banyak dan dipimpin oleh Perwira-perwira berkepandaian tinggi, namun jumlah prajurit pemberontak tidak pula sedikit. Dalam pada itu kaum pemberontak juga memiliki tokoh-tokoh silat klas satu hingga setelah bertempur selama setengah hari, kaum pemberontak berhasil memukul mundur bala tentara Kerajaan! Ratusan prajurit Kerajaan menemui kematian! Dua orang Perwira tewas, satu luka-luka parah. Dan dua lainnya tertangkap hidup-hidup. Ketika menerima kabar itu dari seorang kurir, cemaslah Sri Bagindal Orang satu-satunya yang sangat diharapkan oleh Sri Baginda ialah Perwiranya yang paling tinggi ilmu kepandaiannya yaitu Untung Pararean. Tapi sang Perwira ini kini berada dalam keadaan menyedihkan!

Sesudah mengalami peristiwa tempo hari itu. Untung Pararean menderita bathin yang amat mendalam terutama dikarenakan pada istrinya sejak kejadian itu tidak diketahui kemana perginya. Dan kepergiannya itu membawa serta anak permpuan yang amat dikasihi Untung Pararean. Demikian hebatnya penderitaan bathin yang menimpa Perwira itu hingga sifatnyapun sudah berubah seperti orang yang kurang ingatan.

Sepanjang hari dia mengurung diri di dalam kamar dan menangis tiada henti. Kedua matanya telah bengkak dan sembab. Pipinya telah cekung. Karena dia tak mau makan dan tak mau minum selama beberapa hari maka keadaan tubuhnyapun makin lama makin kurus! Kadang-kadang di malam buta Untung Pararean menjerit-jerit, berteriak memaki-maki. Tak seorangpun yang berani mendekatinya. Pernah satu kali seorang prajurit datang mengantarkan makanan dan air. Untung Pararean lalu mancabut keris Mustiko Jagat dan memburu prajurit itu karena di mata Perwira yang kurang ingatan ini si prajurit tadi kelihatannya adalah pemuda yang telah tidur bersama istrinya dan yang telah dibunuhnya itu!

Sementara keadaan Untung Pararean semakin parah, ancaman kaum pemberontak semakin kritis pula karena pada waktu itu mereka cuma tinggal satu setengah hari perjalanan saja dari Ibukota!

Dalam saat-saat yang menegangkan itu pulalah tiba-tiba saja muncul seorang kakek-kakek aneh didepan Istana yang katanya ingin bertemu dengan Sri Baginda. Mula-mula para pengawal menyangka kakek-kakek ini adalah seorang mata-mata pemberontak sehingga segera hendak ditangkap. Namur betapa terkejutnya semua prajurit kareria siapa saja yang berani datang mendekat dan turun tangan, pasti mencelat mental dihantam kaki atau tangan kakek-kakek ini.

"Aku datang dengan maksud baik! Kenapa mau ditangkap?! Benar-benar manusia tidak tahu diri Kalian semua!" begitu si kakek memaki. Lalu karena tak ada seorangpun yang berani menghalanginya kakek-kakek inipun masuk ke Istana lenggang kangkung dan sampai dihadapan Sri Baginda. Sri Baginda sebelumnya telah diberi tahu atas kedatangan kakek-kakek aneh ini.

"Tamu dari manakah yang datang ke Istana ini?" tegur Sri Baginda sementara beberapa Perwira berdiri didekatnya menjaga segala kemungkinan.

"Kudengar di Istana ini ada seorang Perwira yang sakit. Betulkah itu?" bertanya si kakek tak dikenal.

Sri Baginda memandang pada Perwira-perwiranya, lalu menganggukkan kepala. "Betul sekali. Dari manakah kau tahu dan harap terangkan dulu siapa kau ini, orang tua?"

Orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu menjawab, "Aku yang tua ini adalah Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo ... "

Terkeiutlah. Sri Baginda dan Perwira-perwira Kerajaan tapi disamping itu juga timbul rasa gembira dan pengharapan.

"Ah, tak tahunya Istana telah kedatangan seorang sakti yang telah terkenal di delapan penjuru angin. Silahkan duduk orang tua. Maafkan kalau perlakuan orang-orangku terhadapmu tidak menyenangkan. Sesungguhnya aku sendiripun baru kali ini berhadapan denganmu ... "

Kiyai Supit Pramana duduk di sebuah kursi yang kemudian disediakan.

"Tadi Kiyai bertanyakan tentang seorang Perwira yang sakit. Apakah maksud Kiyai sesungguhnya?"

"Aku ingin mengobatinya," jawab orang tua itu.

"Ah, itu satu hal yang menggembirakan. Kami sangat berterima kasih padamu Kiyai." ujar Sri Baginda pula. "Kemudian dari pada itu Kiyai, atas nama rakyat dan Kerajaan aku meminta agar sudilah Kiyai turun tangan membantu menumpas kaum pemberontak. Kiyai tentu tahu bagaimana besamya bahaya yang mengancam Kerajaan kini. Bala tentara kaum pemberontak sudah sangat dekat. Mereka memiliki beberapa tokoh silat yang berkepandaian tinggi pula!"

Kiyai Supit Pramana menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tahu, aku tahu, Baginda. Tapi kedatanganku kesini cuma punya satu maksud yaitu mengobati Perwiramu yang sakit itu. Soal pemberontak aku tak bisa ikut campur. Nah sekarang tunjukkanlah aku dimana beradanya Perwiramu yang sakit itu!"

Raja dan para Perwira merasa kecewa. Mereka yakin jika orang tua yang sakti luar biasa itu bersedia turun tangan pastilah kaum pemberontak berhasil ditumpas sekalipun mereka memiliki tokohtokoh silat yang hebat! Tapi kekecewaan itu agak terhibur oleh adanya maksud Kiyai Supit Pramana yang hendak mengobati Untung Pararean. Jika Untung Pararean berhasil diobati dan dapat maju kemedan laga menghadapi pemberontak, itupun sudah cukup sebagai jaminan bahwa kaum pemberontak akan kena ditumpas!

Maka atas perintah Sri Baginda beberapa pengawal mengantarkan Kiyai Supit Pramana ke kamar Untung Pararean. Di hadapan pintu kamar mereka berhenti. Salah seorang Perwira memberi tahu, "Pintu ini dikunci dari dalam Kiyai."

Kiyai Supit Pramana mengangguk. Sekali kaki kirinya yang kurus kering bergerak menendang, maka bobollah pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu. Di dalam kamar tampak Untung Pararean duduk menjelepok disudut kamar tengah sesenggukan!

Keadaan dirinya kurus kering laksana tengkorak. Kulitnya pucat pasi hanya tinggal pembalut tulang. Matanya yang menonjol kedepan berwarna merah dan ganas. Begitu dia melihat orang-orang itu. Untung Pararean mencabut keris Mustiko Jagat. Hawa aneh membuat tubuhnya menjadi kuat dan laksana seekor srigala lapar laki-laki ini melompat kehadapan Kiyai Supit Pramana seraya berteriak.

"Kau datang lagi pemuda bangsat! Kau datang lagi ya?! Mampus! Mampuslah kau keparat!"

Keris Mustiko Jagat menderu kearah dada Kiyai Supit Pramana.

"Awas Kiyai!" memperingatkan seorang Perwira. "Itu senjata sakti dan mengandung racun jahat sekali!"

***

 

ENAM

 

TERKESIAP juga kiyai Supit Pramana melihat sinar biru pekat yang keluardari kerisdi tangan Untung Pararean. Angin yang menyambarpun terasa dingin menembus kulit! Tapi orang tua itu tidak kawatir! Cuma sekejap dia terkesiap. Perwira perwira Kerajaan yang mengantarkannya tidak sempat melihat gerakan apa yang dibuat oleh kakek kakek sakti itu karena tahutahu saja terdengar keluhan pendek Untung Pararean. Perwira. yang sakit ini tegak mematung dengan kedua bola mata melotot seperti mau melompat sedang keris Mustiko Jagat sudah berada dalam tangan Kiyai Supit Pramana!

Sementara Perwira-perwira Kerajaan itu terheran-heran, sang Kiyai mengeluarkan dua buah botol dari balik pakaiannya. Botol pertama berisi cairan hitam. Botol kedua, lebih kecil berisi cairan putih bening. Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol yang pertama lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengguyurkan cairan hitam itu ke atas kepala Untung Pararean!

Meskipun tubuhnya ditotok dan tak bisa bersuara, tapi ketika air hitam menyirami kepalanya dan kepala itu kelihatan mengepul-ngepul maka dari mulut Untung Pararean terdengar jeritan sedahsyat geledek membuat Perwira-perwira Kerajaan yang ada disitu serasa terbang nyawanya! Dua kali Untung Pararean mengeluarkan jeritan dahsyat itu lalu kembali mulutnya terkatup rapat-rapat. Kiyai Supit Pramana membuka tutup botol yang kedua. Mulutnya kelihatan komat-kamit, entah membaca mantera apa.

"Buka mulutmu, Pararean!" memerintah sang Kiyai.

Aneh, Untung Pararean benar-benar membuka mulutnya.

Di saat itulah hal aneh lagi terjadi. Cairan putih bening di dalam botol di tangan Kiyai Supit Pramana menyembur laksana air mancur, masuk ke dalam mulut Untung Pararean.

"Minum. Telan!" seru Kiyai Supit Pramana.

Cegluk . . . cegluk ... terdengar air itu lewat ditenggorokan Untung Paiarean.

"Bagus! Nah, sekarang kau pergilah ke tempat tidur itu, berbaring dan tidurlah!" Kiyai Supit Pramana melepaskan totokan ditubuh Untung Pararean dan begitu totokan terlepas Perwira ini laksana patung hidup melangkah ketempat tidur, membaringkan tubuhnya, memejamkan kedua matanya dan tidur!

Orang tua itu kemudian berpaling pada Perwira-perwira Kerajaan yang berdiri terlongong-longong dibelakangnya.

"Jika dia sudah bangun nanti, sakit yang dideritanya akan sembuh. Katakan pada Raja kalian bahwa sakit yang menimpa Untung Pararean bukan sembarang sakit! Tapi adalah akibat kutukan seseorang terhadap apa yang pernah dilakukan olehnya."

"Kutukan . . ,?" mengulang salah seorang Perwira.

Yang terdengar sebagai jawaban hanya sambaran angin. Ketika perwira-perwira itu memandang ke depan Kiyai Supit Pramana sudah tidak ada sedang keris Mustiko Jagat kelihatan tertancap didaun pintu!

"Manusia sakti luar biasa ..." desis seorang Perwira. Kawan-kawannya hanya bisa menganggukkan kepala sambil leletkan lidah!

Benar seperti yang dikatakan oleh Kiyai Supit Pramana begitu Untung Pararean bangun dari tidurnya, keadaan dirinya berubah total. Otaknya telah pulih sehat seperti sedia kala sehingga Sri Baginda benar-benar gembira dan bersyukur atas pertolongannya si kakek sakti dan aneh itu! Maka kepada Untung Pararean Sri Baginda dan beberapa Perwira penting menerangkan bahaya apa yang tengah dialami Kerajaan saat itu. Dalam pertemuan itu rencanapun segera disusun. Ketika sinar matahari mulai berkurang teriknya karena sudah rembang petang, maka dari pintu gerbang Kotaraja kelihatanlah serombongan besar bala tentara bergerak ke timur di bawah pimpinan seorang Perwira yang menunggangi kuda hitam. Perwira ini bertubuh kurus dan bermuka pucat, tapi gerak geriknya meyakinkan bahwa dia bukan orang sembarangan, terutama yang bukan sembarangan adalah keris Mustiko Jagat yang tersisip di pinggangnya. Dan Perwira itu bukan lain adalah Untung Pararean! Di kiri kanannya bergerak pula beberapa orang Perwira Kerajaan yang berkepandaian silat tinggi!

Meski pada dasarnya Untung Pararean bukanlah apa-apa jika tanpa keris Mustiko Jagat, namun harus diakui bahwa dia memiliki otak yang cerdik. Sewaktu hampir berpapasan dengan bala tentara pemberontak, Untung Pararean sengaja mengirim sejumlah kecil pasukan yang dibawanya. Sesudah terjadi pertempuran, dengan jumlah pasukan yang lebih besar Untung Pararean dan Perwira-perwira lainnya segera mengurung kaum pemberontak sehingga pemberontak-pemberontak itu harus menqhadapi musuh dari depan dan dari belakang!

Amukan Untung Pararean, jelasnya amukan keris Mustiko Jagat memang bukan main hebatnya. Puluhan pemberontak menemui ajalnya di ujung senjata sakti itu. Dua orang tokoh pemberontak yang berilmu tinggi mandi darah dan mati di tangan Untung Pararean. Dua tokoh lainnya coba mengeroyok Perwira ini namun merekapun mengalami nasib yang sama, harus menyusul dua kawan mereka yang terdahulu!

Sesudah pertempuran berkecamuk hampir dua jam dengan banyak korban jatuh di pihak pemberontak maka sisa-sisa yang masih tinggal, di bawah seorang tokoh silat golongan hitam segera mengundurkan diri! Tapi Untung Pararean tak mau melepaskan tokoh pemberontak yang seorang ini. Dipacunya kuda hitamnya mengejar orang yang lain, yang kini sama sekali tak punya pimpinan barang seorang pun banyak yang lari pontang-panting, ada juga yang menjauhkan diri, berlutut minta ampun!

Untung Pararean tak memperdulikan mereka yang berlutut minta ampun itu. Semuanya dilabrak dengan tendangan dan babatan keris hingga di tempat itu bertebaran lagi mayat-mayat kaum pemberontak!

Dengan hati puas Untung Pararean kembali kepada pasukannya. Justru dalam perjalanan kembali inilah tiba-tiba muncul satu sosok tubuh dari jurusan timur yang berlari laksana kilat, memapas larinya kuda hitam yang ditunggangi oleh Untung Pararena, hingga binatang ini menghentikan larinya, meringkik keras-keras dengan menaikkan kedua kakinya ke udara tinggi tinggi, hampir saja membuat Untuk Pararean terpelanting.

"Jahannam dari mana yang minta mampus ini?" teriak Untung Pararean menggeledek.

Sebagai jawaban terdengar suara mendengus!

"Untung Pararean manusia rendah hina dina! Sebelum kau mampus ada baiknya kuberi tahu dulu siapa aku adanya!"

Orang yang berkata ini seorang tua renta bertubuh bungkuk. Rambutnya awut-awutan dan menebar bau busuk. Kuku-kuku tangannya panjang-panjang dan hitam. Dia mengenakan sebuah jubah putih yang amat dekil dan penuh tambalan. Tubuhnya kurus kering, lebih kurus dari Untung Pararean sendiri yang keadaannya sudah seperti jerangkong itu. Mukanya yang buruk tambah tidak sedap dipandang karena adanya bopeng-bopeng!

"Aku Gambir Seta. Orang-orang menggelariku Pengemis Sakti Muka Bopeng ... !"

"Hemm . . . hanya seorang pengemis!" ejek Untung Pararean. "Aku tak ada urusan dengan manusia macammu dan juga jangan harap belas kasihanku untuk memberikan uang, sekalipun cuma sepeser!"

Orang tua yang mengaku bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng itu tertawa aneh.

"Orang yang mau mampus biasanya memang suka bicara tak karuan macam kau!"

"Manusia bermuka tahu tertimpa hujan, menghindarlah kalau tak mau kulabrak dengan kaki-kaki kudaku!" ancam Untung Pararean sementara dilihatnya beberapa orang Perwira dan prajurit-prajurit bergerak ke arahnya.

"Mau labrak? Silahkan! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan manusia yang telah membunuh adik kandungku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng pula.

Terkejut Untung Pararean mendengar ucapan orang tua itu. "Apa katamu? Adikmu yang mana yang telah kubunuh? Katakan lekas apakah kau juga salah seorang cecunguk pemberontak?!"

"Kau memaki pemberontak-pemberontak itu, Pararean? Jangan terlalu jauh melupakan dirimu sendiri, Perwira! Ketahuilah. Kau lebih hina, lebih busuk dari pemberontak-pemberontak itu!"

"Kurang ajar! Kau benar-benar inginkan mampus rupanya!" teriak Untung Pararean marah. Disentakkannya tali kekang kudanya, binatang itu melompat kemuka, menerjang Pengemis Sakti Muka Bopeng!

Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh luar biasa! Dengan kedua tangannya Pengemis Sakti Muka Bopeng menangkap kaki-kaki depan kuda hitam itu. Disertai dengan bentakan setinggi langit kedua tangannya digerakkan. Maka melayanglah kuda hitam itu sejauh delapan tombak! Untung Pararean sendiri kalau tidak lekas-lekas melompat pasti akan mendapat celaka pula!

Untung saja dia sempat mencabut keris Mustiko Jagat hingga dengan mengandalkan hawa sakti senjata itu dia melayang enteng ke tanah dan begitu berhadapan dengan si orang tua, langsung saja mengirimkan satu tusukan kilat yang mematikan ke arah tenggorokan!

"Ha ... ha! Inilah dia keris Mustiko Jagat yang kau curi dari adikku! Kau harus mengembalikannya padaku manusia keparat!"

Rasa terkejut yang amat sangat membuat Untung Pararean menarik serangannya.

"Apa katamu? Apa hubunganmu dengan Empu Bharata?!"

"Aku kakaknya! Dan aku yang akan menagih hutang nyawa itu! Tapi ah, tidak! Aku tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus bagimu, terlalu enak! Aku akan biarkan kau tetap hidup, tapi hidup dengan menderita lahir bathin! Lebih hebat dari penderitaanmu yang sudah-sudah!"

Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng menekuk kedua lututnya. Sesaat kemudian tubuhnyapun melesat kemuka. Tapi pada saat itu dari samping datang sambaran senjata, memapai serangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Manusia ini menggeram dan berbalik. Ternyata tiga orang Perwira telah sampai di situ dan sama-sama mencabut pedang menyerang si Pengemis!.

Salah seorang dari Perwira-perwira itu bertanya. "Kangmas Untung, siapa monyet tua ini?! Biar kami yang mencincangnya!"

"Kalian menghindarlah! Nyawanya musti aku sendiri yang cabut!" teriak Untung Pararean lalu dengan cepat, mengiblatkan keris Mustiko Jagat, menghunjam kearah lawannya!

Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa aneh. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari hadapan Untung Pararean.

"Kangmas, awas di sampingmu!" teriak Perwira memberi ingat.

Mendengar ini Untung Pararean cepat membalik dan membabat ke samping laksana kilat! Maka terdengarlah suara beradunya dua buah lengan!

Untung Pararean mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung sampai delapan langkah ke belakang Lengannya yang kena dipukul sakit bukan main merah dan bengkak! Masih untung keris Mustiko Jagat tidak terlepas dari tangannya! Di lain Pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng juga terkejut mendapatkan bagaimana tangannya tergetar keras dan linu. Tapi dia tahu bahwa itu bukanlah berkat kehebatan tenaga dalam atau kesaktian si pemuda, melainkan hawa kekuatan sakti yang keluar dari keris Mustiko Jagat. Maka satu-satunya jalan untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan lekas adalah merebut Mustiko Jagat dari tangan Untung Pararean!

Jurus kedua kembali Pengemis Sakti Muka Bopeng yang membuka serangan. Ujung lengan jubahnya yang sebelah kanan dikebutkan. Satu gelombang angin laksana topan prahara menderu menyambar Untung Pararean! Pemuda itu kiblatkan keris Mustiko Jagat dari kiri kekanan! Sinar biru memapas serangan angin dahsyat dari Gambir Seta alias Pengemis Sakti Muka Bopeng. Terdengar suara berdentum. Debu pasir serta batu-batu kerikil berterbangan. Bumi laksana dilanda lindu. Untung Pararean mengeluarkan seruan tertahan sewaktu merasakan keris Mustiko Jagat terlepas dari tangannya. Dia coba melompat untuk menjangkau senjata itu. Tapi dia tak sadar. Sewaktu Mustiko Jagat lepas dari tangannya, maka segala kesaktiannya yang dimilikinya dengan serta merta lenyap. Lompatannya tak ubahnya seperti lompatan seekor anak ayam. Jangankan untuk berhasil mendapatkan Mustiko Jagat kembali, bahkan saat itu satu tendangan melanda pinggulnya, membuat Untung Pararean melolong setinggi langit, mencelat sampai tujuh tombak. Tubuhnya angsok ditanah tanpa sadarkan diri lagi!

"Manusia muka bopeng keparat!" teriak seorang Perwira Kerajaan. "Tubuhmu akan kutabas jadi sepuluh potong!" Habis berteriak demikian dia bacokkan pedangnya. Dua orang kawannya serentak menyerbu pula hingga Pengemis Sakti Muka Bopeng terkurung tiga serangan pedang yang hebat ganas!

"Perwira-perwira! Aku tak punya permusuhan apa-apa dengan kalian! Jangan serang!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya memasukkan keris Mustiko Jagat ke balik jubahnya. Tapi mana Perwira-perwira mau mendengar! Malah mereka bersirebut cepat untuk dapat membunuh Pengemis Sakti Muka Bopeng! Dengan teriakan mengguntur Pengemis Muka Bopeng melompat setinggi tiga tombak, jungkir balik di udara dan keluar dari kurungan ketiga penaeroyoknya.

"Anjing busuk! Kau mau kabur ke mana?!" Tiga Perwira Kerajaan mengejar sementara puiuhan prajurit telah sampai pula, siap menunggu perintah untuk menyerbu!

"Perwira-perwira degil! Jika kalian minta celaka baiklah! Lihat begaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng akan member pelajaran pada kalian."

Habis berkata begitu, Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat. Tubuhnya lenyap dari pemandangan dan terdengarlah pekik ketiga Perwira itu!

***

 

TUJUH

 

PERWIRA yang pertama mencelat mental, remuk tulang dadanya. Perwira kedua terguling beberapa tombak dengan tempurung lutut remuk sedang Perwira yang ketiga terhempas Ketanah tak berkutik lagi karena perutnya pecah dihantam tendangan!

Pengemis Sakti Muka Bopeng mendonqak ke langit dan tertawa berkakakan lalu membentak pada prajurit-prajurit yang ada di sekelilingnya.

"Ayo maju kalau kalian kepingin mampus!"

Tentu saja sesudah menyaksikan Perwira-perwira mereka menemui nabis begitu rupa, semua prajurit itu sama sekali tidak mempunyai nyali untuk menempur kakek-kakek bermuka bopeng itu. Dengan masih tertawa bekakakan Pengemis Sakti Muka Bopeng lari ke arah di mana tubuh Untung Pararean menggeletak pingsan. Sesaat kemudian diapun lenyap dari pemandangan dengan membawa tubuh Untung Pararean.

Untung Pararean siuman tak berapa lama kemudian ketika tubuhnya masih dibawa lari oleh kakek-kakek kurus kering itu. Pinggulnya terasa sakit karena tulang dibagian situ remuk akibat tendangar si kakek. Bagaimanapun Untung Pararean mengerahkan tenaga namun jangankan untuk bisa melepaskan diri dari kempit si kakek untuk bergerak sedikitpun dia tidak sanggup!

"Muka Bopeng, kau mau bawa ke mana aku?!" tanya Untung Pararean.

"Heh! Kau sudah siuman?!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu menghentikan larinya.

Dia memandang berkeliling. Daerah itu adalah daerah rimba belantara tapi yang banyak terdapat batu-batu besar. Dulunya ada sebuah sungai mengalir di situ, tapi kemudian kering dan karena itulah ditempat! tersebut masih terdapat batu-batu sungai yang besar-besar.

"Bagus! Bagus! Tempat inipun cukup pantas untuk menyaksikan bagaimana hari ini aku hendak merubah muka seorang manusia yang tampan gagah, seorang Perwira Kerajaan, menjadi muka yang tebih buruk, lebih mengerikan dari muka setan!"

Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak hingga seluruh rimba belantara jadi bergema. Beberapa burung hutan lari beterbangan karena dikejutkan oleh suara tertawa manusia itu! Dilepaskannya Untung Pararean dari kempitan lalu dilemparkannya ke atas sebuah batu besar hingga Perwira itu menjerit kesakitan!

Dengan mengeluarkan suara tertawa lebih dahsyat, Pengemis Sakti Muka Bopeng melangkah mendekati Untung Pararean. Untung Pararean tahu tak satu apapun yang bisa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Maka dengan susah payah dicobanya bangun dan berlutut lalu sambil meratap dia minta ampun berulang-ulang.

"Kau minta ampun? Puah . . . ! Tidak satu orangpun yang bisa mengampuni dosa terkutukmu!"

"Kalau kau mengampuni selembar nyawaku ini dan mengembalikan keris Mustiko Jagat. Aku berjanji akan memberikan lima ratus keeping uang emas, barang-barang perhiasan bahkan apa saja yang kau minta!"

Pengemis Sakti itu cuma tertawa mendengar ucapan Untung Pararean.

"Manusia anjing! Aku memang tak akan membunuhmu! Kematian terlalu bagus buatmu! Tapi apa yang aku lakukan percayalah, lebih mengerikan dari kematian!"

"Pengemis Sakti . . . "

"Sudah diam!" bentak kakek-kakek itu lalu secepat kilat menjambak rambut Untung Par,rean dengan tangan kirinya.

"Pertama sekali mulai detik ini kau akan menyaksikan bagaimana bagusnya dunia ini bila dilihat cuma dengan sebelah mata!"

"Begitu selesai berkata tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng meluncur kedepan. Dua jari tangan terpentang lurus-lurus dan "cras"! Biji mata Untung Pararean yang sebelah kiri mencelat mental, darah dan urat-uratnya berbusaian! Jerit laki-laki itu laksana mau merobek langit karena tekanan sakit yang tak dapat dilukiskan sedang di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak melihat hasil pekerjaannya!

"Bagaimana kau lihat dunia ini sekarang? Bukankah lebih bagus? Lebih indah ... ? Ha ... ha . . . .ha . . ha ...!"

"Manusia biadab!" teriak Untung Pararean dalam sakitnya. "Kau hanya berani pada orang yang tak punya daya!"

"Kau masih bisa menceloteh hah?! Coba kau rasakan ini! Aku mau lihat apa kau nanti masih bisa bicara!" Tangan kanan Pengernis Sakti Muka Bopeng berkelebat lagi ke muka Untung Pararean.

Untuk kedua kalinya terderigar jeritan laki-laki itu, tapi yang sekali ini tidak sedahsyat yang pertama tadi. Mungkin juga disebabkan oleh mulutnya yang sebelah karan robek sampai ke pipi dibeset oleh Pengemis Sakti Moka Bopeng. Tubuh Untung Pararean menggigil menahan sakit. Sebagian dari bibirnya yang sebelah bawah menjulai akibat mulutnya yang robek sedang darah yang keluar semakin menambah seram keadaan mukanya!

Pengemis Sakti Muka Bopeng bersurut mundur beberapa langkah. Lalu sambil bertolak pinggang ditelitinya wajah Untung Pararean.

"Masih kurang seram! Masih belum mengerikan!" katanya lalu maju lagi kehadapan korbannya yang manggeletak di atas batu besar. Untuk ketiga kalinya tangan kanan Pengemis Sakti Muka Bopeng bergerak. Kali ini kelima jari-jari tangannya yang berkuku panjang mencengkeram dimuka Untung Pararean yang saat itu berda dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dan cengkeraman itu benar-benar membuat muka Untung Pararean kini menjadi sangat mengerikan dan berselomotan darah. Kulit kening dan kedua pipinya hancur bergurat-gurat. Cuping hidungnya sebelah kiri tanggal!

"Nah, sekarang baru kau betul-betul jadi manusia bermuka lebih seram dari setan! Aku puas ...! Aku puas! Ha . . . ha ... ha! Hiduplah kau sampai seribu tahun, Pararean! Tak satu manusiapun yang akan mau mendekatimu! Ha . . . ha ... ha . . .!" Setelah puas tertawa beberapa lamanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng lalu berkata, "Sekarang kau tunggulah sendirian di sini. Sebentar lagi tentu setan-setan, jin dan dedemit penghuni hutan belantara ini akan mengunjungimu! Heh, sebelum lupa, aku nasihatkan padamu agar jangan kembali ke kotaraja! Bisa-bisa semua orang akan kabur ketakutan melihatmu si Perwira Kerajaan yang telah berubah menjadi setan!"

"Ha ... ha . . . ha!"

Pengemis Sakti Muka Bopeng hendak berlalu dari situ. Tapi mendadak diputarnya badannya. "Aku kelupaan!" katanya.

"Masih ada yang kurang! Masih ada yang kurang!" Kedua tangannya diacungkan ke muka lalu bergerak ke telinga Untung Pararean. Sekejap kemudian kedua daun telinga laki-laki itupun buntunglah! Untung Pararean sendiri tak mengetahui apa yang telah terjadi dengan dirinya karena saat itu dia sudah tidak sadarkan diri lagi!

***

Sang surya telah menggelincir ke barat. Sinarnya yang terik menyilaukan kini berubah redup kekuningan. Setiap benda yang disapu sinar itu seolah-olah berubah warnanya menjadi kuning. Disaat hari menjelang sore itulah seorang kakek-kakek tua berjubah putih bersih kelihatan berada disekitar hutan belantara. Kelihatannya dia melangkah biasa saja tapi dalam tempo yang singkat dia sudah melewati belasan tombak! Nyatalah bahwa orang tua itu memiliki semacam ilmu lari yang luar biasa!

Bila angin timur bertiup sejuk, orar:g tua itu telah lenyap ke dalam rimba belantara. Tak selang berapa lama terdengarlah satu suara helaan nafasnya yan;j dalam sekali. Si orang tua ternyata telah menghentikan "langkah"nya dan berdiri di hadapan batu besar di mana tubuh Untung Pararean menggeletak!

"Tujuh puluh lima tahun hidup, baru hari ini aku melihat kengerian yang luar biasa ini," membathin si orang tua

"Sungguh hebat kenyataan kutukan Empu Bharata..." desisnya lagi dalam hati. Setelah menghela nafas dalam untuk kedua kakinya orang tua ini melangkah lebih dekat. Saat itu tubuh Untung Pararean yang menggeletak di atas batu, sedikitpun tidak bergerak. Tak ada tanda-tanda getaran pernafasan pada dada ataupun perutnya. Namun sepasang mata si orang tua yang tajam mengetahui bahwa Untung Pararean saat itu masih hidup. Tanpa menunggu lebih lama orang tua itu lalu mengangkat tubuh Untung Pararean dari atas batu, memangulnya untuk kemudian meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke utara.

Siapakah gerangan orang tua yang telah membawa Untung Pararean itu? Dia bukan lain Kiyai Supit Pramana yang dua hari lalu telah mengobati Untung Pararean di Istana! Bagaimana maka dia bisa pula sampai di situ baiklah kita tuturkan sedikit.

Nama Kiyai Supit Pramana pada masa itu di tanah Jawa dikenal sebagai tokoh silat golongan putih yang dihormati dan disegani berkat ilmunya yang tinggi. Pada suatu malam di pertapaannya yang terletak di puncak Gunung Bromo dia bermimpi kedatangan almarhum gurunya yang bernama Eyang Pamanik. Dalam mimpi itu Eyang Pamanik berkata pada Kiyai Supit Pramana.

"Muridku, tinggalkanlah puncak Bromo ini dan pergi ke Kotaraja. Di dalam lingkungan Istana ada seorang Perwira Kerajaan yang menderita sakit keras! Sakitnya bukan sembarang, sakit, tapi sakit akibat kutukan Empu Bharata yang pernah diam di Gunung Slamet. Kau mempunyai kewajiban sebanyak tiga kali berturut-turut menolong Perwira itu. Pertama mengobati sakitnya dengan ramuan Air Tawar Putih dan Air Tawar Hitam. Bila sudah tinggalkan Istana dan pergi kebukit Tulungsentana.

Tunggu sampai satu setengah hari kemudian pergi kehutan yang terletatak di tenggara Kotaraja. Kelak di dalam hutan ini kau bakal menemui lagi Perwira itu dalam keadaan yang mengerikan. Itu adalah juga akibat kutukan Empu Bharata. Pertolongan kedua yang harus kau lakukan muridku, ialah membawa Perwira itu kepuncak Bromo ini, memberikan pelajaran ilmu silat padanya, tapi sekali-kali kau tak boleh mengambil dia sebagai murid! Pertolongan yang ketiga kelak harus kau lakukan di kemudian hari bila kau merasa bahwa nyawanya betul-betul terancam. Sesudah itu meski apapun yang terjadi dengan dirinya, kau tak berhak lagi menolongnya! "

Begitulah kira-kira ucapan Eyang Pamanik pada Kiyai Supit Pramana dalam mimpinya. Keesokan paginya, lama Kiyai Supit Pramana merenungi makna mimpi mendiang gurunya itu. Memang pernah juga dia bermimpikan Eyang Pamanik, tapi dalam mimpi itu sang guru cuma sekadar memperlihatkan diri saja, tak pernah bicara apalagi sampai memberi pesan seperti itu.

Yakin bahwa apa yang diimpikannya itu hanyalah bunga tidur belaka, maka Kiyai Supit Pramana tak mau lagi mengigatnya. Tapi pada malam berikutnya, mimpi yang sama datang kembali, bahkan terulang lagi di malam ketiga! Kini Kiyai Supit Pramana merasa pasti bahwa mimpinya itu bukanlah sekedar mimpi biasa, bukan pula apa yang dikatakan bunga tidur. Tanpa menunggu lebih lama hari itu juga Kiyai Supit Pramana meniggalkan puncak Gunung Bromo menuju ke Kotaraja.

Dalam perjalanan ke Kotaraja itulah orang tua yang berumur 75 tahun ini mengetahui bahwa saat itu Kerajaan tengah terancam bahava besar kaum Pemberontak. Timbul niat dalam hati orang tua sakti itu untuk turun tangan menumpas gembong-gembong pemberontak tapi dia ingat akan pesan gurunya di dalam mimpi. Dia tak berani bertindak sendiri di kala ada kewajiban yang harus dijalankannya. Karena itu dipercepatnya perjalanannya ke Kotaraja hingga tiga hari kemudian sampailah dia ditempat tujuan tersebut.

Memasuki Kotaraia kerrudian diketahuinya pula bahwa memang ada seorang Perwira Kerajaan yang bernama Untung Pararean sedang menderita sakit yang kritis bahkan ada yang mengatakan bahwa Perwira itu sudah gila, tak mau makan tak mau minum, kerjanya berteriak-teriak, kadang-kadang menangis menggerung-gerung memanggil-manggil anak isterinya yang pergi entah ke mana. Juga dikatakan bahwa siapa saja yang berani mendekati Perwira yang sakit itu, pasti dibunuh. Kabarnya pula Perwira itu memiliki sebilah keris bernama Mustiko Jagat! Sampai sebegitu jauh tak ada seorang yang sanggup mengobati sakitnya sang Perwira. Raja sendiri sudah tak berdaya apa-apa, mengingat pula saat itu yang menjadi pikiran Raja dan Perwira-perwira lainnya bukanlah Perwira yang bernama Untung Pararean itu, tapi bahaya besar yang mengancarn Kerajaan yakni serbuan kaum pemberontak yang sudah berada sangat dekat dari Pusat Kerajaan! Kini betul-betul nyata bagi Kiyai Supit Pramana, bahwa impian dan pesan gurunya dalam mimpi itu bukanlah hal yang kosong belaka.

Bagaimana Kiyai Supit Pramana mengobati dan menyembuhkan Untung Pararean telah diceritakan. Sesudah melakukan pesan atau pertolongan yang pertama itu maka Kiyai Supit Pramana lalu meninggalkan Kotaraja menuju ke bukit Fulungsentana. Sesuai dengan pesan Eyang Pamanik, maka Kiyai Supit Pramana herdiam selama satu setengah hari di bukit tersebut. Selewatnya satu setengah hari dia lalu menuju ke hutan yang terletak di sebelah tenggara. Belum jauh memasuki hutan, langkahnya terhenti sewaktu menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas sebuah batu besar. Inilah rupanya sosok tubuh Untung Pararean sebagaimana yang diterangkan Eyang Pamanik lewat mimpi! Oleh Kiyai Supit Pramana tubuh Untung Pararean yang berada dalam keadaan pingsan itu kemudian segera dilarikan kepuncak Gunung Bromo.

***

 

DELAPAN

 

DUNIA berputar juga. Siang berganti dengan malam, malam berganti pula dengan siang, demikian terus tiada hentinya hingga tak terasa lagi enam belas tahun telah berlalu. Selama enam belas tahun itu pulalah Untung Pararean tinggal dipuncak Gunung Bromo bersama Kiyai Supit Pramana. Keadaan muka Untung Pararean meskipun sudah sejak lama sembuh tapi bekas-bekas yang ditinggalkan tetap mengerikan. Melihat penderitaan lahir maupun bathin Untung Pararean inilah maka Kiyai Supit Pramana merasa kasihan padanya. Karena itulah pada Untung Pararean sang Kiyai menurunkan ilmu silat dan beberapa pukulan-pukulan sakti. Berkat ketekunannya meyakini semua yang dipelajari dari Kiyai tersebut maka dalam masa enam belas tahun itu Untung Pararean telah menjadi seorang pendekar gemblengan. Disamping pelajaran ilmu Oat, dari Kiyai Supit juga diterimanya berbagai macam pelajaran yang bersifat kerohaniaan. Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan orang tua itu kepada Untung Pararean sehingga Untung Pararean yang kini berumur tiga puluh lima tahun itu bukan saja memiliki kepandaian yang tinggi, tapi juga hati yang tabah.

Namun kadang-kadang, bilamana dia berada seorang diri ingatannya melayang pada anak istrinya. Tentu sekarang Sri Lestari sudah menjadi seorang remaja puteri. Betapa rindunya dia terhadap anaknya itu, bahkan dia juga sering terkenang terhadap istrinya, meskipun apa yang telah dilakukan Sri Kemuning tempo hari tetap membekas dalam kalbunya laksana duri dalam daging.

Segala tindak tanduk Untung Pararean tidak terlepas dari pengawasan Kiyai Supit Pramana. Dan dia maklum juga apa yang terpikir oleh laki-laki itu bila berada seorang diri. Pernah Kiyai Supit Pramana menganjurkan agar Untung Pararean turun gunung untuk mencari anak istrinya dan berkumpul bersama-sama kembali.

Tapi saat itu Untung Pararean menjawab:

"Saya lebih suka tetap, tinggal bersama-sama Kiyai di sini."

"Kenapa begitu? Agaknya kau tak punya tanggung jawab sebagai seorang ayah dan sebagai seorang suami."

Lama Untung Pararean terpekur dan pada akhirnya dia menjawab juga, "Tanggung jawab sebagai seorang suami sudah pernah kuberikan pada istriku, Kiyai. Dan tanggung jawab itu telah disia-siakannya. Kiyai tentu maklum. . . . "

Kiyai Supit Pramana mengangguk. Dia memang sudah tahu apa yang pernah terjadi antara Untung Pararean dan istrinya yaitu ketika Untung menuturkan riwayat hidupnya.

"Lalu karena hal itu apakah kau tak akar mempunyai hasrat sama sekali untuk menemui anakmu?" bertanya lagi Kiyai Supit Pramana.

"Betapapun seorang ayah selalu merindukan anaknya, Kiyai." kata Untung Pararean. Ditelannya ludahhya lalu melanjutkan, "Tapi apakah dia akan mau mengakui aku sebagai ayahnya? Kiyai saksikan sendiri bagaimana mengerikannya parasku ini. Bahkan Sri Kemuning sendiripun pasti tak bisa mengenaliku! Aku tak ingin mengecewakan hati Sri Lestari Kiyai, karena memiliki seorang ayah sepertiku ini. Yang mukanya lebih seram dari muka setan!"

Bila pembicaraan sudah sampai disitu, biasanya Kiyai Supit Pramana tak mau meneruskan pembicaraan. Dia kawatir kalau diteruskan maka pembicaraan hanya akan membuat menguaknya kembali luka derita di lubuk hati Untung Pararean yang coba hendak dilupakan itu.

Pada suatu hari, untuk satu keperluan Kiyai Supit Pramana menyuruh Untung Pararean ke kota Linggoprobo di utara Gunung Bromo. Linggaprabo terletak di tepi pantai yang ramai disinggahi perahuperahu dari pelbagai negeri dan sekaligus merupakan salah satu kota pusat perdagangan di Jawa Timur pada masa itu. Dengan mengenakan kain hitam untuk menutupi parasnya, Untung Parareanpun berangkatlah. Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk mengenakan penutup muka begitu bila dia turun gunung.

Sementara itu di sebuah pulau yang terletak di Selat Madura terdapatlah sebuah bangunan yang besar dan bagus yang keseluruhannya dibuat dari bambu kuning. Tiga orang yang mengenakan pakaian kotor bertambal-tambal kelihatan berada diruangan muka. Dari ruang dalam tak lama kemudian keluar seorang dara muda belia berparas jelita. Rambutnya hitam panjang dijalin dua. Langkahnya ringan dan gerak geriknya lincah. Seperti orang-orang yang berada di ruang muka itu, dara inipun mengenakan pakaian ringkas bertambal-tambal tetapi bersih.

"Hai jangan mengobrol juga! Ayah memanggil kalian!" seru dara itu.

Ketiga orang laki-laki yang asyik bicara di ruang depan berpaling dan berdiri dari kursi masing-masing lalu mengikuti si dara memasuki sebuah kamar. Di dalam kamar itu duduk bersila seorang laki-laki bermuka bopeng, berpakaian bertambal-tambal. Karena tubuhnya yang bungkuk maka duduknya sangat menjorok ke depan. Rambutnya awut-awutan dan bau. Sepuluh kuku jarinya panjang, hitam berdaki. Tubuhnya yang bungkuk itu amat kurus hingga tak ubahnya seperti jerangkong hidup.

Di samping tua renta ini duduk seorang perempuan separuh baya berkulit hitam manis dan berparas yang menyatakan bahwa dia dulunya adalah seorang perempuan yang cantik. Perempuan inipun mengenakan pakaian yang bertambal-tambal. Kelima orang yang masuk itu duduk bersila di atas tikar, si dara duduk di samping perempuan separuh baya itu.

"Guru memanggil kami, ada perlu apakah?" bertanya laki-laki yang berbadan sangat gemuk, demikian gemuknya hingga tak kelihatan lagi batas dagu dengan leher! Dan namanya Pengemis Badan Gemuk.

"Kurasa kau dan saudara-saudara seperguruanmu sudah tahu tentang tantangan Si Cadar Hitam," menjawab orang tua yang bermuka bopeng itu. "Aku muak menghadapi manusia macam begituan. Karenanya kupanggil kalian ke sini untuk memberi tugas agar kalian yang mewakilkan aku memenuhi tantangan itu."

"Terima kasih yang guru telah menaruh kepercayaan besar terhadap kami," berkata Pengemis Badan Gemuk, lalu tanyanya,

"Apakah kami harus berangkat sekarang juga?"

"Ya. Karena besoklah hari tantangan yang dikatakan oleh Si Cadar Hitam. Kalian pergilah ke Linggoprobo dan tunggu dia di rumah makan Akik Rono yang terletak di pangkalan perahu. Jika dia datang kalian tahu apa yang harus diperbuat. Kalian jangan sampai membikin malu namaku dan juga membikin buruk nama kalian sendiri selaku orangorang yang dijuluki Empat Pengemis Pulau Ras."

"Percayalah guru, kami berempat pasti tak akan mengecewakan dan tak akan memberi malumu. Kami minta diri sekarang!" kata Pengemis Badan Gemuk seraya berdiri. Dua orang kawannya yaitu masing-masing Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera pula berdiri sementara sang dara yang berjalin dua berkata pada perempuan disampingnya: "Ibu, aku pergi bersama mereka."

"Pergilah dan hati-hati. Jangan mengecewakan ayahmu, Lestari."

Sri Lestari, demikian nama dara belia itu yang juga dikenal dengan julukan Pengemis Cantik Ayu berdiri dan melangkah ke hadapan ayahnya untuk pamitan. Tak lama kemudian dengan mempergunakan sebuah perahu, keempat orang yang di dunia persilatan dikenal dengan nama Empat Pengemis Pulau Ras itupun berangkatlah menyeberangi Selat Madura menuju ke pesisir Utara Pulau Jawa.

Siapakah sesungguhnya orang tua bermuka bopeng yang tinggal dalam rumah besar terbuat dari bambu kuning itu? Dia bukan lain dari Pengemis Sakti Muka Bopeng yang sekitar enam belas tahun yang lewat telah melakukan penuntutan balas terhadap Untung Pararean atas kematian adiknya yaitu Empu Bharata.

Dan perempuan berkulit hitam manis yang tadi duduk di sampingnya? Jangan pembaca terkejut karena perempuan itu adalah Sri Kemuning, istri Untung Pararean yang telah melarikan diri dari Istana yaitu sesudah dia tertangkap basah melakukan perzinahan dengan seorang pengawal. Nasib peruntungan manusia memang tidak di-duga-duga. Dalam larinya dari Istana bersama anaknya yang bernama Sri Lestari, Sri Kemuning telah tersesat ke dalam rimba belantara yang penuh dengan binatang-binatang buas. Dua beranak itu hampir saja menjadi pengisi perut seekor harimau besar jika saat itu tidak muncul Pengemis Sakti Muka Bopeng. Setelah menolong kedua beranak dan karena merasa kasihan melihat kehidupan mereka yang terlantar, maka akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning dan Sri Lestari ke Pulau Ras. Di sana mereka kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa sedikitpun di ketahui oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng bahwa perempuan yang dikawininya itu adalah istri Untung Pararean yang melarikan diri! Kemuning sendiri tak pernah menerangkan siapa dia sebenarnya karena dia kawatir kalau-kalau akan sampai kabar ke telinga Untung Pararean di mana dia berada yang berarti pasti akan dikejar pula dan dibunuh! Sewaktu Pengemis Sakti Muka Bopeng membawa Sri Kemuning ke Pulau Ras, Sri Lestari masih kecil, dan sekarang sesudafi lewat enam belas tahun Sri Lestari telah menjadi seorang gadis belia yang berparas jelita. Sebagaimana Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak mengetahui bahwa Sri Kemuning adalah dulu istrinya Untung Pararean, maka demikian pula dengan Sri Lestari Gadis itu tidak pula mengetahui kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng bukanlah ayah kandungnya!

Pengemis Sakti Muka Bopeng sangat menyayangi Sri Lestari. Karena itulah sejak dari kecil Sri Lestari diberinya pelajaran silat sehingga enam belas tahun kemudian Sri Lestari menjadi seorang gadis cantik yang tinggi sekali kepandaiannya!

Dalam pada itu Pengemis Sakti Muka Bopeng juga mengambil tiga orang murid. Ketiganya lakilaki. Mereka itu adalah Pengemis Badan Gemuk, Pengemis Kepala Botak dan Pengemis Badan Kurus.

Pada sekitar satu tahun yang lalu telah terjadi perselisihan antara Gambir Seta atau yang lebih di= kenal dengan gelaran Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seorang tokoh silat dari Barat. Tokoh silat ini tak diketahui siapa namanya tapi karena setiap muncul dia selalu mengenakan kain cadar berwarna hitam untuk menutupi mukanya maka orang-orang persilatan menggelarinya Si Cadar Hitam. Aliran mana yang dianut oleh Si Cadar Hitam tidak jelas. Kadangkadang dia bersekutu dengan golongan hitam, kadangkadang bahu membahu dengan golongan putih menghancurkan kejahatan-kejahatan golongan hitam!

Perselisihan yang terjadi antara Perigemis Sakti Muka Bopeng dengan Si Cadar Hitam akhirnya menjadi satu baku tanding yang dilangsungkan di Tanjung Bunga Rampai, yakni sebuah tanjung terjal yang terletak di sebelah tenggara Pulau Ras. Pengemis Sakti Muka Bopeng adalah seorangtokoh silat daerah Timur yang telah terkenal ketinggian ilmunya. Namun kali ini agaknya dia menghadapi seorang lawan, yang meskipun baru muncul, memiliki pula ilmu kepandaian yang luar biasa. Sehingga setelah baku tanding sanmpai setengah harian barulah akhirnya Pengemis Sakti Muka Bopeng berhasil memukul rubuh Si Cadar Hitam!

Bagi Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berhasil keluar sebagai pemenang, apa yang telah terjadi bukan lagi merupakan persoalan yang hariis dipikir panjang. Tapi tidak demikian bagi pihak yang kalah. Sebelum berpisah dalam kekalahan pahit itu, Si Cadar Hitam telah mengeluarkan ucapan tantangan terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng.

"Aku akui keunggulanmu saat ini Muka Bopeng." demikian Si Cadar Hitam berkata, "tapi itu bukan berarti aku akan mengakuinya selama-lamanya! Walau bagaimanapun kemenanganmu di sini adalah karena kau berada di sarang sendiri!"

"Lantas apa maumu, Cadar Hitam?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan seringai mengejek.

"Kita harus menentukan lagi siapa yang paling unggul antara kita berdua!" jawab Si Cadar Hitam ketus.

"Apa kau masih punya muka dan punya nyali sesudah kujatuhkan hari ini?!"

Cadar Hitam menggeram dan menjawab, "Kau boleh bicara sombong saat ini karena kemenanganmu. Tapi kutunggu kau satu tahun di muka di rumah makan Akik Rono di pelabuhan Linggoprobo! Kalau kau tidak muncul, dunia persilatan akan mengetahui bahwa kau hanyalah seorang bergundal pengecut belaka!"

Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa membahak mendengar ucapan yang merupakan tantangan itu. Sebaliknya Si Cadar Hitam memutar tubuh dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Ketika hari tantangan itu tiba, Pengemis Sakti Muka Bopeng merasa segan untuk melayani Si Cadar Hitam. Karena itulah disuruhnya Sri Lestari  

***

 

SEMBILAN

 

SEMUA orang di pelabuhan Linggoprobo tak satupun yang berani mengangkat kepala memandang kepada keempat orang yang baru saja turun dari perahu itu. Orang-orang yang berkumpul bersibak memberi jalan.

"Aku tak habis mengerti pada manusia-manusia itu," kata gadis yang rambutnya dijalin dua. "Setiap kita muncul mereka ketakutan sekan-akan Empat Pengemis Pulau Ras adalah empat ekor harimau kelaparan atau empat setan pelayangan yang menyeramkan!"

Tiga orang laki-laki yang berjalan di belakang gadis itu tertawa. Salah seorang di antaranya, yang berbadan gemuk menjawab. "Tak usah perdulikan mereka! Kita percepat saja langkah, siapa tahu mungkin Si Cadar Hitam, sudah menunggu di rumah makan Akik Rono!"

Keempat orang itu kemudian memutar langkah kejurusan timur pelabuhan di mana terletak rumah makan Akik Rono, sebuah rumah makan besar yang cuma satu-satunya terdapat di pelabuhan Linggoprobo.

Saat itu hampir tengah hari dan rumah makan tersebut sedang ramai-ramainya dikunjungi tamu. Tapi begitu Empat Pengemis Pulau Ras muncul di ambang pintu, semua orang yang ada di situ, tak perduli sedang lahap makan atau masih tengah menunggu pesanan mereka, cepat-cepat saja berdiri dan angkat kaki meninggalkan rumah makan.

"Kalian lihat!" kata dara berjalin dua yaitu Sri Lestari. "Mereka menghindar sesudah melihat kedatangan kita!"

Laki-laki yang berbadan gemuk yaitu Pengemis Badan Gemuk tidak mengacuhkan ucapan saudara seperguruannya. Dia memandang ke seantero ruangan tapi orang yang dicarinya tidak kelihatan.

"Rupanya dia belum datang. Ayo kita masuk!"

Baru saja Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu melewati ambang pintu, seorang laki-laki separuh baya yang berbadan pendek dan tak kalah gemuknya dengan Pengemis Badan Gemuk mendatangi tergopohgopoh, menjura pada keempat orang itu dengan hormat sekali. Dialah Akik Rono, pemilik ruang makan.

"Kembali rumah makanku mendapat kehormatan kedatangan 'Empat Pengemis Pulau Ras. Mari masuk dan silahkan mengambil tempat ...?

Keempat orang itu sengaja mengambil tempat yang baik agar dapat mengawasi pintu masuk dengan leluasa. Sementara itu Akik Rono telah memberi perintah pada pelayan-pelayannya untuk menghidangkan makanan serta minuman yang enak-enak untuk keempat tetamu tersebut. Tak lama kemudian Empat Pengemis Pulau Ras  kelihatan asyik menikmati isi piringnya masing-masing.

Pengemis Badan Gemuk tengah menyeka butirbutir peluh dikeningnya, Pengemis Badan Kurus tengah mengulurkan tangan hendak memotes sebuah pisang, Pengemis Kepala Botak tengah mengusap-usap perutnya yang keras padat kekenyangan dan Pengemis Cantik Ayu telah menyibakkan rambutnya yang tergerai di kening ketika telinga masing-masing mendengar suara siulah yang tak menentu tapi keras dan aneh!

Keempatnya saling berpandangan.

"Siapa pula yang bersiul kegirangan di tengah hari bolong begini!" kata Pengemis Kepala Botak sambil mengawasi pintu masuk.

Suara siulan mendadak berhenti, berganti dengan suara tarikan nafas dan sesaat kemudian di ambang pintu muncullah seorang pemuda berpakaian putih. Rambutnya gondrong mukanya berminyak keringat dan kotor disaput debu tanda dia baru saja menempuh perjalanan jauh.

Sambil mengipas-ngipaskan tangannya untuk mengurangkan hawa panas, pemuda ini pergi duduk dekat pintu. Dia memandang berkeliling, memperhatikan Empat Pengemis Pulau Ras sejenak lalu berpaling pada laki-laki separuh baya bertubuh gemuk dan pakai blangkon yang berdiri di sudut kiri.

"Kota besar seramai ini, rumah makannya cuma satu!" berkata pemuda itu -seolah-olah pada dirinya sendiri. Dan dilihatnya laki-laki gemuk berblangkon itu melangkah ke hadapannya.

Si pemuda tersenyum. "Panas sekali!" katanya pada Akik Rono. "Orang segemukmu apakah tidak kepanasan seperti aku?!"

Akik Rono tersenyum pula. "Aku sudah biasa dengan udara laut yang panas. Kau mau memesan apa, orang muda?"

Tamu yang baru datang itu menyebutkan makanan dan minuman yang dikehendakinya. Akik Rono baru saja meninggalkan meja si pemuda sejauh dua langkah ketika di seberang sana didengarnya suara meja digebrak! Dengan muka pucat karena terkejut pemilik rumah makan itu berpaling. Dilihatnya Pengemis Badan Gemuk berdiri dengan cepat dan kasar hingga kursi yang didudukinya terpelanting dan mengeluarkan suara berisik.

Dengan langkah-langkah besar dan muka kelam merah sedang sepasang mata melotot garang, Pengemis Badan Gemuk menuju ke meja di mana pemuda berambut gondrong duduk.

"Rambut gondrong sialan! Kau berani kurang ajar menghinaku hah?"

Si pemuda jadi melongo. Kedua alis matanya yang tebal naik ke atas sedang kulit keningnya mengerenyit tanda dia terheran-heran.

"Tak ada hujan tak ada angin kenapa kau mendadak beringas begini, sobat?!" tanya si pemuda setelah terlebih dulu meneliti Pengemis Badan Gemuk dari kepala sampai ke kaki.

"Kau bicara apa tadi sama pemilik rumah makan ini? Ayo coba kau ulangi!" bentak Pengemis Badan Gemuk.

"Eh . . . " si pemuda menggaruk-garuk kepalanya beberapa kali. "kurasa tak ada ucapanku yang kutujukan padamu. Apalagi dengan maksud menghina!"

"Kurang ajar berani mungkir terhadap aku Pengemis Badan Gemuk! Tadi kau bicara tentang panas dan tentang orang gemuk! Apa itu bukan berarti menghinaku?! Ayo lekas kau berlutut minta ampun! Kalau tidak jangan menyesal bila kepalamu kupuntir ke belakang!"

Dalam keheranan yang masih belum lenyap si pemuda tiba-tiba tertawa. Mula-mula pelahan, makin lama makin santar terbahak-bahak!

"Sobat kau salah sangka! Kalau di sini cuma kau sendiri yang gemuk gendut memang bisa juga kau merasa terhina! Tapi tadi aku bicara sama laki-laki itu! Dia sendiri sama sekali tidak merasa terhina! Kenalpun aku tidak padamu, perlu apa menghina segala?!"

Ucapan-ucapan itu membuat Pengemis Badan Gemuk menjadi tambah naik darah.

"Kau berani bermulut besar, bocah! Aku mau lihat apakah kau juga berani menerima pukulanku ini!"

Habis berkata begitu Pengemis Badan Gemuk mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Di saat itu dari meja di seberang sana terdengar seruan.

"Gemuk! Kenapa kau mau melayani pemuda dogol yang tampaknya tidak berotak sehat itu?! Jangan cari urusan tak karuan! Kita datang ke sini bukan untuk itu! Ayo kembalilah ke sini!"

Si pemuda rambut gondrong memalingkan kepalanya. Yang berseru adalah gadis cantik berjalin dua. Dia tersenyum pada gadis itu dan berkata,

"Kau betul saudari! Memang tak ada gunanya mencari urusan yang tak karuan! Satu hal kuberi tahu padamu, tampangku memang dogol, namun otakku mungkin jauh lebih sehat dari si gemuk ini!"

Pengemis Badan Gemuk berteriak marah! Kaki kanannya melayang laksana kilat cepatnya ke arah dada si pemuda rambut gondrong! Terdengar satu suara siulan yang disusul dengan mentalnya kursi yang tadi diduduki si pemuda! Kursi itu bukan saja mental tapi hancur berkeping-keping!

"Gemuk! Aku bilang kembali ke sini!" teriak Sri Lestari, atau Pengemis Cantik Ayu. "Kalau tidak aku akan laporkan pada ayah nanti!"

"Tapi bangsat ini keliwat menghina, Lestari!" sahut Pengemis Badan Gemuk dengan rahang-rahang menggembung.

"Biarkan dia. Namanya saja orang sinting!" Sri Lestari berpaling pada pemilik rumah makan.

"Akik Rono, kau usirlah pemuda itu!" perintahnya.

Dengan ketakutan Akik Rono meiangkah ke hadapan si pemuda rambu gondrong, lalu berkata: "Den, aku harap kau sudi meninggalkan tempat ini..."

"Baik...baik...tapi mana itu makanan yang aku pesan? Hidangkan dulu, nanti baru aku mau pergi. Jawaban si pemuda membuat Akik Rono serba salah. Dia takut pada Empat Pengemis Pulau Ras, tapi terhadap si pemuda itu agaknya dia juga tak berani berlaku sembarangan. Maka diapun bicara berbisik-bisik: "Den, kau harus tahu keempat orang itu adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang berkepandaian silat tinggi sekali! Aku tak ingin mendapat celaka. Kuharap kau sudi segera meninggalkan tempat ini."

Si pemuda merutuk dalam hatinya. "Meski bemama pengemis agaknya mereka mau menjadi Raja di sini!" mengomel pemuda itu.

"Baik aku akan pergi! Tapi pengusiran secara kurang ajar ini musti ada imbalannya!" kata si pemuda bersungut-sungut.

Cepat sekali tangannya menyambar blangkon di kepala Akik Rono. Entah bagaimana kemudian kain blangkon itu sudah terlepas dari buhul-buhulnya, lalu laksana seekor ular melesat menyambar kemeja di mana Empat Pengemis Pulau Ras berada.

Ujung kain blangkon itu secara aneh menggulung sesisir pisang di atas meja dan sesaat kemudian pisang itu tersapu ke arah sipemuda dan ditangkap dengan tangan kirinya!

"Ini kukembalikan kain blangkonmu!" kata si pemuda seraya melemparkan kain blangkon Akik Rono pada pemiliknya, lalu melangkah ke pintu!

Justru pada saat itu pula Pengemis Badan Gemuk cepat melompat dan menghadang di pintu.

"Kalau tidak kupecahkan kepalamu, jangan panggil aku Pengemis Badan Gemuk dari Pulau Ras!"

"Wuut!"

Satu angin pukulan mendru kekepala si pemuda. Yang diserang cepat mengelak hingga tinju Pengemis Badan Gemuk hanya mengenai tempat kosong. Dengan geram penasaran Pengemis Badan Gemuk berbalik. Kali ini dia melancarkan serangan yang lebih hebat. Kedua tangannya terpentang. Kedua kakinya menekuk siap untuk melompat.

"Gemuk!" tiba-tiba saja terdengar seruan Sri Lestari alias Pengemis Cantik Ayu. "Tinggalkan pemuda itu dan cepat ke sini! Orang yang kita tunggu sudah datang!"

***

 

SEPULUH

 

PENGEMIS Badan Gemuk menahan gerakan dan berpaling cepat-cepat ke pintu rumah makan. Saat itu di ambang pintu tegak seorang laki-laki berbadan tegap. Keseluruhan parasnya tertutup sehelai kain hitam yang hanya di bagian matanya saja diberi berlobang. Dan sepasang mata itu kelihatan memiliki sinar tajam yang menandakan bahwa orang itu bukan orang sembarangan.

"Hemmm . . . " gumam Pengemis Badan Gemuk. "Kelak jika urusanku sudah selesai kau bakal menerima bagian dariku rambut gondrong!" katanya pada pemuda rambut gondrong lalu dengan satu gerakan cepat dan enteng dia sudah berada di samping Pengemis Cantik Ayu. Di lain pihak pemuda berambut gondrong cuma ganda tertawa. Kemunculan laki-laki bercadar hitam di ambang pintu menarik perhatiannya. Karenanya kalau tadi dia berniat untuk meninggalkan rumah makan itu, kini niat itu diurungkannya dan dia melangkah ke sudut rumah makan, berdiri di situ.

Laki-laki bercadar kain hitam yang baru datang masih tetap berdiri di ambang  pintu. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu. Jika saja mukanya tidak tertutup dengan kain hitam itu niscaya akan kelihatan bagaimana berubahnya paras orang itu sewaktu pandangannya membentur Sri Lestari.

Sri Lestari yang bertindak sebagai pimpinan Empat Pengemis Pulau Ras juga memandang tajam-tajam pada orang yang di ambang pintu seakan-akan hendak menembus kain hitam yang menutupi wajah orang itu. Dan pandangan yang begitu tajam ini membuat laki-laki tersebut menjadi berdebar.

"Cadar Hitam!" kata Pengemis Cantik Ayu lantang. "Kami telah lama menantikanmu. Silahkan masuk agar urusan kita bisa lekas diselesaikan!"

Karena tidak merasa kalau Sri Lestari bicara dengannya maka laki-laki bercadar hitam berpaling ke belakang.

"Aku bicara padamu, Cadar Hitam! Kenapa kasak kusuk pura-pura melihat ke belakang segala?!"

Ucapan Sri Lestari membuat laki-laki itu memalingkan kepalanya kembali dan memandang pada sang dara. Akhirnya kelihatan kakinya bergerak, melangkah memasuki rumah makan. Tapi dia masuk bukan terus menemui Empat Pengemis Pulau Ras, melainkan melangkah mendapatkan Akik Rono yang berdiri di seberang sana dengan muka pucat pasi macam kertas!

"Kau pemilik rumah makan ini? Tolong sediakan hidangan. Aku lapar sekali!" berkata laki-laki bercadar pada Akik Rono.

"Ba . . . baik . . . den," jawab pemilik rumah pemilik rumah makan itu gagap tanda dirinya diselimuti ketegangan.

Kemudian cepat-cepat dia membalikkan badan meninggalkan tempat itu. Melihat orang yang tidak ambil perduli dirinya dan saudara-saudara seperguruannya maka marahlah Sri Lestari. Dara ini pun membentak.

"Cadar Hitam! Mungkin kau masih belum kenal siapa kami! Kami adalah Empat Pengemis Pulau Ras yang sengaja menunggu disini untuk mewakili guru dan ayahku!"

"Gadis, kau bicara dengan siapakah?" bertanya laki-laki bercadar hitam yang bukan lain adalah Untung Pararean yang meninggalkan puncak Ofinung Bromo karena suruhan Kiyai Supit Pramana. Pengemis Cantik Ayu mendelikkan matanya.

"Apa kau tidak punya mata tidak punya telinga? Aku bicara padamu dan masih bertanya macam orang setengah edan!"

"Mungkin dia benar-benar edan, saudaraku," menyambung Pengemis Badan Gemuk yang sudah gatal-gatal tangannya untuk segera turun tangan.

"Kalau begitu kau salah paham, gadis", kata Untung Pararean pula. "Aku bukan Cadar Hitam!"

"Pengecut berani dusta!" sentak Pengemis Kepala Botak dengan rahang-rahang bertonjolan penuh geram. Dia hendak melangkah tapi ditahan oleh Pengemis Cantik Ayu.

"Rupanya nyalimu menjadi lumer berhadapan dengan murid-murid musuh besarmu?" ejek Pengemis Cantik Ayu.

"Aku betul-betul tak mengerti dengan pambicaraanmu ini," tukas Untung Pararean.

"Puah! Pura-pura tidak mengerti!" semprot Pengemis Badan Gemuk sambil meludah.

"Dengar Cadar Hitam . . . "

"Namaku bukan Cadar Hitam. . . "

"Apakah namanya aku tak perduli! Tapi tak perlu dusta! Bukankah kau datang ke sini untuk melaksanakan tantangan yang kau tujukan pada Pengemis Sakti Muka Bopeng sekitar satu tahun yang lalu?! Kami murid-muridnya di utus ke sini untuk mewakili beliau melayanimu!"

Untung Pararean terkejut. Terkejut bukan karena tantangan yang tak pernah dibuatnya itu, tetapi terkejut ketika mendengar nama Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sebagai orang yang pernah hidup bersama Empu Bharata selama bertahun-tahun Untung Pararean tahu betul bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng atau yang nama aslinya Gambir Seta adalah kakak kandung Empu Bharata. Dari Kiyai Supit Pramana, Untung Pararean mengetahui pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng itulah yang telah menyiksa dan merusak mukanya hingga cacat mengerikan seumur hidup! Sudah sejak lama mendekam dendam kesuma dilubuk hati Untung Pararean terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng itu, tapi karena jarang turun gunung dia tak mengetahui dengan jelas di mana tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng tersebut!

"Jadi kalian berempat adalah murid-muridnya Pengemis Sakti Muka Bopeng ...?!" desis Untung Pararean.

"Nah, sekarang kau mulai mengaku buka kedok, huh?!" tukas Pengemis Kepala Botak.

"Katakan terus terang kalian mau apa?!"

Pengemis Cantik Ayu tertawa tinggi. "Kami hanya akan memberi sedikit pelajaran pada manusia tak tahu diri macam kau yaitu agar jangan berani-beranian berlaku kurang ajar terhadap guru kami." jawab Sri Lestari.

"Hem, begitu?" ujar Untung Pararean dengan senyum mengejek dari balik kain penutup wajahnya. "Aku memang ada urusan yang perlu diselesaikan dengan guru kalian yang bernama Pengemis Sakti Muka Bopeng itu. Tapi yang patut kalian ketahui aku bukanlah Si Cadar Hitam!"

"Tak perlu kita bicara panjang lebar!" tukar Pengemis Cantik Ayu.

"Betul!" sahut Untung Pararean, "cuma perlu kalian ketahui bahwa guru kalian adalah seorang pengecut. Kalau tidak mengapa dia hendak mengandalkan kalian berempat menghadapi Si Cadar H itam?!"

"Katakan saja kau tidak punya nyali menghadapi kami berempat!" jawab Pengemis Cantik Ayu lalu memberi isyarat pada saudara-saudara seperguruannya. Pengemis Badan Gemuk, Pengemis Badan Kurus dan Pengemis Kepala Botak segera bergerak sementara Untung Pararean kelihatan tenang-tenang saja tapi sepasang matanya meneliti posisi ketempat lawan yang bakal dihadapinya.

"Tunggu dulu!" terdengar seruan dari samping kiri. Yang berseru ternyata pemuda rambut gondrong tadi.

"Kalau kalian berempat hendak mengeroyok orang ini, itu adalah satu kecurangan yang keliwatan! Bagaimana kalau aku ikut membantunya? Meski tetap curang tapi kurasa itu lebih baik agar kalau kalian nanti dikalahkannya kalian masih punya sedikit muka!"

Pengemis Badan Gemuk yang memang sejak tadi sudah marah terhadap si rambut gondrong ini jadi naik pitam. Tangan kanannya didorongkan ke arah dada si pemuda. Terdengar suara menderu. Yang diserang melihat datangnya sambutan angin, mengeluarkan suara bersiul lalu melambaikan tangan kirinya pada saat angin deras yang keluar dari dorongan tangan Pengemis Badan Gemuk setengah jengkal lagi hendak menghantam dadanya!

Terjadilah hal yang membuat terkejut Pengemis Badan Gemuk dan saudara-saudara seperguruannya. Pukulan jarak jauh Pengemis Badan Gemuk bukan saja tak sanggup mencapai sasarannya tapi disapu demikian rupa hingga menjibak ke samping dan terus menghantam dinding. Piring-piring dan gelas serta apa saja yang ada di atas meja itu mencelat berhamburan dengan menimbulkan suara bergrompyangan!

Untung Pararean juga tak kurang terkejut. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pengemis Badan Gemuk tadi bukan pukulan sembarangan. Tapi si pemuda rambut gondrong menyapunya dengan satu lambaian tangan acuh tak acuh bahkan tubuh atau kakinya tidak bergerak barang sedikitpun! Dan itu dilakukannya sambil tertawa cengar-cengir!

"Sahabat muda," kata Untung Pararean cepat. "Terima kasih atas itikad baikmu hendak menolongku! Tapi kalau cuma menghadapi lawan-lawan besar mulut macam mereka ini kurasa aku punya kesanggupan untuk memberi mereka sedikit pelajaran!"

"Anjing kurap edan! Kau makanlah dulu kursi ini!" teriak Pengemis Badan Gemuk. Dalam sekejap itu pula sebuah kursi laksana kilat cepatnya menyambar ke arah Untung Pararean.

Selama enam belas tahun menerima pelajaran ilmu silat dan kesaktian dari Kiyai Supit Pramana telah menjadikan Untung Pararean seorang pendekar yang bukan sembarangan. Melihat datangnya kursi kayu itu diulurkannya tangan kanannya dengan jari telunjuk diacungkan lurus-lurus. Dengan mengandalkan jari telunjuk itu ditahannya salah satu kaki kursi. Ketika jari telunjuk itu dibengkokkannya sedikit, kursi itu berputar tiga kali berturut-turut di ujuny jarinya dan yang lebih hebat lagi ialah ketika Untung Pararean membentak. "Pergi!" Kursi itu mencelat mental ke arah Pengemis Badan Gemuk kembali!

"Hebat! Hebat sekali!" seru pemuda rambut gondrong memuji kelihayan Untung Pararean. Di lain pihak Pengemis Badan Gemuk naik pitam bukan main. Kursi yang kembali menyambar ke arahnya dihantamnya dengan tangan kanan hingga hancur berantakan. Beberapa kayu pecahan kursi menancap di langit-langit rumah makan!

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring keluar dari mulut Pengemis Cantik Ayu dan dikejap itu pula Empat Pengemis Pulau Ras serempak menyerbu Untung Pararean dengan senjata masing-masing.

"Curang!" teriak pemuda rambut gondrong. "Curang!" teriaknya lagi.

Habis berseru demikian Pengemis Cantik Ayu melesat ke hadapan si rambut gondrong seraya mengiblatkan sepasang golok perak yang sangat tipis di kedua tangannya! Serangan yang dilancarkan oleh Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu adalah jurus yang dinamakan "sinar pelangi pecah di udara".

Golok di tangan kanannya membabat ke batang leher sedang golok di tangan kiri menderu ke bawah perut pemuda rambut gondrong. Pemuda ini terkejut sekali karena tak menyangka serangan lawannya demikian hebat dan cepat. Namun karena dia bukan pula orang sembarangan, dengan melompat sebat ke belakang dia berhasil mengelakkan serangan hebat itu.

Tapi betapa terkesiapnya dia sewaktu tiba-tiba saja sang dara mengirimkan satu serangan susulan yang bernama "pelangi menggelung gunung". Sepasang golok perak yang tadi mengenai tempat kosong kini membalik laksana silangan gunting, mengancam dada dan pinggang si pemuda!

Pemuda rambut gondrong mengeluarkan siulan nyaring. Lututnya ditekuk. Tubuhnya merunduk sedang kedua tangannya yang terpentang lurus memukul ke kiri dan ke kahan. Inilah jurus pertahanan yang sekaligus merupakan gerakan menyerang yang di namakan "kipas sakti terbuka"!

Sri Lestari merubah kedudukan sepasang golok peraknya agar dapat sekaligus membabat putus sepasang lengan lawan yang terpentang itu. Namun kagetnya bukan kepalang sewaktu melihat bagaimana sepasang lengan lawan cepat sekali menyusup ke bawah, ke arah pergelangan tangannya. Dari pergelangan tangan si pemuda jelas terasa keluar sambaran angin dingin. Hal ini membuat Sri Lestari menjadi ragu-ragu untuk meneruskan serangannya. Dalam keragu-raguan ini hampir saja lawannya berhasil memukul lengannya kalau tidak cepat-cepat dia melompat ke belakang!

Untuk sesaat lamanya kedua orarig itu saling bentrokan pandangan. Si pemuda tersenyum.

"Ayo, mari diteruskan! Bukankah kau ingin melenyapkan aku?!"

Pengemis Cantik Ayu melototkan matanya. Namun entah mengapa hatinya bergetar sewaktu dirasakannya sorotan mata pemuda rambut gondrong itu laksana menembus sampai ke lubuk hatinya. Namun getaran itu hanya sebentar saja. Sesaat kemudian Sri Lestari berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat lenyap sedang sepasang goloknya bergulung-gulung hanya merupakan sinar putih. Melihat datangnya serangan yang luar biasa ini pemuda rambut gondrong tak mau bertindak gegabah.

Cepat dia memasang kuda-kuda pertahanan yang kokoh dan sesaat kemudian dia sudah menyerbu ke depan memapasi serangan lawannya!

Sementara itu pertempuran antara Untung Pararean dan ketiga Pengemis Pulau Ras lainnya berlangsung seru sekali. Lima jurus pertama keadaan seimbang, namun jurus-jurus selanjutnya kelihatan Untung Pararean mulai menerima tekanan-tekanan.

Yang menyulitkan kedudukan laki-laki ini adalah karena ketiga lawannya memakai senjata sedang dia sendiri sampai saat itu masih mengandalkan tangan kosong. Di sini nyatalah bahwa betapapun tingginya ilmu kepandaian Untung Pararean namun kepandaian ketiga lawannya tidak pula rendah, apa lagi dengan bersenjata begitu rupa. Jurus demi jurus keadaan Untung

Pararean makin terdesak. Beberapa kali lakilaki ini mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya namun semua itu hanya untuk sekedar mempertahankan diri dari desakan yang semakin gencar. Diamdiam Untung Pararean mulai keluarkan keringat dingin!

Pemuda rambut gondrong yang tengah menghadapi serangan gencar Sri Lestari masih sempat melirik dan menyaksikan keadaan Untung Pararean yang berbahaya. Kini dia tak bisa bertindak main-main dan harus berlaku cepat jika tak ingin laki-laki bercadar itu, menjadi korban keroyokan. Rumah makan itu bergetar, sendi-sendi tiang berderik sewaktu dari mulut si pemuda keluar suara bentakan yang menggeledek! Untuk sejenak semua orang yang ada di situ terkesiap. Sri Lestari melihat pemuda itu menggerakkan tangan kirinya. Satu gelombang angin yang amat dahsyat menderu menerpa tubuhnya. Betapapun gadis itu mempertahankan diri dan mengerahkan tenaga dalamnya, tetap saja tubuhnya terhuyung gontai. Dan sebelum dia sanggup mengimbangi diri, si pemuda sudah melompat ke hadapannya, mengulurkan kedua tangannya. Terdengar seruan Sri Lestari.

***

 

SEBELAS

 

"SOBAT Bercadar, pakailah golok-golok ini!" seru si rambut gondrong dan sepasang golok S perak milik Sri Lestari yang berhasil di rampasnya, dilemparkannya ke arah Untung Pararean. Dengan gada batu pualam yang ada di tangan kanan nya Pengemis Badan Gemuk coba menyampok kedua golok itu tapi niatnya terpaksa dibatalkan karena di saat yang sama Untung Pararean menyorongkan kaki kanannya ke perut laki-laki itu. Sewaktu Pengemis Badan Gemuk menyurut ke belakang guna menghindarkan tendangan maut Untung Pararean, kesempatan ini dipergunakan oleh Untung Pararean untuk menyambut kedua golok perak yang melayang di udara.

"Saudara! Awas di belakangmu!" teriak si pemuda rambut gondrong.

Untung Pararean membalik dengan cepat. "Trang"!

Golok perak di tangan kanannya beradu keras dengan gendewa baja yang menjadi senjata Pengemis Badan Kurus. Bentrokan itu membuat tangan masing-masing tergetar hebat dan keduanya sama-sama tersurut beberapa langkah! Nyatalah bahwa kekuatan tenaga dalam mereka berada di tingkat yang sama. Dalam pada itu Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Kepala Botak yang bersenjatakan sebuah sabuk hitam telah menyerbu pula ke muka. Pertempuran yang berlangsung bertambah hebat. Namun kali ini ketiga pengeroyok harus berhati-hati karena yang mereka hadapi kini adalah Untung Pararean yang sudah bersenjata yaitu sepasang golok perak perak tipis milik Sri Lestari. Tubuh laki-laki itu lenyap berubah menjadi bayang-bayang.

Dan bayang-bayang tubuhnya itu terbungkus pula oleh sinar putih sepasang golok yang berkiblat kian kemari. Beberapa kali terdengar suara bentrokan senjata dan berkali-kali pula Pengemis Badan Gemuk serta kedua saudaranya terpaksa mundur terus menghadapi amukan Untung Pararean!

Pada waktu Untung Pararean berhasil menyambut sepasang golok yang dilemparkan pada waktu itu pula Pengemis Cantik Ayu atau Sri Lestari dengan penuh amarah mendorongkan kedua tangannya ke arah pemuda rambut gondrong.

"Wuss! Wuss!"

Dua larik sinar hitam yang teramat panas menderu ke arah sirambut gondrong. Itulah pukulan "api hitam" yang sangat ganas. Demikian hebatnya ilmu pukulan itu hingga Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya menurunkannya pada Sri Lestari seja. Pemuda rambut gondrong kaget sekali karena tak menduga kalau sigadis memiliki ilmu pukulan hebat demikian rupa. Cepat-cepat dia membuang diri ke samping. Tapi masih terlambat. Bahu kirinya kena disambar salah satu larikan sinar hitam. Pakaian putihnya kejap itu juga dikobari api! Pemuda itu mengeluh pendek dan cepat-cepat mempergunakan tangan kanannya menepok-nepuk api yang berkobar hingga akhirnya padam.

Sri Lestari memandang dengan mata terbeliak pada pemuda rambut gondrong itu. Dia betul-betul tak bisa percaya akan apa yang disaksikannya! Sewaktu ilmu pukulan itu baru setengah bagian saja dipelajarinya dari Pengemis Sakti Muka Bopeng,

Lestari pernah mencobanya terhadap sebatang pohon beringin dan pohon itu hangus hancur dan tumbang berkeping-keping!

Menyaksikan si pemuda hanya bajunya saja yang terbakar hangus dengan kulit bahu yang sedikit kemerahan akibat pukulan "api hitam" nya tadi, tentu saja Sri Lestari tak bisa mempercayainya.

Sambil menggosok-gosok kulit bahunya yang merah dan sakit si pemuda rambut gondrong memandang menyorot pada Sri Lestari. Tapi tak sedikitpun pandangan itu membayangkan amarah atau dendam kesumat, malah kemudian pemuda ini tertawa dan berkata.

"Pukulanmu hebat, gadis! Tapi adalah pengecut menyerang lawan secara membokong!"

"Siapa suruh kau bertindak lengah!" damprat Sri Lestari. "Sudah kebagusan kau tidak kubikin mampus, hanya kuberi sedikit pelajaran!"

Pemuda itu tertawa gelak-gelak. "Sekarang giliranku pula untuk ganti memberikan sedikit pelajaran padamu," katanya. Lalu dia berseru. "Awas dadamu!"

Tubuh pemuda tersebut melompat ke muka dan tangan kanannya cepat sekali bergerak ke arah dada si gadis! Tentu saja Sri Lestari tak mau buah dadanya dijamah seenaknya.

"Pemuda kurang ajar!" bentaknya seraya cepatcepat menghindarkan diri dan dengan tangan kirinya kembali melepaskan pukulan "api hitam". Tapi si pemuda sudah lenyap dari arah serangan. Dan tahu-tahu Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu merasakan sambaran angin di belakangnya. Cepat gadis ini membalik dan menghantamkan tangan kanannya. Serangannya itu cuma mengenai tempat kosong, sebaliknya kulit punggungnya terasa sakit sekali dan detik itu pula tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Ternyata si pemuda telah berhasil menotok tubuhnya!

"Nah, nah! Sekarang kau berdiri sajalah baik-baik di situ dan jangan banyak tingkah. Mari kita sama-sama saksikan pertempuran kawan-kawanmu melawan laki-laki itu!"

"Pemuda kurang ajar! Kalau tidak lekas kau lepaskan totokan ini, jangan harap kau bakal dapat pengampunan dariku!" mengancam Sri Lestari. Meski sekujur tubuhnya kaku tegang tapi dia masih bisa bicara karena si pemuda sengaja tidak menotok jalan suaranya.

Si pemuda hanya tertawa gelak-gelak mendengar ancaman itu. Baru saja dia berpaling hendak menyaksikan pertempuran antara Untung Pararean dengan ketiga Pengemis Pulau Ras, terdengar pekik Pengemis Kepala Botak. Sabuknya mental ke udara, tangan kanannya berlumuran darah. Cepat-cepat dia melompat keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi!

"Ha ... ha! Untung saja bukan kepala botakmu yang dilalap golok laki-laki itu!" ejek pemuda rambut gondrong lalu tertawa membahak.

Dalam sakit dan amarah yang bergejolak, Pengemis Kepala Botak jadi kalap. Cepat dipungutnya sabuknya yang tadi jatuh, laiu menghambur menyerang si pemuda! Betapapun hebatnya serangan yang dilancarkan namun karena disertai amarah kalap dengan sendirinya tidak memakai perhitungan yang tepat. Begitu si pemuda melompat ke samping, akibat pukulan yang mengenai tempat kosong, Pengemis Kepala Botak tersorong ke depan. Di saat itu pula si pemuda gerakkan tinju kanannya memukul punggung Pengemis Kepala Botak. Tak ampun lagi si botak ini jatuh menelungkup dengan keras di lantai rumah makan, untuk berapa lamanya tak bisa berkutik! Kembali terdengar suara tertawa pemuda rambut gondrong!

Sementara itu Untung Pararea telah mendesak hebat pengeroyoknya yang kini hanya tinggal dua orang yaitu Pengemis Badan Gemuk dan Pengemis Badan Kurus. Sepasang golok putih berkelebat diantara deru gada batu pualam dan gendewa baja.

"Gemuk, agaknya kita tak bakal bisa merobohkan bangsat ini," ujar Pengemis Badan Kurus dengan ilmu menyusupkan suara.

"Apa rencanamu?!" menanya Pengemis Badan Gemuk yang nafasnya sudah Senin-Kemis dan pakaian basah oleh keringat.

"Kita tinggalkan saja tempat sialan ini! Kembali ke pulau Ras."

"Kau mau kita mendapat hukuman dari guru?"

Pengemis Badan Kurus terdiam. Lalu dia dapat akal dan cepat-cepat berkata, "Ceritakan saja Si Cadar Hitam tak datang memenuhi tantangan yang dijanjikannya!"

Sebenarnya Pengemis Badan Gemuk merasa ragu-ragu. Tapi melihat kenyataan bagaimana detik demi detik sepasang golok di tangan Untung Pararean semakin ganas dan berbahaya, merangsek mereka terus menerus, mau tak mau Pengemis Badan Gemuk menurutkan juga ucapan saudara seperguruannya itu.

Demikianlah, dalam jurus pertempuran yang ke empat puluh dua setelah melancarkan satu serangan serempak yang hampir tak ada artinya, kedua orang ini melompat keluar dari kalangan pertempuran. Pengemis Badan Gemuk cepat menyambar Sri Lestari sedang Pengemis Badan Kurus menyambar si botak yang masih menelungkup tujuh keliling di lantai rumah makan.

"Pengecut! Kalian mau ke mana?!" bentak pemuda rambut gondrong. Dia hendak bergerak ke pintu guna menghalangi.

Tapi langkahnya tertahan sewaktu laki-laki bercadar itu di dengarnya berseru,

"Biarkan saja mereka pergi!"

Sesaat kemudian Empat Pengemis Pulau Ras itupun lenyap dari pemandangan.

"Aku tak mengerti mengapa kau membiarkan mereka pergi begitu saja," kata si pemuda. "Keempatnya menginginkan jiwamu dan yakinlah bahwa pada suatu hari kelak mereka akan muncul lagi untuk membunuhmu!"

"Soal nanti biar kita pikirkan nanti, sahabat muda. Mari kita duduk dulu melepaskan dahaga," jawab Untung Pararean lalu duduk di kursi. Si pemuda menggaruk-garuk kepalanya dan mengambil tempat duduk di hadapan Untung Pararean.

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Untung Pararean sesudah Akik Rono datang membawakan minuman dan hidangan untuk mereka.

"Lupakan hal itu, sobat. Jawab dulu pertanyaanku apakah kau Si Cadar Hitam atau bukan?!"

Untung Pararean meneliti paras si rambut gondrong sejenak lalu berkata, "Aku akan jawab kalau terlebih dahulu kau menerangkan siapa kau adanya."

"Namaku Wiro. Aku kebetulan saja berada di kota ini."

Untuk kedua kalinya Untung Pararean meneliti paras pemuda di hadapannya.

"Apa kau bukannya Wiro Sableng, orang yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!"

Si pemuda tertawa perlahan.

Untung Pararean dengan serta merta berdiri. Belum sempat dia hendak menjura memberi hormat pemuda itu sudah menarik tangannya.

"Apa-apaan ini? Lupakan segala macam peradatan. Aku yang muda yang sebenarnya harus memberi hormat padamu."

"Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, Pendekar 212. Meskipun tadi kau menarangkan kehadiranmu di Linggoprogo ini adalah satu kebetulan, tapi aku tidak yakin. Di mana kau muncul pasti mempunyai maksud-maksud tertentu. Katakan saja terus terang. Kita tokh sama-sama dari satu golongan?"

Pemuda rambut gondrong yang memang ada!ah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya, tertawa kecil.

"Sebetulnya aku tengah mencari seseorang. Seorang penculik anak perawan!"

"Seorang anak Kepala Kampung telah diculik °oleh bangsat bermuka iblis bernama Tunggul Gawegawe, bergelar Iblis Tangan Panjang! Kau pernah dengar tentang dia?"

Untung Pararean mengangguk. "Sudah sangat lama. Sekitar enam belas tahun yang silam," katanya. Lalu diceritakannya tentang pertempurannya melawan Sepasang Golok Maut·kepala rampok hutan Dadakan·yang hendak menculik keponakan Sri Baginda. Ketika penculikan itu digagalkan oleh Untung Pararean, Sepasang Golok Maut kemudian meminta bantuan Iblis Tangan Panjang. Namun iblis Tangan Panjang ini pun berhasil dikalahkan oleh Untung Pararean. Penuturan itu mengingatkan Untung Pararean pada riwayatnya sendiri. Kepada Wiro sama sekali tak diceritakannya kalau keponakan raja yang ditolongnya adalah perempuan yang kemudian menjadi istrinya dan selanjutnya mendatangkan penderitaan dalam kehidupannya.

"Menurut penyelidikanku, bangsat penculik itu melewati kota ini. Makanya aku datang ke sini."

"Manusia macam Iblis Tangan Panjang itu patut dilenyapkan dari muka bumi," ujar Untung Pararean.

"Sekarang kau terangkanlah dirimu," kata Wiro Sableng sambil meletakkan cangkir minuman ke atas meja.

"Aku Untung Pararean. Berasal dari Gunung Bromo," menerangkan bekas perwira kerajaan itu.

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Wiro pula. "Apakah kau sebenarnya orang yang berjuluk Si Cadar Hitam atau bukan?"

Untung Pararean menggeleng.

"Lantas mengapa kau menutupi wajahmu dengan kain hitam macam begini?"

"Itu tak dapat kuterangkan padamu." jawab Untung Pararean.

Pendekar 212 Wiro Sableng tersenyum. "Apakah kau juga tak bakal menerangkan kenapa kau mengawatirkan keselamatan gadis cantik berpakaian pengemis tadi itu?"

Untung Pararean tertegun sejenak. Akhirnya tanyanya, "Sahabat muda, apakah kau bisa kupercaya?"

Wiro Sableng kerenyitkan kulit kening dan tak menjawab apa-apa sampai akhirnya Untung Pararean berkata, "Paras gadis itu mengingatkan aku pada seseorang."

"Siapa seseorang itu?" tanya Wiro lagi ingin lebih jelas.

"Istriku. Parasnya sama sekali . . . "

"Dan istrimu sudah meninggal?"

Untung menggeleng. "Dia lenyap enam belas tahun yang silam bersama anakku. Seorang perempuan. Pertama kali aku melihat wajah gadis tadi hatiku berdebar. Dan aku mendapat firasat bahwa dia adalah anakku yang lenyap itu . . . . "

"Agaknya kau mempunyai riwayat yang hebat, sobat."

"Bukan hebat, tapi penuh penderitaan lahir bathin," sahut Untung Pararean. Wiro menatap kain penutup wajah laki-laki dihadapannya seakan-akan coba menembusi untuk mengetahui wajah yang bagaimanakah sesungguhnya yang tersembunyi dibalik kain hitam itu.

"Sebenarnya riwayatmu tak ada sangkut pautnya denganku, apalagi kita barusan saja kenal. Tapi bila kau dapat menuturkan padaku, aku akan gembira sekali."

Untung Pararean tersenyum pahit.

"Lain kali mungkin baru bisa kuceritakan padamu, sobat muda. Aku tak punya waktu banyak ..."

"Kau mau ke mana?" tanya Wiro cepat.

"Menyusul keempat orang tadi untuk mencari tahu siapa sesungguhnya gadis itu".

"Tapi dia sendiri sudah menerangkan bahwa dia adalah anaknya Pengemis Sakti Muka Bopeng ..."

Hal itu memang membuat hati Untung Pararean meraqu. Namun nalurinya meyakini bahwa pengemis Cantik Ayu adalah anaknya. Kalau tidak bagaimana parasnya bisa begitu persis seperti Sri Kemuning, istrinya yang melarikan diri itu?

"Kalaupun nanti terbukti dia bukan anakku yang lenyap, itu tak jadi apa karena aku masih rnempunyai maksud lain untuk menyusul Empat Pengemis Dari Pulau Ras itu. Ada piutang lama yang harus kutagih pada guru mereka yaitu Pengemis Sakti Muka Bopeng!"

Habis berkata begitu Untung Pararean menjura di hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng lalu meletakkan beberapa mata uang di atas meja dan bertindak ke pintu. Masih beberapa langkah dia akan mencapai pintu, satu bayangan hitam berkelebat yang disusul dengan bentakan nyaring membuat rumah makan itu bergetar.

"Manusia bercadar hitam! Kalau kau berani bergerak satu langkah lagi kupecahkan kepalamu!"

***

 

DUA BELAS

 

UNTUNG Pararean dan juga Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut. Ketika keduanya memandang ke tengah ruangan kelihatannya seorang laki-laki berbadan tegap, mengenakan pakaian hitam-hitam berdiri di situ. Wajahnya ditutup dengan sehelai cadar hitam dan hanya kedua matanya saja yang kelihatan.

"Kau!" seru orang itu seraya menunjuk tepattepat kepada Untung Pararean. "Kau bangsatnya yang berani-beranian mengenakan cadar seperti yang kupakai layak menerima hukuman dari aku Si Cadar Hitam!"

Wiro dan Untung Pararean meneliti orang itu dari kepala sampai ke kaki. Ternyata inilah manusianya yang berjuluk Si Cadar Hitam yang menjadi musuh Pengemis Sakti Muka Bopeng.

"Sayang sekali kau datang terlambat, sobat!" Pendekar 212 Wiro Sableng buka suara dan membuat Si Cadar Hitam kerenyitkan kening. Sebelum dia meneruskan, Cadar Hitam sudah membentak.

"Bocah berambut gondrong, katakan apakah kau kerabatnya kunyuk yang satu ini? Juga katakan apakah kau mau minta hajaran pula?!"

Wiro Sableng tertawa gelak-gelak. "Manusia tak punya malu! Diajak bicara baik-baik jawabannya ngelantur! Pantas kau menutupi tampangmu dengan kain!"

"Dan juga pantas bagimu untuk menerima kematian detik ini juga!" teriak Si Cadar Hitam marah. Lalu tangan kanannya didorongkan dan serangkum angin yang amat dingin menderu ke arah Wiro Sableng! Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede tertegun sejenak. Tubuhnya terasa dingin laksana dikubur dalam salju, padahal angin serangan masih beberapa langkah di depannya! Dia cepat melompat kesamping tapi aneh! Kedua kakinya kaku tegang tak dapat digerakkan! Wiro sadar bahwa dirinya telah dipukau oleh hawa dingin yang keluar dari angin pukulan lawan! Dia membentak keras dan tangan kanannya cepat-cepat memegang hulu Kapak Naga Geni 212 di balik pakaian. Detik itu juga hawa hangat mengalir dari hulu kapak ke sekujur tubuhnya, membuat sirna hawa dingin yang sebelumnya hampir saja membuat dia celaka!

"Wuss!"

Angin pukulan lawan lewat di depan dada Pendekar 212 Wiro Sableng pada saat pemuda ini berhasil mengelak dengan melompat ke belakang. Di belakang sana terdengar suara gaduh akibat bobolnya dinding rumah makan dihantam pukulan Si Cadar Hitam itu!

Si Cadar Hitam tidak menyangka kalau si pemuda akan sanggup menyelamatkan diri begitu rupa! Sementara dia berdiri terkesiap dengan mata melotot, Wiro Sableng berseru lantang,

"Terima kasih atas keramah tamahanmu dalam serangan tadi! Kuharap kau juga sudi menerima hadiah balasan dariku!"

Habis berkata begitu Wiro Sableng mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya ke tangan kanan lalu secepat kilat tangan itu di putar di atas kepala dan dipukulkan ke depan! Suara laksana angin puyuh menderu menggetarkan rumah makan itu. Kursi-kursi berpelantingan, meja terguling. Lampu minyak mencelat menghantam dinding. Untung Pararean merapat ke dinding agar tubuhnya jangan sampai terpelanting!

Si Cadar Hitam yang berdiri di tengah ruangan segera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke kaki. Tubuhnya laksana patung batu. Namun ketika Wiro menghantamkan tangannya ke depan tubuh Si Cadar Hitam menjadi gontai. Di lipat gandakannya tenaga dalamnya. Kedua tangan dengan serentak dipukulkan ke depan untuk menangkis serangan Wiro. Tapi Si Cadar Hitam masih ketinggalan jauh dalam hal tenaga dalam hingga betapapun dia mempertahankan diri, begitu pukulan "angin puyuh" yang dilepaskan Wiro Sableng menghantam dirinya, tak ampun lagi manusia ini terpelanting dan terbanting menelentang di lantai!

"Jangan tidur ngorok di situ, sobat! Kalau Empat Pengemis Pulau Ras datang kembali ke sini kau bisa berabe. Ayo lekas bangkit!"

Kedatangan Si Cadar Hitam ke situ memang untuk menemui Pengemis Sakti Muka Bopeng yang telah ditantangnya satu tahun yang lewat. Mendengar disebutnya nama Keempat murid Pengemis Muka Bopeng dan di tambah dengan kemarahan yang membakar dadanya, Si Cadar Hitam kontan melompat. Entah kapan dia menggerakkan tangannya tapi tahu-tahu di tangan kanannya kini sudah tergenggam sebuah senjata yang berbentuk aneh.

Senjata itu terbuat dari besi hitam legam berbentuk tombak yang pada kedua ujungnya terdapat lingkaran tipis yang amat tajam. Karena bentuknya yang hebat maka senjata itu dapat dipergunakan sebagai toya dan pedang. Bahkan bila bagian lingkaran sampai masuk ke kepala seseorang, jangan harap bisa selamat dari kematian!

Bentuk dan sinar hitam yang memancar dari senjata itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng segera bersiap-siap menerima serangan. Dia tahu senjata di tangan lawan hebat dan berbahaya.

"Bangsat gondrong, lekas keluarkan senjatamu! Kalau tidak kau akan mampus dalam dua tiga jurus saja!"

Wiro ganda tertawa. Diambilnya sebuah kursi lalu katanya, "Biar aku menghadapimu dengan kursi ini saja, Cadar Hitam!"

Si Cadar Hitam menggeram marah. Tak pernah dia menerima penghinaan yang begitu hebat. Rahang-rahangnya menggembung.

"Wiro! Biar aku yang menghadapinya!" tiba-tiba Untung Pararean berseru.

"Ah, biar serahkan saja manusia sombong ini padaku," sahut Wiro.

"Majulah berdua agar aku tidak banyak membuang tenaga untuk membunuh kalian!" bentak Si Cadar Hitam. Habis membentak demikian dia melompat ke muka. Senjatanya berkiblat ganas dan sekaligus menyerang ke arah leher Wiro Sableng serta Untung Parerean!

Mereka yang diserang lekas-lekas melompat menyelamatkan diri. Begitu serangan lewat, Untung Pararean segera mengambil sepasang golok milik Pengemis Cantik Ayu sedang Wiro Sableng membabatkan kursi ke pinggang lawan. Dengan satu gerakan sebat Si Cadar Hitam membalik. Kembali senjatanya berkelebat dan tiga buah kaki kursi yang dipakai menyerang oleh Wiro terbabat putus!

Si Cadar Hitam tidak kepalang tanggung. Serangan-serangan yang dilancarkannya datang bertubi-tubi. Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus silatnya yang paling hebat agar dapat membuktikan omong besarnya tadi yaitu akan membereskan Wiro Sableng dalam dua atau tiga jurus saja. Tapi sewaktu pertempuran memasuki jurus kelima yang bisa dilakukan Si Cadar Hitam hanyalah membabat putus badan kursi yang di tangan Wiro hingga kini Pendekar 212 hanya memegang sandaran kursi yang sudah sangat pendek saja!

Meski mengawatirkan keselamatan si pemuda namun sebagai orang yang berpegang teguh pada tatakrama dunia persilatan, Untung Pararean tetap berdiri di tempatnya tak mau membantu Wiro mengeroyok Si Cadar Hitam. Walau demikian diusahakannya melemparkan sepasang golok di tangannya ke arah Wiro Sableng. Tapi di tengah jalan Si Cadar Hitam berhasil membabat mental dan patah kedua golok itu dengan senjatanya!

Jurus demi jurus serangan Si Cadar Hitam semakin dahsyat. Dengan memainkan ilmu silat "orang gila" Wiro berhasil mempertahankan diri dan sekalikali melepaskan pukulan jarak jauh yang membuat lawannya bertindak sangat hati-hati.

Ketika dua puluh jurus sudah berlalu dan beberapa kali hampir saja dirinya kena dihantam oleh senjata lawan yang dahsyat, Wiro Sableng mulai mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan simpanannya!

Ilmu pukulan "angin puyuh" tak sanggup menembus angin senjata di tangan Si Cadar Hitam, demikian juga pukulan "kunyuk melempar buah" dan "benteng topan melanda samudera". Hal ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi penasaran. Apalagi ketika didengarnya si Cadar Hitam berseru mengejek. "Ayo keluarkan semua ilmu simpananmu agar kau tidak mampus penasaran!"

"Jangan keliwat sumbong, sobat! Coba kau sambut pukulan yang bernama "dewa topan menggusur gunung ini!"

Wiro mendorongkan kedua tangannya ke depan. Dan terjadilah hal yang hebat luar biasa! Dari kedua telapak tangan Pendekar 212 Wiro Sableng menderu gemuruh suara angin. Si Cadar Hitam membabatkan senjatanya ke depan beberapa kali untuk memusnahkan angin serangan. Namun kali ini senjata itu tidak mampu berbuat suatu apapun! Tubuh Si Cadar Hitam terlempar ke belakang, rubuh terguling-guling, senjatanya lepas dari tangan. Sesaat kemudian menyusul gemuruh robohnya rumah makan itu! Sebelum sebuah balok besar menimpa kepalanya, Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat keluar dari rumah makan itu! Dia sampai di luar tepat ketika seluruh bangunan rumah makan roboh dengan dahsyatnya. Puluhan orang di pelabuhan yang melihat kejadian itu sama-sama mengeluarkan seruan dan ber{ari mendatangi sementara Akik Rono di pemilik rumah makan yang juga sempat menyelamatkan diri, berdiri menyaksikan runtuhnya rumah makannya dengan tubuh menggigil dan wajah seputih kertas!

Wiro memandang berkeliling. Untung Pararean dan Si Cadar Hitam tak kelihatan. Kawatir kalau-kalau Untung Pararean tertimpa runtuhan rumah makan, Wiro menyelidik dengan cepat. Tapi laki-laki itu tak di temuinya. Si Cadar Hitampun lenyap tak berbekas bersama senjatanya. Akhirnya perhatian murid Eyang Sinto Gendeng ini kembali pada Akik Rono. Wiro merutuki ketololan dirinya sendiri karena telah melepaskan pukulan "dewa topan menggusur gunung" tadi yang menyebabkan ambruknya rumah makan Akik Rono. Sebenarnya dia bisa mempergunakan ilmu pukulan lain atau jurus tipuan untuk merebut senjata lawan lalu baru memberi hajaran. Tapi, karena dipengaruhi rasa penasaran dia telah melepaskan pukulan dahsyat yang dipelajarinya darl Tua Gila.

Sampai di hadapan Akik Rono, dari batik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong kain berisi uang. Diulurkannya tangannya memberikan kantong uang itu pada pemilik rumah makan seraya berkata, "'Ini untuk modal dan membangun rumah makanmu!". Habis berkata begitu pemuda ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Akik Rono berdiri bengong di tempatnya. Tapi hatinya terlipur oleh sekantong uang yang kini berada dalam tangannya.

***

 

TIGA BELAS

 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di puncak pedataran tinggi itu, memandang berkeliling. Menurut penyelidikannya, Tunggul Gawegawe alias Iblis Tangan Panjang yang tengah dikejarnya melarikan diri ke jurusan pedataran itu. Tapi sampai di tempat tersebut tak satu jejakpun yang ditemui Wiro. Pengejarannya menemui jalan buntu.

Ke mana akan diteruskannya pengejaran? Dan sebelum dia berhasil menemui Iblis Tangan Panjang mungkin laki-laki itu telah lebih dahulu merusak kehormatan Wening Karsih, anak gadis Kapala Kampung yang diculiknya. Ketika dia memandang ke langit, matahari telah jauh ke barat dan warnanya kemerahan. Dalam waktu yang singkat segera akan tenggelam. Berdiri di puncak pedataran itu Wiro teringat pada Untung Pararean. Dia yakin sekali bahwa laki-laki itu menyusul Empat Pengemis Pulau Ras. Dalam hatinya, Wiropun berniat untuk mengikuti Untung Pararean. Namun langkahnya terhalang dengan persoalan Wening Karsih. Akhirnya tanpa ada pegangan ke mana dia harus menuju, Wiro Sableng meninggalkan puncak pedataran itu ke arah barat.

Di kaki pedataran tinggi dia bertemu dengan satu desa yang cukup ramai penduduknya. Setelah mengisi perutnya di sebuah kedai Wiro berusaha mencari keterangan tentang orang yang di kejarnya. Tapi tak satu orang pun yang tahu mengenai diri Iblis Tangan Panjang ataupur, gadis yang diculiknya. Malam itu juga Wiro meninggalkan desa tersebut. Di ujung sebuah daerah pesawangan yang dihiruki oleh suara jangkrik dan segala macam binatang malam dilihatnya satu nyala api. Setelah berpikir sejenak Wiro Sableng memutuskan untuk menuju ke arah nyala api itu.

Lewat sepeminum teh Wiro telah berada kirakira seratus langkah dari nyala api yang nyalanya berasal dari sebuah kuil tua yang atapnya di bagian depan tampak miring hampir ambruk. Dari jarak itu pulalah pendekar ini mendengar suara orang menyanyi.

"Siapa pula yang bernyanyi malam-malam di tempat sepi begini?" pikir Wiro dalam hati dan sambil mempercepat larinya.

Malam hari berjalan seorang diri,

Tanpa tujuan di dalam hati.

Melewati bekas kuil suci,

Tempat pertemuan tak terduga terjadi.

Begitulah bunyi kata-kata nyanyian tersebut yang diulang-ulang sampai beberapa kali. Dan setiap habis satu bait kalimat, terdengar suara kerontang kaleng. Wiro Sableng sampai di pintu kuil. Di ruangan depan yang sangat kotor menyala sebuah lampu aneh atau tepatnya sebuah obor kecil. Obor itu terbuat dari sebatang pohon kayu hitam yang ditancapkan ke lantai kuil yang terbuat dari batu. Jika bukan seseorang yang berkepandaian tinggi adalah mustahil sebatang kayu bisa ditancapkan begitu rupa. Pada ujung kayu yang menancap itu menyalakan api yang menerangi ruangan tersebut. Tepat di belakang nyala api, duduk bersila seorang laki-laki berpakaian compang-camping. Kedua matanya terpejam. Di pangkuannya terletak sebuah buntalan, sebatang tongkat dan sebuah topi daun pandan. Di tangan kanannya ada sebuah kaleng rombeng berisi batu-batu.

Dari mulutnya masih juga keluar nyanyian yang setiap satu bait diseling dengan suara kerontang-kerontang kaleng berisi batu-batu itu.

Wiro masuk ke dalam. Berdiri di hadapan orang itu beberapa langkah baru diketahuinya bahwa kedua mata yang terpejam itu nyatanya buta! Tiba-tiba Wiro ingat bahwa dia pernah berjumpa dengan orang ini tapi lupa entah di mana. Setelah memutar otaknya Wiro ingat juga bahwa orang tersebut adalah tukang tenung Si Segala Tahu yang pernah menolongnya beberapa waktu yang lalu.

"Segala Tahu, aku gembira bertemu dengan kau," tegur Wiro dengan girang karena pada orang ini pasti dia bisa mendapat keterangan di mana Iblis Tangan Panjang berada.

Orang yang bernyanyi menghentikan nyanyinya. Dikerontang-kerontangkannya kaleng rombengnya beberapa kali lalu menengadah ke langit-langit kuil.

"Mendengar suaramu apakah kau bukannya Si Sableng yang pernah berjumpa denganku beberapa waktu yang lalu?!" Meski buta nyatanya dari suara Wiro Sableng, Si Segala Tahu masih dapat menduga siapa yang berdiri di hadapannya.

"Ah, benar sekali! Pertemuan yarrg tak terduga ini sangat menggembirakanku. Kebetulan aku berada dalam kesulitan."

"Baru bertemu sudah bicara tentang segala macam kesulitan!"

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya dan tersenyum pahit, lalu berkata, "Soalnya aku harus bertindak cepat, Segala Tahu."

"Kau mencari seseorang pasti!"

"Betul sekali. Namanya Tunggul Gawegawe, bergelar IbIisTangan Paryjang. Diatelah menculik ..."

"Sudah, sudah! Aku sudah maklum. Kau tunggulah sebentar". Si Segala Tahu mengerontangn-gerontangkan kaleng rombengnya beberapa kali lalu menepekur dengan mulut terkatup rapat-rapat. Tak lama kemudian dia pun berkata: "Kau agak terlambat Sableng! Orang yang diculik sudah tak ada lagi di tangan Iblis Tangan Panjang ..."

"Mohon petunjukmu lebih lanjut, Segala Tahu."

"Kau pergilah ke utara. Jika bertemu sungai yang bercabang dua kelak kau akan menjumpai Iblis Tangan Panjang di situ"

"Di manakah gadis yang diculik itu kini? Apakah dia berada dalam keadaan selamat?" tanya Wiro Sableng.

"Aku tak bisa memberi keterangan lebih lanjut. Pergi ke utara, cari anak sungai bercabang dua!" Habis berkata begitu Si Segala Tahu kembali menggerak-gerakkan tangan kanannya yang memegang kaleng. Kemudian dengan tangan kirinya ditepuknya lantai kuil. Hebatnya, tenaga tepukan itu membuat tubuh Si Segala Tahu yang masih dalam keadaan bersila itu melayang ke pintu. Wiro Sableng mengejar, tapi Si Segala Tahu sudah lenyap di kegelapan malam. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa geleng-geleng dan garuk-garuk kepala!

Sepanjang malam itu Wiro Sableng terus berlari menuju ke utara. Menjelang dini hari dia sampai ke sebuah pedataran tinggi yang di bawahnya terbentang sebuah lembah. Di bawah penerangan bintang-bintang yang redup, sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng yang tajam dapat melihat sebuah sungai yang bercabang dua. Tanpa ragu-ragu pemuda ini segera berlari menuruni lembah, dan sampai tepat di bagian lembah di mana sungai bercabang dua.

Udara dini hari dinginnya bukan alang kepalancl. Sunyi dan kegelapan menyelubung di mana-mana. Wiro Sableng memandang berkeliling.

"Edan!" makinya dalam hati. "Mana mungkin di keparat Iblis Tangan Panjang itu bisa kujumpai di sini!"

Baru saja dia memaki begitu rupa mendadak kesunyian malam dirobek oleh suara kerontang-kerontang kaleng! Pendekar 212 Wiro Sableng melengak dan memandang berkeliling. Astaga! Kiranya Si Segala Tahu! Entah dari mana dia muncul. Saat itu dia kelihatan berjalan seenaknya menyusuri anak sungai yang sebelah kanan sambil mengerontang-ngerontangkan kalengnya! Wiro cepat bergerak dan sebentar saja dia sudah berada di samping laki-laki itu.

"Tempat ini sunyi belaka! Di mana aku bias menemui Iblis Tangan Panjang. Mohon petunjukmu, Segala Tahu!".

Si Segala Tahu tertawa macam kuda meringkik. Sambil terus berjalan dia bernyanyi:

Lembah tempat sungai bercabang dua,

Sepanjang malam tentu sepi belaka.

Mencari Iblis tentu bukan dengan mata,

Siapa suruh tidak pasang telinga.

Wiro terkesiap mendengar tutur nyanyian itu. Memang sewaktu menyelidik tadi dia lebih mengutamakan mata dari pendengarannya. Segera Wiro Sableng membuka jalan pendengarannya lebih tajam. Terdengar suara tiupan angin dinihari yang dingin. Terdengar alunan air sungai yang mengalir. Terdengar suara binatang malam di kejauhan dan tiba-tiba ... terdengar suara helaan nafas!

"Aku mendengar suara orang menarik nafas!" bisik Wiro pada Si Segala Tahu. Tapi ketika dia menoleh ke samping, astaga! Si Segala Tahu sudah tak ada lagi di sebelahnya! Lenyap seperti ditelan bumi! Wiro memandang berkeliling, mencari arah datangnya suara helaan nafas itu. Kalau ada seseorang di situ yang sedang tidur tentu suara kerontang-kerontang kaleng Si Segala Tahu sudah membangunkannya sejak tadi, pikir Wiro. Telinganya semakin dipasang. Sesaat kemudian kembali di dengarnya suara helaan nafas, lalu sunyi. Tiba-tiba menggeledek suara bentakan dan sebuah benda meluncur ke arah tenggorokan Pendekar 212 Wiro Sableng!

"Keparat sialan!" maki Wiro kaget bukan main tapi masih sempat bergerak mengelakkan senjata rahasia yang hampir saja merampas jiwanya. Baru saja selamat, dua buah senjata rahasia lagi menyambar ke arahnya, yang dua inipun dapat dikelit. Dari jurusan datangnya senjata-senjata rahasia tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng segera tahu di mana sipenyerang gelap berada.

Tanpa tunggu lebih lama Wiro memukulkan tangan kanannya ke arah cabang pohon besar yang terletak delapan tombak di samping kanannya.

"Kraak!"

Cabang pohon yang besar itu patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara berisik di hantam pukulan "kunyuk melempar buah". Di kejap itu pula satu bayangan hitam berkelebat ke cabang pohon yang lain. Namun Wiro lebih cepat.

Sebelum sosok tubuh sempat menjejakkan kakinya di cabang pohon, Wiro telah menghantam lagi pohon itu hingga si penyerang gelap terpaksa cepat-cepat turun ke tanah. Sementara itu di timur fajar telah menyingsing. Cuaca di dalam lembah mulai terang dan Wiro segera dapat mengenali orang di depannya yang bukan lain Si Iblis Tangan Panjang yang tengah dicari-carinya.

"Iblis! Kalau sayang pada jiwa busukmu, lekas beri tahu di mana gadis anak Kepala Kampung yang kau culik itu berada?!" bentak Pendekar 212.

Iblis Tangan Panjang melototkan matanya yang cuma satu lalu mendengus.

"Tanyalah pada setan-setan dalam lembah ini!"

Wiro menggeram. "Katau begitu biar roh busukmu yang kusuruh menanyakan!" Pendekar 212 berkelebat sambil memukulkann tangan kanannya ke depan.

Ibiis Tangan Panjang menangkis dengan satu pukulan tangan kosong yang tak kalah hebatnya hingga ketika pukulan-pukulan tersebut saling bentrokan terdengarlah suara seperti letusan dan beberapa pohon yang terserempet angin pukulan kontan ambruk!

Wiro tak mau memberi angin dan harus lekas mengetahui di mana Wening Karsih berada. Karenanya dia langsung menyerang dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Eyang Sinto Gendeng. Iblis Tangan Panjang menjadi sangat sibuk. Untung saja dia memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, kalau tidak niscaya dalam tiga jurus pertama dirinya sudah kena gebuk!

Iblis Tangan Panjang segera menyadari bahwa pemuda berambut gondrong itu bukanlah tandingannya. Karenanya siang-siang dia sudah mengeluarkan senjatanya yang baru yakni sebuah tombak bermata dua dan sebentar saja sinar senjafa itu sudah menderu mengurung tubuh Wiro Sableng!

Memasuki jurus kelima di mana Iblis Tangan Panjang mengirimkan serangan total habis-habisan, Wiro berseru nyaring, "Iblis! Cukup kau mencak-mencak sampai di sini!"

Tubuh pemuda itu lenyap dari hadapan Iblis Tangan Panjang dan sebelum Iblis Tangan Panjang tahu di mana lawannya berada, satu pukulan telah menghantam punggungnya! Tak ampun lagi manusia berkulit hitam legam ini mencelat dan terguling di tanah. Tulang punggungnya yang sebelah kiri hancur dan sakit bukan main. Tombaknya terlepas mental entah ke mana. Dengan sempoyongan Iblis Tangan Panjang berdiri dan hendak melarikan diri. Namun satu jambakan pada rambutnya yang keriting macam bulu domba itu membuat dia tak bisa bergerak satu tindakpun. Kemudian satu tamparan keras melanda pipinya membuat telinganya pekak berdesing dan bibirnya pecah berdarah. Iblis Tangan Panjang menjadi kalap dan dengan membabi buta menerjang sekerasnya ke depan.

"Kraak!"

Terdengar pekik Iblis Tangan Panjang. Tulang kering kaki kanannya patah. Yang menjadi sasaran tendangannya ternyata bukan Pendekar 212 Wiro Sableng melainkan sebatang pohon yang melintang tumbang! Wiro sendiri yang menjambaknya dari belakang tertawa gelak-gelak.

"Ayo tendanglah lagi biar kedua kakimu patah!" kata Wiro dan sekali lagi ditamparnya muka Iblis Tangan Panjang hingga manusia itu menjerit kesakitan. Dia berusaha untuk dapat memukul atau menyikut Wiro Sableng tapi sedikit saja bergerak rambutnya yang dijambak laksana mau terbongkar dari kulit kepalanya.

"Cepat terangkan di gadis itu!" bentak W i ro.

"Sampai mampuspun aku tak bakal menerangkan!" jawab Iblis Tangan Panjang keras kepala.

"Kalau begitu aku akan bikin kau setengah mampus setengah hidup!"

"Kraak"!

Wiro membetot putus tangan kiri Iblis Tangan Panjang. Jeritan Iblis Tangan Panjang seperti mau merobek langit di pagi hari itu! Satu tangan yang lain dari laki-laki itu segera dicekal pula oleh Wiro, siap untuk dibetot. "Masih belum mau kasih keterangan?!"

"Puah!" Iblis Tangan Panjang meludah.

"Keparat! Makan ini!" teriak Wiro marah, tinju kanannya melanda mulut Iblis Tangan Panjang. Beberapa buah giginya tanggal, bibirnya pecah Tapi Iblis Tangan Panjang masih tetap keras kepala dan beringas. Meronta-ronta dan memukul-mukul kian kemari.

"Iblis celeng! Kalau matamu yang tinggal satu ini kukorek baru kau tahu rasa!"

Mendengar ancaman itu, Iblis Tangan Panjang kini benar-benar ketakutan. Cepat dia berteriak ketika Wiro hendak menotok mata kanannya.

"Jangan! Aku akan terangkan! Aku akan terangkan!"

"Terangkan lekas!" bentak Wiro sambil menyentakkan rambut Iblis Tangan Panjang.

"Gadis itu kujual pada Adipati Blabak ..."

"Dusta!"

"Demi bapak moyang setan aku tidak dusta!" Wiro menotok tubuh Iblis Tangan Panjang.

"Untuk sementara biarlah kau kaku tegang di sini. Jika kau dusta aku akan kembali untuk mengorek matamu! Jika kau ternyata bicara betul, dua hari di muka totokan itu akan terlepas dan kau boleh pergi ke mana suka!"

"Tapi aku akan mati kelaparan selama dua hari itu!" teriak Iblis Tangan Panjang.

"Kau tokh turunan iblis. Minta saja makanan pada iblis-iblis penghuni lembah ini!" jawab Wiro Sableng. Lalu sambil tertawa bergelak di tinggalkannya tempat itu.

Karena Blabak tidak jauh dari situ maka dalam tempo singkat Wiro Sableng telah sampai di situ. Dia memasuki Kadipaten dengan melompati tembok belakang. Dari seorang pelayan yang diringkusnya dia berhasil mengetahui di kamar mana Wening Karsih di tempatkan. Menurut pelayan itu Wening Karsih di antarkan oleh Iblis Tangan Panjang ke Kadipaten Blabak lewat tengah malam tadi. Pelayan itu memberi kepastian pula bahwa tidak terjadi apa-apa atas din si gadis karena istrinya sendiri yang mengawani Wening Karsih semalaman hari. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera masuk ke dalam gedung Kadipaten.

Sesaat kemudian pemuda itu keluar melompbt dan jendela sebuah kamar dan di bahunya memanggul sosok tubuh seorang gadis. Di halaman samping dia dipergoki oleh dua pengawal yang segera berteriak memberi tahu kawan-kawannya. Cepat sekali Wiro sudah dikurung oleh empat orang prajurit Kadipaten. Namun tentu saja keempatnya bukan tandingan pemuda itu. Dengan hanya mengandalkan kaki kanannya saja, Wiro berhasil membuat ke empat prajurit itu tergelimpang di tanah. Dan pada saat Adipati Blabak sampai di tempat itu Wiro telah lenyap bersama Wening Karsih.

***

 

EMPAT BELAS

 

SESAMPAINYA di tepi Pantai, Untung Pararean mendadak merasakan keraguan dalam hati nya. Jika betul Pengemis Cantik Ayu adalah anakku yang lenyap sekitar enam belas tahun yang lalu apakah dia kelak akan mau mengakui diriku sebagai ayah kandungnya, pikir Untung Pararean. Namun karena banyak pertanyaan yang harus diusahakannya jawabnya dan mengingat pula bahwa Pengemis Sakti Muka Bopeng adalah musuh besar yang telah membuat cacat dirinya seumur hidup berada di Pulau Ras akhirnya Untung Pararean menetapkan hatinya dan meneruskan niatnya untuk pergi ke pulau tersebut.

Dengan sebuah perahu sewaan Untung Pararean menyeberang dan sampai di pulau tujuannya sewaktu malam berganti dengan pagi. Tempat kediaman Pengemis Sakti Muka Bopeng yang keseluruhannya terbuat dari bambu kuning adalah satu-satunya bangunan di Pulau Ras dan dengan mudah dapat ditemui oleh Untung Pararean. Dia merasa heran ketika mendapatkan bangunan yang besar itu kosong melompong. Tak satu orangpun ada di dalamnya.

"Pada ke mana mereka? Mustahil Empat Pengemis Pulau Ras belum sampai ke sini," demikian pikir Untung Pararean. Dia tak tahu kalau Pengemis Sakti Muka Bopeng dan keempat orang murid serta istrinya telah meninggalkan Pulau itu beberapa waktu yang lalu.

Sewaktu Pengemis Cantik Ayu dan saudara-saudara seperguruannya kembali dan menceritakan apa yang terjadi di rumah makan Atik Rono, bukan main marah dan kesalnya Pengemis Sakti Muka Bopeng.

"Kalian betul-betul memberi malu aku di kalangan persilatan! Apa yang kutugaskan tak berhasil kalian lakukan! Dan seorang pemuda jembel yang tak dikenal tak mampu kalian hadapi!! Terpaksa aku sendiri yang harus turun tangan!"

Itulah sebabnya ketika Untung Pararean tiba di Pulau Ras dia tidak menemui siapa pun. Untung Pararean masuk ke dalam rumah untuk menyelidik. Baru saja dia hendak memasuki sebuah kamar tiba-tiba di halaman luar terdengar bentakan nyaring.

"Bangsat rendah dari mana yang berani mengotori rumahku?!"

Untung Pararean terkejut. Cepat dia melompati sebuah jendela dan tiba di halaman samping. Enam orang dilihatnya berlari ke pintu muka. Tapi begitu melihat Pararean di halaman samping ke enamnya segera memutar lari mereka dan sesaat kemudian sudah berdiri mengurung bekas perwira kerajaan itu.

Sepintas lalu hampir saja Pengemis Sakti Muka Bopeng mengira laki-laki itu adalah Si Cadar Hitam. Sewaktu diperhatikannya lebih teliti segera dia tahu bahwa manusia bercadar kain hitam itu bukanlah musuh lamanya. Tapi adalah aneh kalau orang tak dikenal ini mengenakan kain hitam penutup mukanya. Mungkin dia masih ada sangkut paut dengan Si Cadar Hitam? Di lain pihak Untung Pararean merasakan sekujur tubuhnya bergetar ketika dia mengenali perempuan separuh baya berkulit hitam manis dan berparas jelita di samping Pengemis Sakti Muka Bopeng bukan lain adalah Sri Kemuning, istrinya yang telah melarikan diri pada enam belas tahun yang silam! Dengan demikian satu kenyataan yang sebelumnya cuma menjadi dugaannya belaka, kini terbukti. Pengemis Cantik Ayu adalah anak kandungnya sendiri! Hati Untung Pararean berdebar ketika dia ingat ucapan Pengemis Muka Bopeng adalah ayahnya! Apakah Sri Kemuning telah menjadi istri musuh besarnya itu? Betul-betul ini membuat perih hati Untung Pararean.

Sri Kemuning sendiri merasa aneh sewaktu pandangan matanya beradu dengan pandangan sepasang mata laki-laki yang wajahnya tersembunyi dibalik kain hitam itu. Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tak berani menerangkan bahwa laki-laki bercadar itu adalah orang yang mereka telah temui di rumah makan Akik Rono karena takut kedustaan mereka akan terbuka.

"Bangsat bercadar! Siapakah kau?! Apa punya nyawa rangkap hingga berani datang ke sini mengotori pulau dan rumahku?!.

Untung Pararean tak ingin bekas istri dan anaknya mengetahui siapa dia sebenarnya. Karena itu dia tak mau menjawab pertanyaan Pengemis Muka Bopeng dengan terus terang.

"Muka Bopeng, rupanya matamu masih belum begitu tajam hingga tak dapat mengenali siapa aku adanya! Aku tidak sudi menerangkan tentang diriku pada manusia macam kau! Antara kita ada semacam hutang piutang yang harus dilunaskan hari ini! Nyawamu atau nyawaku!".

Meskipun rasa-rasa sudah pernah mendengar suara laki-laki bercadar itu sebelumnya namun Pengemis Sakti Muka Bopeng tak dapat menerka siapa orang di depannya itu. Di samping itu ucapan Untung Pararean tadi membuat dia menjadi sangat marah.

Setelah lebih dulu mendengus marah dia berkata, "Mataku memang tidak mampu mengenali tampang yang kau sembunyikan di balik kain hitam itu! Tapi tangankulah yang bakal menyingkapkan kain itu! Lihat!"

Pada akhir kata-katanya, Pengemis Sakti Muka Bopeng berkelebat lenyap dan tahu-tahu tangan kanannya menyambar ke muka Untung Pararean! Kaget bekas Perwira Kerajaan ini bukan kepalang. Tidak disangkanya ka1au lawannya akan bergerak demikian cepat. Segera tangan kirinya dibabatkan ke atas. Akibatnya terjadilah bentrokan antara lengan yang diserang dengan penyerang! Tubuh Untung Pararean terhempas ke belakang laksana dilanda gelombang sedang tangannya sakit bukan main.

Sewaktu diperhatikan kulit lengannya telah menjadi bengkak kemerahan! Di lain pihak Pengemis Sakti Muka Bopeng hanya berdiri terhuyung-huyung dan di lain kejap dengan satu lolongan macam srigala haus darah dimalam buta, kembali dia melancarkan serangan. Kali ini kedua tangannya kelihatan berkelebat cepat.

Untung Pararean menyambut dengan pukulan tangan kosong yang bernama "seribu kati memukul awan". Ilmu pukulan ini dipelajarinya dari Kiyai Supit Pramana karenanya hebatnya bukan main! Tubuh Pengemis Sakti Muka Bopeng laksana seekor burung yang terbang menentang angin topan hingga mengapung tak bisa maju! Padahal kedua tangan Pengemis Muka Bopeng hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari muka Untung Pararean!

Sebelum tubuhnya terlempar di sapu oleh pukulan "seribu kati memukul awan" itu, Pengemis Sakti Muka Bopeng cepat mendorong kedua tangannya ke muka. Dua gelombang angin menderu memapas angin serangan Untung Pararean. Sekejap kemudian terdengarlah suara menggelegar yaitu ketika terjadi saling bentur antara angin-angin yang berkekuatan hebat itu! Pulau Ras bergetar. Debu dan pasir beterbangan sedang rumah bambu mengeluarkan suara berkeretek!

"Manusia bercadar! Kulihat kau barusan melancarkan pukulan "seribu kali memukul awan". Apakah kau muridnya Si Supit Pramana di Gunung Bromo?!"

"Diam-diam Untung Pararean terkejut menanggapi si muka bopeng.mengenali pukulan yang tadi dilepaskannya. Saat itu dia tengah mengatur tenaga dalamnya karena dua gelombang angin yang dilepaskan Pengemis Sakti Muka Bopeng tadi membuat dadanya agak sakit.

"Aku bukan murid siapa-siapa!" sahut Untung Para:ean dan dalam jurus ketiga ini dia yang pertama membuka serangan. Tubuhnya melayang setinggi setengah tombak di atas tanah. Tangan kiri dan kanan dipukulkan ke depan dan setengah jalan tubuhnya dengan sangat tiba-tiba melesat ke atas lalu dengan serentak mengirimkan dua serangan berantai yang hebat yaitu tendangan kaki dan hantaman tinju!

"Jurus - dewa terbang ke langit --!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng. Lalu cepat merunduk dan memukul bagian tubuh yang berbahaya di antara kedua selangkangan Untung Pararean! Tentu saja Untung Pararean tak mau membiarkan dirinya dihantam serangan maut itu. Dia memutar pinggulnya ke samping dan di lain kejap kaki kanannya meluncur deras ke arah tinju kanan lawan!

Pengemis Sakti Muka Bopeng jadi penasaran sekali rnelihat bagaimana dalam rnenyerang dia balik kena diserang! Didahului oleh satu bentakan menggledek laki-laki ini melompat ke atas, lebih tinggi dan kedudukan tubuh Untung Pararean. Untung Pararean tak mau meneruskan serangannya karena tendangan yang melanda tempat kosong akan membuat dirinya berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Karenanya begitu tendangannya dibatalkan. Untung Pararean cepat membalik untuk menghadapi lawan yang datang dari belakang. Namun dia kurang cepat. Tubuhnya baru setengahnya berputar dan satu jotosan telah melanda punggungnya!

Bekas Perwira Kerajaan itu terpelanting ke depan. Ketika jatuh ke tanah hampir saja dia tak sanggup berdiri di atas kedua kakinya. Punggungnya sakit bukan main dan sebelum dia sempat mengatur nafas dan mengalirkan tenaga dalam kebagian yang terpukul, dadanya telah sesak. Sesaat kemudian Untung Pararean muntah darah tertatih-tatih!

Pengemis Sakti Muka Bopeng tertawa gelak-gelak sambil melangkah mendekati Untung Pararean.

"Sebelum kukirim kau menghadap raja akhirat mari kulihat dulu macam mana kau punya tampang!"

Pengemis Sakti Muka Bopeng mengulurkan tangannya yang sebelah kanan untuk menarik kain hitam penutup wajah Untung Pararean. Bekas Perwira Kerajaari itu tak mempunyai daya untuk menghindar karena saat itu kembali dia memuntahkan darah kental berbuku-buku!

Sekejap lagi jari-jari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng akan menarik kain penutup wajah Untung Pararean, mendadak sebuah benda sebesar kepala melesat ke arah Pengemis Sakti Muka Bbpeng. Mau tak mau laki-laki ini terpaksa menarik pulang tangannya. Benda yang dilemparkan temyata sebutir buah kelapa. Dan di kejap itu pula seorang laki-laki, yang teramat tua, berselempang kain putih telah berdiri di hadapan Pengemis Sakti Muka Bopeng!

"Kau!" seru Pengemis Sakti Muka Bopeng kaget. Tapi dia tidak gentar.

***

 

LIMA BELAS

 

"YA, Aku! Apakah kau masih mengenali aku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!" kata orang yang baru datang, yang tadi melemparkan buah kelapa ke arah Pengemis Sakti Muka Bopeng. Dia mengenakan jubah putih dan sangat tua sekali. Tubuhnya yang agak bungkuk itu ditopang dengan sebuah tongkat yang dipegangnya di tangan kanan.

"Hemm . . . " gumam Pengemis Sakti Muka Bopeng. "Kiranya betul dugaanku bahwa keparat bercadar ini adalah muridmu Kiyai Supit Pramana dari Gunung Bromo. Heran . . . kenapa tahu-tahu saja kau mempunyai seorang murid!"

"Aku memang memberikan beberapa pelajaran ilmu silat padanya. Tapi dia bukanlah muridku." kata Kiyai Supit Pramana tegas-tegas.

"Eh, kenapa begitu? Lucu sekali!" ujar Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya memandang pada murid-muridnya. "Mungkin kau bisa menerangkan kelucuan itu? Atau kedatanganmu jauh-jauh ke sini justru memang hendak menerangkan hal itu?!"

Wajah Kiyai Supit Pramana kelihatan sedikit merah. Namun demikian di bibimya tersunting sekelumit senyum. "Lucu atau tidak bukan itu urusanmu, Muka Bopeng!"

"Oh, jadi kedatanganmu hendak turun tangan membantu manusia bercadar ini? Boleh saja! Tapi akan lebih baik jika terlebih dulu kau suruh dia membuka cadarnya!"

"Soal buka cadar itu bukan pekerjaanku. Kalau kau sendiri tidak mampu apakah tidak malu menyuruh orang lain?!"

Kini paras Pengemis Sakti Muka Bopeng yang berubah menjadi merah. Sementara itu Kiyai Supit Pramana ingat bahwa kali itu adalah kali ketiga dia menolong jiwa Untung Pararean yang berarti adalah pertolongan untuk penghabisan kalinya yaitu sebagaimana pesan gurunya tempo hari di dalam mimpi.

"Kiyai Supit Pramana!" berkata Pengemis Sakti Muka Bopeng sambil bertolak pinggang. "Antara kau dan aku tidak ada saling sengketa. Mengapa mendadak sontak kau hendak baku hantam denganku?!"

"Siapa bilang aku hendak baku hantam denganmu?" sahut Kiyai Supit Pramana. "Kemunculanku hanya untuk menolong dia."

"Alasan yang dicari-cari!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng dengan mimik mengejek. "Apakah kau bisa pula menerangkan silang sengketa apa yang ada antara aku dan manusia bercadar ini hingga tak ada hujan tak ada angin datang ke sini dan menyebut-nyebut segala soal hutang pihutang?!"

Untung Pararean kawatir kalau-kalau Kiyai Supit Pramana akan menerangkan siapa dirinya sebenarnya. Tapi orang tua yang arif ini sudah memahami perasaan Untung Pararean. Maka diapun menjawab, "Soal itu kau tanyakan saja langsung pada orangnya."

"Kau dan setan alas ini sama saja tidak tahu dirinya! Ayo lekas angkat kaki dari pulauku!" bentak Pengemis Sakti Muka Bopeng.

"Aku baru akan meninggalkan tempat ini bila urusanmu dengan dia sudah beres." jawab Kiyai Supit Pramana.

"Tua bangka sialan! Kalau begitu biar kau dulu yang aku bereskan!" Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada ke empat muridnya dan berseru: "Kalian berempat cepat cincang bangsat itu!" Maka Pengemis Cantik Ayu dan tiga Pengemis lainnya segera mengeluarkan senjata masing-masing dan menyerbu Untung Pararean.

Bagi Untung Pararean tingkat ilmu silat keempat lawannya itu tidak membuat dia menjadi gentar. Tapi ada satu hal yang menyebabkan setiap gerakannya harus dilakukan dengan penuh perhitungan bahkan kadang-kadang tertahan-tahan. Yang menyebabkan itu ialah karena salah seorang dari pengeroyoknya adalah anaknya sendiri. Walau bagaimanapun seorang bapak tak akan tega untuk mencelakai anak kandungnya! Di lain pihak Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu tidak mengetahui kalau yang dihadapinya adalah ayah kandungnya. Bersama-sama dengan ketiga saudaranya dia terus mendesak Untung Pararean dengan hebat!

Setelah pertempuran berkecamuk dua puluh jurus dan melihat keempat orang itu masih belum sanggup merubuhkan Untung Pararean, Sri Kemuning yang oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng teJah diberi julukan "Pengemis Hitam Manis" segera menyerbu pula ke dalam kalangan pertempuran, hingga kini Untung Pararean dikeroyok lima. Dan dua dari pengeroyoknya adalah anak kandung dan bekas istrinya sendiri!

Sementara itu pertempuran yang terjadi antara Kiyai Supit Pramana dan Pengemis Sakti Muka Bopeng benar-benar satu pertempuran tingkat tinggi yang jarang ditemui. Tubuh keduanya lenyap menjadi bayang-bayang sedanq di sekitar mereka debu dar pasir bergu lung-gu lung, siuran angin menderu-deru!

Kalau Kiyai Supit Pramana mengandalkan tongkat butut di tangan kanannya maka Pengemis Sakti Mu.ka Bopeng hanya mengandalkan tangan, kosong. Beberapa kali si Muka Bopeng ini melancarkan serangan-serangan kilat dan pukulan-pukulan tangan kosong yang dahsyat mematikan namun lawannya selalu berhasil mengelak atau memusnahkan serangannya itu.

"Bangsat tua bangka!" maki Pengemis Sakti Muka Bopeng pada jurus ketiga puluh satu, "sekarang jangan harap kau bakal bisa selamat dari pukulanku ini!" Mulutnya menggembung, dari tenggorokannya terdengar suara menggembor dan tangan kanannya di angkat ke atas lalu dipukulkan ke depan, ke arah Kiyai Supit Pramana.

"Wuuuussss!"

Satu gelombang sinar hitam yang luar biasa panasnya menggemuruh. "Pukulan api hitam", seru Kiyai Supit Pramana dalam hati lalu dengan cepat melompat ke samping seraya memapas dengan tongkat bututnya!

"Kraak!"

Tongkai di tangan sang Kiyai patah dua dan terlepas dari tangannya tapi dirinya sendiri selamat! Dengan geram Pengemis Sakti Muka Bopeng kembali mengirimkan pukulan dahsyat tadi dua kali berturut-turut!  Terdengar seruan dahsyat keluar dari mulut Kiyai Supit Pramana, "Hitam tak akan menang dengan putih!" Dan di kejap itu pula selarik sinar putih berkelebat. Begitu sinar putih ini beradu terus menggulung sinar hitam. Untuk beberapa lamanya menghantam sedang yang melepaskan pukulan sama berdiri tegang menyalurkan tenaga dalam masing-masing!

Dalam tenaga dalam Pengemis Sakti Muka Bopeng masih kalah satu tingkat di bawah Kiyai Supit Pramana. Karenanya setelah adu kekuatan selama hampir sepeminuman teh dan kedua kakinya sampai-sampai melesak sedalam sepuluh senti, akhirnya tubuhnya terdorong ke belakang! Sebelum sinar-sinar putih itu melabrak dirinya, Pengemis Sakti Muka bopeng cepat melompat mencari keselamatan. Parasnya kelihatan pucat. Kuduknya dingin. Jika tidak lekas melompat pasti dirinya kena dicelakai pukulan lawan.

Kiyai Supit Pramana tertawa perlahan dan berkata, "Kurasa cukup kita main-main sampai di sini saja, Muka Bopeng. Sebaiknya kau lekas menyelesaikan urusanmu dengan laki-laki bercadar itu. Jangan mengandalkan murid-muridmu yang main keroyok secara pengecut itu!"

"Anjing tua!" sentak Pengemis Sakti Muka Bopeng penuh dendam amarah. "Kalau maksudku untuk membunuhmu tidak kesarnpaiar, biarlah kelak aku akan bunuh diri!"

"Ah, memang susah kalau seseorang mata dan hatinya sudah buta oleh kejahatan!" ujar Kiyai Supit Pramana dengan menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan banyak bacot! Kau akan segera mampus anjing tua!" semprot Pengemis Sakti Muka Bopeng. Kedua tangannya bergerak. Kini tangan kiri memegang sebilah pedang panjang berwarna ungu sedang tangan kanan memegang sebuah keris yang memancarkan sinar biru yang bukan lain keris Mustiko Jagat adanya! Melihat bagaimana si muka bopeng ini menggunakan dua senjata sekaligus nyatalah bahwa dia benar-benar ingin memburuh Kiyai Supit Pramana dalam waktu yang paling singkat!

Di lain pihak Kiyai Supit Pramana tidak merasa gentar. Dia sudah tahu kehebatan keris Mustiko Jagat sedang pedang di tangan kiri lawan tidak dipandangnya sebelah mata. Keris tempaan Empu Bharata itulah yang lebih berbahaya dan harus hatihati dihadapinya. Karenanya untuk mengimbangi senjata tersebut Kiyai Supit Pramana tidak menunggu lebih lama, segera pula mengeluarkan senjatanya yakni sehelai selendang sutera yang tepinya dihias dengan seratus rumbai-rumbai sepanjang satu jengkal!

Pengemis Sakti Muka Bopeng membuka serangan dengan satu teriakan dahsyat. Kiyai Supit Pramana menanti dengan tenang. Begitu lawannya tinggal beberapa langkah di hadapannya, segera selendang sutera di tangan kanan dikebutkan! Satu gelombang angin sedahsyat topan prahara menggaung. Seratus senjata rahasia berhamburan dari rumbai-rumbai selendang.

Kaget Pengemis Sakti Muka Bopeng tidak kepalang. Cepat dia memapas dengan pedang dan keris. Pedang di tangan kiri mental patah dua tapi keris Mustiko Jagat dengan hebatnya sanggup membuat buyar angin serangan serta mementalkan senjata-senjata rahasia yang menggempur!

Sekarang marilah kita perhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean melawan Sri Lestari, Sri Kemuning dan tiga Pengemis lainnya itu. Dia bertempur dengan berbagai perasaan yang campur aduk dan menggugah hati sanubarinya. Bagaimana dia bisa bertempur sungguh-sungguh dengan dua orang yang merupakan anak serta bekas istrinya?

Walau bagaimanapun keduanya adalah orang-orang yang dikasihi dan pernah dikasihinya. Di lain pihak kedua ibu dan anak itu yang tidak mengetahui siapa adanya Untung Pararean, terus menggempur dengan hebat. Di tambah pula dengan serangan-serangan gencar tiga Pengemis hingga kedudukan Untung Pararean jadi serba sulit. Dalam kesulitan itu dia masih sanggup menendang rubuh Pengemis Badan Kurus hingga terjungkal dan menggeletak pingsan.

Namun demikian karena Untung Pararean terlalu dalam dipengaruhi oleh perasaannya, kerap kali laki-laki ini bertempur dengan gerakan yang ragu-ragu hingga pada akhirnya lengan kirinya berhasil dilanda ujung golok Sri Lestari dan terluka cukup parah! Denqan menahan sakitnya luka dan keperihan hati, Untung Pararean meneruskan pertempuran. Sementara itu dari sejak mulai berlangsungnya pertempurarn entah bagaimana dia selalu ingat pada Empu Bharata yang telah dibunuhnya enam belas tahun yang silam. Seperti terngiang ditelinganya kutukan orany tua sakti itu sebelum dia meregang nyawa yaitu " kelak kau bakal mati di ujung Mustiko Jagat ⁄ dan sebelum mati hidupmu kukutuk menderita lahir bathin. "

Berdiri bulu kuduk Untung Pararean. Benarkah dia akan mati di ujung keris Mustiko Jagat yany dulu dipakainya untuk membunuh Empu Bharata itu? Dia tahu sebagian dari kutukan sang Empu atas dirinya telah menjadi kenyataan. Yaitu dia telah hidup denqan menderita lahir bathin! Karena bertempur sambil merenung dan dipengaruhi berbagai macam perasaan maka Untung Pararean semakin berada dalam kedudukan yang sulit. Saat itu ingin saja dia berteriak pada Sri Lestari dan Sri Kemuning, menerangkan siapa dia. Tapi hal itu tak bisa dilakukannya. Lidahnya serasa kelu. Lagi pula walau bagaimanapun Sri Kemuning bukan lagi istrinya saat itu, sudah menjadi istri orang lain meski secara tidak syah. Dan yang paling penting apakah kelak Sri Lestari akan mau mengakui dirinya yang cacat itu sebagai ayah kandungnya? Bahkan Sri Kemuning sendiri mungkin tak akan mengenali wajahnya seandainya dia membuka cadar hitam yang menutup wajahnya! Dan keperihan semakin dalam menusuk lubuk hati Untung Pararean. Dikuatkannya dirinya. Tapi kedua matanya tak kuasa menahan genangan air mata.

Kedua mata itu kelihatan berkaca-kaca!

Di saat itu timbul pikiran di kepala Untung Pararean untuk meninggalkan tempat itu. Namun bila dia ingat bahwa dendam kesumatnya terhadap Pengemis Sakti Muka Bopeng masih belum kesampaian, kembali dikuatkannya hatinya. Tiba-tiba dia mendapat akal sebaiknya bertempur menghadapi musuh besarnya saja saat itu. Sekaligus dia bisa membalas dendam dan mengelakkan pertempuran melawan bekas istri dan anak kandungnya! Namun sebelum hal itu dilakukannya sesosok tubuh berpakaian hitam mendatang dengan sangat cepat dari arah timur dan terdengar seruan keras lantang, "Kiyai Supit Pramana! Bangsat bermuka bopeng itu adalah musuh lamaku! Biar aku yang merampas jiwanya!"

***

 

ENAM BELAS

 

KIYAI Supit Pramana dan pengemis Sakti Muka Bopeng sama-sama terkejut lalu samasama melompat ke belakang. Si Muka Bopeng yang sudah mengenali suara orang yang datang segera dapat menduga siapa dia adanya dan ternyata dugaannya tak meleset. Orang itu adalah Si Cadar Hitam!

"Ha . . . " ha . . . ! Agaknya kau terkejut dan takut melihat kedatanganku, Pengemis Sakti Muka Bopeng?!"

"Puah!" Pengemis Sakti Muka Bopeng meludah. "Dalam hidupku tak pernah ada kata takut! Apalagi terhadap bangsa kurcaci macam kau!"

Si Cadar Hitam tertawa gelak-gelak sambil memandang berkeliling. Sesaat dia memperhatikan pertempuran yang berlangsung antara Untung Pararean dengan keempat pengeroyoknya lalu kepalanya kembali dipalingkan pada Pengemis Sakti

Muka Bopeng, dan berkata dengan mengejek. "Mungkin kau bukan seorang pengecut! Tapi sekurang-kurangnya kau telah mengajarkan bagaimana bertempur secara pengecut terhadap murid-muridmu hingga mereka main keroyok begitu rupa!"

Muka yang buruk dari Pengemis Sakti Muka Bopeng kelihatan merah padam dan Si Cadar Hitam kembali mementang mulut. "Bukti lain yang cukup jelas betapa pengecutnya dirimu ialah ketika kau mengutus murid-muridmu untuk memenuhi tantanganku satu tahun yang lalu! Kenapa tidak kau sendiri yang muncul kalau bukannya berarti kau bangsa pengecut klas wahid?!"

"Bangsat rendah! Kuberikan kesempatan padarnu untuk mengaso memperpanjang nyawa. Kelak sesudah tua bangka dari Gunung Bromo ini kubikin mampus akan sampai pula giliranmu!"

Kiyai Supit Pramana cepat membuka mulut. "Cadar Hitam," katanya yang sudah mengenali siapa adanya pendatang baru itu . . . "Antara aku dan dia sebenarnya tak ada silang sengketa. Silahkan kau baku hantam satu sama lain!"

"Kiyai sedeng! Apakah kau tak punya nyali melanjutkan pertempuran tadi?!" tanya Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sang Kiyai tertawa bergumam. "Rupanya nyalimu terlalu besar. Apa kau ingin kami berdua melabrakmu saat ini?!"

"Tua renta_. .." Maki Pengemis Sakti Muka Bopeng itu dipotong oleh bentakan Si Cadar Hitam.

"Muka Bopeng, sudah mau mampus masih saja main maki-makian! Terima ini!"

Selarik sinar hitam bersiut! Itulah serangan senjata Si Cadar Hitam yang berbentuk toya dengan lingkaran-lingkaran tajam pada kedua ujungnya!

"Ha ... ha! Senjatamu masih saja senjata buruk dulu! Apakah kau masih punya muka untuk mempergunakannya?!" ejek Pengemis Sakti Muka Bopeng seraya menangkis dengan keris Mustiko Jagat.

"Trang!"

Bunga api memercik!

Si Cadar Hitam terkejut. Tangannya tergetar hebat, sakit dan pedas. Ketika diperhatikannya senjatanya, astaga! Temyata lingkaran tajam yang sebelah kanan telah terbabat putus! Dia sama sekali tidak menyangka kalau dalam satu tahun kehebatan lawannya sudah maju jauh sekali dan tak menyangka lagi kalau keris di tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng demikian dahsyatnya! Mau tak mau nyalinya jadi menciut juga. Segera dia mengeluarkan jurus silatnya yang terhebat dan melakukan penyerangan dengan senjatanya yang telah buntung! Si Cadar Hitam berlaku cerdik. Dia selalu mengelak bila lawan hendak mengadu senjata, sebaliknya dia berusaha agar dapat menyingkirkan keris Mustiko Jagat dari tangan lawan!

Dalam ilmu silat mungkin Si Cadar Hitam lebih hebat dan lebih gesit gerakannya. Namun walau bagaimanapun yang menentukan adalah senjata di tangan masing-masing! Setelah bertempur dua puluh jurus lebih akhirnya Si Cadar Hitam tak berdaya mengelakkan satu tusukan yang amat cepat!' Tubuhnya terjajar ke belakang dengan dada mandi darah. Senjatanya yang buntung terlepas dan begitu jatuh tubuhnya. masih berkelojot beberapa kali. Begitu racun keris merambas kejantungnya, laki-laki itupun meregang nyawa!

"Manusia hina! Mayatmu tak layak malang melintang di depan mataku!" kata Pengemis Sakti Muka Bopeng. Sekali tendang saja maka mencelatlah tubuh Si Cadar Hitam sejauh belasan tombak, angsrok di antara semak-semak lebat!

Pengemis Sakti Muka Bopeng berpaling pada Kiyai Supit Pramana. "Sekarang giliranmu, anjing tua!" bentaknya lalu menyerbu dengan keris di tangan! Untuk kedua kalinya kedua orang itu kembali bertempur. Kini lebih hebat, lebih cepat, dan lebih ganas!

Pertempuran antara Untung Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya telah berjalan lebih dari empa; puluh jurus. Dalam keadaan luka parah Untung Pararean masih sempat memukul jatuh salah satu golok di tangan Sri Lestari dan merampas goloknya yang lain. Tapi untuk itu Untung Pararean menerima hantaman sabuk di tangan Pengemis Kepala Botak yang membuat pinggulnya serasa remuk! Dengan panuh marah Untung Pararean melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan", ke arah Pengemis Kepala Botak. Pukulan yang dahsyat itu berhasil dikelit oleh si kepala Botak sebaliknya hampir saja melanda Sri Lestari di samping kiri. Karena itu Untung tak mau lagi melepaskan pukulan tersebut takut mencelakai anak kandung atau bekas istrinya sendiri!

"Lekas bentuk barisan bolang-baling!" tiba-tiba Sri Lestari atau Pengemis Cantik Ayu berseru. Barisan bolang-baling adalah satu barisan penggempur yang tangguh. Barisan ini diciptakan oleh Pengemis Sakti Muka Bopeng dan bisa dilakukan oleh tiga sampai tujuh orang. Dan kehebatan barisan ini dirasakan sendiri oleh Untung Pararean. Serangan datang dari berbagai jurusan dan dalam gerakan yang sama sekali berlawanan dari gerakan silat yang sewajarnya. Ini membingungkan Untung Pararean.

Meskipun beberapa jurus di muka dia berhasil mengetahui kelemahan-kelemahan barisan bolang-baling itu namun dirinya sudah sangat terdesak! Masih untung dia berhasil merampas golok Sri Lestari, kalau tidak mungkin sudah sejak tadi-tadi dia mendapat celaka!

Dalam pada itu pertempuran antara Pengemis Sakti Muka Bopeng dan Kiyai Supit Pramana telah mencapai klimaks kehebatannya. Dalam jurus yang ke enam puluh tiga tokoh silat dari Gunung Bromo itu berhasil menghantam lengan kanan lawannya hingga keris Mustiko Jagat terlepas dan mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng. Laki-laki ini coba melompat untuk menjangkau senjata itu tapi tak berhasil karena saat itu Kiyai Supit Pramana melepaskan pukulan "seribu kati memukul awan" yang mana harus dielakkannya dengan cepat kalau tidak mau mendapat celaka. Kiyai Supit Pramana adalah tokoh silat berjiwa kesatria tulen! Melihat lawan tidak bersenjata lagi segera selendang suteranya di simpan di balik pakaian lalu meneruskan pertempuran dengan tangan kosong.

Secara kebetulan, keris Mustiko Jagat yang terlepas mental dari tangan Pengemis Sakti Muka Bopeng melayang ke tempat berlangsungnya pertempuran antara Untung Pararean dan pengeroyok-pengeroyoknya. Melihat keris ayahnya melayang mental begitu rupa, dan di saat itu dia sendiri tidak pula memegang senjata apa-apa, dengan cepat Sri Lestari melompat. Sesaat kemudian senjata itupun sudah berada dalam tangan kanannya!

Betapa terkejutnya Untung Pararean menyaksikan Sri Lestari kembali memasuki kalangan pertempuran dengan Mustiko Jagat di tangan. Sinar biru berkelebat menggidikkan. Untuk kesekian kalinya Untung Pararean merasakan bulu kuduknya merinding. Terngiang lagi di telinganya kutukan Empu Bharata yang dibunuhnya dulu: ". . . kelak kau bakal mati di ujung keris Mustiko Jagat. . . " Apakah kutukan itu segera akan berbukti kini?!

"Trang"!

Untung Pararean terkejut. Golok di tangan kanannya patah dua disambar keris Mustiko Jagat. Telapak tangannya sakit sekali. Dalam pada itu dia harus cepat pula menyelamatkan kepalanya dari gada batu pualam putih di tangan Pengemis Badan Gemuk sedang dari belakangnya, Pengemis Hitam Manis atau Sri Kemuning melancarkan pula satu tendangan maut! Untung Pararean berkelebat cepat untuk mengelakkan kedua serangan itu dan berhasil. Namun dia melupakan kedudukan Sri Lestari yang saat itu bergerak luar biasa cepatnya, menyambar dari samping kiri dan menusukkan Mustiko Jagat ke dadanya tanpa bisa di tangkis atau dikelit lagi! Sesaat sebelum Mustiko Jagat menghunjam di dada Untung Pararean terdengar satu bentakan sekeras guntur!

"Jangan bunuh! Dia ayah kandungmu sendiri!"

Tapi teriakan yang mengguntur itu terlambat datangnya sebagai peringatan. Mustiko Jagat telah lebih dulu menembus dada Untung Pararean barulah semua orang, termasuk Sri Lesteri terkejut! Bekas Perwira Kerajaan itu terhuyung ke belakang sambil memegangi dada dengan kedua tangannya. Pada detik tubuhnya hampir jatuh, satu bayangan putih berkelebat menopang tubuhnya.

"Kasip! Terlambat! Terlambat ... !" kata orang yang datang ini sambil satu tangannya menggaruk-garuk kepalanya tiada henti.

"Bangsat gondrong!" bentak Sri Lestari sewaktu dia melihat siapa adanya orang yang menopang tubuh lawannya. "Kau masih mau ikut campur urusan orang lain?!"

"Gadis! Apakah kau masih belum sadar kalau orang ini adalah ayah kandungmu sendiri?!" ujar si pemuda rambut gondrong yang bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng adanya.

"Jangan bicara ngacok ngelantur!" bentak Sri Lestari. "Ayahku adalah Gambir Seta yang bergelar Pengemis Sakti Muka Bopeng!"

Wiro Sableng tertawa kecut dan menyandarkan Untung Pararean ke pangkuannya. Sambil megap-megap Kehabisan nafas Untung Pararean berbisik, "Sahabat kenapa kau beritahu siapa diriku ..."

Baru saja Untung Pararean habis berkata begitu satu tangan menyambar dan bret! Terbukalah cadar hitam yang selama ini menutup paras bekas Perwira Kerajafan itu. Terdengar jerit ngeri Sri Kemuning. Dialah yang menyentakkan kain penutup paras Untung Pararean. Jeritannya disusul oleh jeritan Sri Lestari dan seruan-seruan tertahan orang-orang yang ada di situ yang ada di situ yang merasa ngeri melihat keluar biasaan seramnya paras Untung Pararean. Mata kirinya hanya merupakan lobang belaka.

Mulutnya kanan robek sampai ke pipi, bibir menjela-jela. Cuping hidupnya yang sebelah kiri tanggal, kedua daun telinganya papas buntung sedang seluruh kulit muka hancur bergurat-gurat! Sebagai bekas istri sekalipun, Sri Kemuning tidak mengenali Untung Pararean lagi!

Pengemis Sakti Muka Bopeng terkejut luar biasa! Benar-benar tak diduganya kalau orang bercadar itu adalah Untung Pararean, seorang bekas Perwira Kerajaan yang telah membunuh Empu Bharata dan yang telah disiksanya setengah mati enam belas tahun yang silam!

Tiba-tiba laki-laki ini berteriak, "Jangan dengar omongan pemuda edan itu! Dia tak ada sangkut paut apa denganmu. Lestari! Akulah ayah kandungmu!"

Wiro mendengus marah!

"Iblis laknat!" bentak Pendekar 212. "Di saat orang hendak menghembuskan nafas penghabisan apakah kau masih punya hati demikian jahat untuk membantah kenyataan bahwa dia adalah Untung Pararean, ayah kandung gadis itu?!"

"Setan alas!" balas membentak Pengemis Sakti Muka Bopeng, "Kalau kau mau mampus bersamanya pergilah!" Habis berkata begitu Pengemis Sakti Muka B$peng yang hendak menyekap rahasia mengenai diri Untung Pararean segera melepaskan pukulan tangan kosong yang luar biasa hebatnya.

"Bangsat bermuka bopeng! Manusia macammu memang tak layak dibiarkan hidup lebih lama!" teriak Wiro. Dia bersiul nyaring dan balas menghantam dengan tangan kanannya! Satu larik sinar putih yang amat panas dan menyilaukan mata menderu laksana petir menyambar! Pengemis Sakti Muka Bopeng terpekik. Tubuhnya terguling. Itulah pukulan "sinar matahari"!

Pengemis Sakti Muka Bopeng tak menyangka akan disambut dengan serangan balasan yang dahsyat itu. Cepat-cepat dia melompat ke samping. Tapi masih kurang cepat! Pekiknya mengumandang. Tangan kanannya yang kurus kering kelihatan hangus hitam pekat sedang tubuhnya terbanting ke tanah!

"Pemuda keparat! Mampuslah!", teriak Sri Lestari seraya melompat dan menusukkan Mustiko Jagat ke kepala Pendekar 212.

"Lestari! Tahan!", teriak Sri Kemuning dengan cepat.

Sementara itu keris sakti hanya tinggal setengah jengkal dari batok kepala Pendekar 212. Dengan sebat Wiro memukul pergelangan tangan gadis itu hingga Mustiko Jagat terlepas mental.

"Orang muda! Laki-laki yang bernama Untung Pararean tidak bermuka seseram dia! Jangan kau bicara ngelantur tak karuan!" kata Sri Kemuning pula.

Wiro berpaling pada Kiyai Supit Pramana dan menjawab, "Orang tua itu lebih tahu dari aku! Dia yang menyelamatkan bekas suamimu dari kematian!"

Sri Kemuning melangkah cepat. Dia ingin membuktikan sendiri bahwa laki-laki bermuka seseram setan itu adalah betul-betul Untung Pararean, bekas suaminya! Dirobeknya pakaian Untung Pararean dan ketika di dada laki-laki ini dilihatnya sebuah tahi lalat besar meraunglah perempuvn ini.

"Kanda Untung!" jeritnya seraya menubruk dan memeluk tubuh Untung Pararean.

"Kemun . . . " Nama itu tak sempat disebut Untung Pararean sampai keakhirnya karena malaekat maut telah lebih dulu mencabut nyawanya!

Sementara itu dengan terhuyung-huyung Pengemis Sakti Muka Bopeng coba berdiri. Tapi tubuhnya roboh kembali karena racun pukulan sinar matahari Pendekar 212 mulai merusak jaringan-jaringan urat di dalam tubuhnya. Ketika keris Mustiko Jagat yang terpelanting jatuh di hadapannya, timbul kekuatan baru dalam dirinya. Dengan merangkak susah payah senjata itu

berhasil dijangkaunya. Begitu tangan kirinya menyentuh senjata sakti itu, °racun pukulan sinar matahari dengan serta merta menjadi sirna. Dengan kekuatan baru, Pengemis Sakti Muka Bopeng melemparkan keris Mustiko Jagat ke arah Pendekar 212.

Tapi lemparannya itu meleset dan keris Mustiko Jagat melesat ke arah Sri Kemuning!

"Ibu awas!" seru Sri Lestari. Dia melompat hendak menyambar senjata itu. Tapi karena bingung dengan apa yang disaksikannya tadi, gadis ini bertaindak gugup. Dan hal ini harus dibayarnya dengan mahal! Keris Mustiko Jagat menghantam pangkal lehernya! Baik Wiro maupun Kiyai Supit Pramane tidak punya kesempatan sama sekali untuk menyelamatkan jiwa gadis itu!

Terdengar pekik Sri Lestari. Tubuhnya roboh dengan leher mandi darah. Hanya beberapa kali saja tubuh itu kelihatan bergerak-gerak, sesudah itu diam tak berkutik lagi! Sri Kemuning laksana gila melepaskan pelukannya pada tubuh Untung Pararean dan menghambur ke tempat di mana anaknya menggeletak tak bernyawa.

"Manusia durjana!" bentak Kiyai Supit Pramana seraya melompat menyerang Pengemis Sakti Muka Bopeng. Tapi dari samping satu bayangan putih lebih cepat mendahuluinya. Satu suara laksana ribuan tawon mengamuk membising telinga dan

di lain kejap terdengarlah jeritan setinggi langit keluar dari tenggorakan Pengemis Sakti Muka Bopeng! Tubuhnya bergedebuk ke tanah. Pinggangnya hampir putus dan darah membanjir!

Kiyai Supit Pramana berdiri laksana patung, memandang tepat-tepat pada Pendekar 212 yang berdiri di hadapannya, memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Senjata itulah yang telah menamatkan riwayat Pengemis Sakti Muka Bopeng.

"Senjata hebat. Dan gerakannya luar biasa cepatnya." kata Kiyai Supit Pramana dalam hati.

Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh teriakan Pengemis Badan Gemuk. Mereka membalik dan ... terlalu kasip untuk turun tangan! Sri Kemuning telah mencabut keris Mustiko Jagat dari leher anaknya dan kemudian menusukkan senjata itu ke dadanya sendiri!

"Bangsat-bangsat rendah! Gara-gara kalianlah semua ini terjadi!" bentak Pengemis Badan Gemuk. Bersama Pengemis Kepala

Botak dia menyerbu Wiro Sableng dan Kiyai Supit Pramana.

Wiro memutar Kapak Naga Geni 122.

Crass!

Tangan kanan Pengemis Badan Gemuk putus. Laki-laki ini meraung macam harimau luka lalu lari terbirit-birit. Di tengah jalan racun kapak telah merambas jantungnya hingga tubuhnya terhuyung dan roboh tanpa nyawa di saat itu juga. Pengemis

Kepala Botak yang menyerang Kiyai Supit Pramana tidak bernasib lebih baik. Pukulan "seribu kati memukul awan" mendarat di

kepalanya yang tak berambut hingga memar macam pepaya busuk, tubuhnya menyungkur tanah tanpa nyawa lagi!

Pengemis Badan Kurus yang saat itu telah siuman dari pingsannya begitu tahu kalau dirinya cuma tinggal sendirian di situ, tanpa menunggu lebih lama segera pula ambil langkah seribu, lari ke jurusan lenyapnya Pengemis Badan Gemuk.

Untuk beberapa lamanya sempat itu diselimuti kesunyian. Yang terdengar hanya tiupan angin di sela-sela daun-daun pepohonan dan suara hamparan ombak sayup-sayup di kejauhan.

"Kiyai ... sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang-orang ini," kata Wiro Sableng seraya memasukkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke balik pakaiannya.

Demikianlah berakhirnya kisah ini. Menurut cerita, keris Mustiko Jagat di ambil oleh Kiyai Supit Pramana. Untuk menghindarkan hal-hal tak diingatkan yang mungkin tejadi keris itu kemudian dilemparkan ke dalam laut di Selat Madura.

 

TAMAT

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler