Skip to Content

Ketika Rani Bicara

Foto Asep Mundzir

Anak itu murung saja sambil duduk-duduk di ranjangnya yang awut-awutan. Tak ada sesiapa di sana. Sepi. Hanya deru suara angin yang kadang-kadang mencoba masuk lewat celah-celah jendela. Di luar, di lorong-lorong, di ruangan-ruangan lain rumah itu kesunyian nyinyir ke setiap sudutnya. Rani tetap tak beranjak dari tempatnya semula. Kepalanya tertunduk, tatapan matanya kosong menyapu bayangannya sendiri di atas lantai kamar. Dalam kepalanya mungkin beragam khayalan sedang beradu cepat menghinggapi benaknya. Dan, dalam kesunyian yang menyelimuti udara kamar, suara-suara imajiner tiba-tiba muncul menerpa pikirannya.

Rani. Namamu Rani bukan? Ya! Katamu. Bagaimana kamu tahu? Haha. Aku tahu! Tentu aku tahu. Aku suka menyaru ke berbagai alam dan belahan langit. Aku telah melihat berbagai muka dan menghafal berjuta nama. Dan ketika aku melihat wajahmu, aku menyandingkan parasmu dengan nama yang mungkin serasi sama cantiknya. Aku menemukan “Rani” adalah namamu.

Pergilah kembali ke ibumu karena ia sudah menunggu. Dia ada di mana? Dia ada di kamar depan, kamarnya. Apa? Kamu lupa jalan menuju kamar ibumu sendiri? Baiklah. Tembok-tembok rumahmu yang menggigil itu suka berubah posisi ketika penghuninya tidak menyadarinya. Maka sekali waktu kamu menemukan pintu kamar ibumu rekat dengan pintu kamarmu, karena tembok kedua kamar kalian menempel tanpa jarak. Dan di kali lain kamu menemukan kamar kalian berjauhan dan bahkan berada di tingkat yang berbeda. Tapi keduanya tak akan pernah terpisah beda rumah. Rumah kalian akan tetap hanya ini. Dan akan seterusnya hanya rumah ini yang kalian tempati selamanya. Maka kamu tak perlu takut tersesat.

Rani, tahukah kamu bahwa setiap rumah punya nama, bahkan yang tidak ditinggali sekalipun? Rumahmu bernama “Takdir”. Apa? Jangan tanyakan artinya padaku. Aku juga sama tak tahu. Tapi yang jelas, aku pernah mendengar sesuatu membisikkan nama itu ketika pertama kali mampir ke rumahmu. Mungkin dinding-dinding itu yang melakukannya.

Rani, ibumu sudah menunggu cukup lama. Matanya nampak sembab. Dia benar-benar berharap kamu mau memaafkannya dan ingin kamu datang menghampirinya. Kesepian sudah memuakkannya, dan dia tidak punya hal lain untuk mengusirnya kecuali kebersamaannya denganmu. Maka lekaslah pergi.
Ibu sering marah-marah, nanti marah lagi, kalau ibu ketemu Rani.
Rani…
Ayah pergi. Dimarahin ibu.
Lekaslah pergi, Rani.
Ibu nggak mau ketemu Rani.

Rani nggak mau ketemu ibu.
Baiklah. Jangan pergi ketemu ibumu. Asal kamu mau membereskan kamarmu. Lihatlah pakaianmu berserakan di mana-mana. Ada gulungan baju cucian yang masih basah, tumpah dari ember; airnya tercecer menggenangi lantai sampai sebelah pojok sana. Ada sebuah boneka Barbie yang duduk di pojok lainnya; matanya yang beku itu menatap hampa. Ada juntaian kabel yang kusut, berpangkal dari kotak kardus yang terguling di depan lemari; mungkin jatuh karena tersenggol sesuatu.
Kamu mau bantu?

***

Rani baru saja terjaga dari tidurnya. Matanya perlahan membuka kepada berkas cahaya yang datang dari jendela. Ada beberapa dahan ditingkap merapuh. Haha. Rani teringat sebaris puisi yang baru dibacanya tadi malam. Puisinya Khairil. Beberapa dahan bergoyang-goyang di lawang jendelanya; menggapai-gapai ke dalam kamar. Dipukul angin yang terpendam, pikirnya. Ada dua burung mungil berkelakar ria di atas dahan. Rani langsung membeku karena pemandangan itu mengingatkan pada dirinya semasa dulu yang sering bermanja-manja kepada ibunya.

Ibu nggak pernah main sama Rani lagi. Kangen ayah, ya?

Tadi malam Rani bermimpi tentang ayahnya. Lelaki muda itu memanggil-manggil namanya dari kejauhan. Dari sisi lain, ibunya juga memanggil-manggilnya. Namun dia tidak mampu menemukan sosok keduanya. Di sana hanya berdiri tembok-tembok yang menggigil dan semuanya membuat pusing kepala Rani. Rani memutuskan untuk tidak pergi ke arah manapun. Dia tidak mau pergi ke asal suara ayah maupun ibunya. Rani merasa bingung sekali waktu itu.

“Rani, makanannya sudah siap.” Teriak ibu dari dapur.
Ibu selesai masaknya. Ibu ikut makan juga nggak, ya?
“Raaaniii…Masih tidur yaa?”
Kenapa ibu nggak mau ke sini? Bangunin Rani?

