Lantunan ayat-ayat cinta itu kembali hadir dalam kemarau hatiku yang kian gersang, dua ratus ayat cinta itu menggantikan sembilan puluh delapan harapan yang hanya menjadi kenangan yang kian menyesakkan. Kini seratus dua harapan baru telah menjemputku untuk menjadi wanita yang paling sempurna setelah jubah hitam sempat menyelimutiku saat aku merasa benar-benar rapuh.
SORE itu, karena merupakan bagian dari hari yang tak kuinginkan, kubenamkan saja hidupku pada detak jam di laptop. Kutatap jam itu, marah benar aku padanya; eih, engkau sengaja menyiksaku ya? Di luar sana, langit yang tadinya hitam sekarang menurunkan hujan. Deras. Kemarahanku mereda. Dan jam laptop lepas dari penjagaanku. Kulangkahkan kakiku ke jendela.
Seorang pria dengan tubuh tinggi besar –melindungi matanya dengan tangan kanan dari sorot matari sore yang menyilaukan– keluar dari pintu gerbang sebuah lembaga pemasyarakatan di pinggiran kota. Rambut gondrong sebahu dibiarkan tergerai dan meriap ditiup angin.
Malam ini udara di dalam terasa panas dan menyesakkan, berita-berita penting hingga picisan kulahap, tanpa rasa kutelan dan tak berapa lama kubuang, karena memang bukan makanan pokokku, hanya sebatas pengisi waktu menunggu....
Komentar Terbaru