Rani bangkit dari ranjangnya, menyibakkan selimutnya, dan tanpa pikir panjang langsung menabrakkan diri ke daun pintu kamarnya. Suaranya keras sekali sehingga ibunya menyangka kalau-kalau Rani jatuh dan lalu tertimpa sesuatu. Tapi Rani sudah sampai di dapur dan mendapati ibunya terkaget-kaget melihat Rani yang tiba-tiba muncul sambil rusuh sendiri. Rani tidak pernah bicara dengan ibunya, tapi ibunya tidak peduli dan selalu mengajaknya mengobrol meskipun dia tahu Rani tidak pernah menimpali. Suaminya, ayah Rani, adalah satu-satunya orang yang bisa dia ajak mengobrol dengan normal ketika dahulu masih ada di rumah.

Kini ketika bertemu di dapur, Rani dan ibunya sama-sama terdiam. Mungkin saja ibu bosan karena perkataannya tidak pernah bisa dibalas oleh Rani. Rasanya pasti seperti berbicara kepada boneka. Lalu apa yang dirasakan Rani ketika ibu berbicara kepadanya?

Rani menebak-nebak raut muka ibu. Ibu marah,ya, Rani nggak pernah bicara? Tapi Rani selalu berusaha bersikap baik kepada siapapun apapun yang mereka lakukan terhadapnya. Ketika ayahnya pergi dari rumah, ibu mengurung diri di kamar berhari-hari sehingga Rani harus makan sisa-sisa makan malam dari hari kemarin, karena Rani tidak pandai memasak. Tetapi Rani tidak sekalipun menangis dan mengeluh. Rani menyayangi ayah melebihi sayangnya kepada siapapun di dunia ini, dan ketika ayahnya pergi ia benar-benar merasa kehilangan. Namun Rani tidak pernah bersedih berlebihan atas hal itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi antara ibu dan ayahnya malam itu, yang menyebabkan ayahnya harus minggat dari rumah esok harinya. Ia hanya mendengar teriakan hebat yang saling berbalas di kamar orangtuanya dan ia tidak bisa benar-benar tidur malam itu.

Dulu, Rani pernah memimpikan mereka bertiga bisa bersama-sama selamanya. Rani menyukai suasana hangat ketika makan malam bersama karena ketika itu mereka bertiga bisa benar-benar bersama dalam satu tempat. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa setiap kali saat itu tiba. Sekarang, di meja makan yang berhidangkan makanan yang dimasak sampai gosong hanya ada ia dan ibunya, saling berbagi diam dalam suasana yang semakin membeku.

***

Ayah, kenapa tidak mau pulang juga? Ayah pergi ke mana? Kenapa ayah ninggalin Rani sama ibu? Kasihan ibu, kesepian nggak ada ayah.
Ayah Rani adalah seorang guru PNS di sebuah SMA di dekat kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Di sekolah, ayahnya dikenal sebagai seorang guru yang paling ramah dan penyayang. Di rumah, Rani juga melihat ayahnya sebagai seorang ayah yang pengertian dan tulus merawat keluarganya. Tidak pernah sekalipun ayah memarahinya. Jika Rani berbuat suatu kesalahan, ayah hanya akan menasihati Rani dengan suara yang pelan dan lemah lembut. Itulah mengapa Rani begitu menyayangi ayahnya.
Ketika masih di rumah, ayahnya sering menyanyikan lagu ninabobo kepada Rani sebagai pengantar tidur, dan Rani begitu menyukai suara merdu ayahnya. Bagi Rani, suara ayahnya tidak akan tertandingi bahkan oleh penyanyi populer yang lagunya selalu masuk deretan atas lagu paling hits sekalipun. Suaranya selalu menggema ke seluruh sudut kamar, menyusup keluar lewat celah-celah pintu, dan mengalir rendah melewati koridor yang dipagari dinding-dinding yang sejenak berhenti menggigil, kemudian bermuara di ruang tamu yang membuat suaranya membeku.

Kepergian ayahnya telah merambatkan karakter beku itu menuju ke kamarnya. Kamar ibunya sudah lama diselimuti rasa dingin yang menggigit dan membikin beku. Ayahnya sudah lama tidak pernah tidur di sana lagi.

Rani selalu berharap ayahnya akan pulang kembali ke rumah. Setiap malam, seusai sembahyang, Rani menguntai kata-kata do’a di dalam kepalanya. Do’a sunyi yang tak bisa ia sampaikan lewat mulutnya. Rani berharap Tuhan mau mendengar do’anya meskipun do’anya hanyalah do’a yang bisu. Karena kata ayah, Tuhan maha mendengar.

Suatu sore di suatu hari yang cerah, Rani yang sedang sibuk membereskan kamarnya terusik oleh sebuah pikiran yang terlintas dalam kepalanya. Ayah akan pulang. Pikiran yang muncul sembarang itu merasuk ke dalam kepalanya begitu saja, seperti gema suara ayahnya yang merembes lewat celah di antara engsel daun pintu dan jejenangnya. Pikiran itu begitu kuat mengusik hati Rani sehingga ia menjadi begitu teringat akan ayahnya dan ia ingin menemuinya sekarang juga. Tanpa pikir panjang lagi, ia menabrakkan dirinya pada daun pintu yang setengah terbuka dan kemudian berlari menuju pintu depan rumahnya. Sambil berdiri menghadap cakrawala barat yang menyemburkan semburat jingga, di kaki-kaki langit yang ditelan bayangan permukaan bumi, ia melihat bayangan hitam yang menyerupai sebuah sosok seorang ayah. Sosok seorang ayah? Bagaimana kita tahu itu adalah seorang ayah? Aku pun tak tahu, tapi begitulah pikir Rani. Itu ayah! Itu ayah! Ayah pulang!
“Ibu, ayah sudah pulang, ibu! Cepatlah kemari, ayah sudah pulang!” Teriak Rani di ujung rasa terkejutnya terhadap sosok yang ia anggap sebagai ayahnya itu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